Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan
piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB,
terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses
inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak
(meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula spinalis.
Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga sebagai penyebab
potensial defi sit neuropsikologik persisten pada pasien yang sembuh dari meningitis
bakterial.
Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat musim,
MB lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB lebih banyak terjadi
pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak kejadian pada
kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden tahunan (per 100.000) MB sesuai
patogennya adalah sebagai berikut : Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis,
Streptococcus, Listeria monocytogenes, dan Haemophilus influenza.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan dari makalah ini, antara lain :
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat
memahami tentang Masalah Keperawatan pada Meningitis.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah diharapkan mahasiswa
mampu :
Menjelaskan dan menyebutkan tentang definisi, epidemiologi, faktor Resiko,
etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan
dan Asuhan keperawatan meningitis.

1.3 Metode Penulisan


Dalam penulisan makalah ini, metoda yang dipakai adalah metoda qualitative research.
Dalam pengumpulan data-data dalam penelitian ini kelompok menggunakan studi
kepustakaan (library research), dengan merujuk pada buku-buku dan Google book.

1
1.4 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini terdiri atas 3 bagian yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan ini terdiri dari Latar Belakang, Tujuan
Penulisan, Metoda Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian tinjauan pustaka ini terdiri dari definisi, epidemiologi,
faktor Resiko, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan dan asuhan keperawatan meningitis dan
contoh kasus
BAB III : PENUTUP
Pada bagian penutup ini terdiri dari Kesimpulan dan Saran.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Meningitis


Meningitis adalah infeksi akut pada selaput meningen (Selaput yang menutupi otak
dan medula spinalis) (Nelson, 2010).
Meningitis adalah radang pada meningen (Membran yang mengelilingi otak dan
medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri, atau organ-organ jamur (Smeltzer,
2001).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan
spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suariadi &
Rita, 2001).
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan
piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB,
terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses
inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak
(meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula spinalis.
Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga sebagai penyebab
potensial defisit neuropsikologik persisten pada pasien yang sembuh dari meningitis
bakterial.

2.2 Epidemiologi
Terdapat 3 kasus per 100 000 orang per tahun di Amerika Serikat, median 25
tahun. Faktor risiko meliputi usia ekstrem, splenektomi, penyakit sel sabit, alkoholisme,
penyakit hepar, otitis media, sinusitis, pneumonia, diabetes, imunosupresi, pintasan
ventrikel, kebocoran cairan serebro spinal (CSS), dan prosedur pembedahan saraf
terbaru. Menginitis yang didapat dari komunitas didahului oleh kolonisasi nasofaring.
Sejak penggunaan vaksin Haemophilus influenzae (H influenza) meluas, insidensi
meningitis bakterial menurun dan terdapat pergeseran pada sebagian besar
mikroorganisme penyebab yang paling mungkin.
 <1 bulan: Streptococci grup B.
 >1 bulan ke atas: Streptococcus pneumoniae (pneumococcus)
 Neisseria meningitidis (meningococcus): biasa pada usm 2 sampai 18 tahun

3
Infeksi streptococcus yang resisten terhadap penisilin sekarang diperkirakan 25%
sampai 35% (>40% pada anak usia 6 tahun) dan yang resisten terhadap cefotaxime
adalah 15%. Staphylococcus dan mikroorganisme gram negatif lebih umum pada pasien
tua dan pada infeksi akibat trauma dan pajanan nosokomial. Listeria monocytogenes
menyebabkan sampai 10% infeksi, terutama pada bayi baru lahir (kemungkinan
bersumber dari GI). Meningitis baktenal akut hampir selalu fatal jika tidak ditangani;
terdapat 10% mortalitas meskipun telah mendapat terapi.

2.3 Faktor Resiko


Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko MB di antaranya adalah
status immunocompromised (infeksi human immunodefi ciency virus, kanker, dalam
terapi obat imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis
kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda
asing di dalam sistem saraf pusat (contoh: ventriculoperitoneal shunt), dan penyaki
kronik (gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis hepatik).

2.4 Etiologi
Pada individu dewasa imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitidis adalah
patogen utama penyebab MB, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan
kolonisasi nasofaring dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif seperti
Escherichia coli, Klebsiella spp, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
dan Pseudomonas spp biasanya merupakan penyebab MB nosokomial, yang lebih mudah
terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal ataupun eksternal, dan
trauma kepala.

2.5 Patofisiologi
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran
hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui
perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica, erosi fokus
osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca ventriculoperitoneal shunt atau prosedur
bedah otak lainnya).
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung
dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan
mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi nasofaring dengan

4
berikatan pada sel epitel menggunakan villi adhesive dan membran protein. Risiko
kolonisasi epitel nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi virus pada
sistem pernapasan atau pada perokok.
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut mengatasi
mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri kemudian
melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif terlindungi dari
respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang dimilikinya. Bakteri
memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui pleksus koroid atau
kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel yang
disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula spinalis, dan
nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan cepat. Hal ini
menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur serebrospinal. Infeksi
juga mengenai ventrikel, baik secara langsung melalui pleksus koroid maupun melalui
refl uks lewat foramina Magendie dan Luschka.
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral
komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi
proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas SDO
meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan
memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid.
Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi dibagian basal otak serta
meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu, eksudat akan menginfi ltrasi
dinding arteri dan menyebabkan penebalan tunika intima serta vasokonstriksi, yang dapat
mengakibatkan iskemia serebral. Tunika adventisia arteriola dan venula subaraknoid
sejatinya terbentuk sebagai bagian dari membran araknoid.
Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses infl amasi
bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius). Selanjutnya, dapat terjadi
syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga dapat mengeksaserbasi iskemia
serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan trombosis sekunder pada sinus venosus
mayor dan tromboflebitis pada vena-vena kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat
menyumbat resorpsi CSS oleh villi araknoid atau menyumbat aliran pada sistem
ventrikel yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai
edema serebral interstisial. Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial
dan menyebabkan neuropati kranial fokal.

5
2.6 Tanda dan Gejala
MB akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk;
tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan
Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifi kansi klinik yang sama dengan kaku
kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat menjadi sulit
jika manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku kuduk tidak selalu
ditemukan pada pasien sopor, koma, atau pada lansia. Meningitis meningokokal harus
dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang sangat cepat (kondisi delirium atau sopor
dalam hitungan jam), terdapat ruam petechiae atau purpura, syok sirkulasi, atau ketika
ada wabah lokal meningitis. Ruam petechiae muncul pada sekitar 50% infeksi
meningokokal, manifestasi tersebut mengindikasikan pemberian antibiotik secepatnya.
Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau
katup jantung. Etiologi pneumokokal juga patut dicurigai pada pasien alkoholik,
pascasplenektomi, lansia, anemia bulan sabit, dan fraktur basis kranium. Sedangkan
etiologi H. influenzae biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas pada
anak-anak.
Etiologi lain sangat tergantung pada kondisi medik tertentu. Meningitis setelah
prosedur bedah saraf biasanya disebabkan oleh infeksi stafi lokokus. Infeksi HIV,
gangguan myeloproliferatif, defek tulang kranium (tumor, osteomyelitis), penyakit
kolagen, kanker metastasis, dan terapi imunosupresan adalah kondisi yang memudahkan
terjadinya meningitis yang disebabkan Enterobacteriaceae, Listeria, A. calcoaceticus,
dan Pseudomonas.
Tanda-tanda serebral fokal pada stadium awal meningitis paling sering disebabkan
oleh pneumokokus dan H. influenza. Meningitis dengan etiologi H. influenza paling
sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten atau kejang yang sulit dikontrol
biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen dan disebabkan oleh vaskulitis
infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfi sial yang berujung pada infark
jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada meningitis pneumokokal,
karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang melalui ruang subaraknoid.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis MB ditegakkan melalui analisis CSS, kultur darah, pewarnaan CSS, dan
biakan CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan

6
peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia,
hiponatremia, serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak
harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema
serebri yang merupakan kontraindikasi relatif fungsi lumbal. Jika pencitraan tidak dapat
dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien dengan gangguan kesadaran,
keadaan immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca-transplantasi),
riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal), defisit neurologik
fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang memperlihatkan tanda-tanda
ancaman herniasi.
Tekanan pembukaan saat pungsi lumbal berkisar antara 20-50 cm H2O. CSS
biasanya keruh, tergantung dari kadar leukosit, bakteri, dan protein. Pewarnaan Gram
CSS memberi hasil meningokokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis
meningokokal akut. Kultur darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap Streptococcus
pneumoniae dan Neisseria meningitidis. Karakteristik CSS pada jenis meningitis yang
berbeda disajikan dalam tabel.
Tabel 2 Perbandingan karakter CSS pada jenis meningitis yang berbeda

Normal Bakterial Viral TB Fungal

Jernih, tak Jernih / Jernih /


Makroskopik Keruh Jernih
Berwarna Iopalescent opalescent
Normal atau Normal atau
Tekanan Normal Meningkat Meningkat
meningkat meningkat
5– 20 –
Sel 0 – 5 /mm3 100 – 60.000 /mm3 5 – 100/mm3
1000/mm3 500/mm3
Neutrofil Tak ada >80% ˂50% ˂50% ˂50%
Rendah Rendah
75%
Rendah (˂40% (˂50% (˂50%
Glukosa glukosa Normal
glukosa darah) glukosa glukosa
darah
darah) darah)
>0,4 – 0,9
Protein ˂0,4 g/L 1 – 5 g/L 1 – 5 g/L 0,5 – 5 g/L
g/L
Grampositif PCR kultur Kultur positif Gram negatif;
Lainnya
˂90%;kultur positif positif ˂50% 50 – 80 % 25 – 50%

7
˂80%;kultur darah
positif ˂60%

2.8 Penatalaksanaan
MB adalah kegawatdaruratan medik. Secara umum, tata laksana MB dapat dilihat
pada Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena harus bersifat
bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS dengan jumlah yang
efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik
dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik. Pada suatu studi, didapatkan
hasil jika pemberian antibiotik ditunda lebih dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka
mortalitas akan meningkat secara bermakna. Pilihan antibiotik empirik pada pasien MB
harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien, dan adanya penyakit yang mendasari
atau faktor risiko penyerta. Antibiotik harus segera diberikan bila ada syok sepsis. Jika
terjadi syok sepsis, pasien harus diterapi dengan cairan dan mungkin memerlukan
dukungan obat inotropik. Jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan
pemberian manitol.
Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifi k jika hasil
kultur sudah ada. Panduan pemberian antiobiotik spesifik. Durasi terapi antibiotik
bergantung pada bakteri penyebab, keparahan penyakit, dan jenis antibiotik yang
digunakan. Meningitis meningokokal epidemik dapat diterapi secara efektif dengan satu
dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai dengan rekomendasi WHO. Namun WHO
merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari pada situasi
nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama lebih dari 24 jam.
Autoritas kesehatan di banyak negara maju menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari
untuk meningitis meningokokal dan haemofilus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada
meningitis pneumokokal. Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan
dengan dosis pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara
bermakna, terutama pada meningitis pneumokokal.
Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang
secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral, peningkatan tekanan
intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Dexamethasone
diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam secara intravena. Sejumlah
pakar berpendapat pemberian dexamethasone harus dihentikan jika hasil kultur CSS
menunjukkan penyebab MB bukan H. influenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok
8
pakar lain merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun etiologi MB yang
ditemukan. Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan sepsis berat atau syok
sepsis dapat meningkatkan kesintasan.
Pada penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas
dan morbiditas secara bermakna. Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang
sering muncul dan terapi antikonvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien
menurun setelah kejang, maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi.
Kondisi pasien harus dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia.
Proton pump inhibitor perlu diberikan untuk mencegah stressinduced gastritis. Jika
kondisi klinis pasien belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik dimulai,
maka analisis CSS ulang harus dilakukan.
Pada pasien MB dengan hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat
dipertimbangkan. Pada pasien dengan pembesaran sistem ventrikel ringan tanpa
perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga prosedur invasif dapat
ditunda.
Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus
diberi antibiotik profi laksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah ciprofloxacin
500 mg dosis tunggal atau rifampicin 2 x 600 mg selama 2 hari. Profi laksis tidak
dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus meningitis meningokokal sudah lebih dari
2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza dan N. meningitidis diketahui
menurunkan insiden meningitis secara bermakna.

2.9 Asuhan Keperawatan Meningitis


2.9.1 Pengkajian Klien Meningitis
a. Biodata klien
Nama, umur, alamat dll.
b. Riwayat kesehatan yang lalu
1) Apakah pernah menderita penyakit ISPA dan TBC ?
2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
3) Pernahkah operasi daerah kepala ?
c. Riwayat kesehatan sekarang
1) Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise).
Tanda : Ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.

9
2) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK.
Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat,
takikardi, disritmia.
3) Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
4) Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan.
Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa
kering.
5) Hygiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
6) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang
terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia,
ketulian dan halusinasi penciuman.
Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan
halusinasi, kehilangan memori, afasia, anisokor, nistagmus, ptosis, kejang
umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif,
rigiditas nukal, babinskipositif, reflek abdominal menurun dan reflek
kremastetik hilang pada laki-laki.
7) Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala (berdenyut hebat, frontal). Tanda :
gelisah, menangis.
8) Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja
pernafasan.

2.9.2 Diagnosa keperawatan Meningitis


a. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan
diseminatahematogen dari patogen.
b. Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan
dengan edema serebral, hipovolemia.

10
c. Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal,
kelemahan umum, vertigo.
d. Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
e. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular,
penurunan kekuatan otot.
f. Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.

2.9.3 Intervensi Keperawatan Meningitis


a. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan
diseminatahematogen dari patogen.
Mandiri
1) Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan.
2) Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
3) Pantau suhu secara teratur.
4) Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus
menerus.
5) Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas
dalam.
6) Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau).
Kolaborasi
Berikan terapi antibiotik iv : penisilin G, ampisilin, klorampenikol,
gentamisin.
b. Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan
sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri
1) Tirah baring dengan posisi kepala datar.
2) Pantau status neurologis.
3) Kaji regiditasnukal, peka rangsang dan kejang.
4) Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan
haluaran.
5) Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi
1) Tinggikan kepala tempat tidur 15 - 45 derajat.
2) Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit).

11
3) Pantau BGA.
4) Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen.
c. Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal,
kelemahan umum vertigo.
Mandiri
1) Pantau adanya kejang.
2) Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan
nafas buatan.
3) Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin,
diaepam, venobarbital.
d. Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.
Mandiri
1) Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan
posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak
aktif atau pasif dan masage otot leher.
2) Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman (kepala agak tingi).
3) Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
4) Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul.
Kolaborasi
Berikan anal getik, asetaminofen, codein
e. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan
neuromuskuler.
1) Kaji derajat imobilisasi pasien.
2) Bantu latihan rentang gerak.
3) Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
4) Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udara atau
air perhatikan kesejajaran tubuh secara fungsional.
5) Berikan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
f. Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
1) Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara, alam perasaaan,
sensorik dan proses pikir.
2) Kaji kesadarasensorik : sentuhan, panas, dingin.
3) Observasi respons perilaku.
4) Hilangkan suara bising yang berlebihan.

12
5) Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
6) Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
7) Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.
g. Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
1) Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
2) Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
3) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
4) Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta
petunjuk sumber penyokong.

2.9.4 Evaluasi
Hasil yang diharapkan
a. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi
endogen atau keterlibatan orang lain.
b. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi
motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
c. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
d. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan
mampu tidur/istirahat dengan tepat.
e. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan
kekuatan.
f. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
g. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan
keakuratan pengetahuan tentang situasi

2.10 Tinjauan Kasus


2.10.1 Hasil anamnese
Tn.M umur 19 tahun datang ke UGD diantar keluarga dengan kendaraan
pribadi pada pukul 14.00, dalam kondisi kesadaran letargi. Keluarga
mengatakan sebelum dibawa ke RS klien mengalami sakit kepala hebat,
muntah kurang lebih 3x, panas tinggi, dan nyeri punggung dan leher, batuk
disertai darah kurang lebih 6 bulan tanpa diobati. Keluarga juga mengatakan
kakek klien pernah mengalami riwayat penyakit Tuberkulosis.

13
2.10.2 Hasil pemeriksaan
a) Secara umum :
 Tanda-tanda vital :
Suhu : 38oC
Tekanan darah : 110/80 mmhg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 25x/menit
 GCS
E;2 V;3 M\: 4 = 9
 Tingkat kesadaran : Samnolen
 BB : 45 kg
 TB : 165 cm

b) Pemeriksaan fisik (Head to Toe)


 Kepala :
Inspeksi : bentuk kepala oval, rambut kusam, sedikit pembengkakan
pada bagian kepala.
Palpasi : nyeri tekan pada bagian kepala.
 Mata :
Inspeksi : ketika dilakukan pemeriksaan reaksi pupil menggunakan
senter klien memejamkan matanya dengan kuat, konjungtiva pucat,
warna sklera putih, terdapat lingkaran hitam disekitar mata.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada bagian mata.
 Hidung
Inspeksi : simetris kiri dan kanan, warna hidung sama dengan warna
kulit sekitar wajah.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
 Mulut :
Inspeksi : mukosa bibir kering dan pucat, terdapat warna keputih-
putihan pada lidah, gusi warna merah muda, gigi kurang bersih.
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan di sekitar mulut.

14
 Telinga :
Inspeksi : warna kulit sama dengan warna kulit disekitar, simetris
telinga kiri dengan yang kanan.
Palpasi : nyeri tekan disekitar telinga.

 Leher :
Inspeksi : warna kulit sama dengan warna kulit disekitar , tidak ada
pembesaran vena jugularis.
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, terdapat nyeri tekan
pada punggung leher.

 Ekstremitas atas :
Inspeksi : terdapat ruam petechie.
Palpasi : nyeri tekan pada kulit.

 Dada :
Inspeksi : warna kulit sama dengan warna kulit disekitar, tidak ada
pembengkakan.
Palpasi : nyeri tekan pada dada.
Perkusi : pekak.
Auskultasi : bunyi pernafasan rales (crekles).

 Abdomen :
Inspeksi : warna kulit sama dengan warna kulit disekitar, bentuk
abdomen cekung.
Auskultasi : bunyi peristaltik usus 37x/menit
Palpasi : nyeri tekan di abdomen kiri atas
Perkusi : bunyi timpani

 Ektremitas bawah
Inspeksi : ektremitas bawah simetris kiri dan kanan dan terdapat
pembengkakan pada bagian lutut dan pergelangan kaki, babinski positif
Palpasi : nyeri tekan pada bagian lutut dan pergelangan kaki

15
c) Pemeriksaan Penunjang :
 Analisis CSS dari pungsi lumbal
Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut,
jumlah sel darah putih meningkat ; glukosa menurun, kultur positif
terhadap beberapa jenis bakteri
1) Glukosa serum meningkat
2) LDH serum meningkat
3) Sel darah putih sedikit meningkat dengan peningkatan neotofil
4) Elektrolit darah abnormal
5) ESR/LED meningkat
6) Kultur darah/hidung/tenggorokan?urine : dapat mengindikasikan
daerah “pusat” infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
7) MR/CT Scan ; dapat membantu melokalisasi lesi, melihat
ukuran/letak ventrikel; hematoma daerah serebral,homoragik atau
tumor
8) Ronsen dada, kepala, dan sinus : mungkin ada indikasi infeksi atau
sumber infeksi intracranial
2.10.3 Analisa Data
Data Subjektif :
a. Keluarga klien mengatakan klien merasakan sakit kepala hebat
b. Keluarga klien mengatakan klien muntah kurang lebih 3x
c. Keluarga klien mengatakan tubuh klien panas sejak dari pagi
d. Keluarga klien mengatakan klien merasakan nyeri pada bagian
punggung dan leher
e. Keluarga juga mengatakan bahwa klien batuk darah kurang lebih sudah
6 bulan
f. Keluarga juga mengatakan bahwa kakek klien punya riwayat penyaki
TBC

Data Objectif :
TTV :
1. Suhu : 38oC
2. TD : 110/80 mmhg
16
3. Nadi : 80x/menit
4. Respirasi : 25x/menit
5. Skala nyeri : 5 (0-10)
6. Terdapat nyeri tekan pada bagian kepala
7. Klien potophobia, saat dilakukan pemeriksaan pupil klien menutup
matanya dengan kuat
8. Tanda kerning dan brudzinski positif
9. Saat pemeriksaan CT scan terdapat penumpukan cairan pada selaput
meningen
10. Saat pemeriksaan rontgen terlihat bagian paru-paru berawan

2.10.4 Identifiksai Masalah


a. Risiko Infeksi factor risiko dengan adanya kuman patogen pada cairan
serebrospinal dan sekret saluran pernapasan
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis.
c. Perfusi jaringan tidak efektif cerebral berhubungan dengan peradangan dan
edema pada otak dan selaput otak.
d. Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi
NO MASALAH PATOFISOLOGI
1 Risiko Infeksi factor risiko dengan adanya Bakteri TB masuk ke cairan
kuman patogen pada cairan serebrospinal dan otak melalu pembuluh darah
sekret saluran pernapasan. didalam pembuluh darah
otak

mikroorganisme yang
masuk dapat berjalan ke
cairan otak melalui ruangan
subarachnoid

17
Adanya mikroorganisme
yang patologis merupakan
penyebab peradangan pada
piamater, arachnoid, cairan
otak dan ventrikel

Eksudat yang dibentuk akan


menyebar, baik ke kranial
maupun ke saraf spinal yang
dapat menyebabkan
kemunduran neurologis
selanjutnya

Eksudat ini dapat


menyebabkan sumbatan
aliran normal cairan otak
dan dapat menyebabkan
penyakit infeksi otak
lainnya

NO MASALAH PATOFISOLOGI
2 Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera Bakteri TB masuk ke cairan
biologis. otak melalu pembuluh
darah didalam pembuluh
darah otak

18
Infeksi cairan serebrospinal
dan meningeal
menyebabkan respon
inflamasi pada piamater ,
arakhnoid dan CSF

Pembuluh darah mengalami


inflamasi di dalam area
sekitar otak

Nyeri

NO MASALAH PATOFISIOLOGI
3 Perfusi jaringan tidak efektif cerebral Pembuluh darah yg
berhubungan dengan peradangan dan edema mengalami inflamasi di
pada otak dan selaput otak. dalam area sekitar otak
mengeluarkan cairan
sebagai respon
permeabilitas sel

Cairan serebrospinal
mengalami kekeruhan,
terbentuk eksudat

Eksudat yang purulen


menginfiltrasi saraf kranial
dan membloks fleksus

19
koroid dan villi arakhnoid.

Eksudat menyebabkan
inflamasi dan edema lebih
lanjut sel meningeal

Pembesaran pembuluh
darah, eksudat, gangguan
aliran CSF dan edema sel
meningeal menyebabkan
peningkatan TIK

Dengan peningkatan TIK,


maka perfusi serebral
menurun dan kehilangan
autoregulasi serebal

NO MASALAH PATOFISIOLOGI
4 Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
dengan proses inflamasi Bakteri TB masuk ke cairan
otak melalu pembuluh
darah didalam pembuluh
darah otak

Infeksi cairan serebrospinal


dan meningeal

20
menyebabkan respon
inflamasi pada piamater ,
arakhnoid dan CSF

Pembuluh darah mengalami


inflamasi di dalam area
sekitar otak

Peningkatan suhu tubuh

2.10.5 Rencana Intervensi


a. Nyeri Akut berhubungan denga agen cidera biologis
Intevensi Rasional
1. Berikan ligkungan yang 1. Menurunkan reaksi terhadap stimulasi
tenang, ruangan agak gelap dari luar atau sensitivitas pada cahaya
sesuai indikasi dan meningkatkan istirahat atau
relaksasi
2. Dukung untuk menemukan 2. Menurunkan iritasi meningeal, result
posisi yang nyaman, seperti ketidaknyamanan lebih lanjut
kepala agak tinggi sedikit
3. Tingkatkan tirah baring, 3. Menurunkan gerakan yang dapat
bantulah kebutuhan meningkatkan nyeri
perawatan diri yang
penting
4. Gunakan pelembab yang 4. Meningkatkan relaksasi otot dan
agak hangat pada nyeri menurunkan rasa sakit/rasa tidak
leher/punggung nyaman

21
b. Risiko Infeksi faktor risiko dengan adanya kuman patogen padacairan
serebrospinal dan sekret saluran pernafasan
Intevensi Rasional
1. Berikan tindakan isolasi 1. Pada fase awal meningitis bakteri,
sebagai tindakan isolasi mungkin diperlukan sampai
pencegahan organismenya diketahui, dan untuk
mencegah resiko penyebaran pada orang
lain
2. Pantau suhu secara teratur. 2. Timbulnya tanda klinis yang terus
Catat munculnya tanda- menerus merupakan indikasi dari
tanda klinis dari proses perkembangan infeksi bakteri yang
infeksi dapat betahan sampai berminggu-
minggu
3. Anjurkan untuk melakukan 3. Untuk meningkatkan kelancaran
teknik napas dalam pengeluaran secret yang menurunkan
reiko terjadinya komplikasi terhadap
pernafasan.
4. Anjurkan terapi antibiotika 4. Obat yang dipilih tergantung pada tipe
IV sesuai indikasi: infeksi dan sensfitas individu. Obat
Penisilin G, ampisilin, intratiekal mungkin di indikasikan untuk
kloramfenikol, gentamisin, basilus Gram-negatif, jamur, amuba
amfoterisin B

c. Perfusi jaringan tidak efektif cerebral berhubungan dengan peradangan dan


edema pada otak dan selaput otak.
Intervensi Rasional
1. Pantau tanda vital dan 1. Untuk mengetahui intervensi
frekuensi jantung, penafasan, selanjutnya
suhu, masukan dan haluaran.
2. Batasi gerakan kepala, leher 2. Menurunkan iritasi meningeal, resultn
dan punggung ketidaknyamanan lebih lanjut

3. Kolaborasi pemberian 3. Obat-obatan analgetik akan memblok

22
analgetik reseptor nyeri sehingga nyeri tidat
dapat dipersepsikan

d. Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi.

Intervensi Rasional
1. Monitor TTV 1. Untuk mengetahui tindakan
selanjutnya
2. Beri kompres hangat 2. Dengan vasodilatasi dapat
meningkatkan penguapan yang
mempercepat penurunan suhu
tubuh.
3. Kolaborasi pemberian obat 3. Untuk menrunkan suhu tubuh
antipeuretik secara farmakologi

2.10.6 Implementasi
a. Nyeri Akut berhubungan denga agen cidera biologis
Implementasi Hasil
1. Memberikan ligkungan 1. Pasien tampak rileks dan tenang
yang tenang, ruangan agak
gelap sesuai indikasi
2. Mendukung untuk 2. Pasien tampak nyaman dan nyeri kepala
menemukan posisi yang berkurang setelah posisi kepala
nyaman, seperti kepala ditinggikan, skala nyeri: 5
agak tinggi sedikit
3. Meningkatkan tirah baring, 3. Pasien mengatakan sangat terbantu
bantulah kebutuhan kebutuhan perawatan dirinya, seperti
perawatan diri yang penting mandi, sikat gigi, mengganti pakaian
4. Mengunakan pelembab 4. Pasien tampak nyaman dan nyeri kepala
yang agak hangat pada berkurang
nyeri leher/punggung

23
b. Risiko Infeksi faktor risiko dengan adanya kuman patogen padacairan
serebrospinal dan sekret saluran pernafasan

Implementasi Hasil
1. Memberikan tindakan 1. Pasien diberikan ruangan sendiri untuk
isolasi sebagai tindakan tindakan isolasi
pencegahan
2. Memantau suhu secara 2. Suhu pasien 37,5 °C,pasien mengeluh
teratur. Catat munculnya terasa kaku kuduk, dan sesak R: 25 x/mnt
tanda-tanda klinis dari
proses infeksi
3. Menganjurkan untuk 3. Pasien mengikuti teknik napas dalam dan
melakukan teknik napas pasien terlihat lebih rileks
dalam
4. Menganjurkan terapi 4. Pasien mengikuti anjuran perawat yang
antibiotika IV sesuai sudah diatur oleh dokter
indikasi: Penisilin G,
ampisilin, kloramfenikol,
gentamisin, amfoterisin
B

c. Perfusi jaringan tidak efektif cerebral berhubungan dengan peradangan dan


edema pada otak dan selaput otak.

Implementasi Hasil
1. Memantau tanda vital dan 1. Td: 110/80mmHg, N: 80 x/mnt,
frekuensi jantung, penafasan, S: 37,5°C.R:25 x/mnt
suhu, masukan dan haluaran.
2. Membatasi gerakan kepala, 2. Pasien mengatakan mengikuti
leher dan punggung instruksi dari perawat
3. Berkolaborasi pemberian 3. pasien mengatakan mengikuti
analgetik. instruksi dari perawat

24
d. Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi.

Implementasi Hasil
1. Memonitor TTV 1. TD: 110/80mmHg, N: 80
x/mnt, S: 37,5°C, R: 25 x/mnt
2. Memberikan kompres hangat 2. Suhu pasien turun menjadi
37°C
3. Memberikan obat paracetamol 3. Suhu pasien turun menjadi
37°C

2.10.7 Evaluasi
DX EVALUASI
1 S: pasien mengatakan nyeri berkurang
O: skala nyeri=2 (0-10)
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
2 S: pasien mengatakan sesak nafas berkurang setelah diberikan teknik nafas
dalam dan terapi obat oleh perawat dan dokter
O: R= 20 x/mnt, pasien tampak tidak sesak pada saat bernafas
A: masalah terasi
P: intevensi dihentikan
3 S:
O: TD= 110/80 mmHg, N= 80 x/mnt ,S= 37,5°C, R=20x/mnt
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
4. S:
O: S= 37,5°C
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan
piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB,
terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses
inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak
(meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula spinalis.
Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga sebagai penyebab
potensial defisit neuropsikologik persisten pada pasien yang sembuh dari meningitis
bakterial.

3.2 Saran
Setelah menyelesaikan masalah ini, tentunya tak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi penyampaian materi, penulisan serta penyusunannya. Dari itu
kami mohon maaf dan dengan tangan terbuka serta hati yang lapang, kami mohon saran
dan kritik dari para pembaca. Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari makalah
ini.

26

Anda mungkin juga menyukai