Anda di halaman 1dari 30

Case Report Session

VERTIGO

Oleh :
Harsya Luthfi Anshari
1110313052

Preseptor:
dr. Meiti Frida, Sp.S (K)
dr. Hendra Permana, Sp.S M.Biomed
dr. Lydia Susanti, Sp.S M.Biomed

Periode : 3 Januari 2016 - 4 Februari 2016

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016

1
BAB I
Tinjauan Pustaka

1.1.Definisi

Vertigo adalah perasaan seseorang seperti lingkungan atau tubuhnya yang

berputar yang dapat diakibatkan oleh penyakit telinga bagian dalam atau gangguan

pusat-pusat vestibular atau jaras-jarasnya di dalam sistem saraf pusat.1 Vertigo

adalah perasaan yang abnormal dan mengganggu bahwa seseorang merasa seakan-

akan bergerak terhadap lingkungannya (vertigo subjektif), atau lingkungan seakan-

akan bergerak terhadapnya padahal sebenarnya tidak (vertigo objektif).2

1.2.Anatomi dan Fisiologi Sistem Vestibularis

Keseimbangan terjadi karena kombinasi dari organ visual, vestibuler dan

propioseptif. Informasi diperoleh dari sistem keseimbangan tubuh yang melibatkan

kanalis semisirkuaris sebagai reseptor serta sistem vestibuler dan serebelum sebagai

pengolah informasinya, selain itu fungsi penglihatan dan proprioseptif juga

berperan dalam memberikan informasi rasa sikap dan gerakan anggota tubuh 12

Sistem vestibuler dapat dibagi menjadi lima komponen, yaitu 13:

1. Aparatus reseptor perifer yang berada pada telinga dalam dan bertanggung jawab

untuk menghantarkan informasi berupa gerakan kepala dan posisi pada neuron.

2. Nukleus vestibular sentral yang terdiri dari neuron pada batang otak yang berfungsi

menerima, mengintegrasikan, dan mendistribusikan informasi yang mengontrol

aktivitas motorik seperti gerakan kepala, refleks postural, dan refleks otonom

terkait gravitasi serta orientasi spasial.

2
3. Jaras vestibulookular yang naik dari nukleus dan berfungsi mengontrol pergerakan

mata.

4. Jaras vestibulospinal yang mengkoordinasikan pergerakan kepala, dan refleks

postural.

5. Jaras vestibulo-talamo-kortikal yang bertanggung jawab untuk persepsi gerakan

yang disadari dan orientasi spasial.

Aparatus vestibularis merupakan komponen khusus dalam telinga dalam yang

memberikan informasi tentang sensasi keseimbangan serta koordinasi gerakan-

gerakan kepala, gerakan mata, dan postur tubuh. Bagian vestibular dari membran

labirin terdiri dari 3 kanalis semisirkularis, yaitu anterior, posterior, dan horizontal.

Labirin juga terdiri dari dua struktur otolit yaitu utrikulus dan sakulus yang

mendeteksi akselerasi linier termasuk pengaruh gravitasi. Kupula adalah sensor

gerakan dari kanalis semisirkularis dan diaktivasi oleh aliran endolimf. 3,4,5

1.3.Patofisiologi dan Etiologi

Vertigo timbul bila terdapat gangguan pada alat-alat vestibuler atau pada

serabut-serabut yang menghubungkan nukleus vestibularis dengan pusatnya di

serebelum atau di korteks cerebri. Sebagian besar kasus vertigo dianggap sebagai

ketidakseimbagangan impuls sensorik yang berhubungan dengan pergerakan yang

mencapai otak melalui tiga sistem persepsi yang berbeda, yaitu visual, vestibular,

dan somatosensorik. 2

Gangguan ini dapat ditimbulkan oleh berbagai hal yang dapat dikelompokkan

menjadi :

3
1. Fisiologis , seperti mabuk kendaraan

2. Kelompok penyakit yang menimbulkan gangguan di bagian perifer dari

susunan vestibularis, diantaranya :

- Penyakit-penyakit telinga

- Peradangan, perdarahan, trauma, hydrops, gangguan sirkulasi darah.

- Neuronitis vestibularis

- Vertigo posisional benigna

- Penyakit meniere 2

3. Kelompok penyakit yang menimbulkan gangguan di bagian sentral dari

susunan vestibularis, antara lain :

- Encephalitis

- Multiple sklerosis

- Trauma kapitis

- Neoplasma

- Migren basiler

- Gangguan di serebelum

- Epilepsi

- Stroke batang otak atau TIA di daerah arteri vertebro basilaris

- Spondilitis servikalis, dan lain-lain. 6

4. Kelompok penyakit sistemik yang menimbulkan gangguan di bagian perifer

atau sentral, seperti Diabetes Mellitus, hipoglikemi, anemia, hipotensi

postural, dan lain-lain.

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan

tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya

4
dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang

berusaha menerangkan kejadian tersebut13 :

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation) yaitu teori ini berdasarkan

asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemia kanalis

semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo,

nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorik yaitu menurut teori ini terjadi ketidakcocokan

masukan sensorik yang berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu

mata/visus, vestibulum dan proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri

masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut

menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat

berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan

vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi kortikal).

Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan

proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch yaitu teori ini merupakan pengembangan teori

konflik sensorik, menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola

gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak

sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf

otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi

mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik yaitu teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf

otonom sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika

5
sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai

berperan.

5. Teori neurohumoral yaitu di antaranya teori histamin (Takeda), teori

dopamin (Kohl) dan teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan

peranan neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang

menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

6. Teori sinap yaitu merupakan pengembangan teori sebelumnya yang

meninjau peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang

terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan

menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),

peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik

yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas

sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering

timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis,

yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa

saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

1.4.Gejala Klinis

Keluhan dari pasien dapat berupa rasa berputar, atau tempat di sekitarnya

bergerak atau perasaan bahwa mereka mengelilingi sekitarnya dan tidak dapat

menentukan tempatnya. Beberapa orang menggambarkan perasaan tertarik ke arah

lantai atau ke arah satu sisi ruangan, sukar untuk memfokuskan penglihatan dan

merasa tidak enak untuk membuka mata selama serangan. Disertai pula dengan

mual muntah, keringatan dan dada berdebar-debar.3

6
Gejala vertigo dapat dibedakan kelainannya antara perifer atau sentral,

seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini.3,7,8

Tabel 1. Perbedaan vertigo tipe perifer dengan sentral


Gejala Perifer Sentral
Onset Mendadak Perlahan
Beratnya keluhan Gejala hebat, episodik Gejala ringan, kontinu
Durasi dan Gejala Beberapa menit sampai jam Kronik
Sifat vertigo Rasa berputar Rasa melayang, hilang
keseimbangan, light headed
Menutup mata Meringankan gejala Memperberat gejala
Perubahan posisi Mempengaruhi gejala Tidak mempengaruhi
kepala
Nistagmus (+) satu arah (dengan fase Kadang-kadang dua arah
cepat atau lambat) (bidirectional)
Fiksasi visual Dihambat oleh nistagmus Tidak ada hambatan
dan vertigo
Arah post pointing Ke arah fase lambat Berubah-ubah
Arah jatuh pada Ke arah fase lambat Berubah-ubah
Romberg test
Gangguan lain Tuli, tinitus, mual, muntah Jarang
Fase laten Mempunyai fase laten 2-30 Tidak mempunyai fase laten
detik

1.5.Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis merupakan bagian pemeriksaan yang paling penting untuk

penderita vertigo, oleh sebab itu diperlukan anamnesis yang cermat dan banyak

memerlukan waktu.6,9

 Penderita diminta melukiskan dengan kata-kata sendiri apa yang

dimaksudnya dengan pusing

 Anamnesis khusus dengan vertigonya

o Adakah kekhususan sifat vertigo yang timbul, keparahan vertigonya

o Intensitas timbulnya vertigo berkaitan dengan perjalanan waktu

o Bagaimana timbul dan bagaimana berakhirnya

7
o Pengaruh lingkungan atau situasi

o Keluhan lain seperti telinga berdenging, mual, muntah dll

 Anamnesis untuk keluhan-keluhan lain (drop attack, gangguan penglihatan,

disatria, disfonia, gangguan pergerakan atau sensibilitas) bilamana keluhan

ini ada dan bersamaan dengan penurunan kesadaran maka perlu dicurigai

kelainan serebrovaskuler.

 Anamnesis intoksikasi/pemakaian obat-obatan, sepeti streptomisin, anti

konvulsan, gentamisin, anti hipertensi, kanamisin, penenang, neomisin,

alkohol, fenilbutazol, kinin, asam eta-akrinik, tembakau.

2. Pemeriksaan Fisik 2,6,10

Pemeriksaan mata perlu dilakukan pada kondisi mata bergerak dan dalam

posisi netral.

1. Mencari adanya strabismus dan/atau diplopia

2. Mencari adanya nistagmus

Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa gerakan bola

mata. Waktu memeriksa gerak bola mata, harus diperhatikan terlihat ada

nistagmus atau tidak. Nistagmus ialah gerak bolak balik bola mata yang

involunter dan ritmik. Untuk maksud ini penderita disuruh melirik terus ke

satu arah (misalnya ke kanan, ke kiri, ke atas, bawah) selama jangka waktu

5 sampai 6 detik. Jika ada nistagmus hal ini akan terlihat dalam jangka

waktu tersebut. Akan tetapi, mata jangan terlalu jauh dilirikkan, sebab hal

demikian dapat menimbulkan nistagmus pada orang yang normal (end

position nystagmus; nistagmus posisi ujung).

8
Bila dijumpai nistagmus harus diperiksa:

a. Jenis gerakannya

- Nistagmus pendular : nistagmus yang tidak memiliki fase cepat

dan lambat.

- Nistagmus vertikal yang murni : nistagmus yang geraknya ke atas

dan ke bawah

- Nistagmus rotarorri yang murni : nistagmus yang geraknya

berputar

- Gerakan nistagmoid : gerakan bola mata yang bukan nistagmus

sebenarnya

- Nistagmus tatapan yang murni : nistagmus yang berubah arahnya

bila arah lirik mata berubah.

b. Bidang gerakannya: horizontal, ventrikal, rotatoar, atau campuran

c. Frekuensinya (cepat atau lambat)

d. Amplitudonya (besar atau kecil, kasar atau halus)

e. Arah gerakannya yaitu arah komponen cepatnya. Bila dikatakan

nistagmus horizontal kanan, ini berarti komponen cepatnya ialah

horizontal kanan. Sebetulnya lesi berada di arah komponen

lambatnya, karena komponen lambat inilah yang esensial pada

nistagmus: timbulnya nistagmus ialah karena lemahnya mata untuk

mengadakan deviation conjuge yang volunter.

f. Derajatnya

- Derajat 1 : nistagmus timbul bila melirik ke arah komponen

cepat

9
- Derajat II : juga ada bila melihat ke depan

- Derajat III : juga ada abila melirik ke arah komponen lambat.

g. Lamanya : apakah menetap (permanen), atau berlalu (menghilang

setelah beberapa waktu, hari, atau minggu)

Selain itu perlu pula diselidiki hal berikut:

a. Nistagmus fisiologis atau patologis.

b. Kongenital atau didapat

c. Vestibular (Perifer, yaitu kelinannya pada labirin, NVIII) atau

sentral.

d. Apakah ada nistagmus sikap. Nistagmus sikap (nistagmus posisi)

ialah nistagmus yang terjadi atau bertambah hebat pada posisi

kepala tertentu.

 Pemeriksaan nistagmus dengan tes elektronistagmografi

Pemeriksaan dengan alat ini diberikan stimulus kalori ke liang telinga

dan lamanya serta cepatnya nistagmus timbul dapat dicatat pada kertas,

menggunakan teknik yang mirip dengan elektrokardiografi.

3. Manuver Dix Hallpike atau Nylen-Barany

Pada tes ini pasien disusruh duduk di tempat tidur periksa.

Kemudian ia direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan

sudut sekitar 30 derajat di bawah horizontal. Selanjutnya kepala ditolehkan

kekiri. Tes kemudian diulangi dengan kepala melihat lurus dan diulangi lagi

dengan kepala menoleh ke kanan. Penderita disuruh tetap membuka

matanya agar nistagmus agar pemeriksa dapat melihat munculnya

nistagmus. Perhatikan kapan nistagmus muncul, berapa lama

10
berlangsungnya, serta jenis nistagmusnya. Kemudian kepada penderita

ditanyakan apa yang dirasakannya. Apakah ada vertigo dan apakah vertigo

yang dialami pada tes ini serupa pada vertigo yang pernah dialaminya.

Pada lesi perifer, vertigo lebih berat dan didapakan masa laten

selama sekitar 2-30 detik yang dimaksud dengan masa laten adalah

nistagmus tidak segera timbul begitu kepala mengambil posisi yang kita

berikan, nistagmus baru muncul setelah beberapa detik berlalu, yaitu sekitar

2-30 detik. Pada lesi perifer vertigo biasanya berat, lebih berat dari pada

sentral. Pada lesi perifer nistagmus akan capai, maksudnya setelah beberapa

saat nistagmus akan berkurang dan kemudian berhenti, walaupun kepala

masih tetap dalam posisinya. Selain itu, pada lesi perifer, jika manuver ini

diulang-ulang, jawaban nistagmus akan berkurang dan kemudian tidak

muncul lagi. Hal ini disebut habituasi. Pada lesi vestibular sentral tidak

didapatkan masa laten. Nistagmus segera muncul, nistagmus tidak

berkurang atau mereda, tidak menjadi capai dan nistagmus akan tetap

muncul bila manuver ini diulang-ulang (tidak ada habituasi).

4. Pemeriksaan Keseimbangan

- Tes Romberg

Penderita diminta berdiri dengan kedua tumit saling merapat.

Pertama kali dengan mata terbuka kemudian penderita diminta

menutup mata. Pemeriksa menjaga jangan sampai penderita jatuh

tanpa menyentuh penderita. Hasil positif didapatkan apabila

penderita jatuh pada satu sisi.

- Tes romberg dipertajam

11
Pada tes ini penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki

lainnya, tumit kaki yang satu berada di depan jari-jari kaki yang

lainnya. Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Tes

ini berguna menilai adanya disfungsi sistem vestibular. Orang yang

normal mampu berdiri dalam sikap ini selama 30 detik atau lebih.

- Tes melangkah di tempat (stepping test)

Penderita disuruh berjalan di tempat, dengan mata ditutup, sebanyak

50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa. Sebelumnya

dikatakan kepadanya bahwa dia harus berusaha agar tetap di tempat

dan tidak beranjak dari tempatnya selama tes ini. Tes ini dapat

mendeteksi gangguan vestibular. Hasil tes ini dianggap abnormal

bila kedudukan akhir penderita beranjak lebih dari 1 meter dari

tempat semula atau badan terputar lebih dari 30 derajat.

- Tes tandem gait

Penderita diminta berjalan pada satu garis lurus diatas lantai, dengan

cara menempatkan satu tumit langsung di depan ujung jari kaki

berlawanan, baik dengan mata terbuka atau tertutup.

- Tes past pointing

Penderita disuruh merentangkan lengannya dengan telunjuknya

menyentuh telunjuk pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup mata,

mengangkat lengannya tinggi-tinggi (sampai vertikel) dan kemudian

kembali ke posisi semula. Pada ganggua vestibular didapatkan salah

tunjuk (deviasi), demikian juga dengan gangguan serebelar. Tes ini

dilakukan dengan lengan kanan dan lengan kiri, selain penderita

12
disuruh mengangkat lengannya tinggi-tinggi, dapat pula dilakukan

dengan menurunkan lengan ke bawah sampai vertikal dan kemudian

ke posisi semula.

5. Tes Koordinasi10

1) Finger to finger test.


Penderita disuruh merentangkan kedua lengannya ke sambil
menutup mata. Ia kemudian disuruh mempertahankan jari-jarinya di
tengah depan. Lengan di sisi lesi akan ketinggalan dalam gerakan
ini, dan mengkibatkan jari sisi yang sehat melampaui garis tengah
2) Finger to nose test.
Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya ke
depan, kemudian ia disuruh menyentuh hidungnya dengan telunjuk.
Pada lesi serebelar telunjuk tidak sampai di hidung tetapi
melewatinya sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung terlihat
tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh menunjuk telunjuk
pemeriksa, kemudian menunjuk hidungnya, berulang-ulang

Gambar 2.7.Finger to nose test


3) Supination – pronation test.
Pasien disuruh melakukan gerakan berlawanan secara terus
menerus dan berturut-turut. Pasien berada dalam keadaan duduk lalu
suruh pasien merentangkan tangan kedepan. Kemudian instruksikan

13
pasien untuk melakukan gerakan supinasi dilanjutkan pronasi secara
berulang-ulang. Pada sisi lesi, gerakan ini dilakukan lamban dan
tidak tangkas

Gambar 2.8.Supination-pronation test (Lumbantobing. 2012).


4) Heel to knee test.
Pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan, kemudian ia
disuruh menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain. Tumit ini
tidak tepat mengenai lutut. Terlihat pasien mengadakan fleksi lutut
yang berlebihan sehingga tumit melampaui lutut dan sampai di paha

Gambar 2.9.Heel to knee test (Lumbantobing. 2012).


F. Pengobatan 6,9

1. Medikamentosa

14
Umumnya merupakan pengobatan simptomatis. Beberapa obat yang dapat

diberikan antara lain sebagai berikut :

1. antikolinergik/parasimpatolitik

2. antihistamin

3. penenang minor dan mayor

4. simpatomimetik

5. vasodilator

Pengobatan vertigo :

 Terapi kausal : merupakan pengobatan terbaik yaitu sesuai dengan etiologi

– Pengobatan terhadap kelainan susunan saraf pusat seperti iskemia,

hipotensi, infeksi, trauma kepala, tumor, migren

– Pengobatan kelainan sistem vaskuler perifer seperti kelainan telinga

tengah/dalam

 Terapi simptomatik (medika mentosa) ditujukan kepada 2 gejala

a. rasa vertigo, mutar melayang

b. gejala otonom (mual, muntah)

Pemilihan obat: sesuai efek obat, berat dan fase vertigo

Golongan obat :

a. Menekan irritabilitas vestibular

- Anti histamin: dimenhidrinat (dramamin)

- Prometazine (phenergan)

- Sinarizin (vertizin, stugoron)

- Benzodiazepin

- Beta blocker : carvedilol

15
- Ca entry blocker (flunarizine)

b. Memperbaiki aliran darah ke labirin dan batang otak (meningkatkan

oksigenasi)

- Histaminik : betahistin maleat

Mekanisme betahistin yang pertama secara langsung menstimulasi

reseptor H1 di pembuluh darah pada telinga bagian dalam sehingga terjadi

vasodilatasi local dan kenaikan permeabilitas dengan demikian

menghilangkan endolymphatic hydrops.. Mekanisme betahistin yang kedua

yaitu antagonist histamine pada reseptor histamine 3 (AH3). Reseptor H3

berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai system organ.

Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan pada berbagai daerah di otak

mengurangi pelepasan transmitter baik histamine maupun norepinefrin,

serotonin, dan asetilkolin. AH3 menghambat histamine dengan cara

meningkatkan neurotransmitter seperti norepinefrin, serotonin, dan

asetilkolin dari ujung-ujung serabut saraf. Mekanisme ini yang

menyebabkan terjadi efek vasodilatasi yang lebih kuat pada betahistin di

telinga bagian dalam sehingga mengakibatkan pelebaran spinchter

prekapiler sehingga meningkatkan aliran darah pada telinga bagian dalam.

Dosis Obat: Dewasa 1-2 tab 3x/hari, berikan sesudah makan Maksimal 15

tab/kasus.

Bentuk Sediaan Obat : Tablet, 6 mg, 14

- Ca entry blocker (flunarizine)

16
Flunarizin (antagonis kalsium). Cara kerjanya diduga daerah

vestibular di dalam sel rambut banyak mengandung celah kalsium. Dan

influk yang terus menerus dari kalsium menyebabkan timbulnya vertigo.

Dengan kerja antagonis kalsium yang menghambat masuknya kalsium akan

menyebabkan rangsangan semakin menurun kemudian menghilang. (

Ca entry bloker ( mengurangi aktivitas eksitatory SSP dengan menekan

pelepasan glutamat, menekan aktivitas NMDA spesial channel, bekerja

langsung sebagai depresor labirin). Flunarizin (sibelium 3x 5-10 mg/hr).

c. Mengatasi mual, muntah

 Fenotiazine (proklorperazin, stemetil)

2. Fisioterapi

Bertujuan untuk mempercepat tumbuhnya mekanisme kompensasi/ adaptasi

atau habituasi sistem vestibuler yang mengalami gangguan tersebut.

Tatalaksana untuk masing-masing vertigo berdasarkan penyebabnya yaitu:

a. Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)

1) Canalith Repositioning Treatment (CRT)

CRT merupakan terapi standar untuk BPPV. Terapi ini adalah terapi non

invasif dan dapat dilakukan diluar rumah sakit. CRT dapat dilakukan

dengan cara Epley maneuver seperti yang ada di gambar 2.12. Tujuan

dilakukannya terapi ini adalah untuk mengembalikan otolit yang terlepas

dari utrikulus itu kembali ke tempat semula. Terapi ini lebih efektif jika

dilanjutkan dengan Latihan Brand-Daroff .

17
2) Latihan Brand-Daroff

Latihan fisik untuk kepala dan leher yang bisa dikerjakan di rumah.

Tujuannya untuk melakukan habituasi terhadap sistem vestibuler sentral.

Pasien diminta untuk bergerak dengan cepat dari posisi duduk ke

posisi berbaring pada sisi yang mencetuskan vertigo (kepala pasien menoleh

ke sisi kontralateral sejauh 45 derajat) selama minimal 30 detik. Bila timbul

vertigo, pasien tetap dalam posisi tersebut hingga vertigo hilang.

Selanjutnya pasien kembali ke posisi duduk dengan cepat dan tetap dalam

posisi duduk selama 30 detik. Setelah itu pasien berbaring ke sisi

kontralateral dengan kepala menoleh menjauhi sisi tersebut selama 30 detik

dilanjutkan dengan kembali ke posisi duduk selama 30 detik. Pasien diminta

untuk kontrol satu minggu kemudian. Pada saat kontrol dilakukan uji Dix-

Hallpike dan dilakukan perekaman ulang dengan menggunakan kamera

video inframerah. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap perbedaan

gambaran nistagmus12.

Gambar 2.13. Latihan Brand-Daroff

18
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN :

Nama/No. RM : Tn. A / 849877

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 62 tahun

Suku bangsa : Minangkabau

Alamat : Padang

Pekerjaan : Wiraswasta

Autoanamnesis :

Seorang pasien, Tn. A, Laki-laki, umur 62 tahun datang ke IGD RSUP Dr.

M. Djamil Padang pada tanggal 10 Januari 2016 dengan:

Keluhan Utama :

Pusing berputar

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Pusing berputar sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pusing dirasakan

tiba-tiba saat pasien sedang beraktifitas. Keluhan dirasakan hilang timbul

dengan lama serangan ± 1 menit. Keluhan disertai gangguan mual, muntah

dan keringat dingin. Pusing dirasakan seperti lingkungan sekitar berputar.

Keluhan dirasakan bertambah berat dengan aktifitas dan perubahan posisi

kepala saat berbaring ke kiri. Pusing berkurang jika pasien menutup mata

dan dengan aktifitas sehingga pasien lebih banyak berbaring ke kanan dan

menutup mata.

 Telinga berdenging tidak ada

19
 Muntah ada, frekuensi 1 kali, berisi makanan yang dimakan

 Kelemahan anggota gerak tidak ada

 Kejang tidak ada

 Pandangan ganda tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Pasien tidak pernah mengalami pusing seperti ini sebelumnya

 Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, tidak terkontrol dengan

tekanan darah tertinggi yaitu 200 mmHg

 Riwayat sakit jantung, sakit gula dan stroke sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini

Riwayat Pribadi dan Sosial :

 Pasien seorang wiraswasta dengan aktifitas sedang

PEMERIKSAAN FISIK

I. Umum

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : komposmentis kooperatif. GCS 15 (E4 M6 V5)

Nadi/ irama : 79x/menit, teratur

Pernafasan : 36x/menit

Tekanan darah : 140/90 mmHg

Suhu : 36,7oC

II. Status Internus

20
Kulit : turgor kulit baik, tidak ditemukan adanya kelainan

Kelenjar getah bening

Leher : tidak teraba pembesaran KGB

Aksila : tidak teraba pembesaran KGB

Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : pupil bulat isokor dengan diameter 3mm/3mm, reflek cahaya

+/+, reflek kornea +/+, bola mata dapat bergerak ke segala arah

Telinga : reflek okuloauditorik (+)

Hidung : deviasi septum (-), gangguan penciuman (-)

Tenggorok : reflek muntah (+)

Gigi dan Mulut : ekspresi wajah simetris, plicanasolabialis simetris kanan dan kiri

Leher : JVP 5-2 cmH2O

Paru :

Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan keadaan statis dan dinamis

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/- di apeks, wheezing -/-

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : irama murni, teratur, bising (-)

21
Abdomen

Inspeksi : tidak membuncit

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) N

Korpus vertebrae

Inspeksi : deformitas (-)

Palpasi : gibus (-)

Alat kelamin : tidak diperiksa

III. Status Neurologikus

1. Tanda rangsangan selaput otak

 Kaku kuduk : (-)

 Brudzinsky I : (-)

 Brudzinsky II : (-)

 Tanda Kernig : (-)

 Tanda Lasegue : (-)

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial

 Pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

 Muntah proyektil tidak ada

3. Pemeriksaan nervus kranialis

 Nervus I : penciuman baik

 Nervus II : penglihatan baik

22
 Nervus III, IV,VI : ptosis (-), pupil isokor diameter 3mm/3mm, reflek

cahaya (+), orthoposisi, bola mata dapat bergerak ke segala arah

 Nervus V : tidak ada kelainan

 Nervus VII : plica nasolabialis simetris

 Nervus VIII : nistagmus (-), pengaruh posisi kepala (+), tes penala

tidak dilakukan

 Nervus IX : reflek muntah (+)

 Nervus X : arkus faring simetris, uvula di tengah

 Nervus XI : tidak ada kelainan

 Nervus XII : tidak ada kelainan

4. Koordinasi dan Keseimbangan

 Telunjuk – telunjuk : tidak terganggu

 Telunjuk – hidung : tidak terganggu

 Supinasi – pronasi : tidak terganggu

 Knee to heel : tidak terganggu

 Romberg test : sulit dilakukan

 Romberg test dipertajam : sulit dilakukan

 Stepping test : sulit dilakukan

 Tandem gait test : sulit dilakukan

5. Motorik

Gerakan : aktif pada ke empat anggota gerak

23
Kekuatan :

555 555

555 555

Tonus : eutonus

Tropi : eutrofi

6. Sensorik

Nyeri : baik

Sensibilitas : baik

7. Fungsi otonom

Miksi : neurogenic bladder (-)

Defekasi : baik

Sekresi keringat : ada

8. Refleks

Reflek Fisiologis

Biseps : ++/++

Triseps : ++/++

KPR : ++/++

APR : ++/++

Reflek Patologis

Babinsky : -/-

Chaddok : -/-

Oppenheim : -/-

Schaefer : -/-

24
Gordon : -/-

Hoffman trommer : -/-

9. Fungsi luhur : tidak ada kelainan

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah :

Rutin : Hb : 16,1 gr/dl

Leukosit : 9.000/mm3

Trombosit : 213.000/mm3

Hematokrit : 50%

Kimia darah : Ureum : 33 mg/dl

Kreatinin : 1,3 mg/dl

Natrium : 138

K : 4,5

Cl : 107

RENCANA PEMERIKSAAN TAMBAHAN

 Dix Hallpike test

DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : BPPV

Dianosis Topik : Apparatus vestibularis kiri

Diagnosis Etiologi : Idiopatik

Diagnosis Sekunder : Hipertensi stg 1

25
DIAGNOSIS BANDING

 Vertigo sentral

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

TERAPI

- Umum : Diet MB

IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf

MB RG II

- Khusus : Betahistin mesilat 2 x 12 mg

Flunarizin 2 x 5 mg

Domperidon tab 3x10 mg

Epley Manuver

26
BAB 3

DISKUSI

Seorang pasien, Tn. A, Laki-laki, umur 62 tahun datang ke IGD RSUP Dr.

M. Djamil Padang pada tanggal 10 Januari 2016 dengan diagnosis klinik pada saat

pasien masuk adalah BPPV. Diagnosis topik adalah apparatus vestibularis kiri

dengan diagnosis etiologi idiopatik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluhkan using

berputar sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Pusing dirasakan tiba-tiba saat

pasien sedang beraktifitas. Keluhan dirasakan hilang timbul dengan lama serangan

± 1 menit. Keluhan disertai gangguan mual, muntah dan keringat dingin. Muntah

dengan frekuensi 1 kali, berisi makanan yang dimakan. Pusing dirasakan seperti

lingkungan sekitar berputar. Keluhan dirasakan bertambah berat dengan aktifitas

dan perubahan posisi kepala saat berbaring ke kiri. Pusing berkurang jika pasien

menutup mata dan dengan aktifitas sehingga pasien lebih banyak berbaring ke

kanan dan menutup mata. Keluhan telinga berdenging tidak ada, kelemahan

anggota gerak tidak ada, kejang tidak ada dan pandangan ganda tidak ada.

Pasien tidak pernah mengalami pusing seperti ini sebelumnya. Riwayat

menderita hipertensi sejak 10 tahun yang lalu tidak terkontrol dengan tekanan darah

tertinggi yaitu 200 mmHg. Riwayat sakit jantung, sakit gula dan stroke sebelumnya

disangkal. Anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.

Pasien seorang wiraswasta dengan aktivitas fisik sedang.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien sakit sedang dengan

kesadaran komposmentis kooperatif, GCS 15 (E4M6V5) dan tanda-tanda vital

27
dalam batas normal. Cor dan pulmo dalam batas normal. Pada status neurologikus

tidak ada tanda rangsangan meningeal dan tidak ada tanda-tanda peningkatan

tekanan intrakranial. Pupil isokhor Ø 3mm/3mm, reflek cahaya +/+, dan bola mata

dapat bergerak ke segala arah. Plica nasolabialis simetris. Nistagmus tidak ada,

tetapi didapatkan adanya pengaruh posisi kepala terhadap timbulnya keluhan.

Reflek muntah ada, motorik dan sensorik normal, serta reflek fisiologis dan reflek

patologi tidak ada kelainan.

Pada pasien ini dianjurkan untuk melakukan hallpike test untuk memastikan

kelainan yang terjadi. Hallpike test digunakan untuk membantu diagnosis penyakit

dan membedakan antar lesi perifer dan lesi sentral yang mungkin terjadi pada

pasien dengan keluhan pusing berputar. Untuk membedakan lesi perifer dan lesi

sentral dapat dilihat dengan nistagmus yang terjadi. Pada lesi perifer terdapat fase

laten dan fase habitual ketika terjadi nistagmus, amplitudo nistagmus komponen

cepat dan lambat seimbang, dan arah biasanya horizontal, sedangkan pada lesi

sentral biasnya lesi terdapat pada amplitudo komponen lambat dan arah

bidireksional atau rotatoar.

Penatalaksanaan pada pasien ini secara umum adalah infus NaCl 0,9% 12

jam/kolf dan secara khusus dapat diberikan terapi vertigo, yaitu betahistin mesilat 2

x 12 mg dan flunarizin 2 x 5 mg dan pasien juga diberikan Domperidon tab 3x10

mg untuk keluhan mual dan muntahnya. Betahistin mesilat merupakan suatu analog

histamin yang dapat meningkatkan sirkulasi di telinga dalam sehingga dapat

mengatasi gejala vertigo. Flunarizin merupakan suatu golongan antagonis kalsium

yang bersifat supresan vestibular (sel rambut vestibular banyak mengandung

terowongan kalsium), bersifat antikolinergik dan antihistamin. Domperidone

28
merupakan antagonis dopamin yang mempunyai efek antiemetik (anti muntah).

Pada pasien juga dilakukan Canalith Repositioning Procedure (CRP) dengan

manuver Epley. CRP menyebabkan pergerakan canalit dari daerah di mana dapat

menyebabkan gejala (yaitu, saluran setengah lingkaran dalam ruang cairan telinga

dalam) ke daerah telinga bagian dalam dimana canalit tidak menyebabkan gejala

(yaitu, ruang depan). Prognosis pada pasien baik.

29
Daftar Pustaka

1. Dorland, W. A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

2. Baehr, M, M. Frotscher. 2012. Diagnosis Topik Neurologi Duus, Anatomi,


Fisiologi, Tanda, dan Gejala. Jakarta: EGC.

3. Terry, D. 2009. Benign Paroxismal Posistional Vertigo, Semin Neural.

4. Breven, M, Radtke A, Lesius F et al. 2007. Epidemiology of BPPV; a


population based study, J. Neurol Neurosurgery Psychiatry. P710-715.

5. Solomon D, 2000. BPPV, current treatment option in Neurology. P417-423.

6. Marill, A Keith. 2013. Central Vertigo. diakses dari www.medscape.com pada


tanggal 22 Jan 2016.

7. Bhattachanyya, N, Reginald F, Baugh et al. 2008. Clinical practice guideline,


BPPV, Otolaryngology head and Neck Surgery, s47-s81.

8. Barton, J. 2012. BPPV, literature review current through. 20. 3: Jan 2012.

9. Li, C John. 2013. Benign Paroxismal Posistional Vertigo. diakses dari


www.medscape.com pada tanggal 14 Nov 2015.

10. Lumbantobing. 2011. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta
:Balai Penerbit FKUI.

11. Maslovara, Sinisa, Silva Butkovic, et al, 2012. Benign Paroxysmal Posistional
Vertigo: Influence of Pharmacotheraphy and Rehabilitation theraphy on
patient’s recovery rate and life quality. Diakses dari :
iospress.metapress.com/content/1174483rvn08q26t/ pada tanggal 14 Nov 2015.

12. Wreksoatmodjo, B. R. 2009. Vertigo : Aspek neurologi. Cermin Dunia


Kedokteran No. 144. Diakses pada 6 September 2015.

13. Gilman, S., William J., Hadi,l M., Sean, C., Neil D., Neil K.. 2010. Oxford
Medical Handbook of Neurology. Oxford : Oxford University Press.

14. Dzadziola, J.K., Laurikainen, E., Rachel, J.D. 1999. Betahistine increase
vestibular blood flow. Science Direct. Vol 120 pages 400-405. Diakses dari
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0194599899702834

30

Anda mungkin juga menyukai