Anda di halaman 1dari 18

A.

DASAR PEROLEHAN HAK MILIK ATAS TANAH


Hak milik adalah hubungan antar subjek dan benda yang memberikan
wewenang kepada subjek untuk mendayagunakan dan/atau mempertahankan
benda tersebut dari tuntutan pihak lain. Mendayagunakan mengandung arti
melakukan segala tindakan berkenaan dengan benda yang dimilikinya dengan
harapan mendatangkan manfaat bagi subjek yang bersangkutan, atau bahkan
subjek-subjek hukum lain. Sedangkan mempertahankan berarti melakukan segala
tindakan untuk mencegah interfensi pihak lain yang tidak berhak atas benda
tersebut31. Ketentuan umum mengenai hak milik disebut Untuk dan dalam Pasal
16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 sampai dengan
Pasal 27 UUPA. Adapun macam-macam dasar perolehan hak milik atas tanah
yani dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana yang disebUntuk an dalam Pasal
22 UUPA, yaitu:

1. Hak Milik Atas Tanah yang Terjadi Menurut Hukum Adat


Hak milik atas tanah yang terjadi dengan jalan pembukaan tanah
(pembukaan hutan) akan terjadi karena timbulnya lidah tanah (Aansbbling) . yang
dimaksud dengan pembukaan tanah adalah pembukaan tanah yang dilakukan
secara bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua
adat melalui tiga sistem penggarapan yaitu, matok gilah matok galeng, matok
sirah gilir galeng, dan sistem blubaran. Yang dimaksud dengan lidah tanah adalah
pertumbuhan tanah di tepi sungai, danau atau laut, tanah yang tumbuh demikian
itu diangggap menjadi kepunyaan orang yang memiliki tanah yang berbatasan ,
karena biasanya pertumbuhan tersebut sedikit banyak terjadi karena usahanya.
Dengan sendirinya terjadi hak milik, dengna demikian itu juga melalui suatu
proses pertumbuhan memakan waktu.

2. Hak Milik Atas Tanah yang Terjadi Karena Penetapan Pemerintah


a. Hak milik atas tanah yang terjadi disini semula berasal dari tanah negara.
Hak milik atas tanah ini terjadi karena permohonan pemberian hak milik
atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah
ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) apabila semua persyaratan
yang telah ditentukan dipenuhi pemohon, maka Badan Pertanahan Nasional
menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib
didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota
setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat hak milik atas
tanah. Pendaftaran SKPH menandai telah lahirnya hak milik atas tanah.

b. Hak Milik Atas Tanah Terjadi Karena Ketentuan Undang-Undang


Hak milik atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang
menciptakannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal I, Pasal II dan Pasal VII
ayat (1) ketentuan-ketentuan konversi UUPA. Yang dimaksud denga konversi
adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak
atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas
tanah yang ditetapkan dalam UUPA (Pasal 16 UUPA). Hak milik atas tanah juga
dapat terjadi melalui dua cara yaitu:
1) Secara originair yaitu terjadinya hak milik atas tanah pertama kalinya
menurut hukum adat, penetapan pemerintah, dan karena UU.
2) Secara derivatif yaitu, suatu subjek hukum memperoleh tanah dari subjek
hukum lain yang semula sudah berstatus tanah hak milik, misalnya jual-beli,
tukar-menukar, hibah, pewarisan, dengan terjadinya perbuatan hukum atas
peristiwa hukum tersebut, maka hak milik atas tanah yang sudah ada beralih
atau berpindah dari subjek hukum yang sah kepada subjek hukum yang lain.

c. Dasar perolehan Hak Milik Karena Peralihan Hak Milik Atas Tanah
Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu
hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dua bentuk peralihan hak
milik atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Beralih
Beralih artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada
pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. Dengan demikian meninggalnya
pemilik tanah, maka Hak Miliknya secara hukum berpindah kepada ahli warisnya
sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
Beralihnya hak milik atas tanah yang sudah bersertifikat harus didaftarkan
Ke Kantor Pertanahan Kabupaten Atau Kota/setempat dengan melampirkan surat
keterangan kematian pemilik tanah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang ,
bukti identitas para ahli waris, sertifikat tanah bersangkutan. Maksud pendaftaran
peralihan hak milik atas tanah ini adalah untuk dicatat dalam buku tanah dan
dilakukan perubahan nama pemegang hak dari pemilik tanah kepada para ahli
warisnya.
Prosedur pendaftaran peralihan hak karena beralihnya hak milik atas tanah diatur
dalam Pasal 42 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 111
dan Pasal 112 Permen Agraria Kepala BPN No 3 tahun 1997 tentang ketentuan
pelaksanaan PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

2) Dialihkan/pemindahan hak
Dialihkan/pemindahan hak artinya berpindahnya Hak Milik Atas Tanah
dari pemiliknya kepihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Contoh
perbuatan hukum adalah jual-beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan (pemasukan)
dalam modal perusahaan, lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah karena
dialihkan /perpindahan hak harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali lelang dibuktikan
dengan Berita Acara Lelang yang di buat oleh pejabat dari kantor lelang.
Berpindahnya hak milik atas tanah ini harus didaftarkan dalam Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan
perubahan nama dari sertifikat pemilik tanah yang lama kepada pemilik tanah
yang baru.
Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena jual-beli, tukar-menukar,
hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 37
sampai dengan Pasal 40 PP No.24 tahun 1997 jo. Pasal 97 sampai dengan Pasal
106 Permen Agraria /Kepala BPN No. 3 tahun 1997. Prosedur pemindahan hak
karena lelang diatur dalam Pasal 41 PP 24 tahun 1997 jo. Pasal 107 sampai
dengan Pasal 110 apermen Agraria/Kepala BPN no 3 tahun 1997.36
Agar mendapat kepastian hukum seluruh dasar pemerolehan hak atas tanah
tersebut harus didaftarkan sehingga akan diterbitkan sertifikat hak milik atas
tanah. Menurut Pasal 1 Poin 20 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang memuat data yuridis dan data fisik
objek yang didaftarkan untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah milik atas
satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan
dalam buku tanah yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian merupakan alat bukti
yang kuat, berarti bahwa selama tidak dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar
sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan
buku tanah yang bersangkutan.
Kepala desa sebagai bagian dari aparat pemerintah pada tingkatan paling
bawah memiliki peranan yang sangat penting dalam ikut menunjang tercapainya
kepastian hukum hak atas tanah. Dalam PP No. 24 tahun 1997, Kepala Desa
mempunyai tugas-tugas strategis dalam membantu penyelenggaraan pendaftaran
sertifikat hak atas tanah yaitu:
1) Sebagai panitia adjudikasi yaitu pembantu pelaksanaan pendaftaran tanah
(Pasal 8 ayat 2 PP 24/1997). Dalam pelaksanaan tanah secara sistematik,
kepala kantor pertanahan dibantu oleh panitia adjudikasi, diaman anggotanya
terdiri dari Pegawai Badan Pertanahan Nasional, Kepala Desa/Kelurahan,
dapat ditambah anggota yang bersal dari tetua adat yang dianggap
mengetahui benar riwayat/kepemilikan bidang-bidang tanah , terutama daerah
yang masih kuat hukum adatnya.
2) Berwenang untuk membuat surat keterangan yang menguatkan sebagai alat
bukti hak (Pasal 39 ayat 1 PP 24/1997). Dalam hal keperluan pendaftaran hak
,hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan denga
alat-alat bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftarkan
hak. Dalam hal ini diperlukan surat keterangan desa atau kelurahan yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah secara fisik
selam 20 tahun atau lebih berturut-turut (Pasal 24 ayat 2).
3) Dalam pendaftaran tanah karena kewarisan Kepala Desa berhak membuat
surat keterangan yang membenarkan surat bukti hak sebagai ahli waris (Pasal
39 ayat 1)
4) Dalam Pasal 1 angka 24 PP No. 24 tahun 1997 disebUntuk an bahwa PPAT
sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenagan untuk membuat akta-akta
tanah tertentu sebagai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan , yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah, dan
hak milik atas satuan rumah susun, dan akta pemberian kuasa untuk
membebankan hak tanggungan. Berdasarkan Pasal 2 PP No. 37 tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyebUntuk an
bahwa tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran hak atas tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
milik atas satuan rumah susun , yang dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum
yakni jual beli, hibah, pembagian hak bersama, pemberian hak guna
bangunan atau hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan dan
pemberian kuasa memberikan hak tanggungan

B. CARA MEMPEROLEH TANAH


1. Tanah Negara
a. Pemberian Tanah Negara
Pemberian hak atas tanah Negara adalah pemberian hak atas tanah yang
dikuasai langsung oleh negara kepada seseorang ataupun beberapa orang bersama-
sama atau suatu badan hukum.
Selanjutnya, pihak yang dapat mempunyai hak atas tanah diatur dalam Pasal 9
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria yang menyatakan bahwa :

tiap-tiap warga negara Indonesia, baik Laki-laki maupun perempuan mempunyai


kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah untuk mendapat
manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Sedangkan yang bukan warga negara Indonesia atau badan hukum asing
yang mempunyai perwakilan di Indonesia sangat dibatasi, hanya hak pakai atau
hak sewa saja. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 45 Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Untuk badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia dapat mempunyai semua hak atas tanah kecuali hak milik yang
terbatas pada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b dan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Lebih lanjut mengenai cara memperoleh tanah, diatur dalam Pasal 1 angka 5
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan
Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara, menjelaskan bahwa:
Pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang memberikan
suatu hak atas tanah negara termasuk perpanjangan jangka waktu hak dan
pembaharuan hak. Sedangkan tanah negara adalah tanah yang tidak
dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Tanah Negara yang belum dilekati hak sebelumnya bisa diperoleh atau
diberikan berdasarkan penetapan pemerintah berdasarkan ketentuan yang berlaku.

b. Dasar Hukum Cara Memperoleh Tanah Negara


Kewenangan pemberian hak atas tanah dilaksanakan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara, yang
menyatakan bahwa :

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menetapkan


pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum.

Selanjutnya, Pasal 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN


nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara, yang menyatakan
bahwa :
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional memberikan
keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak
dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III”.

selain dari pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 3 Tahun
1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak atas Tanah Negara di atas, dasar hukum tata cara memperoleh
tanah Negara juga diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah dan Hak Pengelolaan.

c. Tata Cara/Prosedur Permohonan Hak Atas Tanah Negara


Tata cara permohonan hak atas tanah dalam hal ini Tanah Negara diawali
dengan syarat-syarat bagi pemohon. dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah dan Hak Pengelolaan menentukan bahwa :
Pemohon hak atas tanah mengajukan permohonan hak milik atas tanah
negara secara tertulis, yang diajukan kepada Menteri melalui Kepala
Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya melikputi letak tanah yang
bersangkutan. Dalam permohonan tersebut memuat keterangan mengenai
pemohon, keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan
data fisik serta keterangan lainnya berupa keterangan mengenai jumlah
bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon termasuk
bidang tanah yang dimohon serta keterangan lain yang dianggap perlu.

Permohonan hak tersebut di atas, diajukan kepada Menteri Negara Agraria


melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan untuk diproses lebih lanjut berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Setelah berkas permohonan
diterima, Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan tahap pendaftaran, yaitu
sebagai berikut :
a) Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.
b) Mencatat dalam formulir isian.
c) Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian
d) Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan
untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Syarat dan berkas permohonan hak atas tanah yang telah lengkap dan telah
diproses sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah maka diterbitkanlah Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah yang dimohon kemudian dilakukan pendaftaran haknya ke Kantor
Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, untuk
diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda lahirnya hak atas tanah tersebut.
untuk referensi lainnya baca juga Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Prosedur
Penerbitan Sertifikat Tanah

2. Tanah Hak
a. Pengertian Tanah Hak
Tanah Hak adalah tanah yang sudah dilekati atau dibebani dengan suatu
hak tertentu. Tanah Hak tersebut misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha, atau Hak Pakai. Tanah Hak dapat diperoleh dengan cara pelepasan
hak atas tanah/pembebasan tanah, pemindahan hak atas tanah, dan pencabutan hak
atas tanah.

b. Pelepasan /Pembebasan Tanah


Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah merupakan 2
(dua) cara untuk memperoleh tanah hak, di mana yang membutuhkan tanah tidak
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah
adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan
tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
Sedangkan pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula
diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti rugi.
Kedua perbuatan hukum di atas mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya
pembebasan hak atas tanah adalah dilihat dari yang membutuhkan tanah, biasanya
dilakukan untuk lahan tanah yang luas, sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat
dari yang memiliki tanah, dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk
kepentingan pihak lain. Semua hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela
kepada Negara. Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas
tanah. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyatakan bahwa:
“Hak milik hapus bila:
a) tanahnya jatuh kepada Negara:
1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3. karena diterlantarkan
4. karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2
b) tanahnya musnah.”

c. Pemindahan Hak Atas Tanah


Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak-hak
atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Pemindahan
hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara jual beli, hibah, tukar menukar,
pemasukan dalam perusahaan, dan lain sebagainya.
Cara memperoleh tanah dengan pemindahan hak atas tanah ditempuh
apabila yang membutuhkan tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak
atas tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan, yaitu apabila tanah yang tersedia
adalah tanah hak lainnya yang berstatus HM, HGU, HGB, dan Hak Pakai maka
dapat digunakan cara perolehan tanahnya melalui pemindahan hak misalnya
dalam bentuk jual beli tanah, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan,
dan lain sebagainya.
d. Pencabutan Hak Atas Tanah
Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah diatur oleh Undang-
undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dalam
Pasal 18 yang menyatakan bahwa:

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta


kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.

Undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 18 di atas adalah Undang-


undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-
Benda yang Ada di Atasnya, dengan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 39 tahun1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh
Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-
Benda yang Ada di Atasnya, dan Inpres No. 9 tahun 1973 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.
Ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria ini merupakan pelaksanaan dari asas dalam Pasal 6
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria yaitu bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Sejalan dengan Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria di atas, Effendi Perangin (1981: 38)
menambahkan bahwa:
Pencabutan hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria adalah pengambil-alihan
tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang
mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan
melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu
kewajiban hukum. Pencabutan hak atas tanah merupakan cara terakhir
untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi pembangunan untuk
kepentingan umum setelah berbagai cara melalui musyawarah tidak
berhasil.

C. PEROLEHAN TANAH DALAM SUATU SISTEM MENURUT HUKUM


TANAH NASIONAL
1. Asas Perolehan Tanah
a. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan
oleh Hukum Tanah Nasional;
b. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya
(illegal) tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana;
c. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang
disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh hukum
terhadap gangguan-gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama
anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika
gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
d. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang
disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh hukum
terhadap gangguan-gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama
anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika
gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
e. Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk
menanggulangi gangguan yang ada, yaitu:
1) Gangguan oleh sesama anggota masyarakat: gugatan perdata
melalui Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada
Bupati/ Walikotamadya menurut UU No. 51 Prp Tahun 1960.
2) Gangguan oleh penguasa: gugatan melalui Pengadilan Umum
atau Pengadilan Tata Usaha Negara
f. Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum)
perolehan tanah yang dihaki seseorang harus melalui musyawarh
untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tahanya
kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang
merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk
menerimanya.
g. Dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan
tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh
pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah
kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya,
termasuk juga penggunaan lembaga “penawaran pembayaran yang
diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri” seperti yang
diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata.
h. Bahwa dalam keadaan memaksa, jika tanah yang bersangkutan
diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, dan tidak
mungkin menggunakan tanah yang lain, sedang musyawarah yang
diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan
pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan
pemegang haknya, dengan menggunakan acara pencabutan hak yang
diatur dalam UU No 20 Tahun 1961.
i. Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar
kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang
haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan
hanya meliputi tanahnya, bangunan, dan tanaman pemegang hak,
melainkan juga kerugian-kerugian lain yang dideritanya sebagai
akibat penyerahan tanah yang bersangkutan
j. Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga
jika tahannya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan
pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang
haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial
maupun tingkat ekonominya.

2. Tanah Hak Pengelolaan


a. Konversi
1) Hak Eigendom menjadi Hak Milik jika pemiliknya pada tanggal
24 September 1960 WNI tunggal.
2) Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, dikonversi menjadi Hak
Guna Bangunan
3) Hak Eigendom kepunyaan pemerintah negara asing digunakan
untuk kediaman duta besar atau gedung kedutaan
4) dikonversi menjadi hak pakai yang akan berlangsung selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut.
5) Hak milik adat dikonversi menjadi Hak Milik jika pemiliknya
pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia
tunggal
6) Jika syarat tersebut tidak dipenuhi dikonversi menjadi HGB jika
tanah untuk bangunan atau dikonversi menjadi HGU untuk
tanah pertanian dengan jangka waktu 20 tahun
7) Hak Erfpacht untuk perkebunan besar menjadi Hak Guna Usaha
yang berlangsung selama sisa jangka waktunya tetapi selama-
lamanya 20 tahun
8) Hak Erfpacht untuk perkebunan besar menjadi Hak Guna Usaha
yang berlangsung selama sisa jangka waktunya tetapi selama-
lamanya 20 tahun
9) Hak Erfpacht untuk perumahan dan Hak Opstal menjadi Hak
Guna Bangunan, yang berlangsung selama sisa waktunya, tetapi
selama-lamanya 20 tahun
10) Hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana hak pakai
dikonversi menjadi Hak Pakai
11) Hak gogolan yang bersifat tetap menjadi Hak Milik, sedang
yang tidak tetap menjadi Hak Pakai.

D. BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN UNTUK


MENENTUKAN TATA CARA PEROLEHAN TANAH
1. Proyeknya
2. Lokasinya
3. Status tanah yang tersedia
b. segi fisik: letak, batas-batasnya dan luas
c. segi yuridis: jenis hak, pemegang haknya, hak-hak pihak ke tiga
4. Kesediaan pemegang hak melepaskan hak atas tanah
5. Status hukum calon pemegang hak atas tanah

E. IJIN LOKASI & PEROLEHAN SERTA PEMILIKAN HAK ATAS


TANAH OLEH BADAN HUKUM.
UUPA & peraturan perundang2an di bidang pertanahan telah menetapkan
bahwa hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh badan hukum adalah:
1. Hak Guna Bangunan (HGB);
2. Hak Pakai (HP);
3. Hak Guna Usaha (HGU); &
4. Hak Penglolaan (HPL).
Peraturan Menteri ATR/BPN 5/2015 ttg Ijin Lokasi (PM ATR/BPN
5/2015), pasal 2 ayat 1 menetapkan :

“Setiap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal


wajib mempunyai ijin lokasi untuk memperoleh tanah yang diperlukan
untuk melaksanakan rencana penanaman modal ybs”.

Yang dimaksud dengan “PENANAMAN MODAL” adalah segala bentuk


kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun
pemanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Republik
Indonesia (ps 1 angka 4).

Yang dimaksud “IJIN LOKASI” adalah ijin yang diberikan kepada


perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka
penanaman modal yang berlaku pula sbg ijin pemindahan hak, & Untuk
menggunakan tanah tsb guna keperluan usaha penanaman modalnya. (Ps 1
angka 1).

Selanjutnya ps 2 ayat 2 dg tegas mengatur & menetapkan bahwa:

“Pemohon ijin lokasi ‘dilarang’ melakukan kegiatan memperoleh tanah


sebelum ijin lokasi ditetapkan”.

Dari ketentuan tsb diatas, jelas & tegas bahwa setiap perusahaan yang
akan memperoleh tanah melalui pembelian maupun melalui permohonan hak atas
tanah yang baru “diwajibkan” mengurus & memperoleh ijin lokasi terlebih
dahulu, serta sebelum perusahaan memperoleh ijin lokasi, maka perusahaan
‘dilarang’ melakukan pembebasan atau pembelian dg cara apapun terhadap bidang
tanah yang diinginkan. Konsekwensi dari aturan tsb diatas adalah “PPAT &
Notaris dilarang pula membuat akta untuk perolehan & pemilikan hak atas tanah
yang akan dimiliki oleh badan hukum/perusahaan tanpa memiliki ijin lokasi”.

PM ATR/BPN 5/2015 ps 2 ayat 3, telah memberi “pengecualian terhadap


kewajiban pemilikan ijin lokasi pada perusahaan/badan hukum yang akan
memperoleh & membeli bidanh tanah”, dg ketentuan sbb:

“IJIN LOKASI TIDAK DIPERLUKAN & DIANGGAP SUDAH DIPUNYAI


OLEH PERUSAHAAN YBS DALAM HAL-HAL SBB:

1. Tanah yang akan diperoleh, merupakan ‘pemasukkan’ (inbreng) dari para


pemegang saham;
2. Tanah yang diperoleh, merupakan tanah yANg sdh dikuasai oleh perusahaan
lain dlm rangka melanjUntuk an pelaksanaan sebagian atau seluruh rencana
penanaman modal perusahaan lain tsb, & untuk itu telah memperoleh
persetujuan dari instansi yang berwenang;
3. Tanah yang akan diperoleh, diperlokan dlm rangka melaksanakan usaha
industri dlm suatu kawasan industri;
4. Tanah yang akan diperoleh, berasal dari otorita atau badan penyelenggara
pengembangan suatu kawasan industri;
5. Tanah yang akan diperoleh, diperlukan Untuk perluasan usaha yang sdh
berjalan & Untuk perluasan itu telah memperoleh ijin perluasan usaha sesuai
ketentuan yang berlaku, sedangkan letak tanah tsb berbatasan dg lokasi usaha
ybs;
6. Tanah yang diperlukan, Untuk melaksanakan rencana penanaman modal :
a. tidak lebih dari 25 hektar Untuk
b. usaha pertanian; dan
c. tidak lebih dari 10.000 m2 Untuk
d. usaha bukan pertanian; atau
7. Tanah yang diperlukan, Untuk melaksanakan rencana penanaman modal
merupakan tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan ybs melalui peralihan
hak dari perusahaan lain, dg ketentuan bahwa tanah tsb terletak dilokasi yang
menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi
penggunaan yang sesuai dg rencana penanaman modal ybs.
Ijin lokasi diberikan Untuk jangka waktu 3 tahun & perolehan tanah oleh
pemegang ijin lokasi harus diselesaikan dlm jangka waktu ijin lokasi, ijin
lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya sama 1 tahun apabila pemegang
ijin lokasi telah memperoleh 50% atau lebih dari luas tanah yang ditunjuk
dlm ijin lokasi, akan tetapi apabila perolehan tanah tidak mencapai 50% maka
ijin lokasi tidak dapat diperpanjang. (ps 5 ayat 1, 2, 3, & ayat 5).

Dalam hal perolehan tanah dlm jangka waktu ijin lokasi (3 tahun) tidak dapat
diselesaikan, maka: (ps 5 ayat 6 & ayat 7)
1. Tanah yang sdh diperoleh dipergunakan Untuk melaksanakan rencana
penanaman modal dg penyesuaian mengenai luas pembangunan yang
merupakan satu kesatuan bidang;
2. Perolehan tanah dpt dilakukan lagi oleh pemegang ijin lokasi terhadap tanah
yang berada diantara tanah yang sdh diperoleh sehingga merupakan satu
kesatuan bidang tanah;
3. Dalam hal perolehan tanah kurang dari 50% dari luas tanah yang ditunjuk
dlm ijin lokasi, tanah yang telah diperoleh dilepaskan kepada perusahaan
atau pihak lain yang memenuhi syarat.

Pemegang ijin lokasi “hanya diperbolehkan” memperoleh tanah yang


berada dalam peta sesuai ijin lokasi & tanah yang diperoleh yang betada diluar
peta dlm ijin lokasi tidak dapat diproses dimohonkan & tidak dapat diberi hak
atas tanahnya (ps 6 ayat 2 & ayat 3)
Dengan demikian, PPAT atau Notaris hanya dapat membuat akta
perolehan tanah & pemindahan hak atas tanah apabila:
1. Perusahaan tsb mempunyai ijin lokasi yang masih berlaku dan tanah yang
akan diperoleh tsb letaknya berada dalam peta yang terdapat dlm ijin lokasi,
atau apabila ijin lokasi telah berakhir, tanah yang akan diperoleh terletak
diantara tanah2 yang sdh diperoleh/dibebaskan/dibeli yang terletak dlm peta
ijin lokasi;
2. Perusahaan “tidak wajib mempunyai ijin lokasi”, apabila Untuk memperoleh
tanah dan membeli tanah, syaratnya tanah yang akan diperoleh/dibeli tsb
memenuhi ketentuan ps 2 ayat 3 PM ATR/BPN 5/2015.
Ps 4 PM ATR/BPN menetapkan “BATAS MAKSIMUM TANAH YANG
DAPAT DIMILIKI OLEH SUATU PERUSAHAAN/BADAN HUKUM,
BAIK UNTUK 1 PERUSAHAAN MAUPUN UNTUK 1 GROUO
PERUSAHAAN” sbb:
a. Untuk Perumahan & Pemukiman:
1) Kawasan perumahan pemukiman:
1 provinsi = 400 ha
seluruh RI = 4.000 ha
2) Kawasan Resort Perhotelan:
1 provinsi = 200 ha
seluruh RI = 4.000 ha
3) Untuk Usaha Kawasan Industri :
1 provinsi. = 400 ha
seluruh RI = 4.000 ha
4) Untuk Usaha Perkebunan, yang diusahakan dalam perkebunan
besar dpt diberikan HGU:
a. Komoditas Tebu:
1 provinsi. = 60.000 ha
seluruh RI = 150.000 ha
b. Komoditas Pangan lainnya:
1 provinsi. = 20.000 ha
seluruh RI = 100.000 ha
5) Untuk Usaha Tambak:
a. di pulau Jawa:
1 provinsi. = 100 ha
seluruh RI = 1.000 ha
b. di luar pulau Jawa:
1 provinsi. = 200 ha
seluruh RI = 2.000 ha
6) Khusus Untuk provinsi Papua & Papua Barat, maksimum luas
penguasaannya adalah 2 x max luas penguasaan tanah Untuk 1
provinsi tsb diatas.
7) Ketentuan batas max luas penguasaan tanah tsb diatas TIDAK
BERLAKU bagi:
a) BUMN yang berbentuk PERUM;
b) BUMD;
c) Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Negara, pemerintah pusat maupun daerah;
d) Badan Usaha go publik (Tbk).

Anda mungkin juga menyukai