Disusun oleh :
M. Fajar. A
11 2016 038
0
BAB I
PENDAHULUAN
Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7
per100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia. Dibagian THT RSUD Dr. Soetomo (selama tahun 2000-2001) poliklinik
onkologi melaporkan penderita baru Karsinoma Nasofaring berjumlah 623 orang,
laki-laki dua kali lebih banyak dibandingakan perempuan.
1
BAB II
Batas:
- Anterior : koana / nares posterior, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
- Posterior : setinggi columna vertebralis C1-2
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Superior : basis crania, diliputi oleh mukosa dan fascia (os occipital & sphenoid)
- Lateral : fossa Rosenmulleri kanan dan kiri (dibentuk os maxillaris & sphenoidalis)
2
Dorsal dari torus tubarius didapati cekungan yang disebut “fossa
Rosenmulleri”, Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior
dari kavum nasi. Yang disebut kanker nasofaring adalah kanker yang terjadi di selaput
lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya
saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring.
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang
konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara
tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan
dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas
posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi
pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga
mengganggu ventilasi udara telinga tengah.
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.
3
Gambar 1 Anatomi nasofaring
Struktur penting yang ada di Nasofaring :
4
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10
tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel
nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa
membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan
terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering
diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk
reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak
yang terdapat pada rongga hidung.
Fungsi nasofaring :
5
- Sebagai jalan udara pada respirasi
- Jalan udara ke tuba eustachii
- Resonator, memodifikasi suara yang dibentuk bekerja sama dengan mulut
- Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
Nasopharing akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak.
KANKER NASOFARING
3.1 DEFINISI
6
Nasofaring adalah bagian dari tenggorokan paling atas, tepatnya di belakang
rongga hidung, berbentuk kubus, bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga
hidung, bagian atas perbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah
merupakan langit-langit dan rongga mulut, di daerah nasofaring terdapat muara
saluran yang menghubungkan tenggorokan dan telinga (Tuba Eustachius) dan adenoid
yaitu jaringan limfoid yang sering membesar pada anak. Beberapa jaringan saraf yang
mengatur fungsi mata dan menelan serta lidah terdapat di sekitar nasofaring,
karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan prediksi di fossa rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia (Efraty & Nurbaiti, 2001)
3.2 EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni
4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di
seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun
1980 secara “pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%)
penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi
anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh
tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 –
2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, Palembang
25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan
dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras
Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.
7
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan
biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union
against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun
1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah
ditemukan banyak temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran
epidemiologi yang unik, dalam daerah yang jelas, ras, serta agregasi family.
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-
3:1 (PARKINdkk.2002) dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti,
mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan
lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan
insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat
sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF
meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya (ZONG dkk.1983).
3.2 ETIOLOGI
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah
mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966,
seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta
titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini
sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali
dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai
8
menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya
virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring
(KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi
lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan
tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yg mencoba menghubungkannya
dengan merokok, secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali
dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009). ditemukan juga bahwa
menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil
dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan
dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah
yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan
gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan
dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina
makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.
9
dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh,
kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga
menimbulkan karsinoma nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :
1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan
mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang
diawetkan di Greenland. Juga pada ”Quadid” yaitu daging kambing yang
dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi (asinan) serta tauco di
Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup.
Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik
ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF.
Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam
menimbulkan KNF.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis
Hidrokarbon dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan
beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia
terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang
perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak
terkena karsinoma nasofaring.
5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan,
mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
3.3 PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel
epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat
10
bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF,
yaitu :
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu
sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B
dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d
(CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan
protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang
berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat
dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan
dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR
(Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr
dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila
terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus
epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga
sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi
antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel
sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan
LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat
siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam
transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam
amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C).
Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor
necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel
B dan menghambat respon imun lokal.
11
Gambar 3 Patogenesis Ca nasofaring
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan
gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen.
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan amerika utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin
dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma
12
nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap
rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor
risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar
fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba
eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil
disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan
infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah
karsinoma sel skuamosa deengan diferensiasi baik.
13
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara
tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur atau polipoid
jarang, dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi
kecil.Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa
diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai
adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin.Tumor
jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh
rongga nasofaring.Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan
tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran
histopatologik berupa limfasarkoma
14
Gambar 5 Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius
Gejala Hidung :
1. Mimisan
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan
dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya
berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh
penjalaran tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding
pembuluh darah daerah ini.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke
dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis,
sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang
menderita radang.
B. Gejala Lanjut :
1. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga
dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe,
15
sebagai pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih
jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh
pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar
dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan
sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher
ini salah didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar.
16
Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang
disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika
ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.
1. Nasal sign :
Pilek lama yang tidak sembuh
Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
merah jambu
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
2. Ear sign :
Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba
oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri.
Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi
tinnitus.
Gangguan pendengaran hantaran
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Eye sign :
Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :
17
Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada
penderita. Gejala ini berupa :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N.
IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus
3.6 DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta
stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi),
atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung
atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi
topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsy.
18
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat
daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui
kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui
mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari
dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral
dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara
epitel berlapis gepeng dan thorax bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumya
dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang dari sudut embriologi,
tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel adalah tempat yang subur untuk
tumbuhnya suatu karsinoma.
19
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe
ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup
jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya
batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu
radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang
direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi 2 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologi
tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor
pada daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.
I. Foto Polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
a) CT Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan
radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik,
20
sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika
perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat
dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran
ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-
kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan CT Scan
dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk
membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang,
dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang
masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah
ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya
destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang
didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160
21
STADIUM KANKER
Tis: Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.
T1: Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-
lain).
T2: Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan.
T3: Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (rongga hidung atau orofaring dsb).
T4: Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak.
N1: Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe
berukuran 6 cm atau lebih kecil.
N3: Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau
tumor telah ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio “segitiga leher”
N3A: Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.
22
M = Metastasis, menggambarkan metastase jauh
23
- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0
24
tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-
tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juenilis
Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak
infiltratif. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang
berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma,
walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanay erosi saja karena
penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding
belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini
kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab
gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan
biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk
pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara C.T. Scan,
pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu mebedakan
kelompok tumor ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjar parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak
agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen
nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring
kearah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul
kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi
atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah
ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak
memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Menigioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang
meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii.
25
Gambaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense
sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah
pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat
membantu diagnosis tumor ini.
3.8 PENATALAKSANAAN
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk
karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Definisi Terapi Radiasi :
26
Sifat Terapi Radiasi
27
- Pengobatan kasus kambuh.
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh.
28
Definisi Kemoterapi
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single
agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan
potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah
satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat
dikurangi sehingga efek samping menurun.
Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell
Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan
dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus
pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).
29
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel
disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel
pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang
tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini
merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada
fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin
(obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah
replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin
(fase G2, M), Vincristine (fase S, M).
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya
klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila
resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang
diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi
leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada
sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi.(5) Nasofaringektomi merupakan suatu
operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya
residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma
nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma
nasofaring dapat diberikan imunoterapi.
Prosedur follow up
tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko
terjadinya rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan
tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5 – 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara
5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah
terapi. Jadwal follow up yang dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup
30
3.9 KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II.yang
memberikan kelainan :
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi
ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah
parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini
menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :
31
3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat
mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %,
sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
3.10 PROGNOSIS
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan
hasil pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat
memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas
hidup pasien yang baik pula. Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun
adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
3.11 PENCEGAHAN
- Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.
- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat
lainnya.
- Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
- Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
- Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.
32
KESIMPULAN
33
Oleh karena itu perlunya meningkatkan kesadaran para dokter serta
memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya
masyarakat mengetahui tanda- tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka harus
pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi (ed).
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK UI,
2011. h. 149-53.
2. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia :
Williams & Wilkins, 2013.p. 323-36.
3. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1.
Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 2014.h.
391-6.
4. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor
telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 71-
84.
5. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego :
University of California. Available at :
http://drdavidson.ucsd.edu/Portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed July 31, 2009.
34
6. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 2011.h.
1-20.
7. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.
Medan: FK USU,2013.h. 1-11.
8. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2011.h. 70-81.
9. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 1989.
10. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi
kombinasi/kemoradioterapi.
11. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2014. p. 1-9.
12. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
13. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2011.h. 9-25.
14. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.
Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.
15. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan
pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2015.h. 16-18.
35