Anda di halaman 1dari 15

B.

INKONTINENSIA URINE
1. Pengertian Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap.Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra
eksterna.Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit
(Potter dan Perry, 2005).
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab
inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat,
penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif ( Hidayat 2006).
Inkontinensia urine yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah
terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat
menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urine yang tidak segera
ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urine
(Hariyati, 2000).

2. Etiologi Inkontinensia Urine


Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
danfungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU)antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan,produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksisaluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atauuretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen
topical. Terapi perilakuharus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksifeses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas,asupan cairan yang adekuat,
atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urinejuga bisa terjadi karena
produksi urine berlebih karena berbagai sebab, misalnyagangguan metabolik,
seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lainadalah asupan
cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupancairan
yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi
urine meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ketoilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untukmengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakansubstitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah
masalah psikologis, maka hal itu harusdisingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik,
analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE
inhibitor, dankalsium antagonik.
Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif
hipnotik jugamemiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan
dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas
inkontinensia urine juga terjadiakibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan,kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,
kurang aktivitas dan operasi vagina.
Dengan menurunnya kadar hormone estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.
Faktor risikoyang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi
kandungan dan lainnyajuga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin
tua seseorang semakin besarkemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan strukturkandung kemih dan otot dasar panggul
(Darmojo, 2009).

3. Patofisiologi
Inkontinensia urine berkaitan erat dengan anatomi danfisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Padatingkat
yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di
pusatberkemih disacrum.Jalur afferen membawa informasi mengenai volume
kandungkemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukandengan cara relaksasi kandung kemih
melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatisdan kontraksi leher kandung
kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta sarafsomatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis
yangmenyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis
kandung kemih berkurang.
Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang
timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat
disebabkan karena usiasehingga lansia sering mengalami inkontinensia urine.
Karena dengan kerusakan dapatmengganggu kondisi antara kontraksi kandung
kemih dan relaksasi uretra yang managangguan kontraksi kandung kemih akan
menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

4. Tanda dan Gejala Inkontinensia Urine


Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:
a. Ketidaknyamanan daerah pubis.
b. Distensi vesika urinaria.
c. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
d. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine ( 25-50 ml).
5. Penatalaksanaan
Penanganan inkontinensia urine bergantung pada faktor penyebab
yangmendasarinya, sebelum terapi yang tepat dapat dimulai, munculnya masalah
ini harusdiidentifikasi dahulu dan kemungkinan keberhasilan terapi diakui.
Jika perawat danpetugas kesehatan lainnya menerima inkontinensia sebagai
bagian yang tidakterelakan dari proses penuaan dan perjalanan penyakitnya
atau menganggapinkontinensia tidak dapat dipulihkan dan tidak dapat
diterapi pada usia berapapun,maka keadaan tersebut tidak akan dapat diterapi
dengan hasil yang baik. Upaya yangbersifat interdisipliner dan kolaboratif
sering sangat penting dalam mengkaji dan mengatasi inkontinensia urin secara
efektif.
Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe inkontinensia urine
danfaktor penyebabnya. Inkontinensia urindapat bersifat sepintas atau
reversible, setelah penyebab yang mendasari berhasildiatasi, pola urinasi pasien
akan kembali normal.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.
e. Urografi ekskretori
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur
dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
f. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih
dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urine menurut Muller
adalah mengurangifaktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urine, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis
dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai
berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih
dan jumlah urine yang keluar,baik yang keluar secara normal,
maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itudicatat pula
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urine,seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun
terapi yang dapat dilakukan adalah :
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval
waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan.
c. Promted voiding dilakukan dengan cara mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas bila
ingin berkemih.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
a. Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
b. Pada inkontinensia stress diberikan alfaadrenergicagonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol ataualfa kolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, danterapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe
stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis
tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat,
danprolaps pelvic(pada wanita).
5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medic yang
menyebabkan inkontinensia urine,dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urine,diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan
bedpan.
7. Klasifikasi Inkontinensia Urine
a. Inkontinensia akibat stres
Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai
akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen.Tipe
inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan
olehcedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik
pelvis, fistula,disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya. Disamping
itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan kongenital (ekstrofi vesika
urinaria, ureter ektopik).
b. Urge incontinence
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk
urinasi tetapi tidakmampu menahannya cukup lama sebelum mencapai
toilet. Pada banyak kasus,kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat
merupakan faktor yang menyertaikeadaan ini dapat terjadi pada pasien
disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung
kemih atau pada pasien dengan gejala lokal iritasiakibat infeksi saluran
kemih atau tumor kandung kemih.
c. Overflow incontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi
hampir terusmenerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat
mengosongkan isinyasecara normal dan mengalami distensi yang
berlebihan. Meskipun eliminasi urinterjadi dengan sering, kandung
kemih tidak pernah kosong. Overflow incontinence dapat disebabkan
oleh kelainan neurologi (yaitu, penggunaan obat-obatan, tumor,striktur
dan hiperplasia prostat). Kandung kemih neurogenik dibahas secara
terpisahdalam bagian berikutnya.
d. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah
yang utuh tetap pada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang
membuat pasien sulit untukmengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya,
demensia Alzheimer) atau gangguanfisik yang menyebabkan pasien sulit
atau tidak mungkin menjangkau toilet untukmelakukan urinasi.
e. Bentuk-Bentuk Inkontinensia Urine Campuran
Yang mencakup ciri-ciriinkontinensia seperti yang baru disebutkan,
dapat pula terjadi.Selain itu inkontinensia urine dapat terjadi akibat interaksi
banyak faktor.
Dengan pengenalan permasalahan yang tepat, pemeriksaan dan
perujukanuntuk evaluasi diagnostik secara terapi, maka prognosis
inkontinensia dapatditentukan. Semua pasien inkontinensia harus
diperhatikan untuk mendapatkanpemeriksaan evaluasi dan terapi.
8. Pathway

Perubahan anatomi Penyakit


ETIOLOGI kronis,immobilisasi,DM
dan fungsi tubuh
,gagal jantung

Neurogenic,berkurangnya kadar estrogen,dan


melemahnya jaringan/otot-otot
Fungsi korteks serebri
panggul,pembesaran kelenjar prostat,kontraksi
otot involunter, kontraksi abnormal di dinding
VU,penurunan hormon

Gangguan aktivitas Tahanan uretra


kolinergik

Kegagalan uretra

Keluar urine tanpa


disadari

Tekanan abdomen Inkontinensia Output berlebih

Pengeluaran urine saat Iritasi kulit


aktivitas

Resiko kerusakan
Tertawa,batuk dan integritas kulit
mengejan G3an psikiatrik Resiko isolasi sosial

Rembesan urine Inkontinensia urinarius


involunter stress
ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PENCERNAAN

INKONTINENSIA URINE

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada
lansia(usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak
menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang.
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan
saatini. Berapakah frekuensi inkontinensianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkontinensia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan
cairan,usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan
denganwaktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih
sebelum terjadi inkontinensia, apakah terjadi ketidak mampuan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu.
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan
atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum.
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon
dari terjadinya inkontinensia.
b. Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi kandung kemih,
pembesaran ginjal, nyeri tekan, tendernes, bising usus.
c. Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi adanya sekret dari meatus, dan keadaan atropi jaringan
vagina.
d. Genetelia laki – laki
Kebersihan, adanya lesi, tenderness, dan adanya pembesaran skrotum.
4. Data penunjang
a. Urinalisis
b. Hematuria.
c. Poliuria
d. Bakteriuria.

5. Pemeriksaan Radiografi
a. IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
b. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi
VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji
PVR(Post Voiding Residual).
6. Kultur Urine
a. Steril.
b. Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
c. Organisme.

B. Diagnosa
1. Inkontinensia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan strukturdasar
penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-otot pelvis, defisiensisfingter uretra
intrinsik.
2. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan olehurine.
3. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.

C. Intervensi
1. Inkontinensia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar
penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-otot pelvis, defisiensi sfingter ureter
intrinsik
Tujuan : Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan
inkontinensia, klien dapat menjelaskan penyebab

Intervensi Rasional

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan 1. Mengetahui perubahan pola


dan gunakan catatan berkemih berkemih.
sehari.
2. Pertahankan catatan harian 2. Mengetahui efektifitas program
untuk mengkaji efektifitas yang direncanakan untuk
program yang direncanakan. merubah pola berkemih.
3. Observasi meatus perkemihan 3. Mengetahui adakah obstruksi
untuk memeriksa kebocoran saat atau kerusakan pada organ kemih.
kandung kemih.
4. Intruksikan klien batuk dalam 4. Mengetahui bagian mana yang
posisi litotomi, jika tidak ada mengalami kebocoran pada organ
kebocoran, ulangi dengan posisi perkemihan.
klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri
jika tidak ada kebocoran yang
lebih dulu.
5. Pantau masukan dan
5. Mengobservasi input dan output
pengeluaran, pastikan klien
urine pasien, dan memaksimalkan
mendapat masukan cairan 2000
input yang harus diberikan/sesuai
ml, kecuali harus dibatasi.
kebutuhan.
6. Ajarkan klien untuk
6. Untuk mengidentifikasi kekuatan
mengidentifikasi otot dinding
otot panggul pasien dan
pelvis dan kekuatannya dengan
meminimalisir terjadinya
latihan
penurunan kekuatan otot.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam
7. Untuk menentukan pengobatan
mengkaji efek medikasi dan
yang tepat diberikan pada pasien
tentukan kemungkinan perubahan
obat, dosis/jadwal pemberian obat
untuk menurunkan frekuensi
inkontinensia

2. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
Tujuan : Jumlah bakteri < 100.000/ml, Kulit periostomal tetap utuh, Suhu 37° C,
Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi Rasional

1. Pantau penampilan kulit 1. Peningkatan berat urine dapat


periostomal setiap 8jam. merusak segel periostomal.
2. Ganti wafer stomehesif setiap 2. Yakinkan kulit bersih dan kering
minggu atau bila bocor terdeteksi. Sebelum memasang wafer yang
Untuk mengidentifikasi kemajuan baru. Potong lubang wafer kira-
atau penyimpangan dari hasil yang kira setengah inci lebih besar dari
diharapkan. diameter stoma untuk menjamin
ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat
sampai setengah penuh.
kebocoran urine. Pemajanan
menetap pada kulit periostomal
terhadap asam urine dapat
menyebabkan kerusakan kulit dan
peningkatan resiko infeksi.

3. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat


mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.

Intervensi Rasional
1. Yakinkan apakah konseling 1. Memberikan informasi tentang tingkat
dilakukan dan atau perlu diversi pengetahuan pasien / orang terdekat
urinaria, diskusikan pada saat tentang situasi individu dan pasien
pertama. menerimanya (contoh; inkontinensia tak
sembuh, infeksi).
2. Dorong pasien / orang terdekat 2. Memberikan kesempatan menerima
untuk mengatakan perasaan. Akui isu/salah konsep. Membantu pasien/
kenormalan perasaan marah, depresi, orang terdekat menyadari bahwa
dan kedudukan karena kehilangan. perasaan yang dialami tidak biasa dan
Diskusikan “peningkatan dan bahwa perasaan bersalah pada mereka
penurunan” tiap hari yang dapat tidak perlu /membantu. Pasien perlu
terjadi setelah pulang. mengenali perasaan sebelum mereka
dapat menerimanya secara efektif.
3. Perhatikan perilaku menarik diri, 3. Dugaan masalah pada penyesuaian
peningkatan ketergantungan, yang memerlukan evaluasi lanjut
manipulasi atau tidak terlibat pada dan terapi lebih efektif. Dapat
asuhan. menunjukkan respon kedukaan.
4. Berikan kesempatan untuk pasien / 4. Meskipun integrasi stoma ke dalam
orang terdekat untuk memandang citra tubuh memerlukan waktu
dan menyentuh stoma, gunakan berbulan-bulan / tahunan, melihat
kesempatan untuk memberikan stoma dan mendengar komentar
tanda positif penyembuhan, (dibuat dengan cara normal, nyata)
penampilan, normal, dsb. dapat membantu pasien dalam
penerimaan ini. Menyentuh stoma
meyakinkan klien/orang terdekat
bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit
gerakan stoma secara nyata
menunjukkan peristaltic normal.
5. Berikan kesempatan pada klien 5. Kemandirian dalam perawatan
untuk menerima keadaannya memperbaiki harga diri.
melalui partisipasi dalam perawatan
diri.
6. Pertahankan pendekatan positif, 6. Membantu pasien/ orang terdekat
selama aktivitas perawatan, menerima perubahan tubuh dan
menghindari ekspresi menghina menerima akan diri sendiri. Marah
atau reaksi mendadak. Jangan paling sering ditunjukkan pada
menerima ekspresi kemarahan situasi dan kurang kontrol terhadap
pasien secara pribadi terhadap apa yang terjadi (tidak
kehilangan bagian /fungsi tubuh terduga),bukan pada pemberi asuhan.
dan kawatir terhadap penerimaan
orang lain, juga rasa takut akan
ketidakmampuan yang akan datang/
kehilangan selanjutnya pada hidup
karena kanker.
7. Rencanakan/jadwalkan aktivitas 7. Meningkatkan rasa kontrol dan
asuhan dengan orang lain. memberikan pesan bahwa pasien
dapat mengatasinya, meningkatkan
harga diri.
8. Diskusikan fungsi seksual dan 8. Pasien mengalami ansietas
implan penis, bila ada dan diantisipasi, takut gagal dalam
alternatif cara pemuasan seksual. hubungan seksual setelah
pembedahan, biasanya karena
pengabaian, kurang pengetahuan.
Pembedahan yang mengangkat
kandung kemih dan prostat (diangkat
dengan kandung kemih) dapat
mengganggu syaraf parasimpatis
yang mengontrol ereksi pria,
meskipun teknik terbaru ada yang
digunakan pada kasus individu untuk
mempertahankan syaraf ini.

D. Evaluasi
1. Menyatakan pemahaman faktor urine mengurangi inkontinensia urine
2. Tidak terdapat tanda – tanda dini kerusakan integritas kulit
3. Mendemontrasikan perubahan perilaku dengan respon adaptif konsep diri

Anda mungkin juga menyukai