ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjamin
kesetaraan bagi warga negara di transportasi publik. Namun fakta-fakta empiris menunjukkan
transportasi publik di Indonesia masih menghadapi isu diskriminasi gender dan sosial. Diskriminasi
gender dan sosial di transportasi publik berdampak signifikan pada kesenjangan akses, partisipasi,
manfaat, dan kontrol masyarakat dalam pembangunan. Paper ini bertujuan untuk mendiskusikan
bagaimana cara mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial. Paper
ditulis secara deskriptif-kualitatif berdasarkan data-data yang diperoleh dari observasi dan studi
literatur, dan dikaji berdasarkan perspektif gender. Pembahasan menunjukkan bahwa regulasi,
manajemen, dan infrastruktur transportasi publik yang tidak memiliki keberpihakan pada kelompok
sosial termarginal merupakan penyebab terjadinya diskriminasi gender dan sosial di transportasi
publik. Untuk mewujudkan kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik diperlukan upaya-
upaya afirmatif dari semua stakeholder secara inklusif dan komprehensif. Pembahasan
menyimpulkan bahwa transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial akan menjadi salah
satu pull factor yang dapat menarik masyarakat untuk beralih ke angkutan umum, mendukung
mitigasi permasalahan transportasi, serta mendukung keberlanjutan pembangunan.
Kata kunci: diskriminasi, gender, kelompok sosial termarginal, kesetaraan gender, kesetaraan
sosial, transportasi publik
1
(2011), dan 29.544 jiwa (2012) atau rata-rata 100 jiwa per hari. Berdasarkan fenomena
tersebut WHO (1990) menyatakan kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab
utama kematian di dunia dan diprediksikan pada tahun 2020 akan menduduki peringkat
ketiga penyebab kematian. Diperkirakan kerugian negara akibat kecelakaan lalu lintas
mencapai Rp. 205 - 220 Triliun atau 2,9 - 3,1% dari total Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia. (RUNK Jalan, 2011).
2
Transportasi publik di Indonesia juga belum memperhatikan aspek kesetaraan
dalam layanannya. Menurut data WHO sampai tahun 2002, sebanyak 3% - 5% dari 210
juta penduduk Indonesia atau sekitar 10,5 juta orang adalah difabel. Namun hasil observasi
menunjukkan bahwa sarana dan prasarana transportasi publik yang ada belum dapat
mengakomodasi kebutuhan spesifik mereka yang berketerbatasan fisik. Kondisi trotoar
yang buruk dan tidak dapat diakses pemakai kursi roda; tingginya anak-anak tangga
jembatan penyeberangan; buruknya kondisi lampu penerangan di jembatan penyeberangan;
tingginya pijakan kaki dan lantai bis; tempat duduk angkota yang terlalu pendek; perilaku
penumpang yang merokok seenaknya tanpa memperhatikan kepentingan penumpang lain;
serta minimnya toilet yang dapat diakses pemakai kursi roda di terminal/stasiun
menunjukkan minimnya perhatian, fasilitas, dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan
spesifik kelompok sosial termarginal seperti penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-
anak, perempuan hamil, dan orang sakit baik di angkutan umum, fasilitas pendukung,
maupun fasilitas penunjangnya.
Masalah lain yang dihadapi pengguna jasa angkutan umum adalah belum adanya
keteraturan. Permasalahan ini terlihat dari pola rute angkutan umum yang belum sesuai
kebutuhan pengguna jasa sehingga harus terjadi transfer beberapa kali; tidak adanya jadwal
keberangkatan yang tetap; headway yang tidak teratur; dan waktu sampai ke tempat tujuan
yang tidak dapat dipastikan karena angkutan umum sering “mengetem” (parkir di suatu
tempat menunggu calon penumpang). Sebagai akibatnya pengguna jasa angkutan umum
terpaksa harus mengalokasikan waktu yang lebih banyak untuk perjalanan, mengalami
penurunan kualitas kerja dan kualitas kesehatan akibat kelelahan di perjalanan, dan
kehilangan waktu untuk interaksi sosial dengan keluarga dan lingkungan (Hendratno,
2009).
3
sebagian kebutuhan-kebutuhan hidupnya tidak dapat terpenuhi. Sedangkan dari aspek
lingkungan, pertambahan jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan emisi gas rumah
kaca, polusi udara, gangguan suara kendaraan (kebisingan), kemacetan, serta mengurangi
daya tampung jalan. (Setijowarno, 2013).
4
BAB II. PEMBAHASAN
Perempuan memiliki peran ganda, yaitu peran domestik mengurus rumah tangga,
anak, anggota keluarga yang sakit, orang usia lanjut, dsb dan peran publik sebagai pencari
nafkah. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang hanya bertanggung jawab sebagai pencari
nafkah.
5
Sementara itu laki-laki rata-rata memiliki lebih banyak sumber daya keuangan daripada
perempuan karena laki-laki lebih banyak mendapat peluang bekerja di bidang manajerial
dengan pendapatan yang lebih tinggi (Hurrell 2005 dalam Hamilton et.al. 2005).
Perbedaan peran gender ini juga menimbulkan perbedaan pola perjalanan. Pola
perjalanan perempuan antara lain: 1) perempuan lebih banyak melakukan perjalanan pada
jam sibuk (peak hours) seperti mengantar dan menjemput anak ke/dari sekolah, berbelanja,
mengantar anggota keluarga yang sakit ke layanan kesehatan, pergi ke tempat bekerja, dsb;
2) perempuan menghindari melakukan perjalanan di malam hari; 3) jarak perjalanan
perempuan lebih pendek dibandingkan perjalanan laki-laki; 4) perempuan sering
melakukan perjalanan berantai dari satu tujuan dilanjutkan ke tujuan lain (trip chaining),
dan 5) dibanding laki-laki setiap hari perempuan lebih banyak melakukan perjalanan, tetapi
jaraknya lebih pendek. (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011).
Secara fisik biologis laki-laki dan perempuan memang berbeda. Perempuan rata-
rata lebih kecil dan pendek dibanding dengan laki-laki. Perbedaan fisik tersebut sebenarnya
memiliki implikasi penting untuk mendesain kendaraan dan fasilitas transportasi namun
umumnya kurang diperhitungkan (Hoyenga & Hoyenga, 1979; Hamilton & Gregory, 1991
dalam Hamilton et.al. 2005). Desain kendaraan angkutan umum yang tidak
memperhitungkan perbedaan fisik anak-anak, perempuan, dan orang yang memiliki
keterbatasan mobilitas karena usia dan/atau cacat fisik akan mengurangi aksesbilitas
transportasi publik (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011; Hamilton et al, 1991 dalam
Hamilton et.al. 2005).
6
Beberapa kota dan negara mulai memperhatikan perbedaan fisik perempuan dan
laki-laki. Di London, pintu bis lebih dibuat lebar dan lantai bis dibuat lebih rendah dari
sebelumnya agar lebih mudah diakses perempuan hamil, manusia usia lanjut, dan pemakai
kursi roda (Yael Hasson & Marianna Polevoy, 2011).
Perempuan, anak-anak, manusia usia lanjut, dan orang berketerbatasan fisik lebih
rentan terhadap kecelakaan, pelecehan, kekerasan seksual dan kriminalitas di ruang publik
daripada laki-laki. Fenomena kekerasan di ruang publik, termasuk di angkutan umum,
mempengaruhi pola perjalanan perempuan (Loukaitou-Sideris 2008; Schulz dan Gilbert
2000 dalam Amy Dunckel-Graglia & Suny Stony Brook 2013). Misalnya perempuan
cenderung menghindari melakukan perjalanan pada malam hari dan menghindari
menunggu angkutan umum di tempat yang gelap.
d) Faktor Psikologis
Suatu survei yang dilakukan pada penduduk Oslo tentang persepsi laki-laki dan
perempuan terhadap moda transportasi menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda terkait dengan jenis moda transportasi.
Perempuan tampaknya lebih menyukai angkutan umum dan percaya bahwa angkutan
umum mempermudah mereka dalam melakukan perjalanan. Sebaliknya, laki-laki lebih
menyukai mobil pribadi karena menganggap dengan menggunakan mobil pribadi mereka
7
dapat memperoleh kebebasan dalam ruang dan waktu. Laki-laki juga menganggap mobil
pribadi sebagai simbol maskulinitas dan merepresentasikan identitas mereka. Sebaliknya,
perempuan lebih melihat mobil secara fungsional (Margarida Queirós & Nuno Marques da
Costa, 2012).
Aspek Regulasi:
Aspek Manajemen:
Adanya paradigma yang menganggap permasalahan transportasi sebagai isu teknis yang
kurang berkaitan dengan isu sosial dan budaya sehingga solusinya lebih berorientasi
teknis dan kurang mengintegrasikan aspek sosial dan budaya.
8
Rendahnya kualitas sumber daya manusia sehingga belum mampu melakukan
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pengarahan (directing)
transportasi publik yang inklusif secara komprehensif.
Kurangnya pelibatan perempuan dalam pembuatan keputusan sistem transportasi publik
sehingga kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman perempuan tidak dapat
teridentifikasi dan terakomodasi.
Kurangnya advokasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu
diskriminasi terhadap kelompok sosial termarginal.
Kurangnya data terpilah berdasarkan jenis kelamin di bidang transportasi.
Aspek Infrastruktur:
Sarana dan prasarana transportasi publik umumnya didesain dengan perspektif laki-laki,
sesuai dengan kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman laki-laki tanpa
memperhitungkan keberagaman kebutuhan, pengetahuan, dan pengalaman pengguna
jasa transportasi publik yang lain.
9
Kesenjangan gender dalam pembangunan diukur dengan Gender Inequality Index
(GII) yang diperkenalkan oleh United Nations Development Programmes (UNDP) pada
tahun 2010. UNDP mendefinisikan GII sebagai indeks komposit yang menunjukkan
disparitas gender dalam suatu negara melalui 3 dimensi yaitu: 1) kesehatan reproduksi,
yang diukur dengan indikator rasio kematian ibu melahirkan dan tingkat kehamilan remaja
perempuan; 2) pemberdayaan, yang diukur dengan indikator pembagian kursi legislatif dan
pencapaian pendidikan tingkat menengah pertama dan menengah atas oleh masing-masing
jenis kelamin; dan 3) aktivitas ekonomi, yang diukur dengan indikator angka partisipasi di
pasar angkatan kerja (labor market) dari masing-masing jenis kelamin.
UNDP melaporkan GII Indonesia pada tahun 2012 menduduki ranking ke-106
dari 148 negara. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender di Indonesia masih lebih
tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lain seperti Philippines yang menduduki
ranking ke-77 dan China yang menduduki ranking ke-35 dari 148 negara.
Kerangka Kerja
Sistem Transportasi Publik yang Berkesetaraan Gender & Sosial
6 Prinsip: Inklusif, Deliberatif, Diskursif, Pluralistik, Refleksif, Partisipatorik
1 Isu 5 8 9
GOAL
Diskriminasi Governance
GOAL OBJECTIVE
Gender & Sosial Sistem
Transportasi Peningka
Publik Sistem tan
2 Transpor Akses,
Diagnosis Isu tasi Partisipas
Berdasarkan Kajian Publik i,
Literatur yang Manfaat
Berkeset & Kontrol
4 araan Masyarak
Pemetaan: PUG Gender at dalam
3 Pembang
Faktor Penyebab, Sistem & Sosial
Transportasi unan
Stakeholders,
Kebutuhan Spesifik Publik
7 Optimalisasi Media Massa untuk Komunikasi, Informasi, Edukasi & Kontrol Sosial
Sumber: konsep diadaptasi dari Andy Stirling (2008), Tony Morton (2008), World Bank
(1999) dan sumber-sumber lain.
Secara umum penulis merumuskan ada 9 (sembilan) langkah yang harus
dilakukan untuk mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial.
Langkah-langkah tersebut antara lain:
12
LANGKAH URAIAN
Langkah 1 Mengidentifikasi dan memetakan isu diskriminasi gender dan
sosial di transportasi publik.
Langkah 2 Melakukan diagnosis diskriminasi gender dan sosial berdasarkan
kajian literatur.
Langkah 3 Berdasarkan hasil diagnosis mengidentifikasi dan memetakan
faktor-faktor penyebab, stakeholder, dan kebutuhan spesifik
gender dan sosial yang belum terpenuhi.
Langkah 4 Ketersediaan data terpilah gender sangat signifikan karena
berfungsi sebagai pembuka wawasan.
Melakukan analisis gender dengan alat analisis seperti Gender
Analysis Parthway, Proba, Harvard, Mosser dsb.
Mengintegrasikan kebutuhan spesifik gender dan sosial ke
dalam 3 (tiga) dimensi kegiatan transportasi, yaitu: a) kegiatan
fisik/infrastruktur, b) pelayanan publik, dan c) non fisik
melalui kebijakan, program, kegiatan dan sub kegiatan.
Menyusun Anggaran Responsif Gender sesuai kebijakan,
program, kegiatan dan sub kegiatan yang telah dibuat.
Langkah 5 Mewujudkan governance transportasi publik yang efektif melalui
sinergi antara stakeholders: pemerintah (regulator), swasta
(manufaktur dan operator) dan masyarakat (pengguna jasa).
Langkah 6 Selalu mengacu pada prinsip inklusif, deliberatif, diskursif,
pluralistif, refleksif dan partisipatorik (Andy Stirling, 2008).
Inklusif: terbuka dan universal serta ramah bagi semua, saling
mengakui keberadaan dan menghargai perbedaan.
Deliberatif: musyawarah untuk mufakat, “rembugan” untuk
pembuatan keputusan.
Diskursif: disimpulkan secara logis.
Pluralistif: menghargai nilai-nilai kemajemukan.
Refleksif: diputuskan dengan hati-hati.
Partisipatorik: memberi kesempatan semua yang terlibat untuk
berpartisipasi.
Langkah 7 Bersinergi dengan media massa untuk mengoptimalkan fungsi
media massa dalam:
menyebarkan informasi yang obyektif dan edukatif,
melakukan kontrol sosial yang konstruktif, dan
menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan
partisipasi masyarakat (Ashadi Siregar, 1990).
Langkah 8 Mewujudkan transportasi publik yang berkesetaraan gender dan
sosial merupakan tujuan antara (goal) untuk pemerataan
kemanfaatan pembangunan sehingga dapat mendukung
pengentasan kemiskinan dan MDGs.
Langkah 9 Tujuan akhir (objective) yang ingin dicapai adalah kesetaraan
13
gender dan sosial dalam pembangunan (diukur dengan Gender
Inequality Index) sehingga setiap warga negara dapat
meningkatkan kualitas hidupnya (diukur dengan Human
Development Index) karena memiliki peluang yang setara dalam
akses, partisipasi, manfaat dan kontrol dalam pembangunan.
14
E. SIAPA YANG BERTANGGUNGJAWAB MEWUJUDKAN TRANSPORTASI
PUBLIK YANG BERKESETARAAN GENDER DAN SOSIAL?
Secara umum pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil memiliki tanggung
jawab sesuai peran masing-masing untuk bersinergi mewujudkan kesetaraan gender dan
sosial dalam semua sektor pembangunan, termasuk dalam transportasi publik. Interaksi
sinergis antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil yang membentuk dimensi
relasional tersebut merupakan governance transportasi publik. Pembagian tanggung jawab
tersebut antara lain:
15
Menyediakan sarana angkutan umum yang responsif gender dan sosial.
c) Tanggung jawab masyarakat sipil antara lain:
Mematuhi regulasi.
Berpartisipasi memberi masukan yang kritis dan konstruktif dalam pembuatan
keputusan transportasi publik.
Berpartisipasi memelihara sarana dan prasarana transportasi publik.
Berpartisipasi menjaga keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan,
kesetaraan dan keteraturan transportasi publik.
Kota Solo merupakan salah satu contoh kota yang memiliki governance
transportasi publik yang efektif. Melalui paradigma “move people not car” (memindahkan
orang bukan sarana pengangkutnya) yang diterjemahkan melalui kebijakan pengembangan
sistem transportasi yang berkelanjutan, Kota Solo berupaya menerapkan transportasi yang
humanis. Sekarang lalu lintas yang rapi bukan lagi mimpi bagi warga Kota Solo.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan Pemerintah Kota Solo dapat dilakukan daerah lain
sepanjang ada kemauan politik terhadap masalah lalu lintas dan transportasi (Setijowarno,
11 Juni 2013).
A. KESIMPULAN
Transportasi publik yang belum responsif terhadap tuntutan kesetaraan gender dan
sosial akan berdampak signifikan pada keterbatasan akses, partisipasi, manfaat dan kontrol
masyarakat dalam pembangunan. Kajian menunjukkan bahwa regulasi, manajemen, dan
16
infrastruktur yang tidak berpihak pada kelompok sosial termarginal merupakan penyebab
diskriminasi gender dan sosial di transportasi publik. Diperlukan upaya afirmatif untuk
mewujudkan kesetaraan gender dan sosial di transportasi publik melalui strategi
pengarusutamaan gender dan sosial. Pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil harus
bersinergi dalam governance transportasi publik karena tanpa governance yang efektif
tidak akan terwujud transportasi publik yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan
masyarakat. Transportasi publik yang berkesetaraan gender dan sosial akan menjadi salah
satu pull factor yang menarik masyarakat beralih ke angkutan umum, mendukung mitigasi
permasalahan transportasi, serta mendukung keberlanjutan pembangunan nasional.
B. SARAN
Bagi pemerintah:
17
Menyediakan dan memelihara fasilitas pendukung dan fasilitas penunjang yang ramah
perempuan, misalnya lampu penerangan yang memadai untuk di jalan dan di jembatan
penyeberangan, anak-anak tangga jembatan penyeberangan yang tidak terlalu tinggi,
trotoar yang nyaman bagi pejalan kaki dan dapat diakses oleh pemakai kursi roda, di
stasiun dan terminal disediakan toilet yang dapat diakses pemakai kursi roda,
menyediakan toilet untuk perempuan lebih banyak daripada toilet untuk laki-laki karena
perempuan lebih sering ke toilet terkait dengan siklus reproduksinya, toilet untuk
perempuan dilengkapi dengan tempat mengganti popok bayi, dsb.
Tidak merusak dan mengganggu fungsi sarana angkutan umum, fasilitas pendukung,
dan fasilitas penunjangnya.
18
Berperilaku humanis misalnya memberikan tempat duduk pada perempuan hamil dan
manusia usia lanjut, tidak merokok dalam angkutan umum, dsb.
Tidak melakukan tindakan melanggar hukum seperti melakukan pelecehan, kekerasan,
perampasan harta benda penumpang lain, dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Amy Dunckel-Graglia & SUNY Stony Brook; 2013; Journal of Public Transportation,
Volume 16 Number 2 2013 p.85-105; Women-Only Transportation: How “Pink”
Public Transportation Changes Public Perception of Women’s Mobility.
Andy Stirling; 2008; Science, Technology, & Human Values Volume 33 Number 2 March
2008 262-294; “Opening Up” and “Closing Down” Power, Participation, and
Pluralism in the Social Appraisal of Technology.
Ashadi Siregar; 1990; Peran Pers dalam Era Pembangunan; disampaikan pada Seminar
Upaya untuk Mencapai Rasio UNESCO, Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Cabang
Jawa Timur, Surabaya 10 Januari 1990.
Edie Toet Hendratno; 2009; Mimbar Hukum Volume 21, Nomor 3, Oktober 2009,
Halaman 409-628, Masalah Transportasi Kota Dilihat dengan Pendekatan Hukum,
Sosial, dan Budaya.
Erika Harris; 2012; Tools and Policies for Promoting Social Equity in Seattle Transit
Communities; Prepared for the Seattle Planning Commission; University of
Washington.
http://www.un.org/esa/dsd/resources/res_docucsd_18.shtml
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI,
http://www.menegpp.go.id
Kementerian Perhubungan RI; 2010; Panduan Pengintegrasian Aspek Gender dalam
Perencanaan dan Penganggaran Kementerian Perhubungan.
Kerry Hamilton; Linda Jenkins; Frances Hodgson; Jeff Turner; 2005; Promoting Gender
Equality in Transport; http://www.eoc.org.uk/research
Komnas Perempuan; 2011.
Maam Lumanglas; 5 Juli 2008; Gender and Geography.
Margarida Queirós & Nuno Marques da Costa; 2012; Knowledge on Gender Dimensions
of Transportation in Portugal; Dialogue and UniversalismE Volume 3, Number
1/2012.
Marie Thynell; 2007; Social Indicators for Public Transport; Peace and Development
Research School of Global Studies University of Gothenburg Sweden.
Marie Thynell; tanpa tahun; Social Equity and Gender, The Benefits of NMT; Peace and
Development Research School of Global Studies University of Gothenburg Sweden.
Melanie Lambrick & Liliana Rainero; Februari 2010; Safe Cities; Red Mujery Habitat
Latina America & Women in Cities International.
19
Merritt Polk; tanpa tahun; p.180-188; Integration of Gender Equality into Transport Policy
and Practice; Research on Women’s Issues in Transportation; Göteborg University,
Sweden.
Nandita Bhatla; tanpa tahun; Gender-Based Violence in Public Spaces: Consequences and
Cost; International Centre for Research on Women.
Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan 2011-2035.
Setijowarno, Djoko; 2013; Mimpi Menjadikan Transportasi Jakarta untuk Dunia,
Bercermin Transportasi Solo yang Telah Menjadi Panutan Kota-Kota Indonesia;
disampaikan pada Diskusi Panel Terbatas Kompas “Jakarta Menuju Kota Di Tengah
Kekusutan Sistem Transportasi Publik”, Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Selasa,
11 Juni 2013.
The World Bank; 1999; Gender and Transport: A Rationale for Action.
Transport & Social Equity. Download 20 Agustus 2013.
http://www.afritest.net/index.php/test-issues/issues-gender-transport
Tony Morton; January 2008; Transport Governance Public Transport Management That
Works For Passengers, A position paper by the Public Transport Users Association
Inc. Org No. A-6256L.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
United Nations Development Programmes (UNDP); 1997; Governance for Sustainable
Human Development.
United Nations Development Programmes (UNDP); 2012;
http://hdr.undp.org/en/statistics/gii/
World Health Organisation; http://www.who.int/en/
Yael Hasson & Marianna Polevoy; 2011; Gender Equality Initiatives in Transportation
Policy, A Review of the Literature.
20