Chandra Efendi
Febiyanti
Fatmasari
Nety Kurnia
Novina Indrianingrum
Rohima
Rusmai Triaswati
Zahratunnisa
2012
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Definisi ..............................................................................................
2. Etiologi ..............................................................................................
3. Manifestasi Klinis ..............................................................................
4. Patofisiologi ......................................................................................
5. Pemeriksaan Penunjang
5.1 Pemeriksaan Diagnosis ...............................................................
5.2 Pemeriksaan Laboratorium .........................................................
6. Penatalaksanaan Kegawatan .............................................................
7. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat ................................................
BAB IV PENUTUP
1. Penutup .............................................................................................
2. Kritik dan Saran ................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Apabila hanya 10% dari
ginjal yang berfungsi, pasien dikatakan sudah sampai pada penyakit ginjal end
stage renal disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap akhir. Awitan gagal
ginjal mungkin akut, yaitu berkembang sangat cepat dalam beberapa jam atau
dalam beberapa hari. Gagal ginjal juga dapat kronik, yaitu terjadi perlahan dan
berkembang perlahan, mungkin dalam beberapa tahun. Di Amerika Serikat,
sekitar 5% dari pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami ARF dan 30%
dari pasien yang dirawat di unit perawatan intensif menderita ARF. Pada
pasien ARF, 50% mengalami oliguria dan 80% pasien ini meninggal. Dari
kasus ARF intrinsik, 90% adalah nekrosis tubular akut.
2. Tujuan Penulisan
Tujuan Instruksional Umum :
Setelah mempelajari kasus kegawatan pada sistem perkemihan yakni ARF
(Acute Renal Failure), diharapkan mahasiswa/i mampu menjelaskan konsep
kegawatan pada pasien ARF.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Gagal ginjal akut (Acute Renal Failure, ARF) adalah penurunan fungsi
ginjal tiba-tiba yang ditentukan dengan peningkatan kadar BUN dan kreatinin
plasma. Haluaran urine dapat kurang dari 40 ml/ jam (oliguria), tetapi
mungkin juga jumlahnya normal atau kadang-kadang dapat meningkat.
Meskipun tidak ada batas pasti untuk BUN dari 15-30 mg/dl dan peningkatan
kreatinin dari 1-2 mg/dl mengisyaratkan ARF pada pasien yang sebelumnya
mempunyai fungsi ginjal normal.
2. Etiologi
2.1 Prerenal
a. Hipovolemia
Perdarahan
Dehidrasi
Muntah, diare dan diaforesis
Pengisapan lambung
Diabetes melitus dan diabetes insipidus
Luka bakar dan drainase luka
Sirosis
Pemakaian diuretik yang tidak sesuai
Peritonitis
b. Penurunan Curah Jantung
Gagal jantung kongestif
Infark miokard
Tamponade jantung
Disritmia
c. Vasodilatasi Sistemik
Sepsis
Asidosis
Anafilaksis
d. Hipotensi dan Hipoperfusi
Gagal jantung
Syok
2.2 Intrarenal
a. Kerusakan Nefron
Nekrosis tubular akut
glomerulonefritis
b. Perubahan Vaskular
Koagulopati
Hipertensi malignant
Stenosis
c. Nefrotoksin
Antibiotik (gentamisin, tobramisin, neomisin, kanamisin dan
vankomisin)
Kimiawi (karbon tetraklorida dan timbal)
Logam berat (arsenik dan merkuri)
Nefritis interstitial akibat obat (tetrasiklin, furosemid, tiasid dan
sulfanomid)
2.3 Postrenal
a. Obstruksi Ureter dan Leher Kandung Kemih
Kalkuli
Neoplasma
Hiperplasia prostat
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada ARF seperti : pucat (anemia), oliguria, edema,
hipertensi, muntah, letargi, gejala kelebihan cairan berupa gagal jangtung
kongestif atau edema paru, aritmia jantung akibat hiperkalemia, hematemesis
dengan atau tanpa melena akibat gastritis atau tukak lambung, kejang,
kesadaran menurun sampai koma.
Fase gagal ginjal akut :
Fase oliguria atau anuria : jumlah urine berkurang sampai 10-30 ml/
hari, dapat berlangsung 4-5 hari, kadang-kadang sampai 1 bulan.
Terdapat gejala uremia nyata seperti pusing, muntah, apatis sampai
somnolen, haus, nafas kussmaul, kejang dan lainnya. Ditemukan
hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiponatremia dan
asidosis metabolik.
Fase diuretik : poliuria, dapat timbul dehidrasi. Berlangsung sekitar 2
minggu.
Fase penyembuhan atau pascadiuretik : poliuria dan gejala uremia
berkurang. Faal glomerulus dan tubulus membaik dalam beberapa
minggu, tetapi masih ada kelainan kecil. Yang paling lama terganggu
adalah daya mengkonsentrasi urine. Kadang-kadang faal ginjal tidak
menjadi normal lagi dan albuminuria tetap ditemukan.
4. Patofisiologi
Postrenal
Prerenal Intrarenal
Vasodilatasi Hyperplasia
Hipovolemia kalkuli
sistemik Kerusakan Nefrotoksik prostat
↓ curah nerfon/ Perubahan
Hipotensi & vaskuler Neoplasma
jantung tubular
hipoperfusi
↓ TD Kongesti yg menyebabkan
tekanan retrogard melalui system
Laju GFR↓
kolegentes dan nefron
6. Penatalaksanaan Kegawatan
Penatalaksanaan utama kerusakan fungsi ginjal diarahkan pada
penatalaksanaan khusus dan adekuat dari keadaan hipoperfusi. Ketiga penyebab yang
paling pada penurunan fungsi ginjal adalah penurunan curah jantung, perubahan
tahanan vaskuler perifer, dan hipovolemia. Faktor-faktor seperti disritmia jantung,
infark miokard akut, dan temponande prikardial akut,semuanya ini menurunkan curah
jantung, mungkin berhubungan dengan penurunan aliran darah ginjal. Oleh karenanya
reversibilitas (kemampuan untuk kembali ke keadaan normal) dari gagal ginjal
tergantung pada kemampuan untuk meningkatkan fungsi jantung.
Pada kondisi ini, curah jantung biasanya terganggu secara akut dan sangat
payah. Bila curah jantung terganggu sampai batas yang lebih kecil selama periode
waktu yang lama, bagaimana pun, terjadi gambaran gagal jantung kongestif. Sekali
lagi, disini terjadi penurunan perfusi ginjal meskipun sampai batas yang terkecil.
Gambaran utama dari keadaan ini, dari aspek ginjal, makin menyerap natrium, yang
mengakibatkan peningkatan volume cairan ekstraselular, kenaikan tekanan vena
sentral, dan edema.
Beberapa mekanisme bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi
tubular terhadap natrium. Pertama, terjadi penurunan lebih besar dalam aliran darah
ginjal daripada dalam filtrasi glomerulus, membawa ke mekanisme yang telah
dibicarakan sebelumnya. Kedua, telah diduga bahwa aliran darah ke kortek
superficial menurun, sementtara aliran darah kearea kortikal dalam meningkat. Selain
itu, diperkirakan bahwa nefron pada region kortikal dalam menyerap natrium
terfiltrasi dalam presentase yang lebih besar daripada nefron di korteks luar ginjal.
Factor-faktor lain termasuk peningkatan reabsorpsi natrium tubulus distal dan
proksimal. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi
natrium tubulus proksimal sebagian besar tergantung pada peningkatan tekanan
onkotik posglomerular; namun aldosteron paling bertanggung terhadap peningkatan
reabsorpsi natrium tubulus distal. Dapat dilihat bahwa berbagai mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap peningkatan reabsorpsi natrium tubular pada gagal
jantung kongesti.
Terapi diarahkan terutama pada meningkatkan ekskresi natrium urine.
Kadang-kadang, keadaan ini dapat diselesaikan dengan memperbaiki curah jantung ,
yang selanjutnya meningkatkan perfusi ginjal. Namun hal ini tidak selalu
memungkinkan. Diuretic sering digunakan untuk meningkatkan ekskresi natrium.
Agen ini secara langsung menghambat reabsorpsi natrium dalam tubulus ginjal.
Potensi diuretic ditentukan terutama oleh tempatdi tubulus ginjal dimana reabsorpsi
natrium di hambat.
Kedua diuretic yang paling poten yang sekarang ada adalah furosemmid
(Lasix; Hoechst-Roussel Pharmaceuticals, Somerville, NJ) dan asam etakrinik
(Edcrin; Merck Sharp & Dohme, West Point, PA). Agen ini menghambat reabsorpsi
natrium pada parsasenden ansa Henle dan pada tubulus distal. Masih belum jelas
apakah agen ini juga mempunyai efek pada tubulus proksimal. Diuretic tiazid
mempunyai kerja utama pada tubulus distal dan oleh karenanya agen ini agak kurang
poten daripada agen diatas.
Diuretic lain yang umum lain adalah spironokolakton (Aldactone; Searle
Laboratories, Chicago, IL), yang meningkatkan natrium urine dengan menghambat
efek aldosteron di tubulus ginjal. Spironolakton harus di gunakan dengan hari-hari
pada pasien dengan penurunan curah jantung dan perfusi ginjal yang lemah karena
diuretic ini menurunkan ekskresi kalium dan dapat menyebabkan hiperkalemia yang
mengancam hidup pada pasien seperti ini. Keadaan yang sama juga terjadi untuk
triamteren, diuretic hemat kalium.
Penatalaksanaan Nekrosis Tubular akut :
a) Penggantian volume
Setelah terjadi NTA, pertimbangan utama adalah pemeliharaan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Selama masa oliguria, volume urine
biasanya kurang dari 300 ml perhari. Kehilangan yang tidak terlihat rata-
rata 800-1000 ml perhari dan sebenarnya bebas elektrolit.
Secara umum, pengantian cairan harus mendekati 500 ml perhari.
Selain air akan dari air yang terdapat dalam makanan di tambah air
oksidari dari metabolisme. Karena pengguanaan protein dan lemak tubuh,
pasien idealnya harus kehilangan 2,2 lb (1kg) perhari untuk
mempertahankan keseimbangan air. Bahaya kelebihan air dengan akibat
gagal jantung kongesti dan edema paru terdapat sepanjang periode
oliguria.sebaliknya, selama NTA fase diuretik, pemborosan natrium lebih
jauh dapat terjadi berkaitan dengan peningkatan volume urine. Itulah
sebabnya perlu untuk mempertahankan pencatatan asupan dan haluaran
secara akurat dan penimbangan berat badan tiap hari pada kedua fase. Hal
ini teruama penting bila ada kesempatan lain untuk kehilangan cairan dan
elektrolit seperti muntah, diare, penghisapan nasogastrik, dan drainase oleh
dari fistula. Secara umum, kehilangan terjadi sebagai akibat dari masalah-
masalah ini harus di ganti penuh.
b) Terapi Nutrisi
Selain penggantian cairan dan elektrolit ,masukan di arahkan pada
pensuplaian pasien dengan kalori dalam bentuk karbohidrat dan lemak
untuk menurunkan pemecahan protein tubuh. Karena 1 gr urea dibentuk
setiap 6 gr protein yang di metabolisme, asupan protein biasanya dibatasi
untuk mencegah peningkatan BUN yang terlalu cepat.
Dengan pengembangan tim nutrisi ,telah terjadi kecendrungan
berkembangan untuk memberikan lebih banyak kalori dan protein dalam
bentuk parenteral atau hiperalimensasi enteral dalam upaya untuk
meningkatkan kondisi umum pasien dan untuk mempercepat pemulihan
fungsi ginjal. Diit mengandung 2000 sampai 3000 kalori/hari dengan 40
sampai 60 gr protein atau asam amino esensial telah digunakan dengan
frekuensi yang meningkat. Diet ini mengandung lebih dari 500 ml cairan
yang di anjurkan sebelumnya. Oleh karenanya,hiperalimentasi
memerlukan lebh dialisis ,khususnya pada periode oliguria, sering dalam
kombinasi dengan hemofiltrasi.
c) Kontrol asidosis
Asidosis metabolik dengan keparahan sedang biasanya terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal .hal ini merupakan akibat dari ketidakmampuan
ginjal untuk mengekskresikan ikatan asam (H2PO4) yang dihasilkan dari
proses metabolik normal. Asidosis biasanya dapat dikontrol dengan mudah
dengan memberi pasien natrium bikarbonat 30 sampai 60 mEq setiap hari
tetapi tidak memerlukan pengobatan kecuali HCO3- turun dibawah 12
sampai 15 mEq/L.
d) Kontrol Hiperkalemia
Hiperkalemia umumnya terjadi pada pasien dengan NTA .ini
merupakan konsekuensi baik karena penurunan kemampuan ginjal
mengekresi kalium dan pelepasan kalium intraseluler karena asidosis dan
kerusakan jaringan. Asidosis mengakibatkan perpindahan ion hidrogen ke
dalam sel, sehingga mengantikan kalium ke dalam cairan intraselular.
Keadaan ini mempertahankan netralitas elektron tetapimeningkatkan
keadaan hiperkalemia.
Selain mekanisme untuk menyebabkan hiperkalemia, sering di abaikan
pada pasien sakit akut , adalah pembatasan kalori ,terutama pembatasan
glukosa . perpindahan glukosa dan asam amino ke dalam sel sel disertai
dengan kalium .pada sakit akut, pasien katabolik, bila asupan diit di batasi
atau terapi cairan intravena dihentikan , kegagalan perpindahan kalium
intraselular dapat menunjang hiperkalemia. Karena proses ini
membutuhkan insuline, maka defisiensi insuline mempunyai konsekuensi
sama, dan penderita diabetik dapat lebih rentan untuk mengalami
gangguan akut kesemimbangan kalium bila terjadi gagal ginjal.
Dengan menggangu translokasi catecholamine-induced kalium ke
dalam sel-sel ,β-bloker juga dapat memperberat hiperkalemia dan harus
dihindari pada pasien GGA. Hiperkalemia secara klinis di manifestasikan
oleh perubahan jantung dan neuromaskular .baik gangguan konduksi
jantung maupun kaudriplegia flaksid akut merupakan komplikasi yang
mengancam hidup .perubahan hiperkalemia ini cepat dapat pulih dengan
pemberian kalsium glukonas intravena ,yang mempunyai efek antagonis
langsung dalam aksi kalium. Kalium serum dapat diturunkan dengan
pemberian natrium bikarbonat intravena untuk pengobatan asidosi. Selain
itu, pemberian glukosa dan insuline dengan sering di gunakan sebagai
metode tambahan perpindahan kalium ekstraseluar ke intraselular.
Natrium polistiren sulfonat resin (Kayexalate;winthrop
pharmaceuticals) di berikan peroral ( 25 gr empat kali sehari dalam 10 ml
sorbitol 10 %) dapat mengurangi kelebihan kalium tubuh lebih lambat dan
harus dilakukan bila hiperkalemia mulai teejadi. Selain itu, bila
hiperkalemia yang mengancam hidup terjadi dan pengobatan ini gagal atau
tidak memperbaiki kalium serum menjadi normal , harus intervensi
kedaruratan baik hemodialisis atau dialisis peritoneal ,dialisis peritoneal
umumnya dapat dilakukan lebih cepat .karena kalium plasma di
seimbangkan dengan cepat oleh cairan peritoneal, kalium serum dapat
diturunkan dengan cepat.
Hiperkalemia selalu dapat dicegah dengan menghindari suplemen
kalium, pemberian teraapi kronik untuk asidosis , dan penggunaan natrium
polistiren sulfonat resin bila kalium serum agak sedikit meningkat.
Diagnosa
Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Perubahan perfusi Pasien akan stabil secara 1. Pantau TD, nadi, pernapasan,
jaringan b.d hipovolemia hemodinamik Tekanan Arteri Pulmonari
sekunder terhadap GGA (TAP), tekanan desak kapiler
pulmonari (TDKP), tekanan vena
sentral (TVS), curah jantung,
indeks jantung setiap jam sampai
stabil, kemudian setiap 2 jam.
2. Pantau laporan laboratorium (Na,
K, Hb, Ht, pemeriksaan
koagulasi SDP).
3. Pantau terhadap kekeringan
membran mukosa.
4. Pertahankan catatan asupan dan
haluaran.
5. Berat badan harian.
6. Berikan cairan dan darah sesuai
program dokter.
7. Pantau kelebihan cairan dan/
reaksi transfusi.
8. Timbang pasien setipa hari
9. Instruksikan untuk meningkatkan
masukan cairan 2000 ml/hari
10. Pantau tanda-tanda dan gejala
hiponatremia
11. Pantau haluaran urine untuk
volume yang adekuat setiap jam
sampai haluaran > 30 ml/hari,
kemudian setiap 2 jam lalu setiap
4 jam
12. Periksa berat jenis urine setiap
pergantian dinas. Laporkan
adanya abnormalitas
13. Lakukan tindakan untuk
meningkatkan sirkulasi
(perubahan posisi, pertahankan
kehangatan)
14. Atau suhu dan warna kulit setiap
jam sampai stabil, kemudian
setiap 2 jam
15. Pantau adanya perubahan fungsi
mental (letargi, stupor)
16. Orientasikan kembali terhadap
realita sesering mungkin. Panggil
dengan namanya, beritahu pasien
nama anda, orientasikan terhadap
lingkungan sekitar.
Kelebihan volume Pasien akan 1. Amati haluaran urine
cairan b.d GGA, filtrasi mempertahankan 2. Catat dan kaji masukan dan
buruk dan masukan keseimbangan cairan haluaran
intravena Kondisi pasien akan 3. Kaji urine terhadap hematuria,
dipertahankan berat jenis.
4. Berikan keamanan bila terjadi
kenaikan kadar BUN dan
kreatinin
5. Pantau tanda-tanda dan
akumulasi toksik obat
6. Kaji bunyi paru terhadap krakles
dan edema perifer
BAB III
PEMBAHASAN
1. Tinjauan Kasus
Klien Ny Julie usia 24 th, Diagnosa : GGA. Riwayat penyakit dahulu 3 tahun yang
lalu pernah mengalami Lupus erythematosus. Riwayat penyakit sekarang : Post
partum hari kedua. Operasi SC pada kehamilan 34 minggu dan dia mengalami
kesulitan pada kehamilannya karena hypertensi. Saat mendaftar dia di diagnosa
Sindrome HELLP (Hemolysis, Elevated count Liver Enzymes, Low platelet
count) dan dianjurkan melahirkan segera. Sejak melahirkan dia mengalami
hipovolemi karena perdarahan hebat dan berkembang menjadi syok hipovolemik.
Beberapa jam dia menjalani perbaikan hemodinamik yang tidak stabil kendati
diberikan darah, produk darah dan cairan pengganti. Dopamin @ 3-10 meq/kg/mt
dan Levophed @ 4 meq/mt. Sejak dua hari tekanan darah antara 60/48 - 98/58.
Haluaran urin minimal (0-30 cc/jam) selama 12 jam
1. Hasil Laboratorium :
a) WBC 18.000 (5000-10.000 /mm3), RBC 2.8 (4,2-5,4 juta/µL), Hb 7,0 (12-16
gr/dl), HTC 24% (36-46%), Platelet 18.000 (150.000-400.000 mm3)
b) AGD : pH 7,20 (7,4-7,5), PaO2 78 mmHg (71,0-104,0), PaCO2 30 mmHg
(35,0-46,0), HCO3 16 mmol/L (22,0-26,0), SaO2 90% ( >85%)
c) REN : BUN 145 (5-25 mg/dl), Creatinin 9,4 mg/dl (0,5-1,5 mg/dl)
d) Elektrolit : Kalium 6,4 (3,5 – 5,0 mEq/L), Ca 8,0 (4,5-5,5 mEq/L)
e) Alk phos 154 U/L (20-90U/L)
f) SGOT 34 meq/l (7 – 34 U/L) , SGPT 54 U/L (8 – 50 IU/L)
2. Hasil Diagnostik :
Hasil RO infiltrat paru dan edema paru
Patogenesis LES :
Inflamasi pada renal akibat LES disebut dengan renal nephritis yaitu
deposisi kompleks imun dan inflamasi membran basement glomerulus dan
mesangium sehingga terjadilah sklerosis glomerulus. Selain itu juga dapat
mengakibatkan nekrosis tubular dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Respon inflamasi juga terjadi pada sistem pulmonal, dengan gangguan
inflamasi pleura, infiltrasi parenchim, vaskulitis interstitial menyebabkan
infark, nekrosis dan fibrosis.
c) Syok Hipovolemik :
Syok hipovolemik terjadi karena kehilangan cairan baik karena
perdarahan, dehidrasi ataupun karena perpindahan cairan ke tiga area.
Payah jantung akut dan bahaya payah ginjal pada keadaan syok
(syok setelah operasi, syok septic, dan anafilaktik, syok
kardiogenik yang disebabkan oleh infark)
Pankreatitis akut
Bahaya kegagalan akut pada penyakit jantung dan ginjal kronik
akut (menahun)
Intoksikasi akut oleh obat-obat antiaritmia, barbiturat,
karebromal dan senyawa lainnya yang dieksresi melalui ginjal
Sebagai penunjang pada pengobatan diuretika
Perbaikan fungsi jantung dan ginjal selama pernafasan buatan
pada PEEP
Menstabilkan sirkulasi pada anaestasi mielopetal
Aturan pakai : Obat ini hanya intensif pada suntikan IV berbagai dosis
telah terbukti bermanfaat secara klinis :
Perhatian :
5. Primary Assesment
No. Kasus Konsep Teori
A Airway tidak paten Apa ada drolling ?
Retraksi intercosta/ substernal/ gerakan dinding
dada ?
Stridor/ snoring, gargling, kemampuan bicara,
edema orofaring ?
B RR 32x/ menit RR, kedalaman nafas, ekspansi dada,
Ronchi & krekels (+) penggunaan otot bantu nafas, bunyi nafas,
cuping hidung, deviasi trakea, pola nafas ?
C 2 hari post partum : TD antara 60/ 48 – Denyut nadi, hemodinamik (TD, Nadi, suhu,
98/58 RR), warna kulit, CRT, akral dingin/ hangat,
Haluaran urine minimal (0-30 cc/ jam) warna konjungtiva, sianosis, keringat dingin ?
selama 12 jam
HR 124 x/ menit, suhu 39,40C, CVP
14 mmHg
CRT lambat, kulit dingin, pucat,
kebiruan, pitting edema +4
D Sadar tetapi orientasi bervariasi Fungsi neurologis (AVPU/ Alert, Verbal, Pain,
Mengantuk Unresponses), reaksi pupil/ reflek cahaya
Respon lambat bila dipanggil namanya (isokor, anisokor, midriasis) ?
Lebar pupil @ 3 mm bilateral
E Riiwayat penyakit 3 th yang lalu Urinalisis, elektrolit serum/ urine, AGD, lab
Lupus Erythematosus darah lengkap, ECG, renal arteriogram,
Riwayat penyakit sekarang post rontgen thorax, abdominal ultrasound ?
partum hari kedua
Diagnosa saat MRS yaitu Sinrome
HELLP
Sejak melahirkan pasien mengalami
syok hipovolemik
Diberikan darah, produk darah dan
cairan pengganti
Terapi : Dopamine @ 3-10
meq/kg/menit dan Levophed @ 4
meq/menit
Pasien terpasang ETT no 7,5 dengan
set ventilator SIMV 4, ETV 800, FIO
50%, PEEP 5 cm, PS 5 CM
Terpasang infus di subklavia kanan
D5LR dengan total IV 100 cc/jem
Subklavia kiri terpasang kateter yang
di klem
WBC 18.000 (5000-10.000 /mm3),
RBC 2.8 (4,2-5,4 juta/µL), Hb 7,0 (12-
16 gr/dl), HTC 24% (36-46%),
Platelet 18.000 (150.000-400.000
mm3)
AGD : pH 7,20 (7,4-7,5), PaO2 78
mmHg (71,0-104,0), PaCO2 30
mmHg (35,0-46,0), HCO3 16 mmol/L
(22,0-26,0), SaO2 90% ( >85%)
REN : BUN 145 (5-25 mg/dl),
Creatinin 9,4 mg/dl (0,5-1,5 mg/dl)
Elektrolit : Kalium 6,4 (3,5 – 5,0
mEq/L), Ca 8,0 (4,5-5,5 mEq/L)
Alk phos 154 U/L (20-90U/L)
SGOT 34 meq/l (7 – 34 U/L), SGPT
54 U/L (8 – 50 IU/L)
Hasil RO infiltrat paru dan edema paru
Analisa Tinjauan Kasus :
Renalis Pulmonalis
GGA
6. Pathway
Etiologi Prerenal
Memicu terjadinya respon inflamasi,
terjadinya destruksi jaringan pada multisistem
Pe ↓ fungsi pulmonalis
Etiologi Intrarenal
Edema pulmonal,
infiltrasi pada lapang paru
Lanjutan :
Ny. Julie
GGA
8. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan keseimbangan volume cairan tubuh (lebih) b.d penurunan
fungsi GFR
2) Gangguan perfusi jaringan perifer b.d perdarahan masiv, syok hipovolemik
3) Gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik) b.d penurunan
regulasi asam basa tubuh
4) Gangguan pertukaran gas b.d peningkatan tekanan vena pulmonal, edema
paru
PENUTUP
1. Kesimpulan
Baradero, Mary, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hopfer Deglin, Judith & Hazard Vallerand, April. 2005. Pedoman Obat untuk
Perawat (Edisi 4). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kunz Howard, Patricia & A Steinmann, Rebecca. 2003. Sheehy’s Emergency Nursing
Principles and Practice (Sixth Edition). USA : Mosby Elsevier.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran (Edisi Ketiga, Jilid Kedua).
Jakarta : Media Aesculapius FK UI.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat (Plus Contoh Askep dengan Pendekatan
NANDA, NIC, NOC). Yogyakarta : Nuha Medika.