Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sehat merupakan hak bagi setiap individu baik secara fisik maupun mental.
Menurut WHO sehat adalah suatu keadaan sehat jasmani, rohani dan sosial
yang merupakan aspek positif dan tidak hanya bebas dari penyakit serta
kecacatan yang merupakan aspek negatif. Selanjutnya, dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dijelaskan kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Kesehatan tidak terjadi serta merta melainkan ada usaha-usaha yang harus
dilakukan untuk mewujudkannya. Salah satu hal yang harus diperhatikan
untuk mewujudkan hidup sehat adalah personal hygiene (Sander, 2005).
Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara
kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan personal
hygiene diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan. Hal
tersebut menjadi penting karena personal hygiene yang baik akan

meminimalkan pintu masuk (port de entry) mikroorganisme yang pada


akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit (Potter, 2005).
Pemeliharaan personal hygiene sangat menentukan status kesehatan, dimana
individu secara sadar dan atas inisiatif pribadi menjaga kesehatan dan
mencegah terjadinya penyakit. Upaya kebersihan diri ini mencakup tentang
kebersihan rambut, mata, telinga, gigi, mulut, kulit, kuku, serta kebersihan
dalam berpakaian (Notoatmodjo, 2003).
Salah satu upaya personal hygiene adalah merawat kebersihan kulit karena
kulit berfungsi untuk melindungi permukaan tubuh, memelihara suhu tubuh
dan mengeluarkan kotoran-kotoran tertentu. Mengingat kulit penting sebagai
pelindung organ-organ tubuh, maka kulit perlu dijaga kesehatannya. Penyakit
kulit dapat disebabkan oleh jamur, virus, kuman, parasit (Djuanda, 2007).
Penyakit yang sering timbul adalah Penyakit kulit akibat jamur superficialis
contohnya Pityriasis Versicolor. Penyakit ini timbul lebih banyak di daerah
dengan tingkat kelembaban yang tinggi yaitu negara-negara tropis seperti
Indonesia. Dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh remaja pria yang
mengeluarkan banyak keringat ditambah tidak memperhatikan personal
hygiene, dapat dipastikan akan menjadi faktor pemicu terinfeksinya Pityriasis
Versicolor (Ashbee dan Scheynius, 2010 ).

Laporan jumlah penderita dermatomikosis superfisial khususnya pitiriasis


versikolor di Indoesia belum diketahui, namun dari beberapa rumah sakit
menunjukkan bahwa jumlah penderita pytiriasis versicolor cukup tinggi

(40%). Penyakit ini banyak ditemukan pada penduduk sosial ekonomi yang
rendah dan berhubugan dengan tinggi rendahnya kebersihan perseorangan
(personal hygiene). Pytiriasis versicolor dipengaruhi dengan beberapa
keadaan seperti iklim tropis yang panas, banyak keringat dan lembab
(Banerjee, 2011).

Berdasarkan hal tersebut, santri (siswa) pondok pesantren memiliki potensi


tinggi mengalami pytiriasis versicolor disebabkan oleh personal hygiene yang
kurang baik. Maka dari itu penulis memilih judul Hubungan Persnal Hygiene
dengan Angka Kejadian Pytiriasis Versicolor di Pondok Pesantren Daarul
Huffazh.

1.2 Rumusan masalah


Apakah terdapat hubungan antara personal hygiene dengan angka kejadian
pytiriasis versicolor pada santri di Pondok Pesantren Daarul Huffazh
Pesawaran.

1.3 Tujuan penelitian


1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara personal hygiene dengan angka kejadian
pytiriasis versicolor pada santri di Pondok Pesantren Daarul Huffazh
Pesawaran.
2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran personal hygiene pada santri di Pondok


Pesantren Daarul Huffazh Pesawaran.
b. Mengetahui angka kejadia pytiriasis versicolor pada santri di Pondok
Pesantren Daarul Huffazh Pesawaran.Pesawaran.

1.3 Manfaat Penelitian


1. Bagi peneliti
Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana dan menambah
pengetahuan tentang pengaruh personal hygiene dengan kejadian
pityriasis versicolor.
2. Bagi pondok pesantren Daarul Huffazh
Menambah pengetahan bagi pengurus dan para santri tentang personal
hygiene yang baik dan pengetahuan tentang pytiriasis versicolor mulai
dari factor resiko, penyebab, cara penularan, pencegahan, dan
pengobatan. Diharapkan setelah pengurus dan para santri mengetahui
personal hygiene dan pytiriasis versicolor, mereka dapat melakukan
pengobatan, pencegahan, dan memperbaiki personal hygiene.
3. Bagi peneliti lain
Penelitian ini dapat dijadikan suatu penelitian dasar untuk penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan pytiriasis versicolor pada santri di
pondok pesantren Daarul Huuffazh Pesawaran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikosis superfisial


Mikosis superfisial merupakan penyakit jamur yang menyerang lapisan terluar
kulit

yang

disebut

stratum

korneum,

rambut

dan

kuku.

Dalam

perkembangannya mikosis superfisial dibagi menjadi dua kelompok: 1)


dermatofitosis, disebabkan oleh jamur golongan dermatofita, dan 2)
nondermatofitosis, disebabkan oleh jamur yang bukan golongan dermatofita

seperti pytiriasis versicolor, otomikosis, piedra hitam, piedra putih, tinea nigra
palmaris dan onikomikosis (Budimulja, 2010).

Pada daerah tropis kejadian mikosis superfisial cukup tinggi. Di Indonesia


sendiri insiden mikosis superfisial belum diketahui dengan pasti, namun pada
beberapa daerah seperti Denpasar mikosis superfisial menempati peringkat
kedua pada gangguan kulit setelah dermatitis. Insiden tersebut diperkirakan
sama pada kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sedangkan untuk daerah
pedalaman, untuk insidensi mikosis superfisial diperkirakan lebih tinggi dan
lebih bervariasi dibandingkan dengan daerah perkotaan. Mikosis superfisial di
Indonesia menyerang berbagai kalangan umur tanpa pandang bulu (Bramono,
2004).
Data yang dikumpulkan dari berbagai rumah sakit di kota besar terutama
rumah sakit pendidikan kedokteran negri. Didapatkan data insidens
dermatomikosis tahun 1996, 1997 dan 1998 di berbagai rumah sakit
pendidikan dokter di Indonesia yang menunjukkan angka persentase terhadap
seluruh kasus dermatosis, bervariasi dari 2,93 (Semarang) yang terendah
hingga 27,6 (Padang) yang tertinggi. Variasi ini dapat terjadi karena sistem
pencatatan penderita yang kurang akurat atau pasien enggan berobat ke rumah
sakit besar, cenderung berobat ke fasilitas pengobatan lain. Perbandingan
insidens berdasarkan jenis kelamin berbeda bervariasi pada beberapa negara,
dapat lebih tinggi pada pria, sama, atau lebih tinggi pada wanita (Riani, 2014).

2.2 Pytiriasis versicolor


6

Pityriasis

versicolor

merupakan

mikosis

superfisial

golongan

non-

dermatofitosis. Pityriasis versicolor bersifat ringan kronik pada stratum


korneum yang disebabkan oleh Malassezia Globosa, M restricta, dan anggota
kompleks M furfur lainnya (Mitchell, 2004). Invasi pada kulit berkerain dan
respon pejamu bersifat minimal. Efloresensi yang ditemukan berupa bercak
berskuama halus yang berwarna puih sampai coklat hitam, terutama meliputi
badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai
atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut (Budimulja, 2010).
2.2.1 Epidemiologi
Pityriasis versicolor merupakan penyakit universal dan terutama
ditemukan di daerah tropis. Penyakit ini banyak ditemukan pada
penduduk sosial ekonomi yang rendah dan berhubugan dengan tinggi
rendahnya kebersihan perseorangan.5,8 pityriasis versicolor dipengaruhi
dengan beberapa keadaan seperti iklim tropis yang panas, banyak
keringat dan lembab (Partogi, 2008).

Tidak ada perbedaan prevalensi pityriasis versicolor antara pria dan


wanita, walaupun di Amerika Serikat dilaporkan bahwa Universitas
Sumatera Utara 6 penderita pada usia 20-30 tahun dengan perbandingan
1,09% pria dan 0,6% wanita. Insiden yang akurat di Indonesia belum
ada, namun diperkirakan 40-50% dari populasi di negara tropis terkena
penyakit ini, sedangkan di negara subtropis yaitu Eropa tengah dan utara
hanya 0,5-1% dari semua penyakit jamur (Partogi, 2008).

Pityriasis versicolor dapat mengenai semua kelompok umur mulai dari


anak-anak sampai orangtua, tetapi lebih sering mengenai dewasa muda.
Pada wilayah yang beriklim sedang, penyakit ini lebih sering muncul
pada bulan Mei sampai September. Diduga para pekerja atau orang
dengan aktifitas tinggi dengan higiene yang jelek dan keringat yang
berlebihan menjadi faktor predisposisi penting timbulnya penyakit ini.
Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dan Sindrom Cushing,
diduga

meningkatkan

kerentanan

terkena

penyakit

ini.

Faktor

predisposisi yang lain termasuk malnutrisi, tingkat kesehatan yang


rendah dan kehamilan.

2.2.2 Etiologi
Penyebab dari pityriasis versicolor adalah jamur dimorfik, lipofilik
(Lipophilic yeast) yaitu malassezia furfur yang merupakan flora normal
pada permukaan kulit manusia. Pada kulit bayi sekitar 18% dan pada
kulit orang dewasa sekitar 90-100%. Malassezia furfur memiliki nama
lain yaitu pityrosporum orbiculae dan pytirosporum ovale, yang hanya
bias dibiakkan pada media kaya asam lemak rantai C12-C14 (Haffeman
dan Janik, 2008).

2.2.3 Patogenesis

Malassezia furfur sebagai penyebab dari pityriasis versicolor berubah


dari spora menjadi miselium disebabkan oleh faktor predisposisi yang
dapat berupa endogen atau eksogen. Endogen dapat berupa defisiensi
imun dan faktor lainnya, sedangkan eksogen dapat disebabkan oleh
faktor suhu, kelembaban udara, keringat yang didukung oleh personal
hygiene yang kurang baik (Budimulja, 2010).

Faktor endogen yaitu defisiensi imun dapat disebabkan oleh hal-hal


berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, chusing sindrom, terapi
imunosupresan, hiperhidrosis dan riwayat keluarga yang positif. Faktor
eksogen yang secara garis besar dipengaruhi oleh suhu dan personal
hygiene menjadikan Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan
kelembaban udara yang tinggi memiliki faktor resiko tinggi terhadap
pityriasis versicolor (Partogi, 2008).

Pada eksperimental inokulasi malassezia dibawah oklusi dapat


menyebabkan infeksi. Hasil dari eksperimen tersebu menunjukkan
bahwa peningkatan kelembaban, suhu, dan kadar CO2 kemungkinan
merupakan faktor penting yang membuat kulit menjadi rentan terhadap
infeksi. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa saat oklusi
dihentikan kemudian terjadilah proses penyembuhan namun jamur ini
masih dapat dijumpai pada beberapa daerah dan dapat dikultur namun
tidak menimbulkan manifestasi klinis pada daerah tersebut. Malassezia

furfur dapat membentuk kolonisasi pada folikel sehingga menyebabkan


angka rekurensi yang tinggi (Haffeman dan Janik, 2008).

Malassezia furfur adalah ragi yang bersifat lipofili, sehingga dalam


pertumbuhannya sebagian besar spesies ini membutuhkan lipid dalam
medium pertumbuhan (Mitchell, 2008). Patogenesis pityriasis versicolor
adalah adanya toksin yang dilepaskan oleh malassezia furfur yang
menyebabkan terhambatnya sinar matahari yang masuk kedalam lapisan
kulit yang akan mengganggu proses pembentukan melanin. Selain itu
adanya asam azelat yang dilepaskan oleh malassezia furfur dari asam
lemak dalam sebum yang merupakan inhibitior kompetitif dari tirosinase
yang juga menyebabkan terganggunya pembentukan pigmen kulit oleh
melanosit. Dua hal tersebu menjadi dasar dari terjadinya efloresensi
hipopigmentasi pada pityriasis versicolor (partogi, 2008).

2.2.4 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis dari pityriasis versicolor dapat ditemukan terutama di
badan dan bersifat sangat superfisial karna hanya menyerang stratum
corneum kulit saja. Dapat pula dijumpai lesi pada lipatan aksila,
inguinal, atau pada lipat paha, kulit muka dan kepala. Efloresensi yang
terlihat berupa makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, yang
berkelok-kelok dan diskret, timbul dikulit biasanya di dada, punggung
bagian atas, atau abdomen (Mitchell, 2008).

10

Ukuran dan bentuk lesi dangat bervariasi bergantung lama sakit dan
luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular.
Sedangkan pada lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat
tegas tertutup skuama halus. Warna kulit juga menyebabkan perbedaan
bentuk lesi, pada kulit hitam atau coklat umumnya berwarna putting
sedang pada kulit putih atau terang cenderung berwarna coklat atau
kemerahan. Macula umumnya khas bulat atau oval tersebar, pada lokasi
yang selalu lembab kadang batas lesi dan skuama menjadi tidak jelas
(Partogi, 2008).

Penderita pityriasis versicolor biasanya mengeluhkan gatal-gatal yang


menjadikan alasannya berobat. Pseudoakromia akibat tidak terkena sinar
matahari atau kemungkinan akibat dari toksin dari malassezia furfur
terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan pasien (Budimulja,
2010).

Pada kasus pityriasis versicolor yang lama dan tanpa pengobatan lesi
dapat berbentuk polisiklik. Beberapa kasus di daerah berhawa dingin
pasien dapat sembuh total tanpa meninggalkan bekas lesi berupa makula
hipopigmentasi, namun pada sebagian besar kasus pengobatan pada
pityriasis versicolor menyebabkan lesi meninggalkan bekas makula
hipopigmentasi yang dapat hilang dalam beberapa bulan tanpa disertai
skuama (Partogi, 2008).

11

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis pityriasis versicolor ditegakkan berdasarkan gambaran klinis,
pemeriksaan flouresensi, lesi kulit dengan lampu wood, dan sediaan
langsung (Budimulja, 2010). Gambaran klinis dari pityriasis versicolor
berupa

adanya

efloresensi

berupa

makula

hipopigmentasi,

hiperpigmentasi, atau kemerahan dengan batas sangat tegas, tertup


skuama halus. Pemeriksaan flouresensi dengan lampu wood akan
menunjukkan adanya pendaran (flouresensi) berwarna kuning keemasan
pada lesi yang bersisik. Sedangkan pada pemeriksaan sediaan langsung
(uji kerok) menggunakaan larutan KOH 20% memperlihatkan kelompok
sel ragi bulat berdinding tebal dengan miselium kasar, sering terputusputus atau pendek. Specimen akan lebih mudah dilihat dengan
melakukan penambahan zat warna Parker blue-black ink atau biru
laktofenol. Gambaran yang ditemukan sering dilukisakan sebagai meat
ball dan spaghetti (Partogi, 2008).

2.2.6 Diagnosis banding


Diagnosis banding pityriasis versicolor diambil berdasarkan jenis
efloresensi berupa berupa makula hipopigmentasi diantaranya yaitu
vitiligo, pitiriasis alba, morbus hansen, hipopigmentasi post inflamasi,
chemical leukoderma, progressive makular hipomelanosis, dan pinta.

12

1. Vetiligo
Vitiligo adalah suatu hipopigmentasi yang dapat bersifat progresif,
sering kali ditandai dengan makula hpopigmentasi pada kulit, berbatas
tegas dan asimtomatis.

Macula hipopigmentasi pada vitiligo yang khas berupa bercak putih


seperti putih kapur, berdiameter beberapa mili sampai beberapa
sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas dan
kuli pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama. Vetiligo
mempunyai distribusi yang khas. Lesi teruama terdapat pada daerah
yang terpajan (wajah, dada bagian atas, dorsum manus), daerah
intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium (sekitar mulut,
hidung, mata, rectum), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang
menonjol (jari-jari, lutut, siku-siku). Pada pemeriksaan histopatologi
tidak ditemukan sel melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negative.
Pada pemeriksaan menggunakan lampu wood makula hipomelanotik
pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo
dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentas lainnya
(Supardiman 2005).

Patogenesis vitiligo belum dapat dijelaskan secara pasti. Terdapat 3 teori


yaitu:
1. Teori autoimun
13

Vitiligo merupakan penyakit autoimun karna pada tubuh


penderita vitiligo dapat ditemukan autoantibody anti melanosit,
yang bersifat toksik terhada melanosit atau menghambat
pembentukan melanin. Hal ini disokong dengan meningkatnya
insiden vitiligo pada penderita penyakit autoimun.
2. Teori neurogenik
Teori menyatakan bahwa mediator neurokimia seperti asetilkolin,
epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan oleh ujung saraf
perifer merupakan bahan neurotoksik yang menghancurkan
melanosit atau menghambat pembentukan melanin. Bila zat-zat
tersebut diproduksi berlebihan maka sel melanosit didekatnya
akan rusak.
3. Teori autotoksik
Teori ini berdasarkan biokimia melanin dan prekursornya.
Dikatakan bahwa produk antara dari biosintesis melanin adalah
monofenol atau polifenol. Produksi berlebihan dari zat antara
tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit (Achyar, 1988).

2. Pitiriasis alba
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak usia 2-16 tahun (30-4-%).
Denga perbandingan wanita dan pria sama. Lesi berbentuk bulat atau
oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda atau sesuai warna kulit
dengan skuama halus diatasnya. Setelah eritema hilang lesi yang
dijumpai hanya hipopgmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini
penderita datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna.
14

Bercak biasanya multiple 4 sampai 20. Pada anak-anak lokasi kelainan


pada wajah 50-60%, paling sering desekitar mulut, dagu, pipi serta dahi.
Lesi dapat dijumpai pada ekstrimitas dan batang tubuh. Lesi umumnya
asimtomatik tetapi juga dapat terasa gatal dan panas (Ortonne, 2003).

Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin distratum


basal dan terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan ini dapat
dibedakan dari vitiligo dengan adanya batas yang tidak tegas dan lesi
yang tidak amelanotik serta pemerisaan menggunakan lampu wood
(Achyar, 1988).

Kelaian hipopigmentasi ini apat terjadi akibat perubahan-perubahan


pasca infalamasi dan eferk penghambatan sinar ultra violet oleh
epidermis yang mengalami hyperkeratosis dan para keratosis (Ortonne,
2003).

Terapi pitiriasis alba kadang tidak memuaskan tetapi penyakit ini dapat
sembuh dengan sendirinyaseiring dengan meningkatnya usia, namun
pernah dilaporkan lesi yang menetap hingga dewasa. Terapi yang dapat
diberikan berupa kortikosteroid topikal. Untuk lesi pitiriasis alba yang
luas dapat diberikan PUVA (Ortonne, 2003)

3. Morbus hansen

15

Makula hipopigmnetasi yang terdapat pada penderita morbus hansen


mempunyai ciri-ciri khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis,
dan atrofi. Lesi dapat satu atau banyak, berbatas tegas dengan ukuran
bervariasi. Terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini terjadi akibat
menurunnya aktifitas melanosit. Pada pemeriksaan histopatologi jumlah
melanosit dapat normal atau menurun. Terdapat melanosit dengan
vakuolisasi dan mengalami atrofi serta menurunnya jumlah melanosom
(Ortonne, 2003).

Patogenesis terjadnya hipomelanosis pada morbus hansen ini adalah


sebagai berikut:
1. Efek langsung invasi Mycobacterium Leprae ke dalam melanosit.
2. Digunakan dopa sebagai substrat oleh system enzim
Mycobacterium Leprae.
3. Perubahan pembuluh darah yang mengakibatkan atrofi melanosit.
Terapi untuk makula hipopigmentasi pada morbus hansen dapat
dipertimbangkan pemberian PUVA (Ortonne, 2003).

4. Hipopigmentasi post inflamasi


Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menybabkan
hipopigmentasi misalnya lupus diskiod, dermatitis atopic, psoariasis,
parapsoariasis gutata kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelain
hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi primernya. Hal ini khas

16

pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah menderita psoariasis


(Soepardiman, 2005).

Hipomelanosis terjadi setelah resolusi penyakit primer dan mulai


menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama
pada area yang terpapar sinar matahari. Patogenesis proses ini dianggap
hasil dari gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit.
Pada dermatitis hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari edema
sedangkan pada psoarasis mungkin disebabkan oleh meningkatnya
epidermal turnover (Ortonne, 2003).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan


sebelumnya. Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsy
pada lesi hipomelanosis akan menunjukkan gambaran penyakit kulit
primernya (Ortonne, 2003).

Terapi biasanya sesuai dengan penyakit dasarnya. Setelah proses


inflamasi penyembuhan maka warna kulit asli akan perlahan kebali.
Hali ini mungkin dapat dipercepat dengan paparan sinar maahari
(Ortonne, 2003)

5. Chemical leukoderma

17

Chemical leukoderma adalah hipomelanosis yang dapat akibat paparan


berulang bahan kimia tertentu terutama derivate phenol dan sulfhydril.
Telah dilaporkan terjadi leukoderma pada pekerja yang terpajan
monobenzil eter hidrokuinon (MBEH) yang digunakan sebagai
antioksidan. MBEH tidak hanya ditemukan pada disenfektan dan
germisida tapi jug apada tape adhesive, kontrasepsi diafragma, baju
karet, kondom karet, boneka karet, sarung tangan karet, dan lainlainnya (Partosuwiryo, 1992).

Leukoderma yang diakibatkan ole MBEH dapat menyerupai vitiligo.


Macula hipopigmentasi berwarna putih susu tidak hanya terjadi di
tempat aplikasi tetapi juga dapat terjadi lesi satelit berupa makula
hipopigmentasi gutata pada bagian tubuh lainnya yang biasanya
permanen. Untuk berkembangnya leukoderma ini dapat tidak didahului
erupsi iritan atau dermatitis kontak sebelumnya. Pada stadium awal
leukoderma bersifat reversible jika paparan dihentikan (Ortonne, 2003).

Hipomelanosis oleh karna hidrokuinin biasanya tidak berbatas tegas,


tidak terjadi depigmentasi yang khas untuk dibedakan dengan vitiligo.
Pada makula tidak ditemukan melanosit dan tidak ada perubahan pada
epidermis dan dermis (Soepardiman, 2005).

18

Terdapat benyak kemungkinan mekanisme terjadinya leukoderma


akibat bahan kimia. Hal-hal ini mencakup inhibitor kompetitif
tosinanse, hambatan oksidasi sintesis tirosinase, gangguan pada sintesis
melanosom, gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratosit
atau berkurangnya sintesis melanin ke melanosom. Sulfihidril
merupakan bahan sitotoksik yang mengganggu pembentukan melanin
dengan cara menghambat irosinase atan lebih mengutamakan
pembentukan

phaeomelanin

dan

metabolitnya

dibandingkan

melanogenesis (Ortonne, 2003).

Diagnosis dugaan chemical leukoderma dapat dibuat berdasarkan


riwayat paparan ulang terhadap bahan kimia yan gtelah diketahui
menyebabkan leukoderma. Chemical leukoderma harus selalu dijadikan
diagnosis banding vitiligo. Namun tidak ada tes defintif atau histologis
atau membedakan vitiligo dengan chemical leukoderma (Ortonne,
2003).

Chemical leukoderma bersifat irreversible jika bahan kimia tersebut


tidak segera dieliminasi dengan segera. Leukoderma local dan masih
pada tahap awal dapat pulih kembali dengan cara menghentikan bahan
kimia yang dicurigai dan jika perlu dengan oral atau topikal PUVA.

19

Leukoderma yang disebabkan oleh hidrokuinin biasanya pulih secara


spontan, terutama jika ditambah dengan sinar ultra violet.

6. Progressive makular hipomelanosis


Progressive makular hipomelanosis (PMH) adalah suatu kondisi yang
sering dijumpai di India Barat ditandai dengan makula hipopigmentasi
yang menyebar cepat pada badan. Ditemukan pada usia muda terutama
wanita usia 18-25 tahun. Sering disangka sebagai pitiriasis vesikolor
dan pitiriasis alba (Westerhoff, 2004).

Lesi berbentuk makula hipopigmentasi dengan batas tidak tegas,


berskuama, berukular nummular dan dapat berkonfluen dengan
predileksi dibadan bagian muka dan punggung. Patogenesis terjadinya
PMH belum diketahui. Bebera hipotesa telah diajukan. Meurut Guilet
dkk. kelainan ini terjadi karna campuran gen kulit hitam dan kulit putih
dari orang tua penderita. Dugaan ini timbul karna kelainan inii banyak
dijumpai pada ras campuran. Menurut Wiete dkk. kelainan ini
diakibakan oleh Propionibacterium Acnes. Macula hipopigmentasi
timbl karna P. Acnes diduga menghasilkan zat yang menghambat
melanogenesis seperti mekanisme hipopigmentasi pada pitiriasis
versikolor. Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa lesi makula

20

hipopigmentasi pada PMH memberikan fluoresensi berwarna merah


dan bersifat folikular jika dilakukan pemeriksaan lampu wood. Borelli
menduga kelaian ini karna genodermatosis namun tidak ada data-data
yang mendukung (Westerhoff, 2004).

Gambaran mikroskopis pada lesi menunjukkan melanin sedikit


berkurang. Pemerikasaan ultrastruktural menunjukkan pergeseran
melanosom tipe IV ke melanosom tipe I-III yang kecil. Penemuan ini
menunjukkan kelainan ini mungkin merupakan hasil dari perubahan
ukuran dan distribusi dari melanosom (Westerhof, 2004).

Kelainan ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan apaun


tetapi dapat sembuh secara spontan dalam 3 bulan hingga 4 tahun.
Wiete dkk. (2004) melakukan penelitian pengobatan dengan benzoil
peroxide dan antobiotik topikal yang berfungsi

untuk menekan

pertumbuhan P. Acnes dan merangsang melanogenesis dengan hasil


yang bagus (Westerhoff, 2005).

7. Pinta
Pinta memiliki arti bercak berwarna dalam bahasa Spanyol, disebabkan
oleh Treponema carateum. Pinta dalah satu-satunya treponematosis
dengan manifestasi klinis terbatas hanya pada kulit. Seperti sifilis, pada
pinta terdapat 3 stadium klinis namun berbeda dengan sifilis, pada pinta

21

lesi dari lesi dari berbagai stadium dapat ditemukan dalam satu pasien
(Sanches, 2003).

Lesi primer timbul antara 3 hingga 60 hari setelah inokulasi, berupa


papul eritem, satu atau lebuh. Dalam beberapa minggu berubah menjadi
plak ireguler, hiperkeratotik, likenifikasi dan dapat mencapai ukuran 20
cm. lesi timbul pada daerah yang terbuka misalnya tangan, kaki, lengan,
wajah, dan leher. Lesi dapat bertahan sampai bertahun-tahun atau
sembuh secara spontan dengan sisa berupa hipopigmentasi (Sanches,
2003).

Lesi sekunder (pintids) timbil antara 1 hingga 12 bulan kadang tahunan


setelah munculnya lesi peimer, berupa papul eritem yang berkembang
menjadi plak. Lesi sekunder mungkin tidak dapat dibedakan dengan lesi
primer, namun biasanya lebih kecil dan tidak gatal. Bebrapa lesi dapat
berbentu anlar atau sirsinar dengan batas yang meninggi dengan jumlah
treponema yang ditemukan jug atinggi. Lokasi lesi dapat pada lesi
primer yang pertama, atau di badan, ditelapak tangan, den kadang
telapak kaki. Sejalan dengan waktu, lesi berubah menjadi colat atau
kekuningan dan kadang kebiruan, abu-abu hitam. Dalam 1 plak dapat
dijumpai lebih dari satu warna (Kahn, 1999 dan Sanches, 2003).
Lesi tersier timbul 3 bulan sampai 10 tahun setelah lesi sekunder.
Gambaran klinis utama berupa depigmentasi seperti vitiligo disertai

22

warna coklat, biru, merah , dan ungu. Lesi memppunyai batas yang
tidak teratur dan berukuran bervariasi. Macula timbul simetris pada
penonjolan tulang misalnya pergelangan tangan, jari tangan, tumit, dan
disekitar lesi lama. Hanya pasien dengan stadium lanjut yang bias
mengalami vitiligo (vitiligo pinta) (Kahn, 1999 dan Sanches, 2003).

Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan akantosis, spongosis,


hyperkeratosis, degenerasi mencair sel basal. Treponema dapat
ditemukan diepidermis pada stadium primer, sekunder, dan tersier tetapi
tidak ditemukan treponema pada makula depigmentasi (Kahn, 1999).

2.2.7

Pengobatan
Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal maupun sistemik.
Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai
60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu
diperlukan terapi profilaksis untuk mencegah rekurensi (Faegemann,
1990).
1. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal harus dilakukan secara menyeluruh, tekun,
dan konsisten. Beberapa obat topikal yang digunakan ialah
sebagai berikut:
- Selenium sulfide 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali
seminggu. Obat dioleskan dan digosok pada lesi dan
didiamkan selama 15-30 menit sebelum mandi.

23

Salisil spiritus 10%.


Turunan azol seperti misalnya mikonazol, klotrimazol,
isokanazol, san ekanazol dalam bentuk topikal. Sulfur

presipitatum dalam bedak kocok 4-20%.


Larutan Tiosulfas natrikus 25%, dioleskan sehari 2 kali

sehabis mandi selama 2 minggu (Daili, 2005).


2. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor
yang luas atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat
yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
- Ketokonazol dosis 200 mg/hari selama 10 hari.
- Itrakonazol diosis 200 mg/hari selama 5-7 hari, disarankan
untuk kasus kambuh atau tidak responsive dengan terapi
lainnya (Weeks, 2003).

2.2.8 Pencegahan
Untuk pencegahan dapat disarankan pemakaian 50% propilen glikol
dalam air atau sistemik ketokonazol 400 mg/hari sekali sebulan
(Radiono, 2001).

Pada daerah endemik untuk pencegahan penyakit dapat disarankan


pemakaian ketokonazol 200 mg/hari selama 3 hari setiap bulan atau
itrakonazol 200 mg sekali sebulan atau pemakaian sampo selenium
sulfide sekali seminggu (Radiono, 2001 & Partogi, 2008).

24

2.2.9 Prognosis
Pengobatan baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun, dan
konsisten. Pengobatan harus terus dilakukan setelah 2 minggu
flouresensi negative dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan
langsung negative (Faegemann, 1990).

Jamur penyebab pityriasis versicolor merupakan bagian dari flora


normal dan kadang-kadang tertinggal dalam folikel rambut. Hal ini yang
mengakibatkan angka rekurensi yang tinggi sehingga diperlukan
pengobatan profilaksis untuk mencegah kekambuhan.

Masalah lain adalah menetapnya hipopigmentasi dan diperlukan waktu


yang cukup lama untuk repigmentasi. Namun gal tersebut bukan akibat
dari kegagalan terapi, sehingga penting untuk memberikan informasi
kepada pasien bahwawa bercak putih tersebut dapat menetap selama
bebrapa bulan setelah terapi dan akan menghilang secara perlahan
(Budimulja, 2010).

2.3 Personal hygiene


Personal hygiene dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan
dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah cara perawatan diri
manusia untuk memelihara kesehatan. Kebersihan perorangan sangat penting
25

untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk


kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan (Potter, 2005).

Penilaian terhadap suatu individu dengan personal hygiene yang baik apabila,
orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan
kulit, tangan dan kuku,dan kebersihan genitalia (Frenki, 2011).

Personal hygiene menjadi penting karena personal hygiene yang baik akan
meminimalkan pintu masuk (port de entry) mikroorganisme yang pada
akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit. Personal hygiene merupakan
perawatan diri dimana seseorang merawat fungsi-fungsi tertentu seperti mandi
dan kebersihan tubuh secara umum. Kebersihan diri diperlukan untuk
kenyamanan, keamanan dan kesehatan seseorang. Kebersihan diri merupakan
langkah awal mewujudkan kesehatan diri. Dengan tubuh yang bersih
meminimalkan risiko seseorang terhadap kemungkinan terjangkitnya suatu
penyakit terutama penyakit yang berhubungan dengan kebersihan diri yang
tidak baik. Personal hygiene yang tidak baik akan mempermudah tubuh
terserang berbagai penyakit seperti penyakit kulit, penyakit infeksi, penyakit
mulut dan penyakit saluran cerna (Listautin, 2012).

Usaha kesehatan pribadi adalah daya upaya dari seseorang untuk memelihara
dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri (Entjang, 2000). Menurut
Listautin (2012), menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
personal hygiene diantaranya kebersihan kulit, tangan dan kuku terhadap
keluhan kesehatan.
26

a. Kebersihan kulit
Kulit merupakan organ terbesar manusia, kulit berfungsi untuk melindungi
jaringan dibawahnya dari cidera, mengatur suhu, menghasilkan minyak,
mentransmisikan sensasi melalui reseptor saraf, menghasilkan dan
mengabsorpsi vitamin D (Listautin 2012). Kulit sebagai organ yang
berfungsi sebagai proteksi, kulit memegang peranan penting dalam
meminimalkan setiap gangguan dan ancaman yang masuk melewati kulit
(Isroin dan Andarmayo, 2012).
Sabun dan air merupakan hal yang penting untuk mempertahankan
kebersihan kulit. Hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan
diri adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan tubuh dengan menggunakan air bersih.
2. Mandi dilakukan oleh setiap orang setidaknya minimal 2 kali
dalam sehari .
3. Mandi dengan menggunakan sabun.
4. Menjaga kebersihan pakaian dengan mengganti pakaian setiap
hari
5. Makan-makanan yang bergizi terutama sayur dan buah
6. Menjaga kebersihan lingkungan.
Sedangkan kriteria mandi yang baik adalah :
1. Mandi satu sampai dua kali sehari, khususnya di daerah tropis.
2. Bagi yang terlibat dalam kegiatan olah raga atau pekerjaan lain
yang mengeluarkan banyak keringat dianjurkan untuk segera
mandi setelah selesai kegiatan tersebut.
3. Gunakan sabun yang lembut. Germisidal atau sabun antiseptic
tidak dianjurkan untuk mandi sehari-hari.

27

4. Bersihkan anus dan genitalia dengan baik karena pada kondisi


tidak bersih, sekresi normal dari anus dan genitalia akan
menyebabkan iritasi dan infeksi.
5. Bersihkan badan dari sabun dengan air

lalu keringkan

dengan handuk yang kering dan tidak dipakai oleh orang lain
(Web Health Center, 2012).
Menurut penelitian Sajida (2012) terdapat hubungan yang bermakna antara
kebersihan kulit dengan keluhan penyakit kulit.

b. Kebersihan tangan, kaki, dan kuku


Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya menggunakan
tangan untuk makan, mempersiapkan makanan, bekerja dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, butuh perhatian ekstra untuk kebersihan
tangan dan kuku sebelum dan sesudah beraktivitas.
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah ke kamar mandi
dengan menggunakan sabun. Mencuci dengan menggunakan sabun
harus meliputi area antara jari tangan, kuku dan punggung tangan.
2. Handuk yang digunakan untuk mengeringkan tangan sebaiknya dicuci
dan diganti setiap hari.
3. Pelihara kuku agar tetap pendek, jangan memotong kuku terlalu
pendek sehingga bisa mengenai kulit (Web Health Center, 2012).
Begitu pula menjaga kebersihan tangan, kaki dan kuku yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Hindari penggunaan sepatu yang sempit
2. Hindari penggunaan kaos kaki yang sempit, sudah lama dan kotor
3. Memotong kuku jari tangan dan kaki secara teratur
c. Kebersihan rambut

28

Penampilan dan kesejahteraan seseorang seringkali tergantung dari cara


penampilan dan perasaan mengenai rambutnya. Kurangnya kebersihan
rambut seseorang akan membuat penampilan tampak kusut, kusam, dan
tidak rapi selain itu dapat menimbulkan permasalahan atau gangguan
kesehatan (Isroin dan Andarmoyo, 2012). Hal-hal yang diperlukan dalam
perawatan rambut dan kulit kepala agar tetap ebrsih dan sehat yaitu:
1. Mencuci rambut sekurang-kurangnya dua kali seminggu
2. Mencuci rambut dengan menggunakan sampo
3. Menggunakan alat-alat pmeliharaan rambut sendiri (Silalahi, 2010).
d. Kebesihan genetalia
Area genitalia merupakan tempat yang lembab yang berpotensi mengalami
infeksi. Karena minimnya pengetahuan tentang kebersihan genitalia,
banyak kaum remaja putri maupun putra mengalami infeksi di alat
reproduksinya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjaga
kebersihan genital yaitu:

Membersihkan genitalia dengan benar (dari depan kebelakang).


Pemakaian celana dalam yang kering dan harus diganti setiap hari.

Kebersihan diri merupakan faktor penting dalam usaha pemeliharaan


kesehatan, agar kita selalu dapat hidup sehat. Menjaga kebersihan diri
berarti juga menjaga kesehatan umum. Menurut Wolf (2000) dalam Frenki
(2011) cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan sebagai berikut :

Mandi setiap hari minimal 2 kali sehari secara teratur dengan


menggunakan sabun, muka harus bersih, telinga juga harus
dibersihkan serta bagian genitalia. Tangan harus dicuci sebelum

29

menyiapkan makanan dan minuman, sebelum makan, sesudah

buang air besar atau buang air kecil.


Kuku digunting pendek dan bersih, agar tak melukai kulit

atau menjadi sumber infeksi.


Pakaian perlu diganti sehabis mandi dengan pakaian yang
habis dicuci bersih dengan sabun/ detergen, dijemur di bawah sinar
matahari dan di setrika.

2.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi personal hiygiene


Menurut Potter dan Perry (2005), sikap seseorang melakukan
personal hygiene dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain:
a. Citra tubuh (Body Image)
Penampilan umum pasien dapat menggambarkan pentingnya
personal hygiene pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan
konsep subjektif seseorang tentang penampilan fisiknya.
Personal hygiene yang baik akan mempengaruhi terhadap
peningkatan citra tubuh individu (Stuart & Sudeen, 1999 dalam
setiadi, 2005). Citra tubuh dapat berubah, karena operasi,
pembedahan atau penyakit fisik maka perawat harus membuat
suatu usaha ekstra untuk meningkatkan hygiene dimana citra
tubuh mempengaruhi cara mempertahankan hygiene. Body image
seseorang berpengaruhi dalam pemenuhan personal hygiene
karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
terhadap kebersihannya.
b. Praktik sosial
Kelompok-kelompok sosial wadah seorang pasien berhubungan
dapat mempengaruhi bagaimana pasien dalam pelaksanaan
30

praktik personal hygiene. Perawat harus menentukan apakah


pasien dapat menyediakan bahan-bahan yang penting seperti
deodorant, sampo, pasta gigi, dan kosmetik. Perawat juga harus
menentukan jika penggunaan dari produk-produk ini merupakan
bagian dari kebiasaan sosial yang dipraktekkan oleh kelompok
sosial pasien.
c. Status sosial ekonomi
Menurut Friedman (1998) dalam Pratiwi (2008), pendapatan
keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga untuk
menyediakan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan
untuk menunjang hidup dan kelangsungan hidup keluarga.
Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan
tingkatan praktik personal hygiene. Untuk melakukan personal
hygiene yang baik dibutuhkan sarana dan prasarana yang
memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta peralatan
mansi yang cukup.
d. Pengetahuan
Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting, karena
pengetahuan

yang

baik

dapat

meningkatkan

kesehatan.

Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi


kesehatan mempengaruhi praktik hygiene. Kendati demikian,
pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup, pasien juga harus
termotivasi untuk memelihara personal hygiene. Individu dengan
pengetahuan tentang pentingnya personal higene akan selalu
menjaga kebersihan dirinya untuk mencegah dari kondisi atau
keadaan sakit (Notoatmodjo, 1998 dalam pratiwi, 2008).
e. Kebudayaan

31

Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan


perawatan personal hygiene. Seseorang dari latar belakang
kebudayaan

yang

berbeda,

mengikuti

praktek

perawatan

personal hygiene yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur


sering menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan
diri. Dalam merawat pasien dengan praktik higiene yang
berbeda, perawat menghindari menjadi pembuat keputusan atau
mencoba untuk menentukan standar kebersihannya (Potter &
Perry, 2005).
f. Kebiasaan dan kondisi fisik seseorang
Setiap pasien memiliki keinginan individu dan pilihan tentang
kapan untuk mandi, bercukur, dan melakukan perawatan rambut.
Orang yang menderita penyakit tertentu atau yang menjalani
operasi seringkali kekurangan energi fisik atau ketangkasan
untuk melakukan personal hygiene. Seorang pasien yang
menggunakan gips pada tangannya atau menggunakan traksi
membutuhkan bantuan untuk mandi yang lengkap. Kondisi
jantung, neurologis, paru-paru, dan metabolik yang serius dapat
melemahkan atau menjadikan pasien tidak mampu dan
memerlukan perawatan personal hygiene total.

2.3.2 Tujuan personal hygiene


Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010), bertujuan untuk:
a.
b.
c.
d.

Meningkatkan derajat kesehatan seseorang


Memelihara kebersihan diri seseorang
Memperbaiki personal hygiene yang kurang
Meningkatkan percaya diri seseorang

32

e. Mencegah penyakit
f. Menciptakan keindahan
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene.
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010) dampak yang bisa timbul
adalah:
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan
fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit.
Gangguan mukosa mulut, gangguan pada mata dan telinga,
gangguan pada kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubunagan dengan personal hygiene
adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
2.4 Hubungan personal hygiene dengan pitiriasis versikolor
Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting
dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan
dan psikis seseorang. Kurangnya kebersihan diri merupakan salah satu
faktor predisposisi timbulnya penyakit seperti pitiriasis versikolor ( Tarwoto
& Wartonah, 2010).

33

2.5 Kerangka teori


Malassezia
Furfur

Pityriasis
Versicolor

Saprofit

Miselial

Faktor-faltor yang berperan

Personal hygiene buruk


Lingkungan hangat &
lembab
Kontrasepsi oral
Pengunaan kortikosteroid
sistemik
Antibiotic jangka lama
Cushing syndrome
Terapi imunosupresan
Hiperhidrosis
Kekurangan gizi

Gambar 1. Kerangka teori


2.6 Kerangka konsep
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah:
Personal
Hygiene

Pityriasis
Versicolor
34

Ringan
Sedang
Berat

Gambar 2. Kerangka konsep


2.7 Hipotesis
Ada hubungan antara personal hygiene dengan angka kejadian pityriasis
Versicolor.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

35

3.1 Desain penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik
denga pendekatan cross sectional (Notoadmodjo, 2012), yaitu dengan cara
pengumpulan data sekaligus dalam satu waktudengan tujuan untuk mengetahui
hubungan antara personal hygiene dengan angka kejadian pityriasis versicolor di
Pondok Pesantren Daarul Huffazh, Pesawaran.

3.2 Waktu dan tempat penelitian


3.2.1 Waktu penelitian
Penelitian akan dilakukan pada antara bulan maret hingga juni.
3.2.2 Tempat penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Huffazh, Pesawaran.

3.3 Populasi dan sampel


3.3.1 Populasi

36

Populasi merupakan subjek yang berada pada suatu wilayah dan


memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang berada di
Pondok Pesantren Daarul Huffazh.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah subset (bagian) dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya. Pada penelitian
ini, sampel diambil keseluruhan dengan total sampling dimana sampel
yang diambil dengan kriteria sebagai berikut :
Kriteria inklusi:
1. Santri Pondok Pesantren Daarul Huffazh yang bersedia dijadikan
sampel.
2. Santri Pondok Pesantren Daarul Huffazh yang berada ditempat saat
penelitian.
Kriteria eksklusi:
1.
2.
3.
4.
5.

Tidak bersedia untuk dijadikan sampel.


Tidak hadir saat dilakukan penelitian.
Menggunakan obat-obatan imunosupresan dalam jangka waktu lama.
Menggunakan Antibiotik jangka lama
Mengidap penyakit yang menyebabkan imunosupresi.

3.4 Variabel penelitian


1. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah
personal hygiene.
2. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah
pityriasis versicolor.

37

3.5 Metode pengumpulan data


Data primer tentang karakteristik responden:
1. Personal hygiene dilakukan dengan pengisian kuisioner.
2. Penentuan pityriasis versicolor dilakukan dengan cara pemeriksaan KOH.

3.6 Definisi operasional


Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana
cara mengukur suatu variabel atau dapat dikatakan semacam petunjuk
pelaksanaan bagaimana cara mengukur suatu variabel.

Table 1. Definisi operasional


No
1

Variabel
Personal hygiene

Pengertian
Personal hygiene adalah
Menjaga kebersihan diri
sebelum dan sesudah
beraktifitas seperti
mencuci tangan sebelum
dan sesudah beraktifitas,
mengganti pakaian dan
kebiasaan mandi
(Rahmawati, 2010)

Pengukuran
Cara Ukur:
Wawancara

skala
Ordinal

Alat Ukur: Kuesioner


Nilai Ukur:
Baik : >75%
Sedang : 40% - 75%
Kurang: <40%

Handuk yang digunakan


untuk mengeringkan
tangan sebaiknya dicuci
dan diganti setiap hari
(Web Health Center,
Web Health Center,
2012

Pityriasis
versicolor

Efloresensi berupa
makula hipopigmentasi,
hiperpigmentasi, atau
kemerahan dengan batas
sangat tegas, tertup
skuama halus. Sediaan
langsung (uji kerok)
KOH 20%
memperlihatkan

Cara ukur:

Nominal

- Inspeksi pada
daerah yang
dicurigai.
- Pemeriksaan sediaan
langsung KOH 20%.
Alat ukur:
- Lup (kaca

38

kelompok sel ragi bulat


berdinding tebal dengan
miselium kasar, sering
terputus-putus atau
pendek (Partogi, 2008)

pembesar)
- Mikroskop cahaya.
Nilai ukur:
Inspeksi
- Positif:apabila
ditemukan macula
hipopigmentasi,
hiperpigmentasi,
atau kemerahan
dengan batas sangat
tegas, tertup skuama
halus.
- Negatif: apabila
tidak ditemukan
macula
hipopigmentasi,
hiperpigmentasi,
atau kemerahan
dengan batas sangat
tegas, tertup skuama
halus
Sediaan langsung
KOH
- Positif: apabila
ditemukan
kelompok sel ragi
bulat berdinding
tebal dengan
miselium kasar.
- Negatif: apabila
tidak ditemukan
kelompok sel ragi
bulat berdinding
tebal dengan
miselium kasar.

3.7 Teknik pengambilan data


3.7.1 Alat penelitian
39

a. Alat tulis
Adalah alat yang digunakan untuk mencatat, melaporkan hasil
penelitian. Alat tersebut adalah pulpen, kertas, pensil dan komputer.
b. Kuisioner terstruktur
Adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian.
Kuesioner diadaptasi dari penelitian Rahmawati (2010). Tiap item
pertanyaan diberi skor nilai sesuai dengan jumlah jawaban pada
pertanyaan. Selanjutnya kuesioner yang telah diisi oleh responden
dijumlahkan. Variabel personal hygiene dinilai baik jika > 75%,
dinilai sedang jika 40-75%, dan dinilai kurang jika < 40%.
c. Lembar inform consent
adalah lembar persetujuan untuk menjadi responden penelitian.
d. Alat dan bahan pemeriksaan sediaan langsung
Alat dan bahan untuk pengambilan kerokan sebagai berikut :
Mikroskop, skalpel, pipet tetes, alkohol, tissue, cotton swab, object
glass, KOH 10-20%, alkohol 70%.

3.7.2 Cara pengambilan data


Dalam penelitian ini, seluruh data diambil secara langsung dari
responden (data primer), yang meliputi :
3.7.2.1 Pengisian Kuesioner
a) Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian
b) Pengisian informed consent
c) Pencatatan hasil pengukuran pada formulir lembar penelitian
3.7.2.2 Pengambilan spesimen

40

a) Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian


b) Pengisian informed consent
c) Anamnesis dan pemeriksaan fisik efloresensi pityriasis
versicolor. Bila didapatkan kecurigaan pityriasis versicolor
dilanjutkan ke langkah selanjutnya.
d) Pengambilan spesimen kerokan kulit pada daerah yang
dicurigai.
e) Pemeriksaan mikroskopik sediaan langsung KOH 10-20%.
f) Pencatatan hasil pengamatan.

3.8 Pengolahan dan analisis data


3.8.1 Pengolahan data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan a]data akan diubah
ke dalam bentuk tabel-tabel kemudian data diolah menggunakan
software SPSS. Kemudian proses pengolahan data menggunakan
software SPSS ini terdiri dari bebrapa langkah:
a. Coding, untuk mengkonversikan data yang dikumpulkan selama
penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.
b. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.
c. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap
data yang telah dimasukkan kedalam komputer.
d. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer
kemudian dicetak.

3.8.2 Analisis data


Analisis

statistika

ntuk

mengolah

data

yang

diperoleh

akan

menggunakan software SPSS pada komputer dimana akan dilakukan 3

41

jenis analisis data yaitu analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis
multivariat.
a. Analisis univariat
Analisis ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi
variabel bebas dan variabel terikat.
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui
hubungan antara variabel terikat dengan variabel terikat dengan
menggunakan uji statistik.
Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi
square. Uji chi square meruapakan uji komparatif yang dugunakan
dalam data penelitian ini. Uji signifkan antaa data yang diobservasi
dengan data yang diharapkan dilakukan dengan batas kemaknaan
(<0,05) yang artinya apabila diperoleh p< , berarti ada
perbandingan yang signifikan dengan variabel bebas dengan variabel
terikat dan bila p> , berarti tidak ada hubungan yang sif=gnifikan
antara variabel bebas dengan variabel terkat.
Apabila uji chi square tidak memenuhi syarat parametik (nilai
expected count >20%), maka dilakukan uji alternatif Kolmogorofsmirnof.
c. Analisis multivariat
Analisis multivariat dapat dapat dilakukan menggunakan analisis
regresi logistik ganda. Analisis multivariat dilakukan untuk
mengetahui:
1. Variabel bebas mana yang memiliki pengaruh paling besar
terhadap variabel terikat.
2. Mengetahui apakah hubungan beberapa variabel bebas dengan
variabel terikat dipengaruhi oleh variabel lain atau tidak.

42

3. Bentuk hubungab beberapa variabel bebas dengan variabel


terikat apakah berhubungan langsung atau berhubungan tidak
langsung.
Uji ini mampu memasukkan beberapa variabel dalam satu model.
Langkah pertama adalah menentukan varabel yang masuk
kriteria sebagai kandidat model yaitu variabel dengan nilai p
<0,25% dan nilai 95% CI diatas 1 atau dibawah 1. Selanjutnya
dilihat kemungkinan adanya variabel interaksi pada variabevarabel kandidat tersebut. Dari hasil pengujian ini ditetapkan
model akhir dari regresi logistik ganda yang dilakukan (Hastono,
2007).

43

Anda mungkin juga menyukai