Anda di halaman 1dari 44

ABORTUS HABITUALIS

Nur Rissa Maharany, Steven Ridwan

I. PENDAHULUAN

Abortus adalah keluarnya hasil konsepsi kehamilan pada usia kehamilan dibawah 20

minggu. Abortus memiliki gejala pendarahan, keluarnya konsepsi, dan mengalami

kontraksi. Hal ini terjadi akibat adanya pembukaan dari mulut rahim atau cervix.

Penyebabnya antara lain adalah karena adanya kelainan kromosom dan inkompeten cervix,

dan konsepsi yang tidak baik. Hasil konsepsi yang tidak baik akan dianggap sebagai benda

asing oleh rahim dan akan dibuang. Usia sang ibu juga nampaknya sedikit berpengaruh.

Dari data yang ada, semakin tua usia sang ibu, maka resiko untuk mengalami abortus juga

semakin tinggi.1,2

Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi tiga kali atau lebih berturut-

turut. Pada umumnya penderita tidak sukar hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28

minggu.1,2 Angka kejadian jenis abortus ini ialah 0,4% dari semua kehamilan. Wanita yang

mengalami peristiwa tersebut, umumnya tidak mendapat kesulitan untuk menjadi hamil,

akan tetapi kehamilannya tidak dapat berlangsung terus dan terhenti sebelum waktunya,

biasanya pada trimester pertama tetapi kadang-kadang pada kehamilan yang lebih tua.3,4

Walaupun terjadinya abortus berturut-turut mungkin kebetulan, namun wajar untuk

memikirkan adanya sebab dasar yang mengakibatkan peristiwa berulang ini. Sebab dasar ini

kurang lebih 40% tidak diketahui; yang diketahui, dapat dibagi 3 golongan : a) kelainan

pada zigot; b) gangguan fungsi endometrium, yang menyebabkan gangguan implantasi

ovum yang dibuahi dan/atau gangguan dalam pertumbuhan mudigah; c) kelainan anatomik

pada uterus yang dapat menghalangi berkembangnya janin di dalamnya dengan sempurna.4

1
Bila menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka harus

mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang riwayat suami istri

dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik Perhatikan apakah

abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester kedua. Bila terjadi pada trimester

pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme

terjadinya abortus berulang. Bila terjadi pada trimester kedua maka faktor – faktor penyebab

lebih cenderung pada faktor anatomis terjadinya inkompetensi serviks dan adanya tumor

(mioma uteri) serta infeksi yang berat pada uterus atau serviks.1

II. DEFINISI

Menurut National Centre for Health Statistic, Centre for Disease Control and

Prevention, dan World Health Organization, abortus adalah penghentian kehamilan

sebelum janin mencapai viabilitas sebelum usia kehamilan 20-22 minggu, dengan berat

badan kurang dari 500 gram.2

Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-

turut.1 Abortus habitualis ini juga disebut sebagai abortus spontan berulang dan keguguran

berulang (recurrent spontaneous abortion dan recurrent pregnancy loss). Meskipun definisi

ini menyatakan tiga atau lebih keguguran, banyak yang sepakat bahwa evaluasi ini harus

dipertimbangkan setelah dua keguguran berturut-turut.2

Penderita abortus habitualis umumnya tidak sulit menjadi hamil kembali, tetapi

kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus berturut-turut. Bishop melaporkan

kejadian abortus habitualis sekitar 0,41% dari seluruh kehamilan.2 Etiologi dari abortus

habitualis dapat terkait dengan faktor endokrin, genetik atau medis, infeksi, faktor-faktor

2
uterus, pajanan obat, zat kimia atau radiasi atau rokok. Namun etiologi dari 50% kasus tidak

diketahui.3

Keguguran berulang perlu dibedakan dari keguguran sporadik. Keguguran sporadik

mengisyaratkan bahwa ada kehamilan bahwa ada kehamilan di antara keguguran yang

menghasilkan bayi sehat. Beberapa penulis membedakan keguguran berulang primer (belum

pernah mengalami hamil yang sukses) dari keguguran berulang sekunder (pernah

melahirkan bayi hidup).2

III. INSIDENS

Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang

tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tidak jelas

umur kehamilannya, hanya sedikit memberikan gejala atau tanda sehingga biasanya ibu

tidak melapor atau berobat. Sementara itu, dari kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan

abortus spontan atau kehamilan ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil

akan mengalami 2 keguguran yang berurutan, dan sekitar 1% dari pasangan mengalami 3

atau lebih keguguran yang berurutan.1

Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan

kejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Jika dikaji lebih jauh,

kejadian abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka

chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah konsepsi.

Sebagian besar kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma

dan disfungsi oosit).1 Kejadian abortus spontan meningkat dengan adanya keguguran

sebelumnya. Data dari berbagai studi mengindikasikan bahwa setelah 1 abortus spontan,

3
risiko abortus selanjutnya adalah 15%. Namun, jika 2 abortus spontan terjadi, risiko

berikutnya meningkat menjadi sekitar 30%. Secara keseluhan prevalensi RPL didapatkan

sebanyak 1% dari semua wanita usia produktif.5

Ogasawara et al melaporkan bahwa wanita yang mengalami keguguran 2 kali, 3 kali,

dan 4 kali di masa lalu kemungkinan besar akan mengalami abortus berikutnya dengan

probabilitas 42,7%, 44,6% dan 61,9%.4

IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Uterus pada seorang dewasa berbentuk seperti buah advokat atau buah peer yang

sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7 - 7,5 cm, lebar di tempat yang paling lebar

5,25 cm dan tebal 2,5 cm. uterus terdiri atas korpus uteri (2/3 bagian atas) dan serviks uteri

(1/3 bagian bawah).6

Di dalam korpus uteri terdapat rongga (kavum uteri), yang membuka keluar melalui

saluran (kanalis servikalis) yang terletak di serviks. Bagian bawah serviks yang terletak di

vagina dinamakan porsio uteri (pars vaginalis servisis uteri), sedangkan yang berada di atas

vagina disebut pars supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks masih ada

bagian yang disebut isthmus uteri.6

Bagian atas uterus disebut fundus uteri. Di situ tuba fallopii kanan dan kiri masuk ke

uterus. Dinding uterus terdiri atas miometrium, yang merupakan otot polos berlapis tiga;

yang sebelah luar longitudinal, yang sebelah dalam sirkuler, yang antara kedua lapisan ini

beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat berkontraksi dan berelaksasi.6

4
Gambar 1. Anatomi Organ Genitalia Interna

Kavum uteri dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar, disebut

endometrium. Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar, dan stroma dengan

banyak pembuluh-pembuluh darah yang berkelok-kelok. Di korpus uteri endometrium licin,

akan tetapi di serviks berkelok-kelok; kelenjar-kelenjar itu bermuara di kanalis servikalis

(arbor vitae). Pertumbuhan dan fungsi endometrium dipengaruhi sekali oleh hormon steroid

ovarium.6

Uterus ini sebenarnya terapung-apung dalam rongga pelvis dan jaringan ikat dan

ligamentum yang menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Ligamentum yang

memfiksasi uterus adalah1

1. Ligamentum kardinale sinistrum et dekstrum (Mackenrodt) yakni ligamentum yang

terpenting, mencegah supaya uterus tidak turun, terdiri atas jaringan ikat tebal, dan

berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral dinding pelvis. Di dalamnya

ditemukan banyak pembuluh darah, antara lain vena dan arteri uterina.

5
2. Ligamentum sakro-uterinum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang menahan

uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian belakang, kiri dan

kanan, ke arah os sakrum kiri dan kanan.

3. Ligamentum rotundum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang menahan uterus

dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan, ke daerah inguinal

kiri dan kanan. Pada kehamilan kadang-kadang terasa sakit di daerah inguinal waktu

berdiri cepat karena uterus berkontraksi kuat, dan ligamentum rotundum menjadi

kencang serta mengadakan tarikan pada daerah inguinal. Pada persalinan ia pun teraba

kencang dan terasa sakit bila dipegang.

4. Ligamentum latum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang meliputi tuba, berjalan

dari uterus ke arah sisi, tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebenarnya ligamentum

ini adalah bagian peritoneum viserale yang meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk

segitiga lipatan. Di bagian dorsal ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium

sinistrum et dekstrum). Untuk memfiksasi uterus, ligamentum latum ini tidak banyak

artinya.

5. Ligamntum infundibulo-pelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba Falloppii

berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan urat saraf,

saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika.

Disamping ligamentum tersebut di atas ditemukan pada sudut kiri dan kanan

belakang fundus uteri ligamentum ovarii proprium kiri dan kanan yang menahan ovarium.

Ligamentum ovarii ini embriologis berasal dari gubernakulum; jadi sebenarnya asalnya

seperti ligamentum rotundum yang juga embriologis berasal dari gubernakulum.1

6
Gambar 2. Ligamentum yang Memfiksasi Uterus

Uterus pada wanita dewasa umumnya terletak di sumbu tulang panggul dalam

anteversiofleksio (serviks ke depan atas) dan membentuk sudut dengan vagina, sedang

korpus uteri berarah ke depan dan membentuk sudut 120o-130o dengan serviks uteri. Di

Indonesia uterus sering ditemukan dalam retrofleksio (korpus uteri berarah ke belakang)

yang pada umumnya tidak memerlukan pengobatan.6

Perbandingan antara panjang korpus uteri dan serviks berbeda-beda dalam

pertumbuhan. Pada bayi perbandingan itu adalah 1:2, sedangkan pada wanita dewasa 2:1.6

Di luar, uterus dilapisi oleh serosa (peritoneum viserale). Jadi, dari luar ke dalam

ditemukan pada dinding korpus uteri serosa atau perimetrium, miometrium, dan

endometrium.6

7
Gambar 3. Uterus dan Tuba

Pasokan darah :

Uterus mendapat darah dari arteria uterine (cabang a.iliaka interna). Arteri ini

berjalan dalam ligamentum latum dan setinggi os interna, menyilang ureter pada sudut

kanan untuk mencapai dan memasok darah ke uterus sebelum melakukan anastomosis

dengan arteri ovarika (cabang aorta abdominalis).2

Gambar 4. Pasokan Darah Organ Genitalia Interna

8
Batas-batas :

Uterus dan serviks berbatasan dengan kavum uretrovesikalis dan permukaan atas

kandung kemih di anterior. Kavum retrouterina (douglasi), yang meluas ke bawah sejauh

forniks posterior vagina, merupakan batas posteriornya. Ligamentum latum adalah batas

lateral utama dari uterus.2

Gambar 5. Batas-Batas Organ Genitalia Interna

Drainase limfatik :

Pembuluh limfe dari fundus menyertai a.ovarika dan mengalir menuju kelenjar getah

bening para-aorta. Pembuluh limfe dari korpus dan serviks mengalir ke kelenjar getah

bening iliaka interna dan eksterna.2

Kadang-kadang pada persalinan terjadi perdarahan banyak oleh karena robekan

serviks ke lateral, sehingga mengenai cabang-cabang a.uterina. Robekan ini disebabkan

antara lain pimpinan persalinan yang salah, persalinan dengan alat misalnya ekstraksi

dengan cunam yang dilakukan dengan cermat dan sebagainya. Dalam hal ini harus berhati-

hati dalam menjahit robekan serviks; kadang-kadang disangka robekan sudah dijahit dengan

baik oleh karena tidak tampak adanya perdarahan lagi, padahal perdarahan tetap

berlangsung terus ke dalam parametrium. Timbullah hematom di parametrium yang sukar di

9
diagnosis dan dapat mengakibatkan ibu yang baru bersalin jatuh dalam syok dan jika

hematom di parametrium tidak dipikirkan, wanita itu mungkin tidak tertolong lagi.6

Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian

embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta yang

terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan

mengawali proses abortus.4

Pada kehamilan kurang dari 8 minggu :

Embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi

chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi

masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi

saat proses pengeluaran hasil konsepsi.2

Pada kehamilan 8 – 14 minggu:

Mekanisme diatas juga terjadi atau diawali dengan pecahnya selaput ketuban lebih

dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal

dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih

melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam

yang banyak.2

Pada kehamilan minggu ke 14 – 22:

Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat

kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan

gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak. Perdarahan

umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri lebih menonjol.2

10
Endokrinologi Kehamilan:

Dari segi endokrinologi, maka kehamilan dibagi atas tiga masa, yaitu :3

- Kehamilan muda

Masa ini ditandai oleh meningkatnya pembentukan HCG dari sel-sel trofoblas dan

perubahan korpus luteum menjadi korpus luteum graviditatis. Korpus luteum graviditatis

memproduksi estrogen dan progesterone.3

- Kehamilan pertengahan triwulan pertama

Pada masa ini produksi HCG yang semula meningkat mulai menurun. Estrogen dan

progesterone tidak dihasilkan lagi oleh korpus luteum graviditatis, melainkan oleh

plasenta.3

- Kehamilan triwulan kedua dan ketiga

Pada masa ini plasenta menghasilkan steroid seks dalam jumlah yang sangat besar. Selain

itu terjadi pula peningkatan sekresi hormon PRL (Prolaktin) dari hipofisis anterior.

Plasenta juga membentuk human chorionic somatomammotropin (hCS), human placental

lactogen (hPL), atau human chorionic thyrotropin (hCt)3

Pembentukan HCG meningkat pada awal kehamilan dan mencapai puncaknya pada

hari ke 50 hingga hari ke 80 kehamilan. Hormon khorionik ini memicu sintesis steroid seks

tidak hanya di korpus luteum, melainkan juga di plasenta. Jumlah progesterone yang

dibentuk oleh plasenta mencapai 200 ng sehari atau lebih. Progesterone ini dapat dibuktikan

dengan memeriksa pregnandiol dalam urine 24 jam atau dalam serum secara teraradioimun

(TRI).6

Pada pihak lain, produksi estrogen meningkat perlahan-lahan dan mencapai

puncaknya pada akhir kehamilan. Kadar estrogen yang dibentuk oleh plasenta dapat

11
mencapai 40 ng sehari. Telah dibuktikan bahwa kadar estradiol serum yang sangat tinggi

dapat menunjukkan kemungkinan adanya kehamilan ganda, sedangkan kadar estradiol yang

rendah menunjukkan adanya anensefalus atau gawat janin.6

Dalam kehamilan dijumpai pula peningkatan aktivitas adrenal. Ini tampak dari

pengeluaran 17-ketosteroid dan 17-hidroksisteroid. Peningkatan kortikosteroid ini

menimbulkan striae pada wanita hamil. Selain itu, berat kelenjar tiroid ternyata meningkat

dalam kehamilan. Telah diketahui di bawah pengaruh estrogen terjadi peningkatan kapasitas

pengikatan iodium oleh protein plasma.6

Di bawah pengaruh steroid seks uterus bertambah besar. Pada kehamilan 36 minggu

beratnya mencapai 1000 gram (20 kali lipat). Pembesaran uterus itu sementara dipicu oleh

estrogen. Selain meningkatkan jumlah aktin dan myosin, estrogen juga meningkatkan

membrane potensial sel-sel otot tersebut. Progesterone menyebabkan relaksasi otot-otot

uterus. Relaksasi otot ini dibantu pula oleh enzim oksitosinase yang menginaktifkan hormon

oksitosin.6

Selain progesteron dan estrogen, korpus luteum juga menghasilkan relaksasin, suatu

hormon polipeptida. Hormon ini menyebabkan relaksasi tulang-tulang panggul. Pembesaran

payudara pada kehamilan dipengaruhi oleh steroid seks; dan pigmentasi putting susu

disebabkan oleh pengaruh estrogen yang merangsang melanin.6

12
V. KLASIFIKASI

Dikenal berbagai macam abortus sesuai dengan gejala, tanda, dan proses patologi

yang terjadi1,2

1. Abortus spontan

Abortus yang terjadi yang tidak dilalui oleh faktor mekanis maupun faktor

medisinalis semata-mata disebabkan oleh factor alamiah. Abortus spontan secara klinis

dapat dibedakan antara abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompletus,

abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed abortion, abortus habitualis, abortus

infeksiosus dan aborrtus septik.1,2

a. Abortus imminens

Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20

minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.

Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan

melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus

membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan

positif. 1,2

b. Abortus insipiens

Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan

adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam

uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan

bertambah.1,2

13
c. Abortus inkompletus

Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu

dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis

servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang

sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.

d. Abortus kompletus

Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di

keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan

lengkap. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup,

dan uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat di permudah apabila hasil

konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan

lengkap.

e. Missed abortion

Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan di

dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion

biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang

secara spontan atau setelah pengobatan.

Gejala subyektif kehamilan menghilang, mammae agak mengendor lagi,

uterus tidak membesar lagi malah mengecil, dan tes kehamilan menjadi negatif.

Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan besarnya

sesuai dengan usia kehamilan.

14
2. Abortus provokatus1,2

Abortus provokatus adalah tindakan abortus yang sengaja dilakukan untuk

menghilangkan kehamilan sebelum umur 20 minggu atau berat janin 500 gram, baik

dengan memakai alat-alat atau menggunakan obat-obatan, abortus ini terbagi atas :

a. Abortus terapeutik (medisinalis)

Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan

dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya

perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.

b. Abortus kriminalis

Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau

tidak berdasarkan indikasi medis.

c. Unsafe Abortion

Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana tindakan tersebut

tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat

membahayakan keselamatan jiwa pasien.

15
VI. ETIOLOGI

Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan.

Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut: 1

1. Faktor genetik. Translokasi parental keseimbangan genetik

- Mendelian

- Multifaktor

- Robertsonian

- Respirokal

2. Kelainan kongenital uterus

- Anomali duktus Mulleri

- Septum uterus

- Uterus bikornis

- Inkompetensi serviks uterus

- Mioma uteri

- Sindrom Asherman

3. Autoimun

- Aloimun

- Mediasi imunitas humoral

- Mediasi imunitas seluler

4. Defek fase luteal

- Faktor endokrin eksternal

- Antibody antitiroid hormone

- Sintesis LH yang tinggi

16
5. Infeksi

6. Hematologik

7. Lingkukan

Resiko berulangnya abortus setelah abortus 1 adalah 20 %, resiko setelah abortus 2

adalah 25 %, dan resiko setelah abortus 3 adalah 30 %.1

Tabel 1. Etiologi Abortus Berulang


Menurut Ford dan Schust (2009), menjelaskan bahwa penyebab abortus berulang yang

diketahui yakni:2,5

1. Kelainan genetik

Penyebab yang paling sering menimbulkan abortus adalah abnormalitas

kromosom pada janin. Lebih dari 60% abortus yang terjadi pada trimester pertama

menunjukkan beberapa tipe abnormalitas genetik. Abnormalitas genetik yang paling

sering terjadi adalah aneuploidi (abnormalitas komposisi kromosom) contohnya trisomi

autosom yang menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan.5 Meskipun hal ini hanya

17
menyebabkan 2 sampai 4 persen keguguran berulang, evaluasi kariotipe kedua orang tua

tetap merupakan bagian penting dalam evaluasi.2

Kejadian tertinggi kelainan sitogenik konsepsi terjadi pada awal kehamilan.

Kelainan sitogenik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian

sporadic, misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal.

Separuh dari abortus karena kelainan sitogenik pada trimester pertama berupa trisomy

autosom. Triploidi ditemukan pada 16% kejadian abortus, di mana terjadi fertilisasi ovum

normal haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi

timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan

kariotip normal. Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa

berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia.

Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30% dari seluruh trisomi, merupakan penyebab

terbanyak. Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomy kromosom 1.

Sindroma Turner merupakan merupakan penyebab 20 – 25% kelainan sitogenetik pada

abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (trisomy 21) bisa bertahan.1

Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (tetraploidi,

triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kelangsungan kehamilan.

Tetraploidi terjadi pada 8% kejadian abortus akibat kelainan kromosom, dimana

terjadinya kelainan pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan.1

Poliploidi menyebabkan sekitar 22% dari abortus spontan yang terjadi akibat

kelainan kromosom. Sekitar 3-5% pasangan yang memiliki riwayat abortus spontan yang

berulang salah satu dari pasangan tersebut membawa sifat kromosom yang abnormal.

Identifikasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kariotipe dimana bahan pemeriksaan

18
diambil dari darah tepi pasangan tersebut. Tetapi pemeriksaan ini belum berkembang di

Indonesia dan biayanya cukup tinggi.5

Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural

terjadi pada sekitar 3% kelainan sitogenik pada abortus. Ini menunjukkan bahwa kelainan

struktur kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom pada pria

bisa berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan bisa mengurangi

peluang kehamilan dan terjadinya keguguran.1

Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya mutasi

gen yang bisa mengganggu proses implantasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh

untuk kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic

dystrophy, yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini

progresif, dan penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan

gangguan fungsi uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium

atau testis.1

Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindrom Marfan, Sindroma Ehlers-

Danlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elsaticum. Juga pada perempuan dengan

sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark

pada plasenta. Kelainan hematologic lain yang menyebabkan abortus misalnya

disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII, hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital.1

Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang

abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak

diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan

kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.1

19
2. Autoimun

Sekarang ini makin dikenal anti phospholipid syndrome (APS), yaitu kekacauan

autoimun yang menyebabkan abortus habitualis karena trombosis vaskularisasi plasenta.

APS adalah gangguan autoimun yang ditandai oleh trombosis pembuluh darah vena dan

atau arteri. Anti phospholipid syndrome merupakan autoantibodi terhadap antigen yang

terdiri dari phospholipid bermuatan negatif. Bagaimana timbulnya antigen tersebut belum

diketahui. Anti phospholipid syndrome terdiri dari IgG, IgM dan IgA. Anti phospholipid

syndrome yang terpenting dalam klinis yaitu Lupus Anticoagulant (LAC) dan

anticardiolipin antibodies (aCLs). Pada APS terjadi trombosis vaskularisasi plasenta,

sehingga menyebabkan abortus berulang. Kejadian yang sering dilaporkan di kelompok

wanita usia subur adalah abortus berulang oleh karena adanya infark yang luas di

plasenta. Adanya trombosis dan vaskulopati arteri spiralis ibu menyebabkan isufisiensi

dan hipoksia jaringan plasenta. Hal ini yang dapat menyebabkan abortus. Teori yang

sederhana sebagai penyebab abortus di APS adalah darah kental tidak mampu melewati

pembuluh darah paling kecil di plasenta. Plasenta mengkerut dan embrio/fetus tidak dapat

hidup dan terjadilah keguguran (20%).5

Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun.

Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies

(aPA). aPA merupakan antibody spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.

Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10% dibanding populasi umum.

Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka

diperkirakan 75% pasien dengan SLE sekitar akan dengan terhentinya kehamilan.

Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan

20
antibody yang akan berikatan dengan sisi negative dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3

bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus

Anticoagulant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan biologically false-positive

untuk syphilis (FP-STS). APS (antiphospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada

beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeclampsia, IUGR dan prematuritas.

Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu thrombosis arteri-vena,

trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum.1

The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria

untuk APS, yaitu meliputi:1

1) Trombosis vaskular

- Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapiler yang dibuktikan

dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi.

- Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi

2) Komplikasi kehamilan

- Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan

anatomik, genetik, atau hormonal.

- Satu atau lebih kematian janin di mana gambaran morfologi secara sonografi

normal

- Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan

berhubungan dengan preeklampsia berat atau insufisiensi plasenta yang berat.

3) Kriteria laboratorium

- aCL: IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali atau

lebih pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama dengan 6 minggu

21
- aCL diukur dengan metode ELISA standar

4) Antibodi fosfolipid/antikoagulan

- Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT, CT)

- Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan

plasma platelet normal

- Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid

- Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin

3. Gangguan hormonal.

Sekitar 15% - 30% gangguan endokrin dapat mempengaruhi peningkatan resiko

abortus habitualis. Beberapa gangguan endokrin yang dapat meningkatkan resiko abortus

habitualis diantaranya adalah insulin –dependen diabetes melitus, defisiensi progesteron,

gangguan tiroid, dan gangguan fase luteal.5

Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik

sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap

sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi

terutama kadar progesteron.1

- Diabetes melitus

Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak

lebih jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan

diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan

malformasi janin meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan

kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2 – 3 kali lipat mengalami abortus.

22
- Kadar progesteron yang rendah

Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas

endometrium terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan Corner

mempublikasikan tentang proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa

kadar progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Support fase

luteal punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu akan menyebabkan

abortus. Dan bila progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa

diselamatkan.1

Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus

luteum atau plasenta, mempunyai kaitan dengan kenaikan insiden abortus. Karena

progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara

teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut

berperan dalam peristiwa kematiannya.5

- Defek fase luteal

Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron

saat fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23 – 60% perempuan dengan

abortus berulang. Sayangnya, belum ada metode yang bisa dipercaya untuk

mendiagnosis gangguan ini. Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami

abortus lebih dari satu atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17% kejadian defek fase

luteal punya gambaran progesteron yang normal.

Pada wanita dengan abortus habitualis, ditemukan bahwa fungsi glandula

tiroidea kurang sempurna. Hubungan peningkatan antibodi antitiroid dengan abortus

berulang masih diperdebatkan karena beberapa penelitian menunjukkan hasil yang

23
berlawanan. Defek fase luteal (DPL) adalah gangguan fase luteal. Gangguan ini bisa

menyebabkan disfungsi tuba dengan akibat transpor ovum terlalu cepat, mobilitas

uterus yang berlebihan, dan kesukaran nidasi karena endometrium tidak dipersiapkan

dengan baik. Penderita dengan DPL mempunyai karakteristik siklus haid yang

pendek,interval post ovulatoar kurang dari 14 hari dan infertil sekunder dengan

recurrent earlylosses (17%-20%).5

4. Kelainan Anatomi.

Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti

abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus

berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus,

ditemukan anomali uterus pada 27% pasien.1

Faktor anatomi kogenital dan didapat pernah dilaporkan timbul pada 10-15%

wanita dengan abortus spontan yang rekuren. Abnormalitas anatomi maternal yang

dihubungkan dengan kejadian abortus spontan yang berulang termasuk inkompetensi

serviks, malformasi kongenital dan defek uterus yang didapatkan (acquired), sinokia

intrauterus-Sindrom Asherman dan leiomioma.5

Inkompetensi serviks adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan

kehamilan sampai aterm. Malformasi kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang

inkomplit yang dapat menyebabkan uterus unikornus, bikornus atau uterus ganda.5

Defek pada uterus yang acquired yang sering dihubungkan dengan kejadian

abortus spontan berulang termasuk perlengketan uterus atau sinekia dan leiomioma.

Adanya kelainan anatomis ini dapat diketahui dari pemeriksaan USG dan HSG.5

24
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus,

mendapatkan hasil hanya 18,8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan,

sedangkan 36,5% mengalami persalinan abnormal (premature, sungsang). Penyebab

terbanyak abortus karena kelainan anatomic uterus adaah septum uterus (40 – 80 %),

kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 – 30%). Mioma uteri

bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara

10 – 30% pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan

gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum)

yang akan menimbulkan gangguan.1

Sindrom Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan

darah pada permukan endometrium. Risiko abortus antara 25 – 80%, bergantung pada

berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan

histerosalfingografi (HSG) dan ultrasonografi.1

5. Gangguan nutrisi.

Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar menjadi

predisposisi abortus. Meskipun demikian, belum ditemukan bukti yang menyatakan

bahwa defisisensi salah satu atau semua nutrien dalam makanan merupakan suatu

penyebab abortus yang penting.5

Berbagai penyakit seperti anemia berat, penyakit menahun dan lain-lain juga

dapat mempengaruhi gizi ibu sehingga mengganggu persediaan berbagai zat makanan

untuk janin yang sedang tumbuh.5

25
6. Penyakit infeksi

Infeksi Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus dan herpes merupakan penyakit

infeksi parasit dan virus yang selalu dicurigai sebagai penyebab abortus melalui

mekanisme terjadinya plasentitis. Mycoplasma, Lysteria dan Chlamydia juga merupakan

agen yang infeksius dan dapat menyebabkan abortus habitualis (0,5%-5%).5

Teori peran mikroba infeksi terhadap terhadap kejadian abortus mulai diduga

sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus

berulang pada perempuan yang ternyata terpapat brucellosis. Beberapa jenis organisme

tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain:1

1) Bakteria

- Listeria monositogenes

- Klamidia trakomatis

- Ureaplasma urealitikum

- Mikoplasma hominis

- Bakterial vaginosis

2) Virus

- Sitomegalovirus

- Rubela

- Herpes simpleks virus (HSV)

- Human immunodeficiency virus (HIV)

- Parvovirus

26
3) Parasit

- Toksoplasmosis gondii

- Plasmodium falsiparum

4) Spirokaeta

- Treponema pallidum

Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap

risiko abortus, di antaranya sebagai berikut.1

1) Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak

langsung pada janin atau unit fetoplasenta.

2) Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit

bertahan hidup.

3) Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian

janin.

4) Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal

Mikoplasma hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa

mengganggu proses implantasi.

5) Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram negatif, Listeria monositogenes)

6) Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus

selama kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus B19, sitomegalovirus, koksakie

virus B, varisela-zoster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV).

7. Faktor Lingkungan

Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau

radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus. Misalnya paparan terhadap buangan gas

27
tembakau. Rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang

telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta.

Karbonmonoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu

neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem fetoplsenta dapat terjadi gangguan

pertumbuhan janin yang dapat berakibat terjadinya abortus.5

8. Faktor Hematologi

Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya

mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan

fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan

plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan:1

- Peningkatan kadar faktor prokoagulan

- Penurunan faktor antikoagulan

- Penurunan aktivitas fibrinolitik

Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal,

terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum

terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-

kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat

peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan

penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 8 – 11 minggu. Perubahan rasio

tromboksan-prostasiklin memacu vasospasme serta agregasi trombosit, yang akan

menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar

protein C dan fibrinopeptide.1

28
Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan trombosit sistematik

ataupun plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada

lebih dari 22% kasus.1

Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke

sistein. Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan

trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus

berulang. Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang

didapat adalah defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan

kadar homosistein normal dalam beberapa hari.1

VII. PATOFISIOLOGI

Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya

dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast

cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan

terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau heparinisasi. Akan

tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari penyebab abortus ini secara lengkap

sehingga dapat diobati sesuai dengan penyebabnya.1

Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan

dimana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah

kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka (inkompeten)

tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan

ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada

29
tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga

diameter kanalis servikalis sudah melebar.1

Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin, pada awal abortus

terjadi pendarahan dalam desidua basalis, yang kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan

disekitarnya yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya dan

diinterpretasikan sebagai benda asing dalam uterus. Kemudian uterus mulai berkontraksi

untuk mengeluarkan benda asing tersebut.2

Pada kehamilan kurang dari 10 minggu vili korialis belum menembus desidua secara

dalam, jadi hasil konsepsi mudah terlepas seluruhnya. Pada kehamilan 10 sampai 14 minggu

penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna. Pada kehamilan

lebih 14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu dari pada plasenta. Pendarahan tidak

banyak jika plasenta segera dilepas dengan lengkap.2

VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Khususnya

diagnosis abortus habitualis karena inkompetensi menunjukkan gambaran klinik yang khas,

yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mules yang

selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila

penderita datang dalam triwulan pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti

dengan melakukan pemeriksaan vaginal tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh

bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks

inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi (HSG) yaitu ostium internumuteri

melebar lebih dari 8 mm.3

30
Bila menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka harus

mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang riwayat suami istri

dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik Perhatikan apakah

abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester ke dua. Bila terjadi pada trimester

pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme

terjadinya abortus berulang. Bila terjadi pada trimester kedua maka faktor – faktor penyebab

lebih cenderung pada faktor anatomis terjadinya inkompetensi serviks dan adanya tumor

mioma uteri serta infeksi yang berat pada uterus atau serviks. Ikutilah langkah – langkah

investigasi untuk mencari faktor – faktor yang potensial menyebabkan terjadinya abortus

spontan yang berulang sebagai berikut :1,2

a. Riwayat penyakit terdahulu1,2

1. Kapan abortus terjadi. Apakah pada trimester pertama atau pada trimester

berikutnya adakah penyebab mekanis yang menonjol.

2. Mencari kemungkinan adanya toksin, lingkungan dan pecandu obat (naza).

3. Infeksi ginekologi dan obstetri.

4. Gambaran asosiasi terjadinya “antiphospholipid syndrome (thrombosis,

autoimmune phenomena, false-positive tests untuk sifilis)

5. Faktor genitik antara suami istri ( consanguinity ).

6. Riwayat keluarga yang pernah mengalami terjadinya abortus berulang dan sindroma

yang berkaitan dengan kejadian abortus ataupun partus prematurus yang kemudian

meninggal.

7. Pemeriksaan diagnostik yang terkait dan pengobatan yang pernah didapat.

31
b. Pemeriksaan fisik1,2

1. Pemeriksaan fisik secara umum

2. Pemeriksaan ginekologi

c. Pemeriksaan laboratorium1,2

1. Kariotipe darah tepi kedua orang tua

2. Biopsi endometrium pada fase luteal

3. Pemeriksaan hormon TSH dan antibodi anti tiroid

4. Antibodi antiphospholipid ( cardiolphin, phosphatidylserine )

5. Lupus antikogulan ( a partial thromboplastin time or Russell Viper Venom )

6. Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit

7. Kultur cairan serviks (mycoplasma, ureaplasma, chlamdia) bila diperlukan.

Gambar 6. Algoritma Diagnosis Keguguran Berulang7

32
1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan pada usia kehamilan berapa

pasien mengalami kejadian keguguran. Terutama kejadian keguguran pada usia kehamilan

yang sangat dini perlu dipastikan apakah pasien pernah melakukan pengecekan hormon

hCG untuk memastikan adanya kehamilan. Hal ini dirasakan penting karena sebagian

besar pasien menganggap dirinya hamil apabila haidnya datang terlambat. Perlu

ditanyakan pula apakah pernah dilakukan pemeriksaan USG. Apabila pernah, maka perlu

didefinisikan temuan USG yang spesifik (lihat point E). Perlu pula ditanyakan gejala apa

saja yang menyertai saat terjadinya keguguran. Selain itu riwayat penyakit terdahulu,

riwayat penyakit keluarga, riwayat tindakan pembedahan, penggunaan obat-obatan atau

pengobatan tradisional, gaya hidup, serta adanya masalah psiko-sosial perlu

didokumentasikan. Riwayat obstetrik terkait dengan riwayat kehamilan sebelumnya perlu

pula didokumentasikan dengan lengkap.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisis yang diakukan adalah pemeriksaan fisik umum dan

pemeriksaan ginekologi yang ditujukan untuk melakukan penilaian pada alat genitalia

(vagina, serviks, uterus) dan USG transvaginal.

3. Hormon hCG

hCG adalah hormon yang sangat spesifik didapatkan dalam kondisi kehamilan

karena diproduksi oleh sel-sel trofoblas. Pemeriksaan hCG umumnya dilakukan secara

kualitatif dengan cara menggunakan urine sebagai spesimen. Namun kadar hCG dapat

pula diukur secara kuantitatif yang umumnya menggunakan spesimen dari darah. Perlu

33
ditanyakan terkait dengan kadar hCG yang terukur pertama kali serta kecenderungannya

setelah itu, apakah menurun secara bermakna dikaitkan dengan usia kehamilannya.

4. Indikator USG (Transvaginal)

Apakah terdapat gambaran kantung gestasi, struktur janin (fetal echo), dan yang

paling penting adalah apakah pernah teridentifikasi aktivitas denyut jantung janin

sebelumnya.

5. Analisis Kromosom

Analisis kromosom dapat dilakukan dengan menggunakan bahan yang berasal

dari darah orang tuanya (ayah dan ibu, atau apabila keguguran baru saja terjadi, maka

dapat pula digunakan bahan yang berasal dari jaringan abortus [Rekomendasi C, Level of

evidence IV]. Pemeriksaan kromosom dari bahan janin perlu dipertimbangkan apakah

cukup efektif untuk memberikan informasi dan perlu didukung adanya fasilitas serta ahli

yang memadai. Disarankan untuk melakukan kromosom dari orangtua saja apabila tidak

ada fasilitas yang memadai untuk pemeriksaan kromosom dari jaringan abortus.

Pemeriksaan analisis kromosom dari darah orang tua dapat dipertimbangkan

meski diperkirakan hanya kurang lebih 4.7% pasangan keguguran berulang memiliki

kelainan kromosom. Penelitian terdahulu menunjukkan peran kelainan kromosom yang

penting pada hasil konsepsi di keguguran trimester pertama.

6. Evaluasi Sitogenik

Evaluasi sitogenetik pada keguguran trimester pertama menunjukkan kejadian

kelainan kromosom janin sebesar 50-70%. Selanjutnya pemeriksaan kromosom dari

jaringan abortus menunjukkan kelainan sebesar 29-57%. Bahkan hasil pemeriksaan

chorionic villus sampling (CVS) pada kehamilan berikutnya setelah mengalami kejadian

34
keguguran 3 kali berturut-turut mendapatkan kelainan kromosom sebesar 60%. Jenis

kelainan kromosom yang ditemukan pada orang tua adalah kelainan translokasi resiprokal

(1.3%), translokasi Robertsonian (0.6%), inversi (0.2%), aneuploidi kromosom seks

(0.1%), dan supernumary chromosome (0.003%). Sementara kelainan kromosom yang

ditemukan pada jaringan abortus adalah kelainan numerik berupa trisomi pada kromosom

13, 14, 15, 16, 21 dan 22, dan monosomi pada kromosom X.

7. Pemeriksaan Fungsi Tiroid dan TSH

Pemeriksaan hormon yang dilakukan meliputi pemeriksaan fungsi kelenjar tiroid

maupun pankreas dalam hal melakukan pengaturan kadar gula darah. Rekomendasi dari

RCOG menyatakan bahwa pemeriksaan rutin terhadap kelenjar tiroid (TSH dan FT4) dan

toleransi glukosa (kadar gula darah dan insulin puasa dan 2 jam post-prandial) pada

pasien keguguran berulang yang tidak memiliki gejala sebenarnya bersifat tidak infomatif

Pemeriksaan hormon reproduksi yang terkait dengan proses folikulogenesis

dan penebalan endometrium seperti Progesteron, LH dan prolaktin dapat dilakukan.

Rekomendasi RCOG menyatakan bahwa : pemeriksaan efek suplementasi progesteron

untuk mencegah keguguran ternyata tidak memiliki cukup bukti selanjutnya upaya untuk

menurunkan kadar LH pada kasus hipersekresi LH yang siklusnya berovulasi pada pasien

keguguran berulang dengan PCO tidak akan meningkatkan angka kelahiran hidup dan

masih belum terdapat cukup bukti untuk menilai hiperprolaktinemia sebagai salah

satu faktor risiko kejadian keguguran berulang.

Kejadian hiper atau hipotiroid banyak dikaitkan dengan kejadian keguguran

berulang. Bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa kelainan tiroid yang diobati tidak

berhubungan dengan kejadian keguguran berulang. Penelitian baru-baru ini juga

35
menunjukkan bahwa 2% dari pasien keguguran pada masa trimester tengah didapatkan

kelainan hipotiroid. Indikator yang digunakan untuk menilai fungsi kelenjar tiroid adalah

kadar Thyroid Stimulating Hormone (TSH), dan Free thyroxine (FT4). Pemeriksaan

fungsi kelenjar tiroid terutama dapat dipertimbangkan apabila pasien memiliki keluhan

atau tinggal di lokasi yang dikenal memiliki kejadian yang cukup tinggi untuk kelainan

tiroid (endemik). Kondisi hipertiroid didefinisikan apabila terdapat peningkatan kadar FT4

dan penurunan TSH. Sebaliknya kondisi hipotiroid ditandai dengan penurunan kadar FT4

dan peningkatan kadar TSH.

Bukti saat ini menunjukkan bahwa kondisi diabetes yang terkendali tidak

berhubungan dengan kejadian keguguran berulang. Namun studi terbaru menunjukkan

bahwa kejadian resistensi insulin lebih banyak ditemukan pada kasus keguguran berulang.

Kondisi diabetes ditentukan berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah puasa dan 2 jam

post-prandial. Sementara untuk melakukan penilaian resistensi insulin dapat digunakan

pemeriksaan rasio kadar gula darah puasa dan insulin puasa. Penelitian sebelumnya

menunjukkan rasio kadar gula darah puasa dan insulin puasa < 10.1 dianggap sebagai

resistensi insulin.

8. Ultrasonografi

Penelitian sebelumnya menunjukkan gambaran USG yang umum ditemukan pada

pasien keguguran berulang adalah ovarium polikistik (volume ovarium > 9 mL, > 10

folikel dengan diameter 2-8 mm, dan peningkatan densitas stroma). Angka prevalensi

PCO pada kejadian keguguran berulang dilaporkan mencapai 40.7%, meski hasil

penelitian lain mendapatkan angka yang lebih rendah (7.8%). Penelitian sebelumnya juga

36
memperlihatkan kondisi hipersekresi LH (> 10 IU/L) atau hiperandrogenemia yang terkait

dengan gambaran PCO juga berhubungan dengan kejadian keguguran baik pasca konsepsi

alami atau pasca siklus IVF. Berdasarkan kriteria Roterdam apabila seorang wanita

menunjukkan gejala 2 dari 3, dari siklus anovulasi, gejala dan tanda hiperandrogen atau

gambaran PCO, maka ia dikategorikan memiliki kelainan Sindrom Ovarium Polikistik

(SOPK).

9. Antivody Antiphospholipid

Pemeriksaan laboratorium pada sindrom antibodi antifosfolipid meliputi

pemeriksaan sebagai berikut : Antibodi antikardiolipin (IgG/IgM) yang berasal dari serum.

Dianggap positif apabila, titernya mencapai lebih dari kadar titer medium (> 40

MPL/GPL), atau > 3 kali nilai kontrol, dan persisten selama 12 minggu. Anti beta 2

glikoprotein I (IgG/IgM) yang berasal dari serum. Dianggap positif apabila, titernya

mencapai lebih dari 3 kali nilai kontrol, dan persisten selama 12 minggu. Antikoagulan

Lupus (LA) yang berasal dari serum.

37
IX. PENATALAKSANAAN7

Gambar 7. Algoritma Penanganan Keguguran Berulang

1. Konseling

Konseling mengenai masalah kelainan kromosom dan genetika perlu diberikan,

apabila dari hasil analisa kariotipe didapatkan suatu kelainan. Hal ini penting untuk

informasi orang tua yang bersangkutan terkait dengan pola penurunan kelainan

kromosom tersebut. Perlu diberikan informasi terkait kemungkinan berulang dan

ketidaktersediaan terapi. Diharapkan dokter yang menangani dapat berkoordinasi dengan

ahli genetika.

38
2. Skrining pranatal

Perlu dianjurkan apabila pasien tersebut hamil untuk memastikan tidak

ditemukannya kelainan kromosom. Pemeriksaan pranatal bisa dilakukan dengan

menggunakan metode chorionic villi sampling (CVS) atau amniosentesis.

3. Pemberian Metformin

Untuk kasus resistensi insulin dapat diberikan metformin. Metformin tergolong

dalam obat biguanid oral yang terbukti dapat digunakan untuk pengobatan kasus

Diabetes Melitus (DM) tipe 2. Metformin dapat memperbaiki resistensi insulin melalui

mekanisme peningkatan ambilan glukosa oleh otot dan lemak, serta meningkatan ikatan

dengan reseptor insulin. Pemberian metformin dapat memicu efek samping pada saluran

cerna berupa timbulnya rasa mual. Oleh karena itu amat penting untuk memulai

pengobatan metformin dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan hingga mencapai

dosis pengobatan, yaitu 3 x 500 mg per hari atau 2 x 850 mg per hari.

4. Stimulasi Ovarium dan Luteal Support

Untuk masalah kelainan hormon reproduksi yang diakibatkan oleh karena defek

fase luteal atau siklus anovulasi dalam hal ini PCOS dapat menggunakan stimulasi

ovarium dan luteal support. Stimulasi ovarium dapat menggunakan preparat anti-

estrogen (clomiphene citrate), rekombinan FSH atau aromatase inhibitor. Sementara

untuk luteal support dapat menggunakan preparat progestogen atau progesteron. Luteal

support dapat dilakukan dengan pemberian didrogesteron (Duphaston) 2x10 mg per hari,

atau diberikan preparat progesteron supositoria dengan dosis 1x400 mg per hari selama

masa luteal (14 hari). Sebaiknya tidak menggunakan MPA, 17 hidroksi progesteron

39
kaproat karena dapat memicu kelainan janin dan virilisasi janin, dan tidak

menyarankan® untuk menggunakan preparat alilestrenol.

5. Dopamin Agonis (Bromokriptin)

Untuk masalah hiperprolaktinemia perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk

mengetahui penyebab kondisi tersebut. Awalnya perlu disingkirkan kemungkinan

kelainan hormon tiroid (hipotiroid), penggunaan obat-obatan yang dapat memicu

peningkatan kadar hormon prolaktin, atau adanya massa di hipofisis (mikroadenoma,

makroadenoma atau tumor stalk). Pemberian dopamin agonis (bromokriptin) dapat

diberikan mulai dengan dosis yang rendah hingga tercapai dosis terendah yang dapat

ditoleransi oleh pasien dan mampu menurunkan kadar hormon prolaktin. Dosis

maksimum bromokriptin adalah 7.5 mg per hari. Apabila pasien tidak dapat

mentoleransi penggunaan bromokriptin, maka dapat menggunakan preparat kabergolin

dengan dosis mulai dari 0.25 mg per minggu.

6. Obat-Obatan antikoagulan dan antigregasi

Pemberian obat-obatan antikoagulan dan antiagregasi dianjurkan untuk dilakukan

sendiri oleh dokter SpOG berdasarkan panduan yang ada. Pemberian obat-obatan

tersebut harus didasarkan atas temuan klinis dan laboratoris yang mendukung adanya

suatu kondisi hiperkoagulasi. Apakah pemberian obat antikoagulan dimulai pada masa

pra-konsepsi atau pasca-konsepsi harus didasari temuan apakah penderita tersebut

memang memiliki kondisi hiperkoagulasi pada masa pra-konsepsi. Pemberian aspirin

dosis rendah (81 mg per hari) dapat diberikan segera setelah pasien positif hamil.

Selanjutnya pemberian heparin dapat diberikan setelah dikonfirmasi adanya detak

jantung janin. Heparin dapat diberikan dengan dosis sebagai berikut : Unfractionated

40
heparin (UFH) dapat diberikan 2x5000 iu per hari sub kutan.2,7 Sementara Low

Molecular Weight Heparin (LMWH) seperti enoxoparin dapat diberikan 40 mg per hari

sub kutan. Pemeriksaan kadar trombosit dapat dilakukan tiap minggu dalam 2 minggu

pertama pemberian, namun selanjutnya dapat dipantau tiap 4 minggu sekali untuk

memantau terjadinya Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT). Pemberian heparin

memiliki target untuk mempertahankan aPTT paling tidak 1.5 x kontrol. Untuk

mencegah terjadinya osteopenia, maka dapat diberikan suplemen kalsium dengan dosis

2x600 mg per hari. Penggunaan aspirin harus dihentikan paling tidak 3 minggu sebelum

persalinan. LMWH harus dihentikan paling tidak 5 hari sebelum persalinan, dan diganti

dengan UFH hingga 1 hari sebelum persalinan. Sementara UFH dihentikan paling tidak

1 hari sebelum persalinan.

7. Tindakan Pembedahan

Kelainan uterus berupa gangguan fusi dan resorbsi dari duktus muller serta

adanya massa abnormal mengganggu kontur dari kavum uteri serta memicu terjadinya

gangguan sirkulasi (mioma uteri, polip endometrium) dapat diatasi dengan melakukan

tindakan pembedahan untuk melakukan koreksi serta pengangkatan massa tersebut.7

Terdapat studi-studi retrospektif yang menunjang koreksi pada sebagian anomali.

Saygili-Yilmaz, dkk. (2003) mengulas hasil akhir kehamilan setelah metroplasti

histeroskopik pada wanita dengan uterus septata dan riwayat lebih dari dua kali

keguguran . Pada 59 wanita tersebut, insiden keguguran berkurang dari 96 menjadi 10

persen setelah pembedahan, dan kehamilan aterm meningkat dari tidak ada menjadi 70

persen.2

41
Untuk sinekia uterus, lisis histeroskopik lebih dianjurkan daripada kuretase. Katz,

dkk (1996) melaporkan 90 wanita dengan sinekia yang pernah mengalami paling tidak 2

kai keguguran atau kematian perinatal kurang bulan atau keduanya. Dengan adhesiolisis,

angka keguguran berkurang dari 79 menjadi 22 persen. Studi-studi lain melaporkan hasil

akhir serupa (Al-Inany, 2001; Goldberg, dkk., 1995).2

8. Tindakan Sirklase

Kelainan kelemahan (inkompetensi) serviks dapat diatasi dengan melakukan

tindakan sirklase menggunakan teknik Shirodkar atau McDonald.

9. Antibiotik

Infeksi BV dapat diatasi dengan menggunakan antibiotika seperti klindamisin

atau metronidazol (tidak dianjurkan jika sudah hamil).

10. Dukungan Suportif

Dukungan yang bersifat suportif baik dari pasangan, serta lingkungan sekitarnya

amat bermanfaat untuk memberikan ketenangan bagi pasien yang kadang merasa amat

sedih dan kecewa dengan terjadinya keguguran secara berturut-turut. Tidak jarang

dibutuhkan pula kerjasama dengan seorang ahli yang dapat membangkitkan semangat

pasien untuk bangkit dari rasa bersalah.

11. Obat Kombinasi

Pada kasus keguguran berulang idiopatik (penyebab tidak diketahui) dapat dicoba

untuk melakukan pemberian obat kombinasi secara empirik. Dari suatu penelitian

didapatkan pemberian obat kombinasi ini dapat meningkatkan angka kelahiran hidup

dibandingkan dengan pasien keguguran berulang yang tidak diterapi. Kombinasi obat

tersebut adalah sebagai berikut : Prednison 20 mg per hari dan Progestogen

42
(didrogesteron (Duphaston®) ), 20 mg per hari hingga usia kehamilan 12 minggu,

Aspirin 80 mg per hari hingga usia kehamilan 28 minggu, dan asam folat 5 mg tiap 2

hari sekali selama masa kehamilan.

X. DIAGNOSIS BANDING

95% perdarahan uterus pada kehamilan muda disebabkan oleh abortus, namun perlu

diingat diagnosa banding dari perdarahan pervaginam pada kehamilan muda yaitu : 11

1. Kehamilan ektopik

2. Perdarahan servik akibat epitel servik yang mengalami eversi atau erosi

3. Polip endoservik

4. Mola hidatidosa

5. Karsinoma servik uteri (jarang)

6. Mioma submukosa pedunkularis

XI. KOMPLIKASI

1. Perdarahan (hemorrhage)

2. Perforasi : sering terjadi sewaktu dilatasi dan kuretase yang dilakukan oleh tenaga yang

tidak ahli seperti bidan dan dukun.

3. Infeksi dan tetanus

4. Payah ginjal akut

5. Syok, pada abortus dapat disebabkan oleh :

- Perdarahan yang banyak disebut syok septik

- Infeksi berat atau sepsis disebut syok septik atau endoseptik.15

43
XII. PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada etiologi dari abortus spontan sebelumnya, umur pasien, dan

umur kehamilan. Koreksi kelainan endokrin pada wanita dengan abortus habitualis memiliki

prognosis yang baik untuk terjadinya kehamilan yang sukses (> 90%). Pada wanita dengan

etiologi tidak diketahui, kemungkinan mencapai kehamilan yang sukses adalah 40-80%.

Prognosis yang kurang baik bila pada pemeriksaan USG didapatkan tingkat aktivitas jantung

janin kurang dari dari 90 kali per menit, suatu kantung kehamilan berbentuk atau berukuran tidak

normal, dan perdarahan subchorionic yang hebat. Tingkat keguguran secara keseluruhan untuk

pasien di atas 35 tahun adalah 14% dan untuk pasien yang berumur di bawah 35 tahun adalah

7%.15

44

Anda mungkin juga menyukai