Anda di halaman 1dari 11

MYIASIS NASAL

Nur Rissa Maharany, Nancy Sendra

A. PENDAHULUAN

Laporan pertama kasus myiasis nasal pada manusia dan hewan di negara

Neotropis terjadi pada abad ke-16. Myasis merupakan infestasi pada jaringan

hidup oleh larva lalat dari ordo Diptera, dimana terutama ditemukan di

negara-negara subtropis dan tropis. Kejadian Myiasis pada manusia tersebar

luas di seluruh dunia, oleh karena keterlibatan banyaknya spesies dan

kejadian yang sering terjadi di negara-negara tropis dan subtropis. (1)

Myiasis hidung adalah infestasi rongga hidung oleh larva bertelur baik

langsung di dalam rongga hidung atau di sekitarnya saat pasien sedang tidur.

Inspirasi langsung larva telah dilaporkan. Dalam satu penelitian, manifestasi

ini memiliki presentase 70% hingga 75% kasus myiasis THT, dan dalam

penelitian lain pada pasien anak, jenis infestasi ini terjadi pada 11,7% kasus.

Dalam review dari 252 pasien dengan myiasis hidung, 41,26% pasien berusia

lebih dari 50 tahun. Selain usia tua, status sosial ekonomi rendah dan status

gizi buruk juga merupakan faktor risiko. (2)

B. DEFINISI

C. ANATOMI

D. EPIDEMIOLOGI

Beberapa penulis berpendapat bahwa myiasis terjadi terutama di negara-

negara dengan cuaca panas. Negara-negara yang paling terpengaruh oleh

penyakit ini adalah India, Tunisia, Brasil, dan Australia, yang merupakan
negara dengan karakteristik iklim ini di masing-masing benua . Lebih jauh

lagi, India, Tunisia, dan Brasil adalah negara-negara terbelakang atau

berkembang, sehingga menunjukkan keadaan sosial dari penyakit ini. (1)

E. FAKTOR RISIKO

Pada regio kepala dan leher, lokasi yang paling sering terkena myiasis

adalah telinga, mata, rongga mulut, hidung, sinus paranasal, kelenjar getah

bening, daerah mastoid, dan luka trakeostomi. Faktor-faktor yang

mempengaruhi myiasis di regio ini yaitu usia lanjut, status sosial ekonomi

rendah, dan komorbiditas medis, seperti riwayat trauma craniomaxillofacial

dan tumor ganas. (1)

Faktor internal yang berkaitan dengan myiasis adalah kebersihan mulut

yang buruk, penyakit periodontal, lesi supuratif, halitosis, bernapas melalui

mulut, dan trauma yang disebabkan oleh serangan fisik. Kondisi sistemik

yang mempengaruhi perkembangan myiasis adalah disabilitas intelektual,

cerebral palsy, epilepsi, alkoholisme, dan usia tua, kondisi yang terkait

dengan profil sosioekonomi pasien. Kondisi-kondisi ini tampaknya

memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit, seperti yang

ditunjukkan oleh kasus-kasus yang dilaporkan sejauh ini. (1)

Penelitian menunjukkan bahwa kejadia myiasis kepala dan leher

berhubungan dengan profil sosial ekonomi pasien di negara terbelakang dan

bahwa penyakit dipengaruhi oleh higienitas mulut yang buruk dan status

sosial ekonomi rendah, tunawisma, penduduk pedesaan, pengguna narkoba,

dan individu dengan gangguan neurologis dan psikososial. Dalam hal ini,
myiasis terutama ditemukan terjadi di negara berkembang dan daerah tropis.
(1)

Kasus myasis hidung lebih sering terjadi pada orang-orang yang menderita

rinitis atrofi, suatu kondisi yang mengakibatkan menurunnya reflek bersin

dan memperlebar rongga hidung; faktor predisposisi ini ditemukan pada 97%

pasien dalam serangkaian 252 pasien, dan epistaksis dan rhinorrhea yang saat

ini jarang dikaitkan dengan myiasis hidung. Pasien kusta lebih rentan

terhadap infestasi semacam ini, karena kurangnya reflek bersin, ulkus yang

tidak nyeri, rinitis atrofi, dan ketidakmampuan untuk membersihkan hidung

dengan benar karena cacat tangan. Tuberkulosis dan rhinoscleroma juga

berhubungan dengan kejadian myiasis hidung. (2)

Myiasis dianggap, dalam banyak kasus, sebagai penyakit memalukan dan

menjijikkan bagi pasien dan para profesional perawat kesehatan. Kebersihan

yang buruk dan status sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor risiko

yang paling mempengaruhi kejadian myiasis. Faktor penting lainnya adalah

adanya lesi supuratif yang sudah ada sebelumnya yang menarik dan

merangsang penyimpanan telur oleh larva. Untuk spesies tertentu, kebiasaan

penduduk, seperti duduk atau berbaring di tanah dan beberapa ritual

keagamaan, dan kondisi iklim memengaruhi kejadian myiasis. (2)

F. FISIOLOGI

G. KLASIFIKASI MIASIS

Myiasis diklasifikasikan sesuai dengan jenis larva yang ada pada luka: (1)

Myiasis primer disebabkan oleh larva yang memakan jaringan hidup


(biophagous); dan (2) myiasis sekunder disebabkan oleh larva yang hanya

memakan jaringan yang mati (nekrofag). Abdo dkk. mengelompokkan

myiasis sebagai obligatori (ketika larva membutuhkan jaringan hidup untuk

bertahan hidup) dan fakultatif (ketika larva berkembang pada jaringan

nekrotik). (1)

Terdapat dua sistem utama dalam mengklasifikasi myiasis, yaitu:

klasifikasi anatomis dan ekologis. Sistem klasifikasi anatomis, pertama kali

diusulkan oleh Bishopp, dianggap berguna untuk diagnosis praktis dan untuk

mengklasifikasikan infestasi dalam kaitannya dengan lokasi pada host.

Karena satu spesies dapat memasuki lebih dari satu lokasi anatomi, dan

lokasi yang sama dapat dipenuhi oleh spesies yang berbeda, sistem klasifikasi

berdasarkan tingkat parasitisme dari larva juga digunakan. (2)

1. Klasifikasi Berdasarkan Anatomi

Sistem klasifikasi anatomi didasarkan pada yang diusulkan oleh

Bishopp, kemudian dimodifikasi oleh James dan oleh Zump. Masing-

masing penulis menggunakan istilah yang berbeda dengan arti yang sama,

seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. (2)


Tabel 1. Klasifikasi Myasis berdasarkan anatomi (2)

2. Klasifikasi Berdasarkan Ekologi

Klasifikasi ekologis (Tabel 2) membagi berdasarkan tingkat

parasitisme parasit dan host. Dalam merancang program-program

pemberantasan wabah dalam rumah sakit atau klinik, perlu untuk

mempertimbangkan klasifikasi ekologi serta siklus hidup spesies. (2)


Tabel 2. Klasifikasi Myiasis berdasarkan ekologi

H. ETIOLOGI

Organisme yang dilaporkan menyebabkan myiasis hidung adalah C.

hominivorax, C. bezziana, Oestrus ovis, W. magnifica, Lucilia sericata,

Drosophila melanogaster, dan C. vicina. (2)

1. Preservasi dan Identifikasi Larva (2)

Ketika merawat pasien dengan myiasis, penting untuk

mengidentifikasi larva dengan tepat. Hal ini tidak hanya membantu untuk

memahami bagaimana infestasi terjadi tetapi juga untuk merencanakan

penanganan dan untuk mempromosikan langkah-langkah pencegahan.

Setelah pengangkatan, belatung harus dibunuh dengan pencelupan

selama 30 detik dalam air dalam kondisi sangat panas (cukup untuk

menghasilkan uap) tetapi bukan air mendidih, yang mencegah

pembusukan dan mempertahankan warna alami. Larva kemudian harus


diawetkan dalam larutan etanol 70% hingga 95%. Metode yang dijelaskan

di atas merupakan yang paling baik dalam mengawetkan panjang larva dan

morfologinya. Membunuh larva langsung dengan zat pengawet akan

membusuk dan mengecilkan larva. Jika larutan etanol 70% tidak tersedia,

alkohol isopropil 70% dapat digunakan sebagai gantinya. Larutan formalin

tidak boleh digunakan, karena menyebabkan pengerasan yang berlebihan

pada jaringan larva, membuatnya sulit untuk diproses.

2.

I. PATOGENESIS

J. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala myiasis hidung biasanya yaitu tampak adanya larva dan

pasien merasa pergerakannya, yang meliputi sensasi benda asing, dengan atau

tanpa gerakan; nyeri hidung; nyeri wajah; sekret hidung mukopurulen atau

bercak darah; epistaksis; bau busuk; dan anosmia. Seluruhnya kecuali 20%

dari 252 pasien, dalam satu penelitian ditemukan riwayat belatung yang

keluar dari hidung. Gejala jarang berupa gejala alergi. Hal ini dapar terjadi

jika larve jatuh ke tenggorokan, yang bermanifestasi sebagai batuk, spasme

laring, dyspnea, dan stridor. (2)

K. DIAGNOSIS

Pemeriksaan rhinoskopi mungkin tidak hanya mengkonfirmasi diagnosis

tetapi juga digunakan untuk mengobati pasien, membantu dalam pengeluran

larva dengan forsep. Pada pemeriksaan, edema mukosa, kongesti, dan ulkus

adalah temuan yang mungkin didapatkan. Kadang-kadang, larva tidak


ditemukan karena sifatnya fotofobik dan cenderung bersembunyi di bagian

terdalam dari rongga hidung. (2)

L. PENATALAKSANAAN

Karena tidak ada protokol standar untuk pengobatan myiasis, beberapa

terapi yang berbeda diterapkan. Perawatan awal biasanya terdiri dari

pengangkatan larva secara mekanis. Menurut Ribeiro et al. dan Gealh et al.,

ivermectin semakin sering digunakan untuk pengobatan pada myiasis kepala

dan leher. Agen antiparasit dari golongan macrolide ini menghambat impuls

saraf di ujung saraf endoparasit, menyebabkan kelumpuhan dan kematian

larva. Gejala sisa myiasis dapat berupa kebutaan, gangguan pendengaran, dan

bahkan kematian, oleh sebab itu perawatan segera sangat penting. (1)

Pengobatan standar myiasis berfokus pada terapi antibiotik bersamaan

dengan pengangkatan jaringan nekrotik secara mekanis. Pendekatan ini

diterapkan pada 9 pasien dari suatu penelitian, di mana terapi antibiotik dan

debridemen mekanik terbukti efektif. Namun, beberapa reaksi tubuh terhadap

benda asing dapat terjadi dalam kasus-kasus di mana larva tetap tersisa di

luka bedah karena pengangkatan jaringan yang tidak lengkap dari jaringan

yang terkontaminasi. (1)

Ivermectin termasuk kelompok kimia avermectins dan merupakan

antibiotik makrolida semisintetik. Obat ini banyak digunakan untuk

pengobatan dan pengendalian infestasi cacing pada hewan besar, seperti sapi,

kuda, domba, kambing, dan unta. Ivermectin umumnya diberikan sebagai

dosis tunggal 150 - 200 ug / kg berat badan. Karena obat cepat diserap dan
mencapai darah dalam konsentrasi dalam waktu yang relatif singkat, larva

dapat dengan cepat dikeluarkan dari luka. Protokol yang dijelaskan oleh

Ribeiro et al., yang merekomendasikan pemberian oral ivermectin dengan

dosis hingga 300 ug / kg (yaitu, untuk pasien dengan berat 40-60 kg: 2 tablet

(12 mg), dan untuk pasien dengan berat badan 60- 90 kg: 3 tablet [18 mg])

selama 3 hari berturut-turut tidak menyebabkan efek dan menghilangkan

semua larva di myiasis kavitas. (1)

Sebagian besar penulis lebih memilih anestesi infiltrasi topikal atau lokal

untuk membuang jaringan larva dan nekrotik. Dalam kasus di mana pasien

tidak kooperatif, anestesi umum lebih dipilih untuk pengangkatan larva.

Setelah pengobatan, larva benar-benar bersih dari jaringan setelah dicuci

dengan larutan salin fisiologis atau secara spontan (mungkin setelah ditelan

atau dihilangkan ke lingkungan eksternal). (1)

Adanya berbagai metode pengobatan menunjukkan kurangnya protokol.

Namun, pengendalian populasi larva merupakan strategi alternatif untuk

mencegah infestasi. Sanitasi dasar dan eradikasi terhadap proliferasi larva

dewasa adalah langkah pertama dalam memerangi penyakit ini. Langkah-

langkah lain yang telah diterapkan termasuk pemberian sinar ultraviolet

untuk menarik lalat dan kemudian menghilangkannya dengan listrik serta

penggunaan asam borat untuk eliminasi lokal larva ini. Temuan-temuan ini

menyoroti profil sosial dari penyakit ini; pemberantasannya membutuhkan

partisipasi masyarakat setempat, negara, dan jaringan petugas kesehatan. (1)

M. KOMPLIKASI
Sebuah tinjauan literatur Inggris mengidentifikasi 31 kasus myiasis

berkaitan dengan neoplasma ganas yang melibatkan daerah kepala dan leher.

Penatalaksanaan terdiri dari pengangkatan larva secara mekanik, debridemen

bedah, dan pemberian antibiotik. Hubungannya dengan keganasan dapat

dikaitkan dengan lesi ulserasi dan nekrotik yang terpapar oleh lingkungan

pada pasien dengan kanker dan desinfeksi yang tidak tepat. (1)

Beberapa komplikasi dapat terjadi saat infestasi rongga hidung oleh larva.

Komplikasi ini dapat bersifat infeksi, seperti selulitis orbita atau wajah, atau

bersifat destruktif, misal ulserasi dinding faring posterior, perforasi septum

dengan saddle nose, perforasi palatum , dan, dalam kasus ekstrim, penetrasi

ke dalam sistem saraf pusat, seperti meningitis, pneumocephalus, atau

kematian, dengan tingkat kematian hingga 1,19%. Invasi rongga sinus dapat

didiagnosis banding dengan sinusitis. Gambaran hipolusen bulat oleh CT

Scan mungkin menunjukkan diagnosis myiasis. (2)

N. PROGNOSIS

Gejala sisa myiasis dapat berupa kebutaan, gangguan pendengaran, dan

bahkan kematian, oleh sebab itu perawatan segera sangat penting. (1)

O. PENCEGAHAN
DAFTAR PUSTAKA

1 de Arruda JAA., de Oliveira Silva LV, Silva PUJ, et al. (2017). Head and neck
myiasis: a case series and review of the literature. Oral Surgery, Oral Medicine,
Oral Pathology and Oral Radiology, 124(5), e249–e256.
https://doi.org/10.1016/j.oooo.2017.06.120

2 Francesconi F., Lupi O. (2012). Myiasis. Clinical Microbiology Reviews, 25(1),


79–105. https://doi.org/10.1128/CMR.00010-11

Anda mungkin juga menyukai