Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi PPOK


The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2017
mendefiniskan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang persisten dan
biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronis
saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Karakteristik hambatan
aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu
(gambar 1). Perubahan ini tidak selalu terjadi bersamaan, namun memiliki kecepatan yang
berbeda. Inflamasi kronis menimbulkan perubahan struktural dan penyempitan saluran nafas
kecil. Destruksi dari parenkim paru yang juga disebabkan oleh proses peradangan menyebabkan
hilangnya perlekatan alveolus terhadap jalan nafas kecil dan menurunkan elastisitas paru,
sehinga perubahan tersebut mengurangi kemampuan jalan napas untuk tetap terbuka saat
ekspirasi. Hilangnya fungsi saluran pernapasan kecil selain dapat menyebabkan keterbatasan
aliran udara juga dapat menyebabkan disfungsi mukosiliar yang merupakan ciri khas penyakit
ini. (GOLD, PDPI)
Pada PPOK, emfisema dan bronkitis kronis sering ditemukan bersama, meskipun
keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi, menurut GOLD dan PDPI, emfisema dan
bronkitis kronis tidak dimasukkan pada definisi PPOK. Emfisema merupakan suatu diagnosis
patologis sedangkan bronkitis kronik merupakan suatu diagnosis klinis. Emfisema merupakan
suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus
alveolaris serta destruksi dinding alveolar. Isitilah ini sering (tapi tidak tepat) digunakan secara
klinis dan hanya menjelaskan satu dari beberapa kelainan struktural pada pasien PPOK.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan atau istilah klinis dan epidemiologi yang ditandai
oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik selama 3
bulan dalam 2 tahun berturut-turut, Gejala pernapasan kronis juga dapat terjadi pada individu
dengan spirometri normal dan sejumlah besar perokok tanpa adanya hambatan aliran udara
memiliki bukti adanya gangguan struktural paru yang manifestasinya dapat bervariasi menjadi
emfisema, penebalan dinding saluran pernapasan dan gas trapping.4,5

2.2 Epidemiologi PPOK


PPOK merupakan masalah kesehatan global. Data prevalensi, morbiditas dan mortalitas
berbeda di tiap negara namun secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan
pada beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu, gas dan partikel berbahaya.
GOLD memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada tahun 1990 akan
meningkat menjadi penyebab kematian ke-3 pada tahun 2020 mendatang di seluruh dunia. Data
yang ada menunjukkan bahwa komorbiditas karena PPOK meningkat dengan usia dan lebih
besar pada pria dibandingkan wanita. PPOK mengenai lebih dari 16 juta orang di Amerika
Serikat, lebih dari 2,5 juta orang di Italia, lebih dari 30 juta di seluruh dunia dan menyebabkan
2,74 juta kematian pada tahun 2000. Angka kesakitan secara klasik didasarkan pada jumlah
kunjungan ke dokter, ruang gawat darurat, dan rawat inap. Kesakitan yang diakibatkan oleh
PPOK juga dipengaruhi oleh penyakit penyerta (komorbid) yang secara tidak langsung
berhubungan dengan PPOK. (PDPI. GOLD 2008, GOLD 2001)
Di Indonesia, PPOK merupakan masalah kesehatan umum da menyerang sekitar 10%
penduduk usia 40 tahun ke atas. Jumlah kasus PPOK memiliki kecenderungan untuk meningkat.
Indonesia sendiri masih belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini, hanya Survei Kesehatan
Rumah Tangga Depkes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma
bronkial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.6

2.3 Patologi, Patogenesis dan Patofisiologi PPOK


Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di saluran
napas dan paru pada pasien PPOK. Respon inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan
jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema, dan mengganggu mekanisme pertahanan yang
mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara
terperangkap dan keterbatasan aliran udara yang progresif.
Gambar 1.

2.3.1 Patologi
Karakteristik perubahan patologis pada pasien PPOK dapat ditemukan di saluran napas
proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan pembuluh darah paru. Perubahan patologis akibat
inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi di berbagai bagian paru yang
menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan mekanisme repair berulang.
Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran napas akan tetap berlangsung sesuai
dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti merokok. Inflamasi kronis dapat terjadi dan
berperan dalam terjadinya berbagai kondisi komorbid yang dapat ditemukan pada pasien dengan
PPOK.

2.3.2 Patogenesis
Inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan pasien PPOK merupakan suatu perubahan
respon inflamasi normal saluran pernapasan terhadap iritasi kronis. Mekanisme yang
memperburuk inflamasi tersebut belum sepenuhnya dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor
genetik. Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini
belum diketahui. Inflamasi pada paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase.
Stres oksidatif
Stres oksidatif berperan penting dalam mekanisme pemberat PPOK. Biomarker stres oksidatif
seperti hydrogen peroksidase, 8-isoprostane meningkat dalam hembusan napas, sputum dan
sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang dihirup lainnya dilepaskan dari sel-
sel inflamasi yang aktif seperti makrofag dan neutrophil.
Ketidakseimbangan protease-Antiprotease
Terdapat bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease yang memecah komponen jaringan
ikat dan antiprotease yang berkerja sebaliknya pada pasien PPOK. Beberapa protease berasal
dari sel inflamasi dan sel epitel yang meningkat pada pasien PPOK dan saling berinteraksi.
Protease menyebabkan hancurnya elastin yang menjadi komponen utama jaringan penghubung
dalam parenkim paru yang menjadi faktor penting terjadinya emfisema.
Sel Inflamasi
PPOK dikarakteristikkan dengan peningkatan jumlah makrofag di saluran nafas perifer,
parenkim paru dan pembuluh darah paru, bersamaan dengan meningkatnya neutrofil aktif dan
limfosit yang meliputi Tc1, Th1, Th17 dan sel ILC13. Pada beberapa pasien juga terdapat
peningkatan eosinofil, Th2 atau sel ILC2 khususnya yang secara klinis juga menderita asma.
Semua sel inflamasi tersebut bersama dengan sel epitel dan sel struktural lainnya melepaskan
berbagai macam mediator inflamasi.
Mediator Inflamasi
Berbagai macam mediator inflamasi ditemukan meningkat pada pasien dengan PPOK. Mediator
inflamasi tersebut juga bekerja dengan menarik berbagai macam sel inflamasi dari sirkulasi
(faktor kemoataktik), mempercepat proses inflamasi (sitokin pro inflamasi) dan memicu
perubahan struktural (growth factor).
Fibrosis Peribronkial dan Interstitial
Fibrosis Peribronkial dan interstitial ditemukan pada pasien PPOK atau perokok pasif. Produksi
growth factor yang berlebihan ditemukan pada perokok atau mendahului terjadinya inflamasi
saluran nafas pada penderita PPOK. Inflamasi mendahului berkembangnya fibrosis dan adanya
injury yang berulang pada dinding saluran napas memicu produksi jaringan fibrosis yang
berlebihan. Hal inilah yang menjadi faktor berkembangnya penyempitan saluran napas kecil dan
mendahului berkembangnya emfisema.
Gambar 2. Patogenesis PPOK

2.3.3 Patofisiologi
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK
sampai terjadinya gejala yang karakteristik. Misalnya penurunan FEV1 yang terjadi disebabkan
peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun
disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi pada emfisema.

Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping


Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran napas kecil berkorelasi dengan
penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1 merupakan gejala yang khas pada
PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan
hiperinflasi. Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas dibandingkan
dengan FEV1 berkurang, hal ini berkontribusi juga pada udara yang terperangkap yang terutama
terjadi pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan menjadi hancur ketika penyakit menjadi
lebih parah. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual
fungsional, khususnya selama aktifitas (bila kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis),
yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang
pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya dyspnea pada aktivitas.
Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi udara yang terperangkap,
sehingga dapat mengurangi gejala dan volume residu paru.
Mekanisme Pertukaran Gas
Ketidak seimbangan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia yang terjadi
karena berbagai mekanisme. Secara umum, pertukaran gas akan memburuk selama penyakit
berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA / Q). Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan
ketidakseimbangan VA/Q, dan penggunaan otot bantu pernapasan. Pada penyakit yang sudah
parah akan mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan pada
ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih memperburuk
ketidakseimbangan VA/Q.
Hipersekresi lendir
Hipersekresi lendir yang mengakibatkan batuk produktif kronis adalah gambaran dari bronkitis
kronis namun tidak selalu berkaitan dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua
pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi lendir. Hipersekresi lendir disebabkan karena
metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa
sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas oleh asap rokok atau agen berbahaya
lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi
epidermal growth factor receptor (EGFR).
Hipertensi Paru
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat proses vasokonstriksi
yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang kemudian mengakibatkan perubahan
struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan kemudian hipertrofi/ hiperplasia otot polos.
Respon inflamasi dalam pembuluh darah terlihat dengan adanya disfungsi sel endotel yang sama
terjadi seperti pada saluran pernapasan. Hilangnya elastisitas kapiler paru pada emfisema dapat
menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi hipertensi paru yang
bersifat progresif. Hal ini dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal
jantung kanan (cor pulmonale).
Eksaserbasi
Eksaserbasi dapat dipicu oleh infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri atau
virus, polusi lingkungan dan berbagai faktor yang tidak diketahui pada pasien PPOK. Selama
eksaserbasi terjadi peningkatan hiperinflasi dan gas trapping yang mengurangi aliran udara
ekspirasi sehingga menyebabkan terjadinya sesak napas yang memberat. Hal ini juga
memperburuk rasio Va/Q yang mengakibatkan terjadinya hipoksemia. Selama eksaserbasi
berlangsung terdapat bukti terjadinya peningkatan inflamasi pada saluran pernapasan. Kondisi
lain seperti pneumonia, tromboembolisme, dan gagal jantung akut dapat menyertai atau
memperparah eksaserbasi pada PPOK.
Dampak Sistemik
Sebagian besar pasien PPOK memiliki penyakit kronis dengan faktor resiko yang sama seperti
merokok, usia dan keterbatasan aktifitas yang mempengaruhi status kesehatan serta harapan
hidup. Terbatasnya aliran udara dan hiperinflasi berdampak pada fungsi jantung dan pertukaran
udara. Berbagai mediator inflamasi dalam sirkulasi berkontribusi menyebabkan terjadinya
muscle wasting dan kakeksia, yang memicu atau memberburuk penyakit komorbid seperti
ischemic heart disease, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, dan sindrom
metabolik.

Gambar 3. Mekanisme hambatan aliran udara pada PPOK(PDPI, 2010).


2.4 Faktor Risiko PPOK
PPOK disebabkan oleh interaksi kompleks antara gen dan lingkungan. Merokok merupakan
faktor resiko utama pada PPOK, namun pada perokok berat kurang dari 50% akan menderita
PPOK semasa hidupnya. Meskipun genetik berperan dalam modifikasi resiko PPOK pada
perokok, terdapat pula faktor resiko lain yang berperan. Misalnya, jenis kelamin dapat
mempengaruhi seseorang untuk merokok atau mengalami paparan pekerjaan dan lingkungan
tertentu. Status sosioekonomi dapat dikaitkan dengan berat lahir anak (karena berdampak pada
pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan pada gilirannya rentan terhadap pengembangan
penyakit ini) dan harapan hidup yang lebih lama akan memungkinkan paparan seumur hidup
lebih besar terhadap faktor risiko.
1. Genetik
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan α -1 antitrypsin sebagai
inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu
origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular
dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan
kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Meskipun kekurangan α-1 antitrypsin yang hanya
sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan
pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK.
2. Umur dan Jenis Kelamin
Umur sering disebutkan sebagai faktor resiko PPOK. Masih belum jelas apakah dengan
bertambahnya usia berhubungan dengan jumlah eksposure yang diterima selama kehidupan.
Adanya perubahan struktural pada saluran pernapasan dan parenkim paru seiring dengan
bertambahnya usia dapat pula terkait dengan terjadinya PPOK. Berbagai penelitian
sebelumnya menyebutkan bahwa prevalensi dan mortalitas PPOK lebih besar pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Namun penelitian terbaru dari negara maju melaporkan prevalensi
PPOK pada laki-laki dan perempuan hampir sama, hal ini munkin disebabkan adanya
perubahan pola merokok. Beberapa penelitian lain menyebutkan wanita lebih rentan terpapar
asap rokok daripada pria.
3. Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan pajanan
waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko untuk
terjadinya PPOK.
4. Paparan polusi
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai
penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan
bahwa terdapat rerata penurunan VEP1. Angka kematian pada perokok mempunyai nilai
yang bermaknadibandingkan dengan bukan perokok. Perokok dengan pipa dan cerutu
mempunyai morbiditi dan mortaliti lebih tinggi dibandingkan bukan perokok, tetapi masih
lebih rendah jika dibandingkan dengan perokok sigaret.
Selain paparan asap rokok, polusi lain juga dapat menjadi faktor resiko PPOK baik di dalam
maupun di luar ruangan. Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan
bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Kejadian polusi di
dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan dengan ventilasi kurang baik
merupakan faktorrisiko terpenting timbulnya PPOK, terutama pada perempuan di negara
berkembang. Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai biomass dan batubara sebagai
sumber utama energi untuk memasak, pemanas ruangan, dan keperluan rumah tangga
lainnya, sehingga populasi yang berisiko menjadi sangat banyak. Polusi di dalam ruangan
memberikan risiko lebih besar terjadinya PPOK dibandingkan dengan polusi sulfat atau gas
buang kendaraan.
5. Status Sosioekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara pasti.
Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan
faktor lain yang berhibungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan
hal ini.
6. Asma dan Hiperreaktifitas Jalan Napas
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun belum dapat
disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang
dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah
berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan
ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel.

2.5 Gambaran Klinis PPOK


Pasien dengan PPOK akan memperlihatkan kombinasi gejala dan tanda dari bronkitis
kronis, emfisema dan asma. Gejala termasuk dispnea yang memberat, intoleransi yang progresif,
dan perubahan dari status mental.3

a. Pada kelompok bronkitis kronis, gejala klasik yang timbul antara lain:
Batuk yang produktif, dengan gejala progresif dan dapat menyebabkan dispnea intermiten.
Terdapat infeksi pulmoner yang frekuen dan rekuren. Terdapat kegagalan respirasi dan
kardiak dengan edema dan peningkatan berat badan.
b. Pada kelompok emfisema, riwayatnya akan berbeda dan gejala klasiknya antara lain:
Riwayat dispnea yang lama dengan late onset dari batuk nonproduktif, terdapat relaps
mukopurulen dan kegagalan respirasi.

2.6 Diagnosis PPOK


PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang menderita sesak, batuk kronis atau produksi
sputum, dan/atau riwayat terpapar faktor risiko penyakit ini (Gambar 2.1 dan Tabel 2.1). Spirometri
diperlukan untuk diagnosis dalam konteks klinis; hasil post-bronkodilator FEV1 / FVC <0.70 menunjukkan
adanya pembatasan aliran udara persisten dan dengan demikian COPD pada pasien dengan gejala yang
tepat dan eksposur yang signifikan terhadap rangsangan berbahaya.
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
gejala berat. Pada pemeriksaan fisik tidak akan ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan:10
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi, pada masa bayi atau anak, misalnya berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi :
1. Purse-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
2. Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding
3. Penggunaan otot bantu nafas
4. Hipertropi otot bantu nafas
5. Pelebaran sela iga
6. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai. Penampilan pink puffer atau blue bloater.
- Palpasi : pada emfisema fremitus akan melemah dan sela iga akan melebar
- Perkusi : pada emfisema akan terjadi hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
- Auskultasi :
1. Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
2. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa
3. Ekspirasi akan memanjang
4. Bunyi jantung terdengar menjauh
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan spirometri
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan spirometri.
The National Heart, Lung, and Blood Institute merekomendasikan spirometri untuk
semua perokok usia 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka dengan sesak nafas, batuk,
mengi atau dahak persisten.
2. Pemeriksaan Penunjang Lain
Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis PPOK, namun beberapa tes tambahan
juga berguna untuk menyingkirkan penyakit lainnya. Foto rontgen thorax dilakukan
untuk mencari bukti adanya nodul paru, massa, atau perubahan fibrosis. Perhitungan
darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya anemia atau polisitemia. Hal
ini wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan
tanda-tanda cor pulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse oksimetri
saat istirahat, saat mengeluarkan tenaga, dan selama tidur harus dilakukan untuk
mengevaluasi adanya hipoksemia dan kebutuhan untuk oksigen tambahan.2
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun
2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat yakni sebagai berikut:9
a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis: memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea.
Terdapat paparan terhadap faktor risiko. Hasil spirometri: Normal.
b. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Hasil spirometri:
FEV1/FVC < 70%, FEV1 >= 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis: dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas
derajat sesak yakni sesak timbul saat aktivitas. Hasil spirometri: FEV1/FVC < 70%; 50% <
FEV1 < 80%.
d. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis: sesak napas ketika berjalan dan berpakaian. Eksaserbasi lebih sering terjadi.
Hasil spirometri: FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis: pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi korpulmonale
atau gagal jantung kanan. Hasil spirometri: FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.
GOLD (2011) juga memperkenalkan suatu sistem untuk meng-assess PPOK yang
mencakup segala aspek PPOK pada diri pasien. Assessment ini mencakup:11
 Assessment keluhan
Dengan menggunakan The COPD Assessment Test (CAT) atau mMRC Breathlessness Scale
untuk menilainya.

Gambar 2.2 Contoh Kuisioner mMRC3


Gambar 2.3 Contoh Kuisioner CAT3

 Assessment derajat hambatan aliran udara


Dengan menggunakan hasil spirometri post bronkodilator. Pedoman klasifikasinya adalah:
a. Derajat I: VEP1 >= 80% prediksi
b. Derajat II: 50% <= VEP1 < 80% prediksi
c. Derajat III: 30% <= VEP1 < 50% prediksi
d. Derajat IV: VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronis
 Assessment risiko serangan eksaserbasi
Untuk menilai eksaserbasi dilihat riwayat eksaserbasi dalam satu tahun terakhir dan atau hasil
spirometri. Risiko tinggi eksaserbasi disimpulkan dari dua kali eksaserbasi atau lebih dalam
setahun terakhir atau VEP1 < 50%.
 Assessement komorbid
Setelah dilakukan keempat assessment, semua data dimasukkan ke dalam matriks.
Matriks ini akan memberikan informasi mengenai kondisi personal pasien PPOK, serta
membantu kita untuk memilih jenis terapi jangka panjangnya.

Gambar 2.4 Matriks PPOK3


2.7 Penatalaksanaan PPOK
Tujuan penatalaksanaan pada pasien PPOK adalah mengatasi keluhan, mencegah
progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi excercise, meningkatkan status kesehatan,
mencegah dan mengobati komplikasi, mencegah dan mengobati eksaserbasi serta mengurangi
mortalitas. Tujuan ini dicapai melalui empat komponen penatalaksanaan, yakni: menilai dan
memonitor penyakit, mengurangi faktor risiko, penatalaksanaan PPOK stabil, dan
penatalaksanaan PPOK eksaserbasi.11
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non
farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan cara
menghentikan kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan
pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting untuk pengelolaan jangka
panjang PPOK. Karena PPOK adalak penyakit kronis inti dari edukasinya adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah keadaan yang memperburuk penyakit.10
Sedangkan pada terapi farmakologis, obat-obatan yang menjadi pilihan utama adalah
bronkodilator. Penggunaan obat lain seperti kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan
pada beberapa kondisi tertentu. Bronkodilator dapat digunakan secara tunggal ataupun
kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan adalah inhalasi, nebulizer tidak disarankan untuk
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian slow release atau long acting.12
Macam-macam bronkodilator:
a. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga dapat
digunakan untuk mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

b. Golongan beta-2 agonis


Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
digunakan sebagai monitor untuk timbulnya eksaserbasi. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk menggunakan dalam jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut.
c. Kombinasi antikolinergik dan beta-2 agonis
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda.
d. Golongan Xantin
Pengobatan pemeliharaan atau maintenance dalam jangka panjang, biasanya digunakan
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak,
bentuk suntikan bolus atau drip digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan
jangka panjang, diperlukan untuk melakukan pemeriksaan kadar aminofilin pada darah.12

Anda mungkin juga menyukai