Anda di halaman 1dari 10

8.

EDEMA PARU
A. PENGERTIAN
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka
cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas
kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki
kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal
biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan
atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema
akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan
menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Lorraine et
al, 2005; Maria, 2010) :
Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen
miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan
melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
(Lorraine et al, 2005)

B. PATOFISIOLOGI
Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute
Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda
secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal (Maria, 2010).
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan
dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di
atrium kiri dansebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah
penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan
pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan
tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara diparu dan meningkatkan
kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat
melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang
tertutup (Harun dan Sally, 2009).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial
diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan
perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran
paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada
derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah,
saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut,
dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks
bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan
terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada
keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat
peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis
takipnea (Harun dan Sally, 2009).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru
tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan
seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar
saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali
dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru
semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal
akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada
awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan
asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru
obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi
pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun dan
Sally, 2009).
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka
sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial
paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein
tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar
seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial,
ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk
secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibatacute lung injury dimana
terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk
menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010)

C. ETIOLOGI
Edema paru ialah kondisi dimana terjadi penumpukan cairan pada sistem respirasi yang
disebabkan oleh ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah untuk memenuhi secara
adekuat kebutuhan metabolisme tubuh. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan
dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan
kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.
Edema paru bisa terjadi disebabkan oleh faktor peningkatan tekanan pembuluh
kapiler paru (misalnya pada gagal jantung kiri), tapi edema paru pada ARDS timbul akibat
peningkatan permeabilitas kapiler alveolar.
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan
hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang pada gagal jantung
menyebabkan edema paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang
menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik sehingga terjadi edema paru.
(www.medicastore.com)
Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal ini
penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema paru kardiogenik
disebabkan oleh adanya payah jantung kiri apapun sebabnya. Edema paru kardiogenik yang
akut disebabkan oleh adanya payah jantung kiri akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi,
dapat terjadi pula pada penderita payah jantung kiri khronik. Edema paru dapat terjadi oleh
karena banyak mekanisme:
a. Ketidakseimbangan (Starling Forces)
Pertamanya, ketidakseimbangan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
kapiler paru. Peningkatan tekanan kapiler paru pula terbagi menjadi tiga yaitu
peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis
mitral), peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan
tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema). Keduanya, penurunan
tekanan onkotik plasma juga bisa terjadi karena disebabkan oleh ketidakseimbangan
tadi. Penurunan ini menimbulkan hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit
ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
Ketiganya, berlaku pula peningkatan tekanan negative intersisial mengakibatkan
pengambilan pneumotorak atau efusi pleura (unilateral) yang terlalu cepat dan juga
tekanan pleura yang sangat negative oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma). Terakhirnya,
ketidakseimbangan juga bisa mengakibatkan peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Namun sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory
Distress Syndrome)
1. Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
2. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon, NO2 dan
sebagainya)
3. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan,
alpha-naphthyl thiourea).
4. Aspirasi asam lambung.
5. Pneumonitis radiasi akut.
6. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7. Disseminated Intravascular Coagulation.
8. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
leukoagglutinin.
9. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
10.Pankreatitis Perdarahan Akut
c. Insufisiensi Limfatik
1. Post Lung Transplant.
2. Lymphangitic Carcinomatosis.
3. Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
D. Manifestasi klinis
Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya
riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema
paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara
ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka
batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria,
2010).
· E. Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau
tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit
membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada
saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP
meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau
lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3
dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009;
Maria, 2010).
9. BRONKOPNEUMONIA BILATERAL
A.Pengertian
Bronchopneumonia bilateral adalah radang pada kedua paru-paru yang mempunyai
penyebaran berbercak, teratur dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan
meluas ke parenkim paru (Brunner dan Suddarth, 2001)
B. Etiologi
Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, mikrobakteri,
mikoplasma, dan riketsia. (Sandra M.Nettina, 2001:628) antara lain: 1. Bakteri :
Streptococcus, Staphylococus,H. Influenza, Klebsiella. 2. Virus : Legionella pneumonia 3.
Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans 4. Aspirasi makanan, sekresi orofariengal atau
isi lambung kedalam paru 5. Terjadi karena kongesti paru yang lama.
C. Patofisiologi
Bronkopneumonia merupakan infeksi pulmonal pada bagian bronchus dan alveoli. Proses
bronkopneumonia dimulai ketika kuman pathogen yaitu protozoa, virus dan bakteri terutama
bakteri golongan coccus (Pneumococcus, Streptococcus) dan basil gram negative atau jamur
berhasil menembus mucus jalan nafas sehingga merusak bagian alveolar. Selain karena
tersebut di atas aspirasi benda asing dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia.
Masuknya agen infeksius ke mucus jalan nafas karena lolos dari sistem pertahanan tubuh
yaitu bulu hidung, mucus silia dan antibodi menetap dalam bronchus dan alveolus. Leukosit
bermigrasi ke dalam alveoli sehingga timbul respon peradangan dan menyebabkan penebalan
dinding alveoli. Cairan yang mengisi alveoli (peningkatan hasil mukus dari peradangan)
melindungi arganisme dari pagositosis leukosit dan fasilitasi pergerakan organisme alveoli
lain. Infeksi menyebar jika kuman bronkopneumonia telah mencapai aliran darah
menyebabkan septicemia atau keracunan darah. Empat tahap respon yang khas setelah bakteri
mencapai alveoli yaitu :

1. Kongesti (4 sampai 12 jam pertama) : eksudat serosa masuk kedalam alveoli melalui
pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) : paru-paru tanpak merah dan bergranulasi
(hapatisasi= seperti hepar) karena sel-sel darah merah, fibrin, dan leukosit
polimorfonuklear mengisi alveoli.
3. Hepatisasi kelabu (3 sampai 8 hari) : paru- paru tampak kelabu karena leukosit dan
fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
4. Resolusi (7 sampai 11 hari) : eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali pada struktur semula.

Dengan adanya peradangan pada bronchus dan parenkim akan menyebabkan pertukaran gas
antara udara bebas dan paru- paru menjadi tidak efektif, hal ini dikarenakan adanya
penumpukan sekret pada jalan nafas dan penebalan membran respirasi sehingga kecepatan
difusi menurun yang menyebabkan pemenuhan oksigen tubuh menjadi berk

D. Tanda dan Gejala


Banyak kasus Bronkopneumonia didahului oleh suatu infeksi pernafasan bagian atas. Tanda
dan gejala bronkopneumonia adalah :

1. Demam
2. Sakit kepala
3. Nafsu makan kurang
4. Batuk
5. Tachipneu
6. Retraksi dinding thorak
7. Pernafasan cuping hidung
8. Sesak nafas
9. Suara nafas melemah dan terdapat ronchi
10. Sianosis
11. Nyeri dada

E.Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan
bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan
bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).

F.Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat
membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau
meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit
meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi
mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin
dilakukan (Bennete, 2013).

G.Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut(Bradley et.al., 2011):
1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
2. Panas badan
3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan,
dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

Anda mungkin juga menyukai