Anda di halaman 1dari 20

Transportasi Publik yang Berkesetaraan Gender dan Sosial

Purwanti Asih Anna Levi


Program Magister Lingkungan dan Perkotaan
UNIKA Soegijapranata

ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjamin
kesetaraan bagi warga negara di transportasi publik. Namun fakta-fakta empiris menunjukkan
transportasi publik di Indonesia masih menghadapi isu diskriminasi gender dan sosial. Diskriminasi
gender dan sosial di transportasi publik berdampak signifikan pada kesenjangan akses, partisipasi,
manfaat, dan kontrol masyarakat dalam pembangunan. Paper ini bertujuan untuk mendiskusikan
bagaimana cara mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial. Paper
ditulis secara deskriptif-kualitatif berdasarkan data-data yang diperoleh dari observasi dan studi
literatur, dan dikaji berdasarkan perspektif gender. Pembahasan menunjukkan bahwa regulasi,
manajemen, dan infrastruktur transportasi publik yang tidak memiliki keberpihakan pada kelompok
sosial termarginal merupakan penyebab terjadinya diskriminasi gender dan sosial di transportasi
publik. Untuk mewujudkan kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik diperlukan upaya-
upaya afirmatif dari semua stakeholder secara inklusif dan komprehensif. Pembahasan
menyimpulkan bahwa transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial akan menjadi salah
satu pull factor yang dapat menarik masyarakat untuk beralih ke angkutan umum, mendukung
mitigasi permasalahan transportasi, serta mendukung keberlanjutan pembangunan.

Kata kunci: diskriminasi, gender, kelompok sosial termarginal, kesetaraan gender, kesetaraan
sosial, transportasi publik

BAB I. LATAR BELAKANG MASALAH


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
menjamin kesetaraan bagi warga negara di transportasi publik. Namun dalam realitanya
transportasi publik di Indonesia masih menghadapi isu diskriminasi gender dan sosial. Isu
tersebut terlihat dari masalah-masalah transportasi publik yang dalam paper ini
dikelompokkan berdasarkan 6 (enam) aspek standar pelayanan minimal angkutan umum
yang meliputi: keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan,
dan keteraturan.

Fakta-fakta empiris menunjukkan pemerintah dan pelaku industri transportasi


publik belum mampu menjamin keselamatan pengguna jasa angkutan umum. Menurut
data Polri pada tahun 2012 terjadi 117.949 kecelakaan lalu lintas atau rata-rata setiap hari
terjadi 323 kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan pribadi maupun angkutan
umum. Penyebab kecelakaan adalah faktor human error (53%), ketidaklaikan jalan (28%),
ketidaklaikan kendaraan (14%), serta dan/atau lingkungan (5%). Jumlah korban meninggal
dunia akibat kecelakaan lalu lintas mencapai angka 31.234 jiwa (2010), 31.185 jiwa

1
(2011), dan 29.544 jiwa (2012) atau rata-rata 100 jiwa per hari. Berdasarkan fenomena
tersebut WHO (1990) menyatakan kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab
utama kematian di dunia dan diprediksikan pada tahun 2020 akan menduduki peringkat
ketiga penyebab kematian. Diperkirakan kerugian negara akibat kecelakaan lalu lintas
mencapai Rp. 205 - 220 Triliun atau 2,9 - 3,1% dari total Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia. (RUNK Jalan, 2011).

Komnas Perempuan (2011) mencatat di Indonesia setiap hari sedikitnya ada 4


(empat) perempuan yang menjadi korban kekerasan di ruang publik, yang meliputi
pencabulan, percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, perampokan, dan bahkan
pembunuhan. Data Komnas Perempuan tahun 1998-2011 menunjukkan 22.284 kasus
kekerasan seksual terjadi di ruang publik, termasuk di angkutan umum dan jalan. Kasus
tersebut merupakan urutan kedua terbanyak dari semua kasus kekerasan seksual yang
mencapai 93.960 kasus. Fenomena kekerasan di angkutan umum menunjukkan bahwa
aspek keamanan pada angkutan umum belum mendapat perhatian serius dari stakeholder
transportasi publik. Keamanan dan keselamatan pengguna ruang publik –termasuk
penumpang angkutan umum– masih dianggap hanya sebagai tanggung jawab pribadi
(Maam Lumanglas 2008; Komnas Perempuan 2011).

Pengguna jasa transportasi publik juga belum dapat menikmati kenyamanan.


Hasil observasi dan pemberitaan di berbagai media massa menunjukkan angkutan umum
seringkali diisi penumpang melebihi kapasitas kendaraan, sehingga penumpang harus
berdesak-desakan dan tidak ada kepastian memperoleh tempat duduk meskipun membayar
dengan tarif penuh. Kondisi ini menimbulkan kerawanan kecelakaan, pelecehan seksual
terhadap penumpang perempuan, pencopetan, dsb. Pengemudi angkutan umum tidak
jarang berkebut-kebutan saling menyalip antar angkutan umum untuk memperebutkan
calon penumpang tanpa memperhatikan kenyamanan dan keselamatan.

Pertumbuhan kawasan perumahan yang terus meningkat dan tidak seimbangnya


ketersediaan sarana transportasi massal, belum terintegrasinya moda angkutan umum; dan
tingginya tarif angkutan umum membatasi keterjangkauan transportasi publik oleh
masyarakat, terutama masyarakat berketerbatasan ekonomi. Kondisi ini menjadi kendala
dalam mobilitas masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan perumahan
baru yang umumnya terletak jauh dari pusat kegiatan ekonomi, sosial, budaya, politik,
layanan publik, dsb. (Setijowarno, 11 Juni 2013).

2
Transportasi publik di Indonesia juga belum memperhatikan aspek kesetaraan
dalam layanannya. Menurut data WHO sampai tahun 2002, sebanyak 3% - 5% dari 210
juta penduduk Indonesia atau sekitar 10,5 juta orang adalah difabel. Namun hasil observasi
menunjukkan bahwa sarana dan prasarana transportasi publik yang ada belum dapat
mengakomodasi kebutuhan spesifik mereka yang berketerbatasan fisik. Kondisi trotoar
yang buruk dan tidak dapat diakses pemakai kursi roda; tingginya anak-anak tangga
jembatan penyeberangan; buruknya kondisi lampu penerangan di jembatan penyeberangan;
tingginya pijakan kaki dan lantai bis; tempat duduk angkota yang terlalu pendek; perilaku
penumpang yang merokok seenaknya tanpa memperhatikan kepentingan penumpang lain;
serta minimnya toilet yang dapat diakses pemakai kursi roda di terminal/stasiun
menunjukkan minimnya perhatian, fasilitas, dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan
spesifik kelompok sosial termarginal seperti penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-
anak, perempuan hamil, dan orang sakit baik di angkutan umum, fasilitas pendukung,
maupun fasilitas penunjangnya.

Masalah lain yang dihadapi pengguna jasa angkutan umum adalah belum adanya
keteraturan. Permasalahan ini terlihat dari pola rute angkutan umum yang belum sesuai
kebutuhan pengguna jasa sehingga harus terjadi transfer beberapa kali; tidak adanya jadwal
keberangkatan yang tetap; headway yang tidak teratur; dan waktu sampai ke tempat tujuan
yang tidak dapat dipastikan karena angkutan umum sering “mengetem” (parkir di suatu
tempat menunggu calon penumpang). Sebagai akibatnya pengguna jasa angkutan umum
terpaksa harus mengalokasikan waktu yang lebih banyak untuk perjalanan, mengalami
penurunan kualitas kerja dan kualitas kesehatan akibat kelelahan di perjalanan, dan
kehilangan waktu untuk interaksi sosial dengan keluarga dan lingkungan (Hendratno,
2009).

Kondisi transportasi publik yang belum mampu memenuhi kebutuhan dan


harapan mendorong masyarakat untuk melakukan strategi coping dengan cara membeli
kendaraan bermotor pribadi secara tunai atau mengangsur. Sebagai akibatnya, setiap bulan
masyarakat Indonesia harus mengeluarkan biaya rata-rata sebesar 20-25% dari pendapatan
untuk membayar angsuran kendaraan pribadi. Padahal standar yang diberikan World Bank
adalah maksimal 10% dari pendapatan yang dapat disisihkan untuk biaya transportasi dan
rata-rata internasional sebesar 10-12%. Tingginya biaya transportasi yang harus
ditanggung masyarakat Indonesia mempengaruhi kualitas hidup masyarakat karena

3
sebagian kebutuhan-kebutuhan hidupnya tidak dapat terpenuhi. Sedangkan dari aspek
lingkungan, pertambahan jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan emisi gas rumah
kaca, polusi udara, gangguan suara kendaraan (kebisingan), kemacetan, serta mengurangi
daya tampung jalan. (Setijowarno, 2013).

Berdasarkan fakta-fakta empiris tersebut di atas disimpulkan bahwa transportasi


publik di Indonesia belum responsif terhadap tuntutan kesetaraan gender dan sosial.
Kondisi ini berdampak negatif pada pembangunan karena keberlanjutan pembangunan
suatu kota atau negara bergantung pada kondisi sistem transportasi, khususnya transportasi
publik. Bagi kelompok sosial termarginal keterbatasan akses, partisipasi, manfaat, dan
kontrol terhadap transportasi publik berdampak signifikan pada kehidupan mereka secara
sosial, ekonomi, dan politik. Secara sosial, mempengaruhi relasi interpersonal dan kualitas
hidup. Secara ekonomi, partisipasi pada kegiatan ekonomi berkurang, produktivitas
rendah, penghasilan rendah, dan investasi juga rendah. Kondisi ini berimplikasi pada
kemiskinan. Dan secara politik, mempengaruhi partisipasi dalam proses demokrasi.
(Nandita Bhatla, tanpa tahun). Selain itu, akses perempuan terhadap komunitas yang lebih
besar, layanan publik, pendidikan dan peluang kerja menjadi terbatasi (Cowichan Women
against Violence Society 2002 dalam Lambrick & Rainero 2010).

Fakta-fakta empiris tersebut di atas mengindikasikan betapa seriusnya isu


diskriminasi terhadap kelompok sosial termarginal di transportasi publik. Menanggapi hal
itu penulis merasa perlu melakukan kajian dengan tujuan untuk mendiskusikan
bagaimana cara mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan
sosial. Paper ini ditulis secara deskriptif-kualitatif berdasarkan data-data yang diperoleh
dari observasi dan studi literatur, dan dikaji berdasarkan perspektif gender. Kajian ini
dibatasi hanya membahas diskriminasi gender dan sosial pada penumpang di sarana
angkutan umum darat, fasilitas pendukung, dan fasilitas penunjangnya. Dalam paper ini isu
diskriminasi gender dikaitkan dengan isu diskriminasi sosial karena keduanya merupakan
konstruksi sosial dan saling berkaitan (crosscutting).

4
BAB II. PEMBAHASAN

A. DIMENSI GENDER DAN SOSIAL DALAM TRANSPORTASI PUBLIK


Transportasi merupakan perpindahan orang atau barang menggunakan kendaraan
dan/atau lainnya, di antara tempat-tempat yang terpisah secara geografis (Steenbrink,
1974). Selama ini transportasi dianggap netral gender karena layanan atau infrastruktur
transportasi dianggap menguntungkan bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan
secara merata. Namun, survei dan bukti statistik menunjukkan bahwa penggunaan
transportasi antara laki-laki dan perempuan sering buta gender atau bias gender (Margarida
Queirós & Nuno Marques da Costa, 2012; Kementerian Perhubungan RI, 2010).

Selama beberapa tahun terakhir banyak akademisi telah membahas hubungan


gender dan transportasi. Pada 1990-an diakui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
kebutuhan yang berbeda terhadap layanan transportasi dan biasanya intervensi di
transportasi tidak menjawab kebutuhan perempuan. Selanjutnya pada pertengahan 1990-an
mulai gencar disuarakan adanya kesenjangan akses dan kesempatan antara laki-laki dan
perempuan di transportasi. (Margarida Queirós & Nuno Marques da Costa, 2012).

Ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi perbedaan perempuan dan laki-laki


dalam penggunaan transportasi, yaitu: a) faktor sosial dan ekonomi, b) perbedaan fisik, c)
kekuasaan dan kerentanan, dan c) psikologis (Hamilton et.al., 2005).

a) Faktor Sosial dan Ekonomi

Perempuan memiliki peran ganda, yaitu peran domestik mengurus rumah tangga,
anak, anggota keluarga yang sakit, orang usia lanjut, dsb dan peran publik sebagai pencari
nafkah. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang hanya bertanggung jawab sebagai pencari
nafkah.

Pembagian peran gender juga mempengaruhi pola kegiatan ekonomi perempuan


dan laki-laki. Tingkat kegiatan ekonomi perempuan sangat bervariasi, tergantung pada
kondisi rumah tangganya. Perempuan yang memiliki anak-anak pra-sekolah lebih rendah
tingkat kegiatan ekonominya (Hamilton et.al., 2005). Untuk menyesuaikan diri dengan
peran gendernya perempuan lebih banyak bekerja paruh-waktu di tempat yang tidak jauh
dari tempat tinggalnya. Perempuan juga dianggap lebih cocok bekerja di bidang
administrasi, kesekretariatan, layanan, dan sektor ritel yang dikategorikan jenis pekerjaan
tingkat rendah dengan pendapatan rendah (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011).

5
Sementara itu laki-laki rata-rata memiliki lebih banyak sumber daya keuangan daripada
perempuan karena laki-laki lebih banyak mendapat peluang bekerja di bidang manajerial
dengan pendapatan yang lebih tinggi (Hurrell 2005 dalam Hamilton et.al. 2005).

Perbedaan peran gender ini juga menimbulkan perbedaan pola perjalanan. Pola
perjalanan perempuan antara lain: 1) perempuan lebih banyak melakukan perjalanan pada
jam sibuk (peak hours) seperti mengantar dan menjemput anak ke/dari sekolah, berbelanja,
mengantar anggota keluarga yang sakit ke layanan kesehatan, pergi ke tempat bekerja, dsb;
2) perempuan menghindari melakukan perjalanan di malam hari; 3) jarak perjalanan
perempuan lebih pendek dibandingkan perjalanan laki-laki; 4) perempuan sering
melakukan perjalanan berantai dari satu tujuan dilanjutkan ke tujuan lain (trip chaining),
dan 5) dibanding laki-laki setiap hari perempuan lebih banyak melakukan perjalanan, tetapi
jaraknya lebih pendek. (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011).

Perbedaan pola perjalanan dan sumber daya keuangan yang dimiliki


mempengaruhi pemilihan moda transportasi. Laki-laki cenderung lebih mampu membeli
kendaraan pribadi, sedangkan perempuan cenderung memilih menggunakan angkutan
umum, terutama yang murah (affordable).

Untuk memenuhi kebutuhan transportasi yang murah, beberapa negara seperti


Inggris dan Swedia menyediakan subsidi 50% dari tarif angkutan umum bagi anak-anak,
orang berpendapatan rendah, dan orang berusia 60 tahun ke atas (Yael Hasson & Marianna
Polevoy, 2011). PT. Kereta Api Indonesia memberikan diskon 20% bagi manusia usia
lanjut yang telah memiliki KTP seumur hidup dan anak-anak usia kurang dari 3 tahun
dikenakan tarif 10% dari harga tiket dewasa.

b) Faktor Perbedaan Fisik

Secara fisik biologis laki-laki dan perempuan memang berbeda. Perempuan rata-
rata lebih kecil dan pendek dibanding dengan laki-laki. Perbedaan fisik tersebut sebenarnya
memiliki implikasi penting untuk mendesain kendaraan dan fasilitas transportasi namun
umumnya kurang diperhitungkan (Hoyenga & Hoyenga, 1979; Hamilton & Gregory, 1991
dalam Hamilton et.al. 2005). Desain kendaraan angkutan umum yang tidak
memperhitungkan perbedaan fisik anak-anak, perempuan, dan orang yang memiliki
keterbatasan mobilitas karena usia dan/atau cacat fisik akan mengurangi aksesbilitas
transportasi publik (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011; Hamilton et al, 1991 dalam
Hamilton et.al. 2005).
6
Beberapa kota dan negara mulai memperhatikan perbedaan fisik perempuan dan
laki-laki. Di London, pintu bis lebih dibuat lebar dan lantai bis dibuat lebih rendah dari
sebelumnya agar lebih mudah diakses perempuan hamil, manusia usia lanjut, dan pemakai
kursi roda (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011).

c) Faktor Kekuasaan dan Kerentanan

Perempuan, anak-anak, manusia usia lanjut, dan orang berketerbatasan fisik lebih
rentan terhadap kecelakaan, pelecehan, kekerasan seksual dan kriminalitas di ruang publik
daripada laki-laki. Fenomena kekerasan di ruang publik, termasuk di angkutan umum,
mempengaruhi pola perjalanan perempuan (Loukaitou-Sideris 2008; Schulz dan Gilbert
2000 dalam Amy Dunckel-Graglia & Suny Stony Brook 2013). Misalnya perempuan
cenderung menghindari melakukan perjalanan pada malam hari dan menghindari
menunggu angkutan umum di tempat yang gelap.

Beberapa kota dan negara telah menyadari pentingnya menyediakan transportasi


publik yang ramah perempuan. Di Montreal Canada pada tahun 1992 dibentuk Komite
Keamanan untuk Perempuan Perkotaan (Women’s Urban Security Committee) yang
bertujuan untuk mencari cara untuk meningkatkan akses dan keamanan bagi perempuan
terhadap angkutan umum mengingat perempuan merupakan pengguna utama angkutan
umum. Amerika Serikat, Canada dan London memasang CCTV di sarana dan prasarana
transportasi publik, lampu penerangan ruang publik yang memadai, dan melakukan
advokasi publik untuk meningkatkan kesadaran petugas stasiun, pengemudi, dan
penumpang. (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011). Mexico City menyediakan
angkutan umum khusus bagi perempuan berupa bis dan taxi yang dicat warna pink (Amy
Dunckel-Graglia & Suny Stony Brook, 2013). PT. Kereta Api Indonesia sejak 19 Agustus
2012 menyediakan gerbong khusus bagi perempuan di KRL Jabodetabek yang dicat warna
pink untuk membedakan dengan gerbong lain.

d) Faktor Psikologis

Suatu survei yang dilakukan pada penduduk Oslo tentang persepsi laki-laki dan
perempuan terhadap moda transportasi menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda terkait dengan jenis moda transportasi.
Perempuan tampaknya lebih menyukai angkutan umum dan percaya bahwa angkutan
umum mempermudah mereka dalam melakukan perjalanan. Sebaliknya, laki-laki lebih
menyukai mobil pribadi karena menganggap dengan menggunakan mobil pribadi mereka
7
dapat memperoleh kebebasan dalam ruang dan waktu. Laki-laki juga menganggap mobil
pribadi sebagai simbol maskulinitas dan merepresentasikan identitas mereka. Sebaliknya,
perempuan lebih melihat mobil secara fungsional (Margarida Queirós & Nuno Marques da
Costa, 2012).

B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DISKRIMINASI GENDER DAN SOSIAL PADA


TRANSPORTASI PUBLIK

Pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan untuk menjamin kesetaraan


gender dan sosial di transportasi publik, antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan MOU antara Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Perhubungan Tahun
2011 tentang Pengarusutamaan Gender dan Pengarusutamaan Hak Anak di Bidang
Perhubungan. Namun hingga saat ini masyarakat belum dapat merasakan adanya
kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik. Hal ini disebabkan adanya beberapa
kendala antara lain:

Aspek Regulasi:

 Kurangnya political will pemerintah dalam penegakan hukum.


 Lemahnya pengawasan dan evaluasi pemerintah terhadap implementasi kebijakan,
program, kegiatan dan sub kegiatan responsif gender yang telah dibuat.
 Kurangnya tindakan korektif terhadap kebijakan yang kurang mendukung terwujudnya
kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik.
 Kurangnya koordinasi antar kementerian. Ini terlihat dari kasus Kementerian
Perindustrian dengan program mobil murah, Kementerian Perhubungan dengan
program pengurangan kendaraan pribadi dan penambahan angkutan umum massal, dan
Kementerian Keuangan yang akan melaksanakan program pengurangan pajak untuk
mobil murah (Metro TV, 16 September 2013).

Aspek Manajemen:

 Adanya paradigma yang menganggap permasalahan transportasi sebagai isu teknis yang
kurang berkaitan dengan isu sosial dan budaya sehingga solusinya lebih berorientasi
teknis dan kurang mengintegrasikan aspek sosial dan budaya.

8
 Rendahnya kualitas sumber daya manusia sehingga belum mampu melakukan
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pengarahan (directing)
transportasi publik yang inklusif secara komprehensif.
 Kurangnya pelibatan perempuan dalam pembuatan keputusan sistem transportasi publik
sehingga kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman perempuan tidak dapat
teridentifikasi dan terakomodasi.
 Kurangnya advokasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu
diskriminasi terhadap kelompok sosial termarginal.
 Kurangnya data terpilah berdasarkan jenis kelamin di bidang transportasi.

Aspek Infrastruktur:

 Sarana dan prasarana transportasi publik umumnya didesain dengan perspektif laki-laki,
sesuai dengan kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman laki-laki tanpa
memperhitungkan keberagaman kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman pengguna
jasa transportasi publik yang lain.

C. MENGAPA INDONESIA PERLU TRANSPORTASI PUBLIK YANG


BERKESETARAAN GENDER DAN SOSIAL?

Transportasi memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial


dan dapat menjadi katalisator kuat untuk keberlanjutan melalui penyediaan interkoneksi,
pembelajaran, dan pengembangan yang merupakan elemen yang penting untuk
pemberdayaan perempuan dan kelompok sosial termarginal lainnya
(http://www.un.org/esa/dsd/resources/res_docucsd_18.shtml).

Mengingat pentingnya peran transportasi dalam keberlanjutan pembangunan,


Kementerian Perhubungan RI (2010) menegaskan bahwa diskriminasi gender di sektor
transportasi akan meminggirkan salah satu jenis kelamin dalam proses pembangunan yang
mengakibatkan kesenjangan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam pembangunan.

Beberapa peneliti menyimpulkan diskriminasi gender dalam transportasi publik


akan memunculkan kesenjangan gender dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan
akses pada layanan publik (Peters, 1999 dalam Margarida Queiros & Nuno Marques da
Costa, 2012; Cowichan Women against Violence Society 2002 dalam Lambrick & Rainero
2010; Nandita Bhatla, tanpa tahun).

9
Kesenjangan gender dalam pembangunan diukur dengan Gender Inequality Index
(GII) yang diperkenalkan oleh United Nations Development Programmes (UNDP) pada
tahun 2010. UNDP mendefinisikan GII sebagai indeks komposit yang menunjukkan
disparitas gender dalam suatu negara melalui 3 dimensi yaitu: 1) kesehatan reproduksi,
yang diukur dengan indikator rasio kematian ibu melahirkan dan tingkat kehamilan remaja
perempuan; 2) pemberdayaan, yang diukur dengan indikator pembagian kursi legislatif dan
pencapaian pendidikan tingkat menengah pertama dan menengah atas oleh masing-masing
jenis kelamin; dan 3) aktivitas ekonomi, yang diukur dengan indikator angka partisipasi di
pasar angkatan kerja (labor market) dari masing-masing jenis kelamin.

UNDP melaporkan GII Indonesia pada tahun 2012 menduduki ranking ke-106
dari 148 negara. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender di Indonesia masih lebih
tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lain seperti Philippines yang menduduki
ranking ke-77 dan China yang menduduki ranking ke-35 dari 148 negara.

Untuk mengurangi kesenjangan gender dan sosial dalam pembangunan diperlukan


upaya-upaya afirmatif dalam semua sektor pembangunan termasuk sektor transportasi,
karena transportasi dapat meningkatkan produktivitas perempuan dan mempromosikan
kesetaraan gender. Selain berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi, transportasi
juga berperan penting dalam keberkelanjutan pembangunan secara sosial dengan
memperluas akses pada layanan kesehatan dan pendidikan, pekerjaan, memperbaiki
pertukaran informasi dan mempromosikan kohesi sosial (World Bank,1999).

D. BAGAIMANA CARA MEWUJUDKAN TRANSPORTASI PUBLIK YANG


BERKESETARAAN GENDER DAN SOSIAL?

“Transport is not a technical, but a political issue” (Enrique Peñalosa Londoño,


mantan walikota Bogotà). Menurut Enrique Peñalosa Londoño transportasi bukanlah isu
teknik, tetapi isu politik. Kondisi sistem transportasi suatu kota atau negara mencerminkan
kemauan politik dan perspektif pemerintahnya. Sepanjang pemerintah memiliki kemauan
politik keterbatasan sumber daya tidak akan menjadi penghalang untuk mewujudkan
sistem transportasi yang baik dan inklusif. Ini telah dibuktikan oleh Kota Bogotà dan Kota
Curitiba yang terletak di negara berkembang dengan segala keterbatasannya, sama dengan
Indonesia.

Kesetaraan gender dalam sistem transportasi menunjukkan arti bahwa sistem


transportasi dirancang untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan laki-laki; perempuan
10
dan laki-laki diberi kesempatan yang sama untuk memberi usulan pada perencanaan,
formasi dan administrasi, dan nilai-nilai perempuan dan laki-laki dipertimbangkan secara
setara (Merritt Polk, tanpa tahun). Sedangkan kesetaraan sosial mengacu pada kesetaraan
dalam distribusi manfaat, resiko, dan biaya (Litman & Brenman 2012 p.3 dalam Erika
Harris 2012).

Kesetaraan gender dan sosial hanya dapat dicapai melalui pendekatan


inklusivitas, di mana setiap orang harus diberi kesempatan untuk diakui dan dihargai
kontribusinya pada keluarga, komunitas dan masyarakat (Korten 1995 dalam Marie
Thynell, tanpa tahun). Dengan demikian setiap orang tanpa dibedakan jenis kelamin, usia,
kelas sosial, keterbatasan fisik, dan keterbatasan ekonominya juga mendapat peluang yang
sama untuk diakui, dihargai kontribusinya, dan mendapat kemanfaatan dari pembangunan
melalui perluasan akses mereka pada layanan publik, pekerjaan, informasi dan interaksi
sosial.

Secara umum pembangunan meliputi infrastruktur dan layanan terhadap publik.


Kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan pembangunan seharusnya dapat menjawab
kebutuhan spesifik perempuan dan laki-laki (Kementerian Perhubungan RI, 2010). Untuk
mencapai hal itu diperlukan strategi pengarusutamaan gender (PUG), yaitu suatu
strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia melalui
kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan
permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan (www.menegpp.go.id). Landasan hukum pengarusutamaan gender di
sektor transportasi antara lain:

 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai


Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
 MOU antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan
Kementerian Perhubungan Tahun 2011 tentang Pengarusutamaan Gender dan
Pengarusutamaan Hak Anak di Bidang Perhubungan.
Pengarusutamaan gender dan sosial di bidang transportasi merupakan suatu
kebutuhan bagi masyarakat Indonesia, dengan tujuan agar semua warga negara memiliki
11
kesetaraan dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia terhadap
akses dan manfaat dari usaha pembangunan dan mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional serta
kesamaan dalam penguasaan sumberdaya pembangunan (pengetahuan, informasi,
keterampilan) (www.menegpp.go.id).

Kementerian Perhubungan RI (2010) menyebutkan bahwa dalam kegiatan


pembangunan sektor transportasi gender harus diintegrasikan dalam 3 (tiga) dimensi
yaitu: a) kegiatan fisik/infrastruktur seperti pembangunan pelabuhan, bandara, terminal,
dan lain-lain, b) pelayanan publik dalam bentuk keamanan, kelayakan, kenyamanan dan
lain-lain dan c) non fisik dalam bentuk standar, pedoman, prosedur, manual dan kebijakan.

Bagaimana langkah-langkah mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan


gender dan sosial? Kerangka kerja di bawah ini menggambarkan langkah-langkah
pengarusutamaan gender dan sosial yang harus dilakukan.

Kerangka Kerja
Sistem Transportasi Publik yang Berkesetaraan Gender & Sosial
6 Prinsip: Inklusif, Deliberatif, Diskursif, Pluralistik, Refleksif, Partisipatorik

1 Isu 5 8 9
GOAL
Diskriminasi Governance
GOAL OBJECTIVE
Gender & Sosial Sistem
Transportasi Peningka
Publik Sistem tan
2 Transpor Akses,
Diagnosis Isu tasi Partisipas
Berdasarkan Kajian Publik i,
Literatur yang Manfaat
Berkeset & Kontrol
4 araan Masyarak
Pemetaan: PUG Gender at dalam
3 Pembang
Faktor Penyebab, Sistem & Sosial
Transportasi unan
Stakeholders,
Kebutuhan Spesifik Publik

7 Optimalisasi Media Massa untuk Komunikasi, Informasi, Edukasi & Kontrol Sosial

Sumber: konsep diadaptasi dari Andy Stirling (2008), Tony Morton (2008), World Bank
(1999) dan sumber-sumber lain.
Secara umum penulis merumuskan ada 9 (sembilan) langkah yang harus
dilakukan untuk mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial.
Langkah-langkah tersebut antara lain:

12
LANGKAH URAIAN
Langkah 1 Mengidentifikasi dan memetakan isu diskriminasi gender dan
sosial di transportasi publik.
Langkah 2 Melakukan diagnosis diskriminasi gender dan sosial berdasarkan
kajian literatur.
Langkah 3 Berdasarkan hasil diagnosis mengidentifikasi dan memetakan
faktor-faktor penyebab, stakeholder, dan kebutuhan spesifik
gender dan sosial yang belum terpenuhi.
Langkah 4  Ketersediaan data terpilah gender sangat signifikan karena
berfungsi sebagai pembuka wawasan.
 Melakukan analisis gender dengan alat analisis seperti Gender
Analysis Parthway, Proba, Harvard, Mosser dsb.
 Mengintegrasikan kebutuhan spesifik gender dan sosial ke
dalam 3 (tiga) dimensi kegiatan transportasi, yaitu: a) kegiatan
fisik/infrastruktur, b) pelayanan publik, dan c) non fisik
melalui kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan.
 Menyusun Anggaran Responsif Gender sesuai kebijakan,
program, kegiatan dan sub kegiatan yang telah dibuat.
Langkah 5 Mewujudkan governance transportasi publik yang efektif melalui
sinergi antara stakeholders: pemerintah (regulator), swasta
(manufaktur dan operator) dan masyarakat (pengguna jasa).
Langkah 6 Selalu mengacu pada prinsip inklusif, deliberatif, diskursif,
pluralistif, refleksif dan partisipatorik (Andy Stirling, 2008).
 Inklusif: terbuka dan universal serta ramah bagi semua, saling
mengakui keberadaan dan menghargai perbedaan.
 Deliberatif: musyawarah untuk mufakat, “rembugan” untuk
pembuatan keputusan.
 Diskursif: disimpulkan secara logis.
 Pluralistif: menghargai nilai-nilai kemajemukan.
 Refleksif: diputuskan dengan hati-hati.
 Partisipatorik: memberi kesempatan semua yang terlibat untuk
berpartisipasi.
Langkah 7 Bersinergi dengan media massa untuk mengoptimalkan fungsi
media massa dalam:
 menyebarkan informasi yang obyektif dan edukatif,
 melakukan kontrol sosial yang konstruktif, dan
 menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan
partisipasi masyarakat (Ashadi Siregar, 1990).
Langkah 8 Mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan
sosial merupakan tujuan antara (goal) untuk pemerataan
kemanfaatan pembangunan sehingga dapat mendukung
pengentasan kemiskinan dan MDGs.
Langkah 9 Tujuan akhir (objective) yang ingin dicapai adalah kesetaraan

13
gender dan sosial dalam pembangunan (diukur dengan Gender
Inequality Index) sehingga setiap warga negara dapat
meningkatkan kualitas hidupnya (diukur dengan Human
Development Index) karena memiliki peluang yang setara dalam
akses, partisipasi, manfaat dan kontrol dalam pembangunan.

Keberhasilan kegiatan pengarusutamaan gender dan sosial di transportasi publik


diukur dengan 13 indikator kesetaraan gender dan sosial (Marie Thynell, 2007) di bawah
ini:

1. Aksesibilitas (Accessibility). Aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai


suatu tujuan lokasi, yang menjadi ukuran adalah jarak, waktu tempuh, kelengkapan dan
kualitas dari fasilitas yang tersedia.
2. Mobilitas (Mobility). Pengguna jasa transportasi publik mudah melakukan pergerakan
atau mudah melakukan alih tempat.
3. Ketersediaan (Availability). Kesiapan sarana transportasi publik untuk dapat digunakan
atau dioperasikan dalam waktu yang telah ditentukan.
4. Keterjangkauan (Affordability). Biaya tarif angkutan umum tidak melebihi persentase
tertentu dari pendapatan rumah tangga.
5. Ketepatan (Appropriateness). Kesesuaian dengan kebutuhan sehingga penumpang
merasa nyaman saat melakukan perjalanan.
6. Keandalan (Reliability). Layanan transportasi publik harus dapat diprediksi sesuai
jadwal yang tersedia. Perubahan layanan segera diinformasikan ke pengguna jasa.
7. Keselamatan (Safety). Penumpang terhindar dari risiko kecelakaan yang disebabkan
oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan.
8. Keamanan (Security). Setiap penumpang, barang, dan/atau kendaraan terbebas dari
gangguan perbuatan melawan hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas.
9. Kesehatan (Health). Kesehatan penumpang dan pengguna jalan lainnya atau orang yang
tinggal di sepanjang sisi rel atau jalan terjamin. Transportasi publik juga harus dapat
meningkatkan akses masyarakat pada layanan kesehatan.
10. Informasi (Information). Tersedianya informasi tentang jalur, tarif, rute, jadwal, dsb
di tempat yang mudah diakses.
11. Keterlibatan masyarakat (Public involvement). Masyarakat diberi peluang untuk
memberi masukan yang kritis dan konstruktif.
12. Menghemat waktu (Time saving). Layanan transportasi publik harus dapat
menghemat waktu, bukan sebaliknya.
13. Manfaat ekonomi (Economic benefit). Layanan transportasi publik harus dapat
meningkatkan akses masyarakat ke berbagai bentuk sumber pendapatan produktif,
menciptakan peluang ekonomi dan investasi.

14
E. SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB MEWUJUDKAN TRANSPORTASI
PUBLIK YANG BERKESETARAAN GENDER DAN SOSIAL?
Secara umum pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil memiliki tanggung
jawab sesuai peran masing-masing untuk bersinergi mewujudkan kesetaraan gender dan
sosial dalam semua sektor pembangunan, termasuk dalam transportasi publik. Interaksi
sinergis antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil yang membentuk dimensi
relasional tersebut merupakan governance transportasi publik. Pembagian tanggung jawab
tersebut antara lain:

a) Tanggung jawab pemerintah antara lain:


 Membuat kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan yang responsif gender dan
sosial di bidang transportasi publik.
 Melakukan tindakan korektif terhadap kebijakan, program, kegiatan dan sub
kegiatan yang tidak mendukung terwujudnya transportasi publik yang
berkesetaraan gender dan sosial.
 Melakukan sosialisasi kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan yang
responsif gender pada stakeholder transportasi publik.
 Melakukan pengawasan dan evaluasi implementasi kebijakan, program, kegiatan
dan sub kegiatan agar tidak menyimpang dari perencanaan.
 Membuka peluang bagi sektor swasta dan masyarakat sipil (laki-laki dan
perempuan) untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
 Melakukan capacity building bagi semua stakeholder transportasi publik agar
mereka mampu berpartisipasi dalam mewujudkan transportasi publik yang
berkesetaraan gender dan sosial.
 Melakukan advokasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu
diskriminasi terhadap kelompok sosial termarginal.
 Menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik yang responsif gender dan
sosial.
b) Tanggung jawab sektor swasta (manufaktur dan operator) antara lain:
 Mematuhi regulasi.
 Berpartisipasi memberi masukan yang kritis dan konstruktif dalam pembuatan
keputusan transportasi publik.
 Meningkatkan pelayanan angkutan umum agar memenuhi standar pelayanan
minimal.

15
 Menyediakan sarana angkutan umum yang responsif gender dan sosial.
c) Tanggung jawab masyarakat sipil antara lain:
 Mematuhi regulasi.
 Berpartisipasi memberi masukan yang kritis dan konstruktif dalam pembuatan
keputusan transportasi publik.
 Berpartisipasi memelihara sarana dan prasarana transportasi publik.
 Berpartisipasi menjaga keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan,
kesetaraan dan keteraturan transportasi publik.

Governance transportasi publik yang efektif sangat menentukan keberhasilan


transportasi publik suatu kota atau negara. Hal ini telah dikonfirmasi oleh temuan
penelitian di Australia yang menunjukkan bahwa meskipun tersedia dana yang cukup,
infrastruktur yang memadai, dan manajemen yang tertata baik, namun jika tidak memiliki
governance transportasi publik yang efektif, tidak akan tercapai transportasi publik yang
mampu memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Hal ini telah dibuktikan oleh
transportasi publik di kota Melbourne dan Victoria yang gagal menarik minat
penduduknya akibat kurang efektifnya governance transportasi publik di kota-kota
tersebut. (Tony Morton, 2008).

Kota Solo merupakan salah satu contoh kota yang memiliki governance
transportasi publik yang efektif. Melalui paradigma “move people not car” (memindahkan
orang bukan sarana pengangkutnya) yang diterjemahkan melalui kebijakan pengembangan
sistem transportasi yang berkelanjutan, Kota Solo berupaya menerapkan transportasi yang
humanis. Sekarang lalu lintas yang rapi bukan lagi mimpi bagi warga Kota Solo.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan Pemerintah Kota Solo dapat dilakukan daerah lain
sepanjang ada kemauan politik terhadap masalah lalu lintas dan transportasi (Setijowarno,
11 Juni 2013).

BAB III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Transportasi publik yang belum responsif terhadap tuntutan kesetaraan gender dan
sosial akan berdampak signifikan pada keterbatasan akses, partisipasi, manfaat dan kontrol
masyarakat dalam pembangunan. Kajian menunjukkan bahwa regulasi, manajemen, dan

16
infrastruktur yang tidak berpihak pada kelompok sosial termarginal merupakan penyebab
diskriminasi gender dan sosial di transportasi publik. Diperlukan upaya afirmatif untuk
mewujudkan kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik melalui strategi
pengarusutamaan gender dan sosial. Pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil harus
bersinergi dalam governance transportasi publik karena tanpa governance yang efektif
tidak akan terwujud transportasi publik yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan
masyarakat. Transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial akan menjadi salah
satu pull factor yang menarik masyarakat beralih ke angkutan umum, mendukung mitigasi
permasalahan transportasi, serta mendukung keberlanjutan pembangunan nasional.

B. SARAN

Bagi pemerintah:

 Mengimplementasikan MOU antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan


Perlindungan Anak dan Kementerian Perhubungan Tahun 2011 tentang
Pengarusutamaan Gender dan Pengarusutamaan Hak Anak di Bidang Perhubungan.
 Melakukan tindakan korektif terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman karena tidak mewajibkan pengembang
menyediakan sarana transportasi publik dari/ke pemukiman baru.
 Membuat kebijakan yang mengatur transportasi publik dikelola oleh badan usaha,
bukan perorangan, agar lebih transparan dan mudah pengawasannya.
 Memperbaiki sistem uji kelaikan kendaraan bermotor untuk menjamin kelaikan
angkutan umum yang beroperasi, misalnya melakukan inspeksi mendadak di jalan dan
terminal.
 Memberi subsidi biaya transportasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini
dimungkinkan oleh UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 Melanjutkan kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan yang telah responsif gender
dan sosial, seperti gerbong khusus bagi perempuan di KRL Jabodetabek, subsidi PT.
KAI bagi manusia usia lanjut yang memiliki KTP seumur hidup dan anak-anak usia
kurang dari 3 tahun, perekrutan pengemudi perempuan untuk BRT Trans Jakarta, dsb.
 Mempertimbangkan alternatif transportasi massal berbasis rel untuk perkotaan.
 Memberikan insentif bagi operator angkutan umum yang menyediakan fasilitas ekstra
yang dapat meningkatkan minat penumpang.

17
 Menyediakan dan memelihara fasilitas pendukung dan fasilitas penunjang yang ramah
perempuan, misalnya lampu penerangan yang memadai untuk di jalan dan di jembatan
penyeberangan, anak-anak tangga jembatan penyeberangan yang tidak terlalu tinggi,
trotoar yang nyaman bagi pejalan kaki dan dapat diakses oleh pemakai kursi roda, di
stasiun dan terminal disediakan toilet yang dapat diakses pemakai kursi roda,
menyediakan toilet untuk perempuan lebih banyak daripada toilet untuk laki-laki karena
perempuan lebih sering ke toilet terkait dengan siklus reproduksinya, toilet untuk
perempuan dilengkapi dengan tempat mengganti popok bayi, dsb.

Bagi sektor swasta:

 Melakukan revitalisasi kendaraan angkutan umum.


 Memperbaiki sistem perekrutan pengemudi angkutan umum agar tidak ada lagi sopir
“tembak” yang tidak memiliki kompetensi dan surat ijin mengemudi.
 Memberikan asuransi kecelakaan bagi awak angkutan umum sebagaimana telah
diterapkan oleh suatu perusahaan otobus di Jawa Tengah.
 Beralih menggunakan sistem gaji bulanan bagi awak angkutan umum dan tidak lagi
menggunakan sistem setoran agar pengemudi tidak mengebut mengejar setoran,
sehingga dapat mengurangi pelanggaran lalu lintas, keruwetan, kemacetan serta
kemungkinan kecelakaan lalu lintas.
 Memberikan gaji awak angkutan umum langsung pada istri/keluarga mereka untuk
menjamin kesejahteraan keluarga awak angkutan umum. Hal ini telah diterapkan oleh
suatu perusahaan otobus di Jawa Tengah.
 Menyediakan fasilitas ekstra yang dapat meningkatkan minat penumpang misalnya
akses internet gratis (free WIFI), charge handphone gratis, dsb.
 Melengkapi angkutan umum dengan fasilitas pendukung keamanan dan keselamatan
seperti CCTV, GPS, lampu penerangan yang memadai, tidak menggunakan kaca
jendela yang gelap (kaca film), alarm yang dapat digunakan penumpang jika mengalami
kriminalitas di dalam angkutan umum, kotak P3K, palu pemecah kaca, tabung
pemadam kebakaran, dsb.

Bagi masyarakat sipil:

 Tidak merusak dan mengganggu fungsi sarana angkutan umum, fasilitas pendukung,
dan fasilitas penunjangnya.

18
 Berperilaku humanis misalnya memberikan tempat duduk pada perempuan hamil dan
manusia usia lanjut, tidak merokok dalam angkutan umum, dsb.
 Tidak melakukan tindakan melanggar hukum seperti melakukan pelecehan, kekerasan,
perampasan harta benda penumpang lain, dsb.

DAFTAR PUSTAKA
Amy Dunckel-Graglia & SUNY Stony Brook; 2013; Journal of Public Transportation,
Volume 16 Number 2 2013 p.85-105; Women-Only Transportation: How “Pink”
Public Transportation Changes Public Perception of Women’s Mobility.
Andy Stirling; 2008; Science, Technology, & Human Values Volume 33 Number 2 March
2008 262-294; “Opening Up” and “Closing Down” Power, Participation, and
Pluralism in the Social Appraisal of Technology.
Ashadi Siregar; 1990; Peran Pers dalam Era Pembangunan; disampaikan pada Seminar
Upaya untuk Mencapai Rasio UNESCO, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Cabang
Jawa Timur, Surabaya 10 Januari 1990.
Edie Toet Hendratno; 2009; Mimbar Hukum Volume 21, Nomor 3, Oktober 2009,
Halaman 409-628, Masalah Transportasi Kota Dilihat dengan Pendekatan Hukum,
Sosial, dan Budaya.
Erika Harris; 2012; Tools and Policies for Promoting Social Equity in Seattle Transit
Communities; Prepared for the Seattle Planning Commission; University of
Washington.
http://www.un.org/esa/dsd/resources/res_docucsd_18.shtml
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI,
http://www.menegpp.go.id
Kementerian Perhubungan RI; 2010; Panduan Pengintegrasian Aspek Gender dalam
Perencanaan dan Penganggaran Kementerian Perhubungan.
Kerry Hamilton; Linda Jenkins; Frances Hodgson; Jeff Turner; 2005; Promoting Gender
Equality in Transport; http://www.eoc.org.uk/research
Komnas Perempuan; 2011.
Maam Lumanglas; 5 Juli 2008; Gender and Geography.
Margarida Queirós & Nuno Marques da Costa; 2012; Knowledge on Gender Dimensions
of Transportation in Portugal; Dialogue and UniversalismE Volume 3, Number
1/2012.
Marie Thynell; 2007; Social Indicators for Public Transport; Peace and Development
Research School of Global Studies University of Gothenburg Sweden.
Marie Thynell; tanpa tahun; Social Equity and Gender, The Benefits of NMT; Peace and
Development Research School of Global Studies University of Gothenburg Sweden.
Melanie Lambrick & Liliana Rainero; Februari 2010; Safe Cities; Red Mujery Habitat
Latina America & Women in Cities International.

19
Merritt Polk; tanpa tahun; p.180-188; Integration of Gender Equality into Transport Policy
and Practice; Research on Women’s Issues in Transportation; Göteborg University,
Sweden.
Nandita Bhatla; tanpa tahun; Gender-Based Violence in Public Spaces: Consequences and
Cost; International Centre for Research on Women.
Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan 2011-2035.
Setijowarno, Djoko; 2013; Mimpi Menjadikan Transportasi Jakarta untuk Dunia,
Bercermin Transportasi Solo yang Telah Menjadi Panutan Kota-Kota Indonesia;
disampaikan pada Diskusi Panel Terbatas Kompas “Jakarta Menuju Kota Di Tengah
Kekusutan Sistem Transportasi Publik”, Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Selasa,
11 Juni 2013.
The World Bank; 1999; Gender and Transport: A Rationale for Action.
Transport & Social Equity. Download 20 Agustus 2013.
http://www.afritest.net/index.php/test-issues/issues-gender-transport
Tony Morton; January 2008; Transport Governance Public Transport Management That
Works For Passengers, A position paper by the Public Transport Users Association
Inc. Org No. A-6256L.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
United Nations Development Programmes (UNDP); 1997; Governance for Sustainable
Human Development.
United Nations Development Programmes (UNDP); 2012;
http://hdr.undp.org/en/statistics/gii/
World Health Organisation; http://www.who.int/en/
Yael Hasson & Marianna Polevoy; 2011; Gender Equality Initiatives in Transportation
Policy, A Review of the Literature.

20

Anda mungkin juga menyukai