Anda di halaman 1dari 74

PENUNTUN

KETERAMPILAN KLINIK 6
TAHUN AKADEMIK
2016/2017

JUDUL KETERAMPILAN KLINIK 6:

SERI KETERAMPILAN KOMUNIKASI:


ANAMNESIS PEDIATRIK (ALLOANAMNESIS)

SERI KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK:

PEMERIKSAAN ORTHOPEDI UMUM DAN REGIONAL


PEMERIKSAAN PADA SISTEM INDRA KHUSUS (MATA)
PEMERIKSAAN PADA SISTEM INDRA KHUSUS (KULIT)
PEMERIKSAAN PADA SISTEM INDRA KHUSUS (THT)
PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF PADA BAYI
PEMERIKSAAN FISIK BAYI BARU LAHIR

II. SERI KETERAMPILAN PROSEDURAL:

STABILITAS FRAKTUR, DRESSING DAN REMOVAL OF SPLINTER


KETERAMPILAN MEMBACA X-RAY TULANG TENGKORAK DAN TULANG
BELAKANG
MENGOBATI ULKUS TUNGKAI
TATALAKSANA MALNUTRISI AKUT BERAT/GIZI BURUK AKUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH


Jl H. MEUNASAH UTEUN KOT CUNDA, LHOKSEUMAWE – ACEH
Telp/ Fax: +62645 40549. Email: info@pspd.unimal.ac.id

3
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE

Tim Penyusun Buku Panduan


Keterampilan Klinik 6

Ketua : dr. Mauliza, M.Ked(Ped), Sp.A


Wakil Ketua : dr. Adi Rizka, Sp.B
Anggota : dr. Nora Maulina, M.Biomed
dr. Juwita Sahputri

4
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segenap puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT
atas tersusunnya Buku Panduan Keterampilan Klinik 6 untuk instruktur dan mahasiswa tahun
akademik 2016/2017. Panduan ini digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan
keterampilan klinik 6 sesuai dengan jadwal yang telah diatur. Panduan KK 6 ini terdiri dari
11 judul keterampilan yang tersebar dalam seri keterampilan komunikasi, keterampilan
pemeriksaan fisik, dan seri keterampilan prosedural.
Terima kasih, kami sampaikan kepada tim penyusun dan editor yang telah menyusun buku
panduan ini. Kami menyadari bahwa panduan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Lhokseumawe, Februari 2017

Tim penyusun

4
DAFTAR ISI

Halaman Depan i
Judul Keterampilan Klinik 6 ii
Daftar Tim Penyusun Panduan Keterampilan Klinik 6 iii
Kata Pengantar iv
Daftar Isi v
Pemeriksaan orthopedi umum dan regional 18
Stabilitas fraktur, dressing dan removal of splinter 31
Keterampilan membaca x-ray tulang tengkorak dan tulang belakang 36
Mengobati ulkus tungkai 44
Pemeriksaan pada sistem indra khusus (mata)
Pemeriksaan pada sistem indra khusus (kulit)
Pemeriksaan pada sistem indra khusus (tht)
Pemeriksaan refleks primitif pada bayi
Pemeriksaan fisik bayi baru lahir
Anamnesis Pediatrik (Alloanamnesis)
Tatalaksana Malnutrisi Akut Berat/Gizi Buruk Akut

5
Seri Ketrampilan Pemeriksaan Fisik
PEMERIKSAAN ORTHOPEDI UMUM DAN REGIONAL

TUJUAN UMUM
Mahasiswa mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan orthopedi umum dan regional

II. TUJUAN KHUSUS

I. Kemampuan melakukan anamnesa untuk mendapatkan kelainan orthopaedi


Mengetahui tiga keluhan utama (nyeri, disfungsi, dan deformitas) pada kelainan
orthopedi.
Dapat mendeskripsikan keluhan nyeri
Dapat mendeskripsikan keluhan disfungsi muskuloskeletal
Dapat mendeskripsikan tentang deformitas muskuloskeletal
Mampu melakukan anamnesa tentang riwayat penyakit sekarang pada kelainan
orthopaedi.
Mampu menanyakan kesadarn penderita waktu mengemukakan keluhan utama
Mampu menanyakan urutan kronologis kelainan yang sesuai dengan keluhan utama
Mampu menanyakan penyakit – penyakit lain yang menyertai keluhan utama
Mampu menyusun riwayat penyakit sekarang sesuai waktu keluhan
Mampu melakukan anamnesa tentang riwayat penyakit dahulu yang dapat menunjang
keluhan utama.
Menanyakan riwayat penyakit famili yang berhubungan dengan keluhan utama
Mampu menanyakan tentang hubungan kelainan dengan riwayat kelahiran, penyakit
sebelumnya, kebiasaan penderita seperti perokok, alkoholik, riwayat menstruasi,
menopause, dan lain - lainnya

II. Dapat melakukan pemeriksaan fisik umum dan lokal kelainan orthopedi
Dapat melakukan inspeksi terhadap keadaan umum, bentuk dan penampilan, cara
berjalan dan bentuk badan penderita
Mengenal keadaan umum penderita apakah kelihatan sakit sedang atau berat
Melakukan inspeksi postur dan penampilan tubuh penderita apakah
pendek, bungkuk, simetris tubuh kiri dan kanan mulai dari anggota atas,
bawah, bahu dan panggul dan punggung

6
Dapat melakukan inspeksi terhadap cara berjalan penderita baik normal atau tidak
normal (gait analyzed)
Dapat melakukan pemeriksaan postur penderita
Dapat membedakan kelainan pada kulit seperti warna, gangguan sirkulasi, scar, callus ,
eczeme dan naevus.
Dapat menjelaskan alat-alat penyangga kelainan orthopaedi yang sering dipergunakan
penderita seperti korset, crutch, prostesis dan lain-lainnya.
Mampu melakukan palpasi pada kelainan orthopaedi muskuloskeletal secara benar
Dapat melakukan palpasi kulit dan jaringan subkutan
Dapat melakukan palpasi temperatur kulit apakah panas atau dingin
Dapat memeriksa kelainan sekresi kelenjar apakah basah, kering
Dapat mendeteksi kelainan subkutan pada kulit
Dapat melakukan palpasi otot dan tendon
Dapat membedakan antara origo dan insersi otot
Dapat menentukan tonus otot.
Dapat menilai atrofi otot
Dapat melakukan palpasi pada tulang dan sendi
Dapat meraba permukaan tulang
Dapat meraba sendi seperti joint space, kapsul sendi
Dapat memeriksa kelaianan tendon dan ligamen
Dapat menilai ruang gerak sendi yang normal
Dapat melakukan palpasi kelainan saraf dan pembuluh darah.

III. Dapat melakukan pemeriksaan kelainan regional pada orthopedi


6. Dapat melakukan pemeriksaan leher
Dapat melakukan pemeriksaan gerakan leher seperti ante dan dorso fleksi.
Dapat melakukan pemeriksaan lateral bending
7. Dapat melakukan pemeriksaan sendi bahu
Dapat memeriksa sendi bahu yang normal bahu
Dapat melakukan tes pergerakan sendi bahu yang normal serta besarnya ROM sendi
bahu.
8. Dapat melakukan pemeriksaan sendi siku
7
Dapat memeriksa sendi bahu yang normal siku
Dapat melakukan tes pergerakan sendi siku yang normal serta besarnya ROM sendi
bahu.
9. Dapat melakukan pemeriksaan antebrachii dan pergerakannya
Dapat melakukan pemeriksaan tonjolan –tonjolan tulang dan otot pada antebrachii
Dapat melakukan tes pergerakan antebrachii yang normal (pronasi dan supinasi) serta
derajat gerakannya.
10. Dapat melakukan pemeriksaan sendi tangan dan tangan
Dapat memeriksa tangan dan persendian tangan yang normal
Dapat melakukan tes pergerakan sendi tangan berupa radial and ulnar deviasion.
11. Dapat melakukan pemeriksaan sendi panggul
Dapat memeriksa sendi panggul yang normal
Dapat melakukan tes pergerakan sendi panggul yang normal serta besarnya ROM
sendi panggul
12. Dapat melakukan pemeriksaan sendi lutut
Dapat memeriksa sendi lutut yang normal
Dapat memeriksa ROM normal lutut.
13. Dapat melakukan pemeriksaan sendi ankle dan kaki
Dapat memeriksa sendi ankle dan kaki yang normal
Dapat melakukan tes pergerakan ROM sendi ankle yang normal
Alat yang diperlukan :
Tape measure
Reflex Hammer

TEORI

Anamnesa Kelainan Orthopaedi

A. Keluhan Utama
Terdapat tiga keluhan utama di bidang orthopedi yang sering dikeluhkan penderita yang
mengalami gangguan muskuloskeletal, yaitu:
Deskripsi Nyeri, dapat disingkat dengan PQRST, yaitu:
8
Position; yaitu pasien dapat menentukan posisi dan lokasi nyeri
Quality; merupakan derajat kualitas nyeri seperti rasa menusuk dan panas
Radiation; merupakan deskripsi penjalaran nyeri
Severity; merupakan tingkat beratnya nyeri, sering dihubungkan dengan gangguan
Activity Daily Living (ADL)
Timing, merupakan penjelasan kapan nyeri muncul, apakah siang, malam, waktu istirahat,
dan lain-lain
Perubahan bentuk (Deformitas)
Bengkak, biasanya karena radang, tumor, pasca trauma, dan lain-lain
Bengkok, misanya pada
Varus; bengkok keluar
Valgus; bengkok kedalam seperti kaki X
Genu varum; kaki seperti O

Pendek; dapat dibandingkan dengan kontralateral yang normal


Gangguan Fungsi (Disfungsi); Penurunan / hilangnya fungsi
- Afungsi (Tak bisa digerakkan sama sekali)
- Kaku (stiffnesss)
- Cacat (disability)
- Gerakan tak stabil (instability)

B. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma sebelumnya
Riwayat infeksi tulang dan sendi seperti osteomielitis / arthritis
Riwayat pembengkakan / tumor yang diderita
Riwayat kelainan kongenital muskuloskeletal seperti CTEV
Riwayat penyakit –penyakit diturunkan seperti skoliosis, dan lain-lain

Pemeriksaan Fisik Umum Dan Cara Berjalan Normal

1. Pemeriksaan umum dan tanda-tanda vital

9
Keadaan umum; tampak sehat, sakit, sakit berat
Tanda – tanda vital; seperti tekanan darah, frekuensi nadi, nafas, dan temperatur
2. Bentuk dan penampilan tubuh sewaktu datang
a. Bentuk tubuh
Normal
Athletic
Cebol
Bongkok
Miring
b. Cara penderita datang
Normal
Pincang
Digendong
3. Cara berjalan penderita yang normal dan kelainan cara berjalan
fase jalan normal:
Meletakkan tumit atau Heel strike
Fase menapak atau Stance Phase
Ujung jari bertumpu atau Toe Off
Mengayun langkah atau Swing Phase

Fase berjalan normal terlihat pada gambar 1. berikut:

Gambar 1 Fase Berjalan

Kelainan cara berjalan


Antalgic gait (anti = against, algic = pain). Kelainan ini disebabkan adanya rasa nyeri
waktu menapak sehingga langkah memendek
Tredelenberg gait , kelainan berjalan karena paralise n. ischiadicus.
Stepage gait, kelainan berjalan berupa langkah pendek-pendek
10
Antalgic gait Steppage

Tredelenberg

Gambar 2. Kelainan cara berjalan

11
4. Pemeriksaan tonus otot
Pemeriksaan tonus otot biasanya dilakukan pada otot-otot ekstremitas dalam keadaan
relaksasi. Pemeriksaan dengan cara perabaan dan dibandingkan dengan otot pada sisi
lateral tubuh penderita, atau otot lainnya. Dapat juga dibandingkan dengan otot pemeriksa
yang tonusnya normal. Tonus otot bisa disebut sebagai:
Eutonus; bila tonus normal
Hipertonus; bila tonus meninggi
Hipotonus; bila tonus melemah atau menurun

5. Pemeriksaan atrofi otot


Otot atrofi atau tidak dapat dinilai dengan cara:
Membandingkan dengan ukuran otot pada sisi lateralnya
Mengukur lingkaran anggota yang atropi dan membandingkannya dengan anggota
sebelahnya

12
LEMBAR PENILAIAN
KETERAMPILAN ANAMNESIS, PEMERIKSAAN UMUM DAN CARA
BERJALAN PADA KELAINAN ORTHOPAEDI

Nama : ....................................... Kelompok : .....................


NIM : ......................................
Aspek Yang dinilai Skor
No
0 1 2 3
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri*
Anamnesis
Menanyakan keluhan utama orthopaedi (nyeri, deformitas
2
dan disfungsi)
3 Menanyakankan keluhan nyeri (PQRST )
4 Menanyakan keluhan deformitas
5 Menanyakan keluhan disfungsi
Menanyakan riwayat penyakit dahulu riwayat famili ,
6 penyakit bawaan, dan penyakit lainnya yang menunjang
keluhan utama
Pemeriksaan fisik
7 Dapat memeriksa bentuk tubuh
8 Dapat memeriksa tonus otot
9 Dapat memeriksa gangguan cara berjalan
Total

Keterangan :
Skor 0 : Tidak dilakukan
Skor 1 : Dilakukan dengan banyak perbaikan/dilakukan
Skor 2 : Dilakukan dengan sedikit perbaikan
Skor 3 : Dilakukan dengan sempurna

Keterampilan rata-rata = total skor /25 x 100 % = ……….

Lhokseumawe, ………………2017
Instruktur,

( )
NIP

13
PEMERIKSAAN FISIK REGIONAL PADA KELAINAN ORTHOPEDI

Pemeriksaan Palpasi
Pemeriksaan palpasi meliputi:
Suhu; dibandingkan dengan anggota gerak kontralateral
Nadi /pulsasi; terutama pada tumor
Nadi distal; terutama pada fraktur akibat trauma
Nyeri; nyeri tekan & nyeri sumbu; terutama pada fraktur
Krepitasi; sering ditemukan pada fraktur (missal: fraktur klavikula) dan pada OA sendi
Fungsi saraf ; dinilai fungsi sensorik, motorik, dan refleks

Pemeriksaan Sendi
- Membandingkan sendi kiri dan kanan tentang bentuk, ukuran, tanda radang, dan
lain-lain
- Menilai ada/ tidak nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri sumbu, dan lain-lain
- Menilai Range of Motion (ROM) secara aktif atau pasif
- Memeriksa ada/ tidak krepitasi, biasanya ditandai dengan bunyi “klik”
- Menilai ada/ tidak kontraktur sendi

A. Pemeriksaan Leher
Inspeksi
- Minta penderita duduk atau berdiri dengan posisi relaks. Pemeriksa
memperhatikan dari arah depan, samping dan belakang.
- Dari inspeksi akan terlihat:
Leher normal; sama kiri dan kanan
Lordosis hebat; jika leher lebih ante fleksi
Miring; seperti pada tortikolis

14
Palpasi
melakukan perabaan pada leher untuk mengetahui adanya tonjolan tulang yang abnormal

Gambar 3: palpasi leher

Pemeriksaan gerakan leher

Gambar 4: gerakan leher normal

15
Gambar 5: gerakan leher normal

16
B. Pemeriksaan Bahu

Inspeksi

Menilai bahu simetris atau tidak

Gambar 6: inspeksi bahu

Palpasi bahu

Gambar 7

17
Abduksi N : 0 – 170 Adduksi N : 0 – 500

Forward Fleksi Normal: 0 – Backward ekstensi Normal:0 –


165 60
Gambar 8: ROM Sendi
bahu

18
Pemeriksaan siku
Inspeksi

Gambar 9: Inspeksi siku

Palpasi

Gambar 10: Palpasi siku

19
3. Pergerakan :

Fleksi dan ekstensi 15

D. Pemeriksaan gerakan pergelangan tangan

1. Inspeksi

22
2. Palpasi

3. Pergerakan

22
E. Pemeriksaan gerakan punggung

1. Inspeksi

Fixed kyphosis Gibbus Scoliosis

Gambar 21: inspeksi bentuk punggung

2. Palpasi

22
3. Pergerakan

Pada keadaan normal pasien bisa menyentuh lantai sampai 7 cm dari lantai

22
40o

30o

22
F. Pemeriksaan gerakan panggul

1. Inspeksi 2. Palpasi

3. Pergerakan

29
G. Pengukuran discrepancy (kesenjangan panjang anggota gerak)

Pengukuran anggota badan baik ektremitas atas atau bawah bertujuan untuk melihat
kelaianan sendi atau pemendekan akibat suatu kelainan
Caranya:

- Membandingkan ukuran kiri dan kanan dengan melihat perbedaan tonjolan


atau sendi-sendi tertentu, seperti lutut kiri dengan lutut kanan, siku kiri dengan siku
kanan, ankle kiri dengan ankle kanan . Misalnya contoh gambar dibawah dimana A

tampak perbedaan ukuran tibia, dan B tampak perbedaan femur

- Mengukur dengan pasti seperti

Appereance length perbedaan jarak ukuran antara pusat dan maleolus


kiri dan kanan
True length perbedaan jarak antara SIAS dan maleolus kiri dan

kanan

29
A B.

29
H. Pemeriksaan gerakan lutut

Inspeksi

Palpasi

29
Pergerakan

I. Pemeriksaan gerakan ankle dan kaki

Inspeksi

29
Palpasi

Pergerakan

29
LEMBARAN PENILAIAN SKILLS LAB BLOK 3.4

KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK REGIONAL KELAINAN


ORTHOPAEDI

Nama : ....................................... Kelompok : .....................


NIM : ......................................

SKOR
No Aspek Yang dinilai
0 1 2 3

PEMERIKSAAN ANGGOTA GERAK ATAS DAN PUNGGUNG

1 Menilai pergerakan leher

2 Dapat melakukan pemeriksaan bahu

3 Dapat memeriksa pergerakan sendi bahu

4 Dapat melakukan pemeriksaan siku

5 Dapat memeriksa pergerakan sendi siku

6 Dapat melakukan pemeriksaan antebrachii

7 Dapat melakukan pemeriksaan pergelangan


tangan dan jari

8 Dapat memeriksa sendi pergelangan tangan


dan jari-jari

9 Dapat memeriksa gerakan punggung

29
SKOR
No Aspek Yang dinilai 0 1 2 3

PEMERIKSAAN ANGGOTA GERAK BAWAH DAN PANGGUL

10 Dapat memeriksa pergerakan sendi panggul

11 Dapat memeriksa gerakan sendi lutut

12 Dapat memeriksa discrepency kesenjangan


anggota gerak

13 Dapat memeriksa otot paha (atrofi)

14 Dapat memeriksa gerakan ankle dan kaki

TOTAL
Keterangan :
Skor 0 : Tidak dilakukan
Skor 1 : Dilakukan dengan banyak perbaikan/dilakukan* Skor 2 : Dilakukan dengan sedikit
perbaikan
Skor 3 : Dilakukan dengan sempurna

Keterampilan rata-rata = total skor /42x 100 % = ……….

Lhokseumawe, …………………. 2017

Instruktur

(NIP )

40
SERI KETERAMPILAN PROSEDURAL/ DIAGNOSTIK

STABILITAS FRAKTUR TANPA GIPS, REDUKSI DISLOKASI, REPOSISI


FRAKTUR TERTUTUP, DRESSING (SLING, BANDAGE) DAN REMOVAL OF
SPLINTER

Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan jaman akan cenderung semakin meningkat,
sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan pertolongan pertama pada kasus
kecelakaan yang menimpa pasien. Di antara kasus traumatologi tersebut sering dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya kaki tergelincir saat menuruni tangga, seorang peragawati yang
menggunakan sepatu berhak tinggi tergelincir saat berjalan di atas cat walk, bahkan kasus
patah tulang leher akibat kecelakaan lalu-lintas yang dapat menyebabkan kematian.
Pemberian pertolongan pertama dengan imobilisasi yang benar akan sangat bermanfaat dan
menentukan prognosis penyakit.
Sebagian besar kasus traumatologi membutuhkan pertolongan dengan pembebatan dan
pembidaian. Pembebatan adalah keterampilan medis yang harus dikuasai oleh seorang dokter
umum. Bebat memiliki peranan penting dalam membantu mengurangi pembengkakan,
mengurangi kontaminasi oleh mikroorganisme dan membantu mengurangi ketegangan jaringan
luka.
Pertolongan pertama yang harus diberikan pada patah tulang adalah berupaya agar tulang yang
patah tidak saling bergeser (mengusahakan imobilisasi), apabila tulang saling bergeser akan
terjadi kerusakan lebih lanjut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memasang
bidai yang dipasang melalui dua sendi. Dengan prosedur yang benar, apabila dilakukan
dengan cara yang salah akan menyebabkan cedera yang lebih parah.
Pembebatan dan pembidaian memegang peranan penting dalam manajemen awal dari trauma
muskuloskeletal, seperti fraktur ekstremitas, dislokasi sendi dan sprain (terseleo).
Pemasangan bebat dan bidai yang adekuat akan menstabilkan ekstremitas yang mengalami
trauma, mengurangi ketidaknyamanan pasien dan memfasilitasi proses penyembuhan jaringan.
Tegantung kepada tipe trauma atau kerusakan, pembebatan atau pembidaian dapat menjadi
satu-satunya terapi atau menjadi tindakan pertolongan awal sebelum dilakukan proses
diagnostik atau intervensi bedah lebih lanjut.

B. TUJUAN

1. Umum

a. Mahasiswa terampil dalam melakukan berbagai teknik membebat pada berbagai


organ tubuh manusia sesuai dengan prosedur.
b. Mahasiswa terampil dalam melakukan pemasangan bidai dengan tepat.

2. Khusus

a. Persiapan

1) Pembebatan

40
Mahasiswa mampu membangun komunikasi efektif dengan pasien.

Mahasiswa mampu mengidentifikasi bagian tubuh yang mengalami cedera melalui


pemeriksaan inspeksi dan palpasi serta mampu memeriksa ROM (Range of Movement).
Mahasiswa mengenal dengan baik bermacam-macam jenis bebat dan mampu memilihnya
dengan tepat sesuai kasus.
Mahasiswa mampu melakukan disinfeksi luka dengan baik sebelum melakukan pembebatan.
2) Pembidaian

Mahasiswa mampu membangun komunikasi efektif dengan pasien.


Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada daerah cedera
dan memeriksa ROM (Range of Movement).
Mahasiswa dapat memilih bidai yang benar sesuai kasus.
b. Pemasangan

1) Pembebatan

Mahasiswa mampu melakukan pembebatan sesuai prosedur.

Mahasiswa mampu melakukan evaluasi hasil pembebatan dengan tepat

(terutama mengenai tekanan bebat).

Mahasiswa mampu menilai kondisi fisik dan psikologis pasien, serta daerah di bawah lokasi
luka (meliputi warna, suhu, respon sensorik) karena gangguan sirkulasi.
2) Pembidaian

Mahasiswa mampu memasang bidai dengan benar.

Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan hasil pemasangan bidai dan menilainya dengan
benar (apakah bidai terlalu longgar atau terlalu ketat).
Mahasiswa mampu menilai kondisi fisik dan psikologis pasien.

C. DASAR TEORI

PEMBEBATAN (BANDAGE)

a. Prinsip Dasar Pembebatan


Dalam melakukan pembebatan, sangatv penting untuk memperhatikan derajat penekanan bebat
pada daerah luka. Pembebatan yang dilakukan tidak boleh terlalu ketat karena akan
mengakibatkan hambatan pada aliran darah didaerah luka dan sekitar luka, atau mengakibatkan
peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat menyebabkan terjadinya edema jaringan.
Derajat penekanan tersebut ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara empat faktor
utama yaitu :

40
1) Struktur fisik dan keelastisan dari pembebat.

2) Ukuran dan bentuk ekstremitas yang akan dibebat.

3) Keterampilan dan keahlian dari orang yang melakukan pembebatan.

4) Bentuk semua aktivitas fisik yang dilakukan pasien.

b. Pentingnya pemilihan lebar pembebat yang tepat.

Pada pembebatan diperlukan pemilihan pembebat yang tepat karena hal ini sangat
mempengaruhi besarnya tekanan yang diberikan oleh pembebat pada bagian yang dibebat,
semakin lebar pembebat tekanan yang dihasilkan makin kecil.

c. Pentingnya jumlah lapisan pembebatan yang diberikan.

Pada pembebatan diperlukan penentuan jumlah lapisan pembebat yang tepat karena hal ini
sangat mempengaruhi besarnya tekanan yang diberikan oleh pembebat pada bagian yang
dibebat, semakin banyak lapisan pembebatan yang dilakukan tekanan yang dihasilkan makin
besar.

d. Manfaat Pembebatan (Bandage)

1) Menopang suatu luka, misalnya tulang yang patah.

2) Mengimobilisasi suatu luka, misalnya bahu yang keseleo.

3) Memberikan tekanan, misalnya dengan bebat elastik pada ekstremitas inferior untuk
meningkatkan laju darah vena.
4) Menutup luka, misalnya pada luka setelah operasi abdomen yang luas.

5) Menopang bidai (dibungkuskan pada bidai).

6) Memberikan kehangatan, misalnya bandage flanel pada sendi yang rematik.

e. Putaran Dasar Dalam Pembebatan

1) Putaran Spiral (Spiral Turns)

Digunakan untuk membebat bagian tubuh yang memiliki lingkaran yang sama, misalnya
pada lengan atas, bagian dari kaki. Putaran dibuat dengan sudut yang kecil, ± 300 dan setiap
putaran menutup 2/3-lebar bandage dari putaran sebelumnya.

40
Gambar 2 Putaran Spiral (Spiral Turns)

2) Putaran Sirkuler (Circular Turns)


Biasanya digunakan untuk mengunci bebat sebelum mulai memutar bebat, mengakhiri
pembebatan, dan untuk menutup bagian tubuh yang berbentuk silinder/tabung misalnya pada
bagian proksimal dari jari kelima. Biasanya tidak digunakan untuk menutup daerah luka karena
menimbulkan ketidaknyamanan. Bebat ditutupkan pada bagian tubuh sehingga setiap
putaran akan menutup dengan tepat bagian putaran sebelumnya.

Gambar 3 Putaran Sirkuler (Circular Turns)

3). Putaran Spiral terbalik (Spiral Reverse Turns)

Digunakan untuk membebat bagian tubuh dengan bentuk silinder yang panjang kelilingnya
tidak sama, misalnya pada tungkai bawah kaki yang berotot. Bebat diarahkan ke atas dengan

40
sudut 30 , kemudian letakkan ibu jari dari tangan yang bebas di sudut bagian atas dari bebat.
Bebat diputarkan membalik sepanjang 14 cm (6 inch), dan tangan yang membawa bebat
diposisikan pronasi, sehingga bebat menekuk di atas bebat tersebut dan lanjutkan putaran
seperti sebelumnya.

Gambar 4 Putaran Spiral terbalik (Spiral Reverse Turns)

4). Putaran Berulang (Recurrent Turns)

Digunakan untuk menutup bagian bawah dari tubuh misalnya tangan, jari, atau pada bagian
tubuh yang diamputasi. Bebat diputar secara sirkuler di bagian proksimal, kemudian
ditekuk membalik dan dibawa ke arah sentral menutup semua bagian distal. Kemudian
kebagian inferior, dengan dipegang dengan tangan yang lain dan dibawa kembali menutupi
bagian distal tapi kali ini menuju ke bagian kanan dari sentral bebat. Putaran kembali dibawa
ke arah kiri dari bagian sentral bebat. Pola ini dilanjutkan bergantian ke arah kanan dan kiri,
saling tumpang-tindih pada putaran awal dengan 2/3 lebar bebat. Bebat kemudian diakhiri
dengan dua putaran sirkuler yang bersatu di sudut lekukan dari bebat.

Gambar 5 Putaran Berulang (Recurrent Turns)


40
5). Putaran seperti angka Delapan (Figure-Eight Turns)

Biasanya digunakan untuk membebat siku, lutut, atau tumit. Bebat diakhiri dengan dua putaran
sirkuler menutupi bagian sentral sendi. Kemudian bebat dibawa menuju ke atas persendian,
mengelilinginya, dan menuju kebawah persendian, membuat putaran seperti angka delapan.
Setiap putaran dilakukan ke atas dan ke bawah dari persendian dengan menutup putaran
sebelumnya dengan 2/3 lebar bebat. Lalu diakhiri dengan dua putaran sirkuler di atas
persendian.

Gambar 6 Putaran Seperti Angka delapan (Figure-Eight Turns)

f. Prinsip Pembebatan (Bandage)

Memilih bebat berdasarkan jenis bahan, panjang, dan lebarnya.


Bila memungkinkan, menggunakan bebat baru; bebat elastik kadangkala elastisitasnya
berkurang setelah digunakan atau dicuci.
Memastikan bahwa kulit pasien di daerah yang terluka bersih dan kering.
Menutup luka sebelum pembebatan dilakukan di daerah yang terluka.
Memeriksa neurovaskuler di bagian distal luka, bila relevan.
Bila diperlukan, pasang bantalan untuk menekan daerah yang terluka.
Mencari asisten bila bagian dari tubuh yang terluka perlu ditopang selama prosedur
pembebatan dilakukan.
Meminta pasien memilih posisi senyaman mungkin, dengan bagian yang akan dibebat
ditopang pada posisi segaris dengan sendi sedikit flexi, kecuali bila hal ini merupakan
kontraindikasi.
Melakukan pembebatan berhadapan dengan bagian tubuh yang akan dibebat kecuali pada
pembebatan kepala dilakukan dari belakang pasien).
Memegang rol bebat dengan rol menghadap ke atas di satu tangan, ujung bebat dipegang
tangan yang lain.

40
Mulai melakukan pembebatan dari bagian distal menuju proximal, dari bagian dengan
diameter terkecil menuju diameter yang lebih besar dan dari medial menuju lateral dari
bagian tubuh yang terluka. Jangan mulai membebat di daerah yang terluka.
Untuk memperkuat posisi bebat, supaya bebat tidak mudah terlepas/ bergeser, lakukan
penguncian ujung bebat sebelum mulai memutar bebat.

Gambar 7 Mengunci bebat sebelum memulai memutar

Bila memungkinkan, pembebatan dilakukan searah dengan pengembalian darah vena untuk
mencegah pengumpulan darah.
Memutar bebat saling tumpang tindih dengan 2/3 lebar bebat, pasang bebat dengan
lembut meskipun sambil menekan.
Menjaga ketegangan dari bebat, hal ini dibantu dengan memastikan bagian bebat yang bukan
rol tetap dekat dengan permukaaan tubuh.
Memastikan bebat yang saling tumpang tindih tidak menekuk atau berkerut.
Memastikan bahwa bebat terpasang dengan baik dibagian atas dan bawah daerah yang terluka,
namun jari atau ibu jari jangan dibebat supaya dapat mengobservasi neurovaskuler daerah
tersebut.
Memotong bebat bila terlalu panjang sisanya; jangan memutar berlebih di akhir pembebatan.
Mengunci atau menutup bagian akhir bebat, dan memastikan pasien tidak akan melukai
dirinya. Mengunci bagian akhir bebat bisa dilakukan dengan :

- Melakukan beberapa kali putaran sirkuler kemudian dijepit dengan pin atau
diplester.
- Menggunakan simpul (gambar di bawah)

40
Gambar 8 Atas : Mengunci atau menutup bagian akhir bebat; bawah : square knot

g. Prosedur Pembebatan

1) Perhatikan hal-hal berikut :

- Lokasi/ tempat cidera

- Luka terbuka atau tertutup

- Perkiraan lebar atau diameter luka

- Gangguan terhadap pergerakan sendi akibat luka

2) Pilihlah pembebat yang benar, dan dapat memakai kombinasi lebih dari satu jenis
pembebat.
3) Jika terdapat luka dibersihkan dahulu dengan disinfektan, jika terdapat dislokasi sendi
diposisikan seanatomis mungkin.
4) Tentukan posisi pembebat dengan benar berdasarkan :

a) Pembatasan semua gerakan sendi yang perlu imobilisasi b) Tidak boleh mengganggu
pergerakan sendi yang normal
c) Buatlah pasien senyaman mungkin pada saat pembebatan d) Jangan sampai mengganggu
peredaran darah
e) Pastikan pembebat tidak mudah lepas.
40
PEMBIDAIAN (SPLINT)

Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan adalah bantuan pertama yang diberikan kepada orang
yang cedera akibat kecelakaan dengan tujuan menyelamatkan nyawa, menghindari cedera atau
kondisi yang lebih parah dan mempercepat penyembuhan. Ekstremitas yang mengalami trauma
harus diimobilisasi dengan bidai. Bidai (Splint atau spalk) adalah alat yang terbuat dari kayu,
logam atau bahan lain yang kuat tetapi ringan untuk imobilisasi tulang yang patah dengan
tujuan mengistirahatkan tulang tersebut dan mencegah timbulnya rasa nyeri.

Tanda tanda fraktur atau patah tulang :

Bagian yang patah membengkak (oedema).

Daerah yang patah terasa nyeri (dolor).

Terjadi perubahan bentuk pada anggota badan yang patah.

Anggota badan yang patah mengalami gangguan fungsi (fungsiolesia).

a. Tujuan Pembidaian

1) Mencegah pergerakan atau pergeseran fragmen atau bagian tulang yang patah.

2) Menghindari trauma soft tissue (terutama syaraf dan pembuluh darah pada bagian distal
yang cedera) akibat pecahan ujung fragmen tulang yang tajam.
3) Mengurangi nyeri

4) Mempermudah transportasi dan pembuatan foto rontgen.

5) Mengistirahatkan anggota badan yang patah.

b. Persiapan Pembidaian

1) Periksa bagian tubuh yang akan dipasang bidai dengan teliti dan periksa status vaskuler
dan neurologis serta jangkauan gerakan.
2) Pilihlah bidai yang tepat.

c. Alat alat pokok yang dibutuhkan untuk pembidaian

1) Bidai atau spalk terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat tetapi ringan.

2) Pembalut segitiga.

40
3) Kasa steril.

d. Prinsip Pembidaian

1) Pembidaian menggunakan pendekatan atau prinsip melalui dua sendi, sendi di sebelah
proksimal dan distal fraktur.
2) Pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera dilepas, periksa

adanya luka terbuka atau tanda-tanda patah dan dislokasi.

3) Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis (status vaskuler dan
neurologis) pada bagian distal yang mengalami cedera sebelum dan sesudah pembidaian

40
4) Tutup luka terbuka dengan kassa steril.

5) Pembidaian dilakukan pada bagian proximal dan distal daerah trauma (dicurigai patah atau
dislokasi).
6) Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan pembidaian kecuali ada di tempat
bahaya.
7) Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku.

Periksa hasil pembidaian supaya tidak terlalu longgar ataupun terlalu ketat sehingga
menjamin pemakaian bidai yang baik
Perhatikan respons fisik dan psikis pasien.
e. Syarat-syarat pembidaian

1) Siapkan alat alat selengkapnya.

2) Sepatu dan seluruh aksesoris korban yang mengikat harus dilepas.

3) Bidai meliputi dua sendi tulang yang patah, sebelumnya bidai diukur dulu pada anggota
badan kontralateral korban yang sehat.
4) Ikatan jangan terlalu keras atau terlalu longgar.

5) Sebelum dipasang, bidai dibalut dengan kain pembalut.

6) Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tulang yang patah.
7) Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai.

f. Prosedur Pembidaian

1) Persiapkan alat-alat yang dibutuhkan.

2) Lepas sepatu, jam atau asesoris pasien sebelum memasang bidai.

3) Pembidaian melalui dua sendi, sebelumnya ukur panjang bidai pada sisi
kontralateral pasien yang tidak mengalami kelainan.
4) Pastikan bidai tidak terlalu ketat ataupun longgar

5) Bungkus bidai dengan pembalut sebelum digunakan

6) Ikat bidai pada pasien dengan pembalut di sebelah proksimal dan distal dari tulang
yang patah
7) Setelah penggunaan bidai cobalah mengangkat bagian tubuh yang dibidai.

41
g. Contoh penggunaan bidai

1). Fraktur humerus (patah tulang lengan atas).

Pertolongan :

- Letakkan lengan bawah di dada dengan telapak tangan menghadap ke dalam.

- Pasang bidai dari siku sampai ke atas bahu.

- Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.

- Lengan bawah digendong.

- Jika siku juga patah dan tangan tak dapat dilipat, pasang spalk ke lengan bawah dan
biarkan tangan tergantung tidak usah digendong.
- Bawa korban ke rumah sakit

Gambar 9 Pemasangan bidai pada fraktur humerus, atas : hanya fraktur humerus, siku
bisa dilipat, bawah : siku tidak bisa dilipat, juga fraktur antebrachii

42
2). Fraktur Antebrachii (patah tulang lengan bawah).

Pertolongan:

- Letakkan tangan pada dada.

- Pasang bidai dari siku sampai punggung tangan.

- Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.

- Lengan digendong.

- Bawa korban ke rumah sakit.

Gambar 10 Pemasangan bidai pada fraktur antebrachii

3) Fraktur clavicula (patah tulang selangka). a) Tanda-tanda patah tulang selangka


:
- Korban tidak dapat mengangkat tangan sampai ke atas bahu.

- Nyeri tekan daerah yang patah.

b) Pertolongan :

- Dipasang ransel verban.

- Bagian yang patah diberi alas lebih dahulu.

- Pembalut dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui punggung ke ketiak kanan.
- Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak kanan, dari pundak kanan
disilangkan ke ketiak kiri, lalu ke pundak kanan,akhirnya diberi peniti/ diikat.
- Bawa korban ke rumah sakit.
44
Gambar 11 Kanan atau kiri : Ransel perban

4) Fraktur Femur (patah tulang paha)

Gambar 12 Pemasangan bidai pada fraktur femur

Pertolongan :

- Pasang 2 bidai dari :

a.Ketiak sampai sedikit melewati mata kaki. b.Lipat paha sampai sedikit melewati mata kaki.
- Beri bantalan kapas atau kain antara bidai dengan tungkai yang patah.
44
- Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut dengan pembalut untuk mengurangi pergerakan.
- Bawa korban ke rumah sakit.

5) Fraktur Cruris (patah tulang tungkai bawah).

Pertolongan :

- Pasang 2 bidai sebelah dalam dan sebelah luar tungkai kaki yang patah.

- Di antara bidai dan tungkai beri kapas atau kain sebagai alas.

- Bidai dipasang di antara mata kaki sampai beberapa cm di atas lutut.

- Bawa korban ke rumah sakit.

Gambar 13 Pemasangan bidai pada fraktur cruris

D. OBSERVASI SETELAH TINDAKAN

Tanyakan kepada pasien apakah sudah merasa nyaman dengan bebat dan bidai yang dipasang,
apakah nyeri sudah berkurang, apakah terlalu ketat atau terlalu longgar. Bila pasien masih
merasakan bidai terlalu keras, tambahkan kapas di bawah bidai. Longgarkan bebat jika dirasakan
terlalu kencang. Lakukan re-evaluasi terhadap ekstremitas di sebelah distal segera setelah
memasang bebat dan bidai, meliputi :
- Warna kulit di distal

- Fungsi sensorik dan motorik ekstremitas.

- Pulsasi arteri

- Pengisian kapiler

Perawatan rutin terhadap pasien pasca pemasangan bebat dan bidai adalah elevasi ekstremitas
secara rutin, pemberian obat analgetika dan anti inflamasi, serta anti pruritik untuk mengurangi rasa
gatal dan untuk mengurangi nyeri. Berikan instruksi kepada pasien untuk menjaga bebatnya dalam
keadaan bersih dan kering serta tidak melepasnya lebih awal dari waktu yang diinstruksikan
dokter.

46
E. KOMPLIKASI PEMASANGAN

Dalam 1-2 hari pasien kemungkinan akan merasakan bebatnya menjadi lebih kencang karena
berkembangnya oedema jaringan. Berikan instruksi secara jelas kepada pasien untuk datang
kembali ke dokter bila muncul gejala atau tanda gangguan neurovaskuler atau compartment
syndrome, seperti bertambahnya pembengkakan atau rasa nyeri, kesulitan menggerakkan jari,
dan gangguan fungsi sensorik.

F. REPOSISI FRAKTUR TERTUTUP DAN DISLOKASI

Penatalaksanaan fraktur terdiri dari manipulasi untuk memperbaiki posisi fragmen dan splintage
untuk menahan fragmen sampai menyatu. Penyembuhan fraktur didukung oleh pemadatan tulang
secara fisiologis, sehingga aktivitas otot dan pemberian beban awal penting untuk dilakukan.
Tujuan ini didukung oleh 3 proses yaitu reduksi, imobilisasi dan latihan. Dua masalah yang penting
yaitu bagaimana mengimobilisasi fraktur namun tetap memungkinkan pasien menggunakan
anggota gerak dengan cukup; hal ini adalah dua hal yang berlawanan (menahan versus
menggerakkan) yang dinginkan ahli bedah untuk mempercepat kesembuhan (misalnya dengan
fiksasi internal). Akan tetapi, ahli bedah juga ingin menghindari resiko yang tidak diinginkan; ini
adalah konflik kedua ( kecepatan versus keamanan). Faktor yang paling penting dalam menentukan
kecenderungan untuk sembuh secara alami adalah kondisi jaringan lunak sekitar dan suplai darah
lokal. Fraktur energi rendah ( atau velositas rendah) hanya menyebabkan kerusakan jaringan
lunak yang parah, walaupun fraktur terbuka ataupun tertutup.
Tscheme (Oestern and Tscherne, 1984) mengklasifikasikan luka tertutup sebagai berikut :
Grade 0 : Fraktur simple dengan sedikit atau tidak ada luka jaringan lunak
Grade 1 : Fraktur dengan abrasi superfisial atau memar pada jaringan kulit dan jaringan
subkutan
Grade 2 : Fraktur yang lebih parah dengan tanda kerusakan jaringan lunak dan
ancaman sindrom compartment.
Grade 3 : Luka berat dengan kerusakan jaringan halus yang jelas.

Semakin parah tingkatan luka makan semakin besar kemungkinan membutuhkan beberapa
bentuk fiksasi mekanis; stabilitas tulang yang baik membantu penyembuhan jaringan lunak.

REDUKSI
Walaupun penatalaksanaan umum dan resusitasi harus didahulukan, namun penanganan
fraktur diharapkan tidak terlambat; pembengkakan bagian lunak selama 12 jam pertama
menyebabkan reduksi semakin sulit. Walaupun demikian, terdapat beberapa kondisi di mana
reduksi tidak dibutuhkan yaitu : 1. Saat hanya sedikit atau tidak ada dislokasi; 2. Saat
dislokasi bukan suatu masalah ( contoh: fraktur clavicula) dan 3. Saat reduksi tidak mungkin
berhasil ( contoh: fraktur kompresi pada vertebra)
Reduksi harus ditujukan untuk fragmen tulang dengan apposisi yang cukup dan garis fraktur yang
normal. Semakin besar area permukaan kontak antarfragmen semakin besar kemungkinan
terjadinya penyembuhan. Adanya jarak antara ujung fragmen merupakan penyebab sering union
yang terlambat atau nonunion. Di sisi lain, selama ada kontak dan fragmen segaris (alignment)
sedikit overlap pada permukaan fraktur masih diperbolehkan. Pada fraktur yang meliputi
pemukaan sendi, reduksi harus sedekat mungkin mendekati sempurna karena adanya irreguleritas
akan menyebabkan distribusi muatan yang abnormal antarpermukaan yang akan berpredispoisisi
46
pada perubahan degenaratif pada kartilago sendi. Terdapat 2 metode reduksi yaitu tertutup dan
terbuka.

Reduksi Tertutup

Di bawah anestesi dan relaksasi otot, fraktur direduksi dengan 3 maneuver:

1. Bagian distal anggota gerak ditarik pada garis tulang;

2. Karena fragment terpisah, maka direduksi dengan melawan arah gaya awal

3. Garis fraktur yang lurus diusahakan pada setiap bidang.

Hal ini lebih efektif dilakukan ketika periosteum dan otot pada satu sisi fraktur tetap utuh
karena ikatan jaringan lunak mencegah over-reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi
(Charnley 1961).
Beberapa fraktur sulit untuk direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yg terlalu kuat
sehingga membutuhkan traksi yg lama. Traksi tulang atau kulit selama beberapa hari menyebabkan
tegangan jaringan lunak menurun dan memudahkan tejadinya alingment yg lebih baik; sebagai
contoh hal dapat dilakukan untuk fraktur femur, fraktur shaft tibia dan fraktur humerus
supracondylus pada anak. Pada umumnya reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur
dislokasi minimal, untuk sebagian besar fraktur pada anak, untuk fraktur yg tidak stabil setelah
reduksi dan dapat digunakan untuk beberapa bidai dan gips. Fraktur tidak stabil dapat direduksi
juga dengan metode tertutup sebelum dengan fiksasi internal atau eksternal. Hal ini dilakukan
untuk menghindari manipulasi langsung sisi fraktur oleh reduksi terbuka yang merusak
suplai darah lokal dan mungkin menyebabkan waktu penyembuhan lebih lambat. Traksi yg
mereduksi fragmen fraktur melalui ligamentotaxis (tarikan ligament) biasanya dapat diaplikasikan
menggunakan fracture table atau bone distraktor.

48
Gambar 14 Reposisi tertutup (a) Traksi pada garis tulang (b) Disimpaksi (c) Menekan
fragmen pada posisi reduksi ( Sumber : Solomon L. Warwick DJ. Nayagam S. Principles of
Fracture. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, 8th ed. Oxford University
Press Inc. New York. 2001)

48
Reduksi terbuka
Indikasi reduksi operatif yaitu : 1) reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan mengontrol
fragmen atau karena jaringan lunak berada diantaranya, 2) terdapat fragmen sendi yang
membutuhkan pengaturan posisi yang akurat, 3) untuk traksi (avulsi) fraktur dengan
fragmen yang terpisah.
Dislokasi
Dislokasi berarti permukaan sendi bergeser secara lengkap dan tidak utuh lagi.
Subluksasi menekankan pada pergeseran dengan derajat yang lebih ringan dengan
permukaan sendi sebagian masih berapposisi.

Gambaran Klinis

Oleh karena cedera, sendi terasa nyeri dan pasien berusaha untuk menghindari pergerakan
sendi. Bentuk sendi abnormal dan penanda tulang dapat bergeser. Anggota gerak yang
mengalami dislokasi sering ditahan pada posisi tertentu karena pergerakan menyebabkan
rasa nyeri dan juga terbatas. Foto sinar-X biasanya memperjelas diagnosis, dan juga
menunjukkan apakah ada luka tulang yang mempengaruhi stabilitas sendi- misalnya
dislokasi fraktur. Sendi yang dicurigai terjadi dislokasi dapat dites dengan menekannya, dan
bila terjadi dislokasi pada lokasi tersebut pasien akan merasakan rasa nyeri menetap
yang tidak tertahankan lebih jauh.
Jika batas sendi dan ligamen rusak, dislokasi berulang dapat terjadi. Hal ini terutama pada
dislokasi sendi bahu dan sendi patellofemoral. Pada dislokasi habitual (voluntary), pasien
mengalami dislokasi atau subluksasi sendi karena kontraksi otot secara volunter.
Kelemahan ligament dapat mempermudah terjadinya hal ini.
Penatalaksanaan

Dislokasi harus direposisi sesegera mungkin; anestesi umum dan muscle relaxant
kadang dibutuhkan. Sendi kemudian diistirahatkan atau diimobilisasi sampai
pembengkakan jaringan lunak berkurang, biasanya setelah 2 minggu. Latihan gerakan
terkontrol dimulai dengan penguatan fungsi kemudian bertahap berkembang dengan
monitor fisioterapi. Biasanya rekonstruksi bedah dibutuhkan untuk kondisi ketidakstabilan
sendi yang masih tersisa.
Komplikasi pada fraktur juga terlihat setelah dislokasi yaitu kerusakan pembuluh darah,
kerusakan saraf, nekrosis avaskular tulang, osifikasi heterotopic, kaku sendi dan
osteoarthritis sekunder.
Mitella
Mitella adalah suatu teknik immobilisasi ekstremitas ataf menggunakan balutan berbentuk
segitiga. Mitella biasa digunakan untuk mengimmobilisasi cedera pada bahu, lengan atas
dan lengan bawah. Mitella dilakukan dengan menggunakan balutan segitiga yang berukuran
50-100 cm yang terbuat dari cotton.

Tujuan Mitella
Terdapat lima tujuan pemasangan mitella pada cedera muskuloskeletal :
Untuk menggimmobilisati lengan atas.
Untuk memberikan efek elevasi pada ekstremitas atas.
Untuk memberikan efek anti grafitasi pada cedera sendi bahu.

Tujuan Umum

52
Dapat memberikan pemahaman dan keterampilan pada mahasiswa cara melakukan
pemasangan mitella yang benar.

Tujuan Khusus
Mampu merencanakan dan mempersiapkan alat dan bahan untuk pemasangan mitella.
Mampu menerangkan ke pasien (inform consent) tentang tindakan yang akan dilakukan dan
persetujuan atas tindakan tersebut.
Mampu melakukan tindakan pemasangan mitella.
Mampu mengajarkan kepada petugas kesehatan lainnya bagaiman cara melakukan
pemasangan mitella.
Bahan dan Alat :
Sarung tangan.
Balutan berbentuk segi tiga ukuran 50-100 cm yang terbuat dari cotton.
Peniti
Prosedur
Melakukan inform consent.
Mempersiapkan alat balutan dengan ukuran yang tepat sesuai ekstremitas yang akan
dipasang mitella.
Harus melakukan proteksi diri sebelum melakukan pembalutan.
Melakukan pemeriksaan neurovaskuler distal.
Memposisikan ekstremitas atas pada posisi adduksi dan rotasi interna sendi bahu, fleksi 90
0
sendi siku.
Lakukan pemasangan mitella dengan sisi runcing ke arah sendi siku, dan dua sisi runcing
lainnya diikatkan ke samping leher.
7. Bagian akral diusahakan tidak tertutup mitella. Periksa kembali neurovaskuler distal.

52
CHECKLIST PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBEBATAN (BANDAGE)
Nama : ....................................... Kelompok : .....................
NIM : ......................................

Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai Bobot 0 1 2
1. Berkomunikasi dengan pasien dan menjelaskan tujuan dari 1
pembebatan dan meminta persetujuan tertulis pasien dan/atau
keluarga (informed consent)
2. Cuci tangan sesuai prosedur (sebelum dan setelah tindakan) 1
3. Inspeksi dan palpasi bagian tubuh yang terluka, memeriksa 1
neurovaskuler di bagian distal luka dan range of motion.
4. Perlindungan diri (sarung tangan steril) 1
5. Memberikan perawatan pertama pada luka (dengan 1
disinfektan, kasa steril, reposisi)
6. Memilih bebat yang sesuai dengan luka 2
7. Melakukan pembebatan sesuai prosedur dan posisi anatomis 2
yang benar
8. Memeriksa hasil pembebatan : terlalu kencang? Mudah 2
lepas? Membatasi gerakan sendi normal?
9. Memeriksa ulang bagian distal dan proximal dari daerah 2
yang dibebat (pulsasi, oedema, sensasi rasa, suhu, dan gerakan)

10. Menasehati pasien untuk merawat luka dengan baik, 1


menjelaskan akibat dari luka dan follow up (kapan bebat
harus diperiksa)
11. Edukasi pada pasien dan keluarga saat merujuk pasien pada 1
kondisi terpasang bebat
SKOR TOTAL
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna,
Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%
30
Lhokseumawe, …………………. 2017

Instruktur

( )
NIP.

52
CHECK LIST PENILAIAN KETERAMPILAN PEMBIDAIAN

Nama : ....................................... Kelompok : .....................


NIM : ......................................
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai Bobot 0 1 2
1. Berkomunikasi dengan pasien dan menjelaskan tujuan dari 1
tindakan dan meminta persetujuan tertulis pasien dan/atau
keluarga (informed consent)
2. Cuci tangan sesuai prosedur (sebelum dan setelah 1
tindakan)
2. Inspeksi dan palpasi bagian tubuh yang terluka, 1
memeriksa neurovaskuler bagian distal luka, dan range
of motion
3. Perlindungan diri (sarung tangan steril) 1
4. Memberikan perawatan I pada luka (dengan disinfektan, kasa 1
steril, reposisi, menutup luka / pembebatan)
5. Memilih splint yang tepat dengan tulang yang patah 2
6. Melakukan prosedur pemasangan splint dengan benar 2
meliputi dua sendi di proksimal dan distal tulang yang
patah
7. Memeriksa hasil pemasangan splint: terlalu kencang? 2
Mudah lepas? Membatasi gerakan sendi normal?
Mengimobilisasi ekstremitas yang terluka?
8. Memeriksa ulang bagian distal dan proximal dari daerah yang 2
dibebat (pulsasi, oedema, sensasi rasa, suhu, dan
gerakan)
9. Menasehati pasien untuk mengimobilisasi tulang yang patah 1

11. Edukasi pada pasien dan keluarga saat merujuk pasien pada 1
kondisi terpasang bidai
12. Menjelaskan masa penyembuhan tulang, waktu serta 1
keuntungan dan kerugian pemasangan bidai
SKOR TOTAL
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna
Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%
32
Lhokseumawe, …………………. 2017
Instruktur

( )
NIP.

52
LEMBARAN PENILAIAN SKILLS LAB BLOK 3.4
KETERAMPILAN MITELLA

No. Aspek Yang dinilai SKOR


0 1 2 3
Mempersiapkan alat yang sesuai dengan ukuran ekstremitas
Melakukan pemeriksaan neurovaskuler distal
Memposisikan ekstremitas atas pada posisi adduksi dan rotasi
interna sendi bahu, fleksi 900 sendi siku.
Lakukan pemasangan mitella dengan sisi runcing ke arah sendi
siku, dan dua sisi runcing lainnya diikatkan ke samping leher.
Bagian aklar diusahankan tidak tertutup mitella.
Periksa kembali neurovaskuler distal
TOTAL

Keterangan :
Skor 0 : Tidak dilakukan
Skor 1 : Dilakukan dengan banyak perbaikan/dilakukan*
Skor 2 : Dilakukan dengan sedikit perbaikan
Skor 3 : Dilakukan dengan sempurna
Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%
18

Lhokseumawe, …………………. 2017


Instruktur

( __________________________ )
NIP.

53
Ketrampilan membaca X-ray tulang tengkorak dan tulang belakang

A. Tujuan

Umum

Mahasiswa Mampu mengenal jenis foto tulang tengkorak dan tulang belakan

Mahasiswa mampu membaca foto tulang tengkorak dan tulang belakang

Khusus

Mahasiswa mampu menilai foto layak baca atau tidak

Mahasiswa mampu menilai jenis posisi foto pada tulang tengkoarak dan tulang belakang

Mahasiswa mampu menilai jenis sinus paranasal pada foto tengkorak

Mahasiswa mampu minilai jenis- jenis tulang pada foto tulang tengkorak dan tulang
belakang

Mahasiswa mampu menilai kelainan pada tulang tengkorak dan tulang belakang

Mahasiswa mampu menilai adanya fraktur dan dislokasi pada tulang tengkorak dan tulang
belakang

Mahasiswa mampu menilai adanya lordosis, kifosis , dan scoliosis pada tulang belakang

Dasar Teori

Penilaian radiologi muskuloskeletal

Hal- hal yang perlu diperhatikan :


adequency : pada radiografi muskuloskeletal yang adekuat, dapat di bedakan korteks,
medula tulang, terlihat trabekula, dan jaringan lunak
aligenment : di nilai kesegarisan antara tulang satu dengan yang lain pada persendian
Bones : dinilai bentuk, ukuran, batass, kontur dan densitas tulang
cartilage : dinilai tulang rawan dan persendian
soft tissues : di periksa adanya benda asing, pembengkakan, klasifikasi, penulangan

Posisi X- ray tulang tengkorak

Posisi AP ( Antero Posterior )


Struktur yg ditampakkan :

54
PA : orbita terisi oleh bayangan piramid petrosum , posterior etmoidal air cell, crista galli,
frontal bone, frontal sinus. Dorsum sellae tampak seperti kurva yang berada diantara 2
orbita tepat dibawah etmoid air cell.
PA Cadwell : hampir sama dengan PA, anterior etmoidal air cell Schuller yang pertama kali
menemukan proyeksi ini, dengan penyudutan 24 deratajat ke caudad.

Kriteria Evaluasi :
Jarak antara sisi lateral skull ke sisi lateral orbita sama pada kedua sisi.
Petrous ridge symetris
Tulang petrosum berada 1/3 bagian posterior foramen orbital apabila dilakukan penyudutan
15 derajat ke caudad.

Posisi Lateral

55
Klinis :

Fracture
Neoplastic process
3. Paget's disease
4. Infeksi
5. Tumor
Degenerasi tulang

Persiapan pasien:
Lepaskan semua bahan logam, plastik dan benda-benda lain yang dapat mengganggu
gambaran pada daerah kepala

56
Posisi Waters

Pada Posisi seperti ini digunakan lebih dominan untuk melihat tulang maxila dan
sinus paranasal .

Sinus paranasal adalah sinus (rongga) pada tulang berada sekitar nasal (hidung).

Rongga-rongga pada tengkorak ini berhubungan dengan hidung, dan secara terus menerus
menghasilkan lendir yang dialirkan ke hidung. Gangguan aliran ini karena berbagai sebab
akan menyebabkan penumpukan lendir di rongga sinus, jika terinfeksi oleh kuman akan
menyebabkan infeksi sinus yang disebut sinusitis.
Sampai saat ini belum diketahui secara jelas fungsi dari sinus ini, meskipun banyak teori
yang menerangkan fungsinya.
Ada 4 sinus paranasal:
Sinus Maksila
Sinus etmoid
Sinus frontal
4. Sinus Spenoid

X- ray tulang belakang

Tulang belakang adalah susunan terintegrasi dari jaringan tulang, ligamen, otot, saraf dan
pembuluh darah yang terbentang mulai dari dasar tengkorak (basis cranii), leher, dada,
pinggang bawah hingga panggul dan tulang ekor. Fungsinya adalah sebagai penopang

57
tubuh bagian atas serta pelindung bagi struktur saraf dan pembuluh-pembuluh darah yang
melewatinya.

Tulang belakang terdiri dari 4 segmen, yaitu segmen servikal (terdiri dari 7 ruas tulang),
segmen torakal (terdiri dari 12 ruas tulang), segmen lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang) serta
segmen sakrococygeus (terdiri dari 9 ruas tulang). Diskus intervertebra terletak mulai dari
ruas tulang servikal ke-2 (C2) hingga ruas tulang sakrum pertama (S1).

Kelainan dari susunan anatomis maupun perbedaan posisi tulang belakang yang normal
tersebut, dapat berakibat berbagai keluhan dan gangguan yang bervariasi. Keluhan dan
gangguan tersebut akan berakibat terganggunya produktivitas dan kualitas hidup seseorang.
Tidak jarang keluhan tersebut berakibat nyeri yang hebat, impotensi, hilangnya rasa
(sensasi) hingga kelumpuhan.

Beberapa kelainan pada tulang belakang :


1. Scoliosis

Skoliosis adalah kelengkungan tulang belakang yang abnormal ke arah samping, yang
dapat terjadi pada segmen servikal (leher), torakal (dada) maupun lumbal (pinggang).
Sekitar 4% dari seluruh anak-anak yang berumur 10-14 tahun mengalami skoliosis; 40-60%
diantaranya ditemukan pada anak perempuan.
58
GEJALA

Gejalanya berupa:
– tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
– bahu dan/atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
– nyeri punggung
– kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
– skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 60?) bisa menyebabkan
gangguan pernafasan.
Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang membengkok ke kanan dan pada
punggung bagian bawah, tulang belakang membengkok ke kiri; sehingga bahu kanan lebih
tinggi dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kiri.
DIAGNOSA
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk ke depan sehingga
pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang terjadi.
Pemeriksaan neurologis (saraf)
dilakukan untuk menilai kekuatan, sensasi atau refleks.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan:
Rontgen tulang belakang
Pengukuran dengan skoliometer (alat untuk mengukur kelengkungan tulang belakang)
MRI (jika ditemukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen).
Kifosis
DEFINISI
Penyakit Scheuermann adalah suatu keadaan yang ditandai dengan nyeri
punggung dan adanya bonggol di punggung (kifosis).
Kifosis adalah suatu kelainan bentuk pada tulang belakang yang bisa terjadi akibat trauma,
gangguan perkembangan atau penyakit degeneratif. Kifosis pada masa remaja juga disebut
penyakit Scheuermann.

59
PENYEBAB
Penyebab dari penyakit Scheuermann tidak diketahui. Penyakit ini muncul
pada masa remaja dan lebih banyak menyerang anak laki-laki.
GEJALA
Gejalanya berupa:
– nyeri punggung yang menetap tetapi sifatnya ringan
– kelelahan
– nyeri bila ditekan dan kekakuan pada tulang belakang
– punggung tampak melengkung
– lengkung tulang belakang bagian atas lebih besar dari normal.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik (lengkungan
punggung yang abnormal). Juga dilakukan pemeriksaan neurologis (saraf) untuk
mengetahui adanya kelemahan atau perubahan sensasi).
Rontgen tulang belakang dilakukan untuk mengetahui beratnya lengkungan tulang
belakang.

Lordosis
Tulang belakang yang normal jika dilihat dari belakang akan tampak lurus. Lain halnya
pada tulang belakang penderita lordosis, akan tampak bengkok terutama di punggung
bagian bawah .
Gejala yang timbul akibat lordosis berbeda-beda untuk tiap orang. Gejala lordosis yang
paling sering adalah penonjolan bokong. Gejala lain bervariasi sesuai dengan gangguan lain
yang menyertainya seperti distrofi muskuler, gangguan perkembangan paha, dan gangguan
neuromuskuler.
Nyeri pinggang, nyeri yang menjalar ke tungkai, dan perubahan pola buang air besar dan
buang air kecil dapat terjadi pada lordosis, tetapi jarang. Jika terjadi gejala ini, dibutuhkan
pemeriksaan lanjut oleh dokter.

60
Selain itu, gejala lordosis juga seringkali menyerupai gejala gangguan atau deformitas
tulang belakang lainnya, atau dapat diakibatkan oleh infeksi atau cedera tulang belakang.
Untuk membedakannya dilakukan beberapa pemeriksaan seperti :
Sinar X. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur dan menilai kebengkokan, serta
sudutnya.
Magnetic resonance imaging (MRI)
Computed tomography scan (CT Scan)
Pemeriksaan darah

61
CHEKLIST PENILAIAN MEMBACA FOTO TULANG TENGKORAK DAN TULANG
BELAKANG

Nama :........ kelompok : .......


NIM :.......

No. Aspek ketrampilan yang dinilai Bobot skor


0 1 2
1 Menilai foto layak baca atau tidak 2
2 Menentukan posisi dari jenis foto tulang kepala 2

3 Menentukan macam- macam sinus paranasal 2


4 Memeriksa apakah adanya fracture pada tulang kepala 2
5 Menyebutkan jenis segmen dari tulang belakang 1
6 Menentukan kelainan lordosis dan pengertiannya 1
7 Menentukan kelainan kifosis dan pengertiaannya 1
8 Menentukan kelainan scoliosis dan pengertiaannya 1

SKOR TOTAL
P enjelasan:
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan,tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna
Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%
12

Lhokseumawe,………………2017

( )

62
MENGOBATI ULKUS TUNGKAI

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes mellitus berupa luka
terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat.
Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi
makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut
terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi
infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Tambunan, 2006).

3.2 Klasifikasi Kaki Diabetes

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh Edmonds dari
King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi wagner, klasifikasi texas,
serta yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan oleh International Working
Group On Diabetic Foot karena dapat menentukan kelainan apa yang lebih dominan,
vascular, infeksi, neuropatik,

Universitas Sumatera Utara

sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan baik (Waspadji, 2006).

1 Klasifikasi Edmonds (2004 – 2005)

- Stage 1 : Normal foot

- Stage 2 : High Risk Foot

- Stage 3 : Ulcerated Foot

- Stage 4 : Infected Foot

- Stage 5 : Necrotic Foot

- Stage 6 : Unsalvable Foot

2 Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner

Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit Grade 2 : Ulkus dalam
tanpa terlibat tulang / pembentukan abses. Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses
atau osteomielitis Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal

Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki

3 Klasifikasi Liverpool

Klasifikasi primer

Klasifikasi sekunder

63
: -Vascular
-Neuropati
-Neuroiskemik

: - Tukak sederhana, tanpa komplikasi - Tukak dengan komplikasi

4 Klasifikasi PEDIS menurut International Consensus On The Diabetic Foot (2003)

Impaired Perfusion

1 = None
2 = PAD + but not critical
3 = Critical limb ischemia

subcutaneous structures, fascia, muscle or tendon

1= Superficial fullthickness, not deeper than dermis

2 = Deep ulcer, below dermis. Involving


3 = All subsequent layers of the foot involved including bone and or joint Infection

1 = No symptoms or signs of infection

2 = Infection of skin and subcutaneous tissue only

3 = Erythema > 2 cm or infection involving subcutaneous structure, no systemic sign of


inflammatory response 4 = Infection with systemic manifestation : fever, leucocytosis, shift
to the left metabolic instability, hypotension, azotemia Impaired sensation

1= Absent
2 = Present (Waspadji, 2006).

3.3 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan, nyeri kaki saat istirahat.,
sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis
pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit kering
(Misnadiarly, 2006 ; Subekti, 2006)

3.4. Diagnosis Kaki Diabetes


Diagnosis kaki diabetes meliputi :

1. Pemeriksaan Fisik :

Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka / ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada
kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi / rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri
dorsalis pedis menurun atau hilang.

64
2 Pemeriksaan Penunjang :

X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah


ulkus kaki diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya (Waspadji, 2006).
3.5 Patogenesis Kaki Diabetes

Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus adalah ulkus kaki
diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut trias yaitu :
iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa
darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan
perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga
mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya
reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita
diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi dan
menjadi ulkus kaki diabetes (Waspadji, 2006).

Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah dalam
jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai
oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea,
kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena
penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat
mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan
kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan
kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati
pada penderita diabetes mellitus berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian
distal dari tungkai menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes (Tambunan,
2006). Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya akan
menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh
darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan yang
mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita diabetes mellitus yang tidak
terkendali akan meningkatkan HbA1C yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan
pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang
menggangu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan
yang selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah
sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada
dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah. Penderita diabetes mellitus
biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke
sebagian besar jaringan akan menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan, merangsang
reaksi peradangan yang akan merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan / inflamasi
pada dinding pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh
darah, konsentrasi HDL (highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah.
Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap
aterosklerosis (Tambunan, 2006).

65
Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga kaki menjadi
atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga
timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Pada penderita diabetes
mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali menyebabkan abnormalitas lekosit
sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis
dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk
dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki
diabetes, 50 % akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus
diabetika yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerob
yaitu Clostridium Perfringens, Clostridium Novy, dan Clostridium Septikum (Tambunan,
2006; Waspadji, 2006).

3.6 Faktor Risiko Terjadinya Kaki Diabetes

Faktor risiko terjadi ulkus diabetika yang menjadi gambaran dari kaki diabetes pada
penderita diabetes mellitus terdiri atas faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah dan
faktor-faktor risiko yang dapat diubah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

Faktor - faktor risiko yang tidak dapat diubah :

1. Umur
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging

terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap
pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal . proses aging menyebabkan
penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga terjadi makroangiopati, yang akan
mempengaruhi penurunan sirkulasi darah salah satunya pembuluh darah besar atau sedang
di tungkai yang lebih mudah terjadi ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2. Lama Menderita Diabetes Mellitus ≥ 10 tahun.

Ulkus kaki diabetes terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus yang telah menderita
10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan muncul
komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati dan
mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan
menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan /luka pada kaki penderita diabetes mellitus
yang sering tidak dirasakan karena terjadinya gangguan neurophati perifer (Tambunan,
2006; Waspadji, 2006).

Faktor-faktor risiko yang dapat diubah :

1. Neurophati (sensorik, motorik, perifer).


Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan

mikro sirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang
mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan terjadi neuropati.
Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak dengan baik, sehingga penderita
66
dapat kehilangan indra perasa selain itu juga kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit
kering dan mudah robek. Neuropati perifer berupa hilangnya sensasi rasa yang berisiko
tinggi menjadi penyebab terjadinya lesi yang kemudian berkembang menjadi ulkus kaki
diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2. Obesitas.
Pada obesitas dengan index massa tubuh ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT

(index massa tubuh) ≥ 25 kg/m2 (pria) atau berat badan ideal yang berlebih akan sering
terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 μU/ml, keadaan ini
menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang berdampak
pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah sedang / besar pada tungkai
yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi ulkus / ganggren sebagai bentuk dari kaki
diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

3. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes mellitus karena

adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga
terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg
dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel. Kerusakan pada endotel akan
berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi dan agregasi trombosit yang
berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan
mengakibatkan terjadinya ulkus (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

4. Glikosilasi Hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam

sirkulasi sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah merah.
Apabila Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) ≥ 6,5 % akan menurunkan kemampuan
pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang mengakibatkan hipoksia jaringan yang
selanjutnya terjadi proliferasi pada dinding sel otot polos sub endotel (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).

5. Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol.


Pada penderita diabetes mellitus sering dijumpai adanya peningkatan

kadar trigliserida dan kolesterol plasma, sedangkan konsentrasi HDL (highdensity -


lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rend≤ah45( mg/dl). Kadar trigliserida ≥ 150
mg/dl, kolesterol total≥ 200 mg/dl dan HDL ≤ 45 mg/dl akan mengakibatkan buruknya
sirkulasi ke sebagian besar jaringan dan menyebabkan hipoksia serta cedera jaringan,
merangsang reaksi peradangan dan terjadinya aterosklerosis. Konsekuensi adanya
aterosklerosis adalah penyempitan lumen

pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga suplai darah
ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang atau berkurangnya denyut nadi pada
arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai
dari ujung kaki atau tungkai (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

67
6. Kebiasaan Merokok.
Pada penderita diabetes mellitus yang merokok ≥ 12 batang per hari mempunyai risiko 3x
untuk menjadi ulkus kaki diabetes dibandingkan dengan penderita diabetes mellitus yang
tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari nikotin yang terkandung di dalam rokok
akan dapat menyebabkan kerusakan endotel kemudian terjadi penempelan dan agregasi
trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran sehingga lipoprotein lipase akan
memperlambat clearance lemak darah dan mempermudah timbulnya aterosklerosis.
Aterosklerosis berakibat insufisiensi vaskuler sehingga aliran darah ke arteri dorsalis pedis,
poplitea, dan tibialis juga akan menurun (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

7. Ketidakpatuhan Diet Diabetes Mellitus.


Kepatuhan diet diabetes mellitus merupakan upaya yang sangat penting dalam
pengendalian kadar glukosa darah, kolesterol, dan trigliserida mendekati normal sehingga
dapat mencegah komplikasi kronik, seperti ulkus kaki diabetes. Kepatuhan diet penderita
diabetes mellitus mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu mempertahankan berat
badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa
darah, memperbaiki profil lipid,meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki
sistem koagulasi darah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

8. Kurangnya Aktivitas Fisik.

Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah,
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga akan
memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah terkendali maka akan
mencegah komplikasi kronik diabetes mellitus. Olah raga rutin (lebih 3 kali dalam
seminggu selama 30 menit) akan memperbaiki metabolisme karbohidrat, berpengaruh
positif terhadap metabolisme lipid dan sumbangan terhadap penurunan berat badan.
Aktivitas fisik yang dilakukan termasuk senam kaki. Senam kaki dapat membantu
memperbaiki sirkualsi darah dan memperkuat otot - otot kecil kaki dan mencegah
terjadinya kelainan bentuk kaki (deformitas), selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot
betis dan otot paha (Gastrocnemeus, Hamsring, Quadriceps) dan juga mengatasi
keterbatasan gerak sendi. Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk
dan tidur, dengan cara menggerakkan kaki dan sendi-sendi kaki misalnya berdiri dengan
kedua tumit diangkat, mengangkat kaki dan menurunkan kaki. Gerakan dapat berupa
gerakan menekuk, meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau kedalam dan
mencengkram pada jari – jari kaki. Latihan dilakukan sesering mungkin dan teratur
terutama pada saat kaki terasa dingin. (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

9. Pengobatan Tidak Teratur.


Pengobatan rutin dan pengobatan intensif akan dapat mencegah dan menghambat timbulnya
komplikasi kronik, seperti ulkus diabetika. Sampai pada saat ini belum ada obat yang dapat
dianjurkan secara tepat untuk memperbaiki vaskularisasi perifer pada penderita Diabetes
Mellitus, namun bila dilihat dari penelitian tentang kelainan akibat arterosklerosis ditemapt
lain seperti jantung dan otak, obat seperti aspirin dan lainnya yang sejenis dapat digunakan
pada pasien Diabetes Mellitus meskipun belum ada bukti yang cukup kuat untuk
menganjurkan penggunaan secara rutin (Waspadji, 2006).

68
Pengobatan tidak teratur termasuk di dalamnya pemeriksaan terhadap kaki Penggolongan
dari kaki diabetes berdasarkan risiko terjadinya yang dapat dijadikan acuan dalam
memeriksa kaki penderita diabetes mellitus dan tindakan pencegahan yang dilakukan
adalah sebagai berikut :

Sensasi normal tanpa deformitas

Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar

tinggi

Insensitivitas tanpa deformitas

Iskemia tanpa deformitas

Kombinasi antara adanya insensitivitas, deformitas dan / atau iskemia (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).

10. Perawatan Kaki Tidak Teratur.


Perawatan kaki penderita diabetes mellitus yang teratur akan mencegah atau mengurangi
terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Acuan dalam perawatan kaki pada penderita
diabetes mellitus yaitu meliputi seperti selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih,
membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam kuku dengan memakai
sabun lembut dan mengeringkan dengan sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari
kaki, memakai krem kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-retak,
supaya kulit tetap mulus, dan jangan menggosok antara jari-jari kaki (contoh: krem
sorbolene), tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan
retak- retak. menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara
lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah dilakukan sesudah
mandi, sewaktu kuku lembut, kuku kaki yang menusuk daging dan kalus, hendaknya
diobati oleh podiatrist. Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa, yang bias
tergelincir; dan ini dapat menyebabkan luka pada kaki, jangan menggunakan penutup
kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya diobati hanya oleh podiatrist, memeriksa kaki
dan celah kaki setiap hari apakah terdapat kalus, bula, luka dan lecet dan menghindari
penggunaan air panas atau bantal panas (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

Perawatan luka sejak pasien datang harus ditangani dengan baik dan teliti, klasifikasi ulkus
PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Saat ini terdapat banyak sekali macam
Dressing (pembalut) yang masing – masing dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan luka
dan letak luka tersebut, teapi jangan lupa tindakan debridement merupakan syarat mutlak
yang harus dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasifikasikan luka, debridement
yang baik and adekuat tentu akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang
harus dikeluarkan tubuh sehingga membantu mengurangi produksi pus/ cairan dari ulkus /
gangrene diabetik (Waspadji, 2006).

Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka. Selama
proses inflamsi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses
selanjutnya yaitu proses granulasi sampai epitealisasi. Untuk menacapai suasana kondusif
bagi kesembuhan luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin

69
11. Penggunaan Alas Kaki Tidak Tepat

Penderita diabetes mellitus tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena tanpa menggunakan
alas kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma yang mengakibatkan ulkus kaki diabetes
yang diawali dari timbulnya lesi pada tungkai kaki, terutama apabila terjadi neuropati yang
mengakibatkan sensasi rasa berkurang atau hilang. Pencegahan dalam faktor mekanik
dengan memberikan alas kaki yang pas dan nyaman untuk penderita diabetes mellitus.
Penggunaan alas kaki yang tepat harus memperhatikan hal hal berupa tidak boleh berjalan
tanpa alas kaki, termasuk di pasir, memakai sepatu yang sesuai atau sepatu khusus untuk
kaki dan nyaman dipakai, sebelum memakai sepatu, memerika sepatu terlebih dahulu, kalau
ada batu dan lain-lain, karena dapat menyebabkan iritasi/gangguan dan luka terhadap kulit,
sepatu harus terbuat dari kulit, kuat, pas (cukup ruang untuk ibu jari kaki) dan tidak boleh
dipakai tanpa kaus kaki, sepatu baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati,
memakai kaus kaki yang bersih dan mengganti setiap hari, kaus kaki terbuat dari bahan wol
atau katun. Jangan memakai bahan sintetis, karena bahan ini menyebabkan kaki berkeringat
dan memakai kaus kaki apabila kaki terasa dingin (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

Edukasi sangat penting untuk setiap tahap pengelolaan kaki diabetes. Dengan penyuluhan
yang baik penderita diabetes mellitus dengan kaki diabetes maupun keluarganya diharapkan
akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal. Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang
harus dilaksanakan unutk pengelolaan kaki diabetes, bahkan sejak pencegahan terjadinya
ulkus kaki diabetes, keterlibatan ahli rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk mengurangi
kecacatan yang mungkin timbul pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut
sampai jauh sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagi para penderita kaki
diabetes yang mengalami amputasi untuk menghindari terjadinya ulkus baru. Pemakaian
alas kaki khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu mencegah
terbentuknya ulkus baru yang akan memberikan prognosis yang lebih buruk dari ulkus
sebelumnya

Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus ulkus diabetika.
Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan benda asing dan jaringan
nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan jaringan nekrotik,
debris, calus, fistula/rongga yang memungkinkan kuman berkembang. Setelah dilakukan
debridemen luka harus diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau pembersih lain dan
dilakukan dressing (kompres).
Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu
- debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik, debridement bedah.
- Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis,
ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk membersihkan jaringan nekrotik.
- Debridemen secara enzimatik dilakukan dengan pemberian enzim eksogen secara
topikal pada permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan residu residu protein.
Contohnya, kolagenasi
akan melisikan kolagen dan elastin. Beberapa jenis debridement yang sering dipakai adalah
papin, DNAse dan fibrinolisin.

70
Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena luka. Proses ini
melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen yang secara alami akan melisiskan
jaringan nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan
kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai agent yang
melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi. Belatung (Lucilla serricata)
yang disterilkan sering digunakan untuk debridemen biologi. Belatung menghasilkan enzim
yang dapat menghancurkan jaringan nekrotik.
Debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang paling cepat dan efisien. Tujuan
debridemen bedah adalah untuk :
Mengevakuasi bakteri kontaminasi,
Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan,
Menghilangkan jaringan kalus,
Mengurangi risiko infeksi lokal.

71
CHECK LIST PENILAIAN KETERAMPILAN Pemeriksaan ulkus pedis

Nama : ....................................... Kelompok : .....................


NIM : ......................................
Skor
No Aspek Keterampilan yang Dinilai Bobot 0 1 2
1. Berkomunikasi dengan pasien dan menjelaskan tujuan 1
dari tindakan dan meminta persetujuan tertulis pasien
dan/atau keluarga (informed consent)
2. Cuci tangan sesuai prosedur (sebelum dan 1
setelah tindakan)
3. Inspeksi dan palpasi bagian tubuh yang 1
terluka, memeriksa neurovaskuler bagian distal luka,
dan range
4. Perlindungan
of motion diri (sarung tangan steril) 1
5. Menentukan klasifikasi ulcus pedis menurut wagner 1

6. Menyebutkan factor resiko terjadinya ulkus 2


7. Menjelaskan beberapa teknik debridemen ulkus 2

8. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk berobat 1


rutin dan rutin membersihkan luka
9. Merujuk pasien ke dokter internis dan bedah untuk 1
penenganan lanjutan
SKOR TOTAL
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 Dilakukan, tapi belum sempurna
2 Dilakukan dengan sempurna

Nilai Mahasiswa = Skor Total x 100%


11
Lhokseumawe, …………………. 2017

Instruktur

Nip

72
DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun Penuntun Skill lab Blok 18. 2013. Panduan Skill Lab Blok 18.
Lhokseumawe: FK UNIMAL.
Skills Laboratory Manual. 2003. Vital sign Examination and Bandages and
Splints, Skills Laboratory. Yogyakarta: School of Medicine Gadjah Mada
University,

73

Anda mungkin juga menyukai