Anda di halaman 1dari 20

BAB VI

PEMBAHASAN

Bab ini membahas analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan

pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat di IPCU RSJ Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang, yang meliputi interpretasi, diskusi hasil penelitian seperti

yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, dan keterbatasan yang ditemukan

peneliti selama berlangsungnya penelitian, serta implikasi hasil penelitian

terhadap pelayanan, pendidikan dan penelitian keperawatan.

6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik


6.1.1 Pengetahuan
Dari hasil penelitian ini diketahui secara umum sebagian besar tingkat

pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik termasuk kedalam kategori

baik 36 responden (90%). Abdalrahim, Majali, Stomberg, dan Bergbom (2010)

mengungkapkan bahwa meningkatnya pengetahuan perawat dapat mengubah

sikap terhadap suatu permasalahan tertentu dan hal ini bermanfaat bagi

pengembangan kesadaran diri perawat dalam memberikan pelayanan yang lebih

baik. Selain itu, dengan tingkat pengetahuan yang tinggi perawat juga

diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis dan meningkatkan

kemampuan dalam menangani masalah keperawatan yang sedang dihadapinya.

Oleh karena itu kiranya pengetahuan dapat menjadi suatu hal yang penting bagi

perawat dalam kapasitasnya sebagai pemberi asuhan keperawatan kepada

pasien, dengan pengetahuan yang baik diharapkan sikap dan performa yang

1
ditampilkan perawat dapat menjadi lebih berkualitas dan memberikan kepuasan

tersendiri bagi klien dan keluarga.


Dari beberapa sumber referensi yang telah dipelajari, peneliti akhirnya

meyakini bahwa pelaksanaan komunikasi terapeutik dalam praktek keperawatan

memiliki kedudukan yeng lebih penting daripada sekedar mengetahui atau tidak

tentang teori komunikasi terapeutik itu sendiri, apalah gunanya penguasaan

terhadap suatu teori tanpa adanya sikap dan kesadaran individu untuk

mengaplikasikan teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa penelitian

telah membuktikan bahwa tingginya tingkat pengetahuan perawat ternyata tidak

mempengaruhi persepsi perawat terhadap komunikasi terapeutik dan hal ini

berdampak pada kurangnya pelaksanaan praktek komunikasi terapeutik (Hasan,

2002). Oleh karena itu kiranya aplikasi dari teori yang telah dikuasai memiliki

kedudukan yang lebih penting, karena melalui aplikasi teori kiranya pelaksanaan

asuhan keperawatan yang berkualitas dapat dikembangkan. Hal ini juga dapat

dikaitkan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa perawat yang

komunikatif akan lebih disukai daripada perawat yang terampil namun

mengabaikan aspek komunikasi. Paxton, et al (1996) dalam Jasmine (2009)

menyebutkan bahwa pelaksanaan komunikasi terapeutik sesungguhnya akan

berdampak pada peningkatan kepuasan klien terhadap pelayanan kesehatan

secara keseluruhan. Meskipun penelitian Jasmine dilakukan diluar negeri, namun

kondisi ini tentu saja dapat berlaku juga di negara kita, karena pada dasarnya

setiap individu selalu berharap untuk mendapatkan perlakuan yang hangat dan

ramah terutama ketika berada dalam keadaan lemah akibat kondisi sakit.

Komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan serta

kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi

2
professional disebut sebagai komunikasi terapeutik (Purwanto, 1994).

Komunikasi terapeutik tidak dapat berlangsung dengan sendirinya, tetapi harus

direncanakan, dipertimbangkan, dan dilaksanakan secara professional.

Melakukan proses komunikasi terapeutik seorang perawat harus mengetahui

dasar, tujuan, manfaat, proses atau teknik dan tahapan komunikasi serta

melaksanakannya dengan sikap yang benar di rumah sakit (Mundakir, 2006).

6.1.2 Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan. Secara sederhana persepsi adalah memberikan makna pada hasil

serapan panca indera. Selain dipengaruhi oleh sensasi yang merupakan hasil

serapan panca indera, persepsi dipengaruhi juga oleh perhatian (attention),

harapan (expectation), motivasi dan ingatan. Secara umum tiga hal yang disebut

pertama terbagi menjadi dua faktor personal dan faktor situasional. Penarik

perhatian yang bersifat situasional merupakan penarik perhatian yang ada di luar

diri seseorang (eksternal), seperti intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan.

Secara internal, ada yang dinamakan perhatian selektif (selective attention) yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor biologis, sosiopsikologis,

dan sosiogenis.
Dari hasil penelitian ini diketahui secara umum sebagian besar persepsi

perawat tentang komunikasi terapeutik termasuk kedalam kategori cukup 28

responden (70%). Jenis pelayanan kesehatan yang biasa dilakukan pada

penanganan pasien di ruangan IPCU dimana umumnya pasien menunjukkan

berbagai gejala masalah perilaku, seperti perilaku kekerasan, kecenderungan

mencederai orang lain, agitasi, dan percobaan bunuh diri, adalah isolasi

ruangan, pemberian medika mentosa (pengobatan), pengikatan, dan

3
pembentukan tim krisis (Stuart dan Sundeen, 1998). Kesemuanya masih

mengarah pada perlindungan pada aspek keselamatan pada pasien dan juga

orang lain di sekitarya, namun belum mengarah pada aspek penyebab

kemarahan itu sendiri dan kurang memperhatikan respon fisik dan psikologis dari

pasien. Seperti pelaksanaan komunikasi terapeutik yang berusaha

mengekspresikan presepsi, pikiran dan perasaan serta menghubungkan hal

tersebut untuk mengamati dan melaporkan kegiatan yang dilakukan (Stuart and

Sundeen, 1998). Persepsi berpengaruh pada proses komunikasi karena persepsi

merupakan dasar terjadinya komunikasi. Bila terjadi kesamaan persepsi antara

komunikator dan komunikan maka pesan dapat tersampaikan sesuai dengan

yang dimaksudkan. Persepsi merupakan salah satu tahapan dari serangkaian

proses pengolahan informasi pada diri manusia atau biasa disebut dengan

komunikasi intrapersonal yaitu proses seseoarang dalam menerima informasi,

mengolahnya, menyimpannya dan menghasilkannya kembali. Dan menurut

Jalaludin Rakhmat adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan.
Komunikasi terapeutik dapat menjadi jembatan penghubung antara

perawat sebagai pemberi pelayanan dan pasien sebagai pengguna pelayanan

karena komunikasi terapeutik dapat mengakomudasi pertimbangan status

kesehatan yang dialami pasien. Komunikasi terapeutik memperhatikan pasien

secara holistic

6.1.3 Kecerdasan Emosi


Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan

emosinya dengan intelegensi (to manage our emotional life with intelligence);

menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of

4
emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian

diri, motivasi diri, empati dan keterampilan soasial (Goleman, 2002). Hasil

penelitian tingkat kecerdasan emosi perawat di IPCU RSJ Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang menunjukkan bahwa sebagian besar perawat memiliki

tingkat kecerdasan emosi cukup yaitu sejumlah 35 orang responden (87,5%).


Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain faktor

biologis, psikologis, budaya dan lingkungan. Faktor biologis berkaitan dengan

pengaturan emosi oleh fungsi fisiologis otak dimana pusat pengaturan emosi

otak adalah amigdala yang menentukan bagaimana seseorang mengekspresikan

emosinya. Faktor psikologis berkaitan dengan fungsi kognitif pikiran rasional,

konsep diri, perasaan terhadap lingkungan dan orang-orang sekitar. Faktor

budaya melatarbelakangi kecenderungan seseorang untuk mengekspresikan

emosinya. Lingkungan adalah tempat mempelajari pola-pola perilaku individu.

Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, maka lingkungan adalah tempat

belajar mengenali dan mengekspresikan emosi (Martin, 2006).


Teori lain yang selaras mengatakan bahwa kecerdasan emosi

dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah apa yang

ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Sejalan

dengan teori sebelumnya faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi

jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan

individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat terganggu dapat

dimungkinkan mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi psikologis

mencakup didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi.

Faktor eksternal adalah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan emosi

berlangsung. Faktor eksternal meliputi: 1) Stimulus itu sendiri, kejenuhan

stimulus merupakan salah-satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan

5
seseorang dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi, dan 2)

Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan

emosi. Objek lingkungan yang melatarbelakangi merupakan kebulatan yang

sangat sulit dipisahkan (Walgito, 1993).


Mayer, dalam Goleman (2003), menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi

berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman masa kanak-kanak hingga

dewasa, lebih penting lagi bahwa kecerdasan emosional dapat dipelajari,

ditingkatkan, serta dikembangkan. Semakin bertambah usia seseorang semakin

dapat menyadari perasaan diri dan orang lain. Seseorang dapat mengatur

ekspresi emosi dalam situasi sosial dan dapat berespon terhadap distress

emosional yang terjadi pada orang lain (Santrock, 2007).

6.1.4 Usia
Dari hasil penelitian ini diperoleh data bahwa responden memiliki usia

rata-rata 39,13 tahun yang berjumlah 19 responden (47.5%). Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Dedah (2001), Hasan (2002), dan Edyana (2008) yang

menyatakan bahwa pada karakteristik perawat rentang usia perawat berada

pada rentang usia dewasa pertengahan. Rentang usia tersebut dapat

dikategorikan kedalam rentang usia produktif, dimana pada rentang ini

seseorang biasanya dianggap telah cukup matang, bijaksana dan secara

psikososial kerap kali dianggap lebih mampu menyelesaikan tugas-tugas sosial

dan lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Siagian (2001) dalam

Edyana (2008) menyatakan bahwa usia berkaitan erat dengan tingkat

kedewasaan atau maturitas seseorang, hal ini dapat diartikan bahwa semakin

meningkatnya usia seseorang maka akan semakin meningkat pula kedewasaan

atau kematangan jiwanya baik secara teknis maupun psikologis. Namun pada

kenyataannya dari beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Dedah (2001)

6
disebutkan bahwa usia tidak dapat dibuktikan pengaruhnya terhadap

kemampuan perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik. Begitu juga

dengan hasil penelitian Hasan (2002) yang menyatakan bahwa usia perawat

tidak mempengaruhi persepsinya terhadap pelaksanaan komunikasi terapeutik.


Berdasarkan dari hasil penelitian ini kiranya perawat di Ruang IPCU RSJ

Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dapat diberdayakan secara maksimal guna

mendukung program-program pelayanan yang hendak dilakukan di rumah sakit.

Hal ini sebagaimana disebutkan dala Potter dan Perry (2005) bahwa karakteristik

individu pada masa dewasa pertengahan diantaranya adalah memiliki

peningkatan kebiasaan dalam berfikir rasional, memiliki pengalaman hidup dan

pendidikan yang memadai serta secara psikososial dianggap lebih mampu dalam

memecahkan tugas pribadi dan sosial. Pada rentang usia ini individu juga

cenderung lebih perhatian dan fokus terhadap pekerjaan untuk membuktikan

bahwa status sosial ekonomi yang dimilikinya telah mencapai tingkat yang

memuaskan. Sementara itu Erikson dalam Craven dan Himle (2000) yang dikutip

Bhakti (2002) juga menyebutkan bahwa tugas perkembangan yang terjadi pada

masa dewasa awal adalah membangun hubungan personal dan professional,

mengembangkan kreatifitas serta produktifitas dalam pekerjaan baik dalam

hubungan personal maupun professional. Oleh karena itu, kiranya perawat di

Ruang IPCU RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang juga perlu diberikan

kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri sesuai dengan tingkat

usia masing-masing agar lebih mampu dan lebih termotivasi dalam bekerja

sehingga dapat mendukung kemajuan dan kesuksesan pelayanan secara

keseluruhan.

7
6.1.5 Pendidikan
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa sebagian besar perawat yang

bertugas di Ruang IPCU RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang merupakan

perawat lulusan Diploma IV (D-IV) keperawatan kebawah yaitu sebanyak 31

responden (77.5%). Dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

responden memiliki pengalaman mengecap pendidikan tinggi dengan asumsi

bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya akan tinggi pula. Hal ini

sebagaimana telah diungkapkan Siagian (2001) dalam Edyana (2008) yang

menyebutkan bahwa proses pendidikan merupakan suatu pengalaman yang

berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan kualitas kepribadian

seseorang, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin besar

motivasinya untuk memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Hal ini

diperkuat oleh Kounenou, Aikaterini, dan Georgia (2001) yang menyatakan

bahwa perawat dengan tingkat pendidikan tinggi (Studi pascasarjana, seminar,

dan lain-lain) akan menunjukkan aspek kemampuan konseling yang lebih baik

dalam berkomunikasi selama berinteraksi dengan klien. Namun pada

kenyataannya, beberapa penelitian mengungkapkan kondisi yang berbeda,

seperti Hasan (2002) yang menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak memiliki

hubungan terhadap persepsi perawat tentang komunikasi terapeutik, Edyana

(2008) juga menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak ada hubungannya

dengan penerapan komunikasi terapeutik. Beberapa penelitian yang sejalan

dengan pernyataan Kounenou, Aikaterini, dan Georgia adalah penelitian Dedah

(2001) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan perawat memiliki hubungan

yang bermakna terhadap pelaksanaan komunikasi terapeutik.


Berdasarkan karakteristik perawat yang tergambar dari penelitian ini

kiranya kondisi ini juga dapat dijadikan salah-satu faktor pendukung bagi rumah

8
sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan memanfaatkan sumber daya

manusia (SDM) yang handal dari segi pendidikan dasar keperawatan.

Pendidikan berkelanjutan juga kiranya perlu didorong bagi setiap perawat agar

memiliki kemampuan yang lebih baik karena proses pendidikan berkelanjutan

dapat menunjang peningkatan pengetahuan seseorang sehingga mampu

memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap suatu permasalahan. Hal ini

sebagaimana diungkapkan Papadatou dan Anagnostopoulos (1999) dalam

Kounenou, Aikaterini, dan Georgia (2011) yang menyebutkan bahwa pendidikan

perawat melalui studi pasca sarjana, seminar dan pelatihan, membuat perawat

memperoleh pengetahuan khusus yang pada gilirannya membantu mereka untuk

memahami perilaku pasien sehingga menghasilkan kemampuan perawat yang

lebih baik dalam berkomunikasi dengan pasiennya.

6.2 Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik merupakan suatu interaksi interpersonal antara

perawat dan klien yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada

kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif

antara perawat dan klien. Keterampilan dalam menggunakan tehnik komunikasi

terapeutik membantu perawat memahami dan berempati terhadap pengalaman

klien (Videback, 2008). Tehnik komunikasi terapeutik terdiri dari mendengar,

pertanyaan terbuka, mengulangi, klarifikasi, refleksi, memfokuskan, membagi

persepsi, identifikasi tema, diam, informasi dan saran, dimana tehnik komunikasi

berfungsi untuk membantu tercapainya tujuan komunikasi (Stuart dan sundeen,

1995 dalam Nurjanah, 2005).


Hasil penelitian pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat di

ruang IPCU RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang didapatkan bahwa

sebagian besar pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat adalah cukup

9
baik yaitu 34 orang responden (85%). Faktor-faktor yang mempengaruhi

komunikasi dalam pelayanan keperawatan meliputi pengetahuan, persepsi, nilai,

emosi peran dan hubungan, serta kondisi lingkungan. Persepsi berpengaruh

pada proses komunikasi karena persepsi merupakan dasar terjadinya

komunikasi. Bila terjadi kesamaan persepsi antara komunikator dan komunikan

maka pesan dapat tersampaikan sesuai dengan yang dimaksudkan. Nilai

seseorang berkaitan erat dengan etika. Nilai yang dianut oleh perawat dalam

komunikasi berbeda dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh pasien/klien. Oleh

karena itu, perawat harus berpegang pada nilai profesionalisme dalam

berkomunikasi. Secara emosi, kekuatan emosi dipengaruhi oleh cara seseorang

mengendalikan diri dalam menunjukkan kesanggupan atau kemampuan

berhubungan dengan orang lain, dengan demikian komunikasi antara perawat

dan pasien dapat berjalan dengan baik dan efektif. Dalam segi pengetahuan

perbedaan tingkat pengetahuan dapat menjadi kendala dalam komunikasi antara

perawat dan pasien, dengan demikian perawat dituntut untuk mumpuni dalam

memahami tingkat pengetahuan pasien. Komunikasi dapat berjalan apabila

kedua pihak telah saling mengenal. Dalam kondisi demikian lawan komunikasi

akan dengan leluasa mengemukakan perasaan atau sesuatu yang dialami atau

dirasakan. Kondisi lingkungan yang kondusif merupakan faktor pendukung yang

positif bagi berlangsungnya komunikasi. Situasi yang ramah, nyaman, tetapi

terganggu oleh suara gaduh tidak mendukung keberhasilan komunikasi (Potter

Perry, 2002).
Laki-laki dan perempuan menunjukkan gaya komunikasi yang berbeda

dan memiliki interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan. Tannen

(1990) menyatakan bahwa kaum perempuan menggunakan teknik komunikasi

10
untuk mencari konfirmasi, meminimalkan perbedaan, dan meningkatkan

keintiman, sementara kaum laki-laki lebih menunjukkan independensi dan status

dalam kelompoknya (Potter Perry, 2002). Hasil penelitian tentang jenis kelamin

responden menunjukkan dari 40 responden, didapatkan bahwa responden paling

banyak berjenis kelamin laki-laki sejumlah 26 responden (65%) dan sisanya

responden berjenis kelamin perempuan sejumlah 14 responden (35%). Dari

kecenderungan sebagian besar perawat berkomunikasi terapeutik kurang baik.

6.3 Hubungan Pengetahuan dengan Pelaksanaan Komunikasi

Terapeutik
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi Rank

Spearman, didapatkan nilai p value lebih besar dari 0.05 (0.080) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan

pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat di ruang IPCU RSJ Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang, sehingga dengan semakin tingginya tingkat

pengetahuan perawat maka tidak akan berpengaruh terhadap pelaksanaan

komunikasi terapeutiknya, begitu juga sebaliknya jika semakin rendah tingkat

pengetahuan perawat maka pelaksanaan komunikasi terapeutiknya juga tidak

akan berdampak. Tingkat pengetahuan tidak mempengaruhi komunikasi yang

dilakukan, seseorang dengan tingkat pengetahuan rendah akan sulit merespon

pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang

lebih tinggi. Hal tersebut berlaku juga dalam penerapan komunikasi terapeutik di

rumah sakit. Hubungan terapeutik akan terjalin dengan baik jika didukung oleh

pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik baik tujuan, manfaat dan

proses yang akan dilakukan. Perawat juga perlu mengetahui tingkat

pengetahuan klien sehingga perawat dapat berinteraksi dengan baik dan

11
akhirnya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien secara

professional (Potter Perry, 2002).

6.4 Hubungan Persepsi dengan Pelaksanaan Komunikasi

Terapeutik
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi Rank

Spearman, didapatkan nilai p value lebih besar dari 0.05 (0.130) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara persepsi dengan

pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat di ruang IPCU RSJ Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang, sehingga dengan semakin tingginya persepsi perawat

maka pelaksanaan komunikasi terapeutiknya tidak akan terpengaruh, begitu juga

sebaliknya jika semakin rendah persepsi perawat maka pelaksanaan komunikasi

terapeutiknya juga tidak akab terpengaruh.


Persepsi merupakan dinamika yang terjadi dalam diri individu disaat ia

menerima stimulus dari lingkungannnya. Proses persepsi individu akan

mengadakan penyeleksian apakah stimulus itu berguna atau tidak baginya, serta

menentukan apa yang terbaik untuk dilakukan. Berdasarkan atas pengertian dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka persepsi berkaitan dengan tingkah

laku. Oleh sebab itu para remaja yang persepsinya positif tentang obyek atau

suatu masalah yang ada, ia akan bertingkah laku positif tentang obyek itu. Tetapi,

jika para remaja yang juga sering menganggap dirinya benar dan serba mampu

itu salah mempersepsikan suatu masalah, maka remaja itu akan bertingkah laku

sesuai dengan apa yang ia fikirkan. Proses terjadinya persepsi pada diri individu

tidak berlangsung begitu saja, tetapi melalui suatu proses. Proses persepsi

adalah peristiwa dua arah yaitu sebagai hasil aksi dan reaksi. Terjadinya persepsi

melalui suatu proses, yaitu melalui beberapa tahap suatu obyek atau sasaran

menimbulkan stimulus, selanjutnya stimulus tersebut ditangkap oleh alat indera.

12
Proses ini berlangsung secara alami dan berkaitan dengan segi fisik, stimulus

suatu obyek yang diterima oleh alat indera, kemudian disalurkan ke otak melalui

syaraf sensoris, otak selanjutnya memproses stimulus hingga individu menyadari

obyek yang diterima oleh alat inderanya, dalam hal ini terjadilah adanya proses

persepsi yaitu suatu proses di mana individu mengetahui dan menyadari suatu

obyek berdasarkan stimulus yang mengenai alat inderanya. Persepsi dalam

komunikasi juga menentukan kita memilih pesan dan mengabaikan pesan yang

lainnya. Semakin derajat kesamaan persepsi individu, semakin mudah mereka

akan berkomunikasi.

6.5 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Pelaksanaan

Komunikasi Terapeutik
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi Rank

Spearman, didapatkan nilai p value lebih kecil dari 0.05 (0.002) maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecerdasan emosi dengan

pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat di ruang IPCU RSJ Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang, sehingga dengan semakin tingginya tingkat kecerdasan

emosi perawat maka pelaksanaan komunikasi terapeutiknya akan semakin baik,

begitu juga sebaliknya jika semakin rendah tingkat kecerdasan emosi perawat

maka pelaksanaan komunikasi terapeutiknya akan semakin kurang baik.


Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan bahwa orang yang cerdas

emosinya akan mampu mengenali emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri,

empati dan hubungan sosial, dengan adanya kemampuan untuk mengenali

emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan sosial maka

akan mampu melakukan komunikasi dengan orang lain (Goleman, 2001).

Seorang perawat yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi mempunyai

potensi untuk mengetahui dan menangani perasaannya sendiri dengan baik dan

13
mampu membaca, menghadapi perasaan orang lain dengan baik. Sedangkan

perawat dengan kecerdasan emosi yang rendah sulit mengendalikan keadaan

emosinya sehingga akan mempengaruhi kemampuan untuk berfikir dengan

jernih dan merusak kemampuan untuk memusatkan perhatian pada tugasnya

(Goleman, 2004).

6.6 Hubungan Usia dengan Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik


Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi Rank

Spearman, didapatkan nilai p value lebih besar dari 0.05 (0.505) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan pelaksanaan

komunikasi terapeutik perawat di ruang IPCU RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat

Lawang.
Usia dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-

pola kehidupan baru seperti banyaknya tugas dan tanggung jawab yang harus

dilakukan oleh perawat dan jam kerja shift yang berlaku di rumah sakit. Usia

dewasa awal dikenal dengan masa kreatif dimana individu memiliki kemampuan

mental untuk mempelajari dan menyesuaikan diri pada situasi baru, seperti

mengingat hal-hal yang pernah dipelajari, penalaran analogis, berpikir kreatif

serta belum terjadi penurunan daya ingat (Hurlock 1996).


Berdasarkan diagram 5.2. dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden berusia pada rentang dewasa awal (26-35 tahun) yaitu sebanyak 19

responden (47,5%), dalam tabel 5.4. dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden sebanyak 15 responden (37,5%) melaksanakan komunikasi

terapeutik kurang baik. Analisis bivariat pada tabel 5.9. didapatkan bahwa nilai P

value usia perawat 0,505 (p>0,05) yang berarti tidak ada hubungan usia perawat

terhadap pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat di RSJ Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang. Komunikasi merupakan bagian yang penting dalam

14
pemberian asuhan keperawatan pada pasien kegawatan dan kritis (Wallis, 2011).

Penanganan pasien di IPCU membutuhkan kemampuan komunikasi perawat

yang tepat, cepat dan efektif untuk berkomunikasi dengan pasien maupun

bertukar informasi dengan anggota tim lain. Kemampuan individu dalam

berkomunikasi dipengaruhi faktor intrinsik salah satunya usia perkembangan,

rentang usia perawat dalam klasifikasi dewasa awal dimana pada masa tersebut

terjadi transisi intelektual yang akan mempengaruhi kemampuan individu dalam

bersosialisasi dan berkomunikasi untuk menyampaikan suatu ide atau pendapat,

pada usia dewasa awal dimana dalam penyampaian pendapat individu lebih

rasional. Komunikasi di dalam penangan pasien di IPCU, melibatkan seluruh

angota tim kesehatan, keluarga pasien dan pasien itu sendiri. Terlepas dari

keefektifan komunikasi dalam menerjemahkan tindakan, perawat akan

dihadapkan dengan ketidakpuasan pasien atau keluarga pasien bila hasil

penanganann tidak sesuai dengan harapan keluarga pasien (Zukowsky, 2014).

Komunikasi dalam keperawatan jiwa khususnya di ruang IPCU tidak hanya

mengedepankan komunikasi verbal antara perawat dengan tim kesehatan lain

maupun dengan keluarga pasien untuk mendapatkan informasi sekunder tentang

faktor yang menyebabkan pasien berada dalam keadaan perawatan di IPCU,

kemampuan komunikasi non verbal yang efektif sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan penanganan (Zukowsky, 2014).


Dalam berkomunikasi perbedaan usia individu perawat tidak berpengaruh

terhadap pelaksanaan komunikasi terapeutik dalam penanganan pasien di IPCU.

Dalam penelitian yang dilakukan Husna, 2011 menunjukan adanya pengaruh

variabel karakteristik individu terhadap kompetensi perawat dalam penganan

kegawat daruratan dan kritis. Meski demikian hubungan tersebut tidak tampak

15
pada hubungan antara usia dengan pelaksanaan komunikasi perawat. Dalam

penelitian Hakimzadeh, 2013 menunjukan tidak ada kolerasi yang signifikan

antara kompetensi klinis perawat dengan usia terhadap kemampuan komunikasi

(p>0,05). Hasil penelitian ini di perkuat oleh penelitian Khodadadi, 2013 bahwa

usia perawat tidak berpengaruh secara statistik terhadap pelaksanaan

komunikasi perawat.
Memberi informasi yang akurat sesuai dengan kebutuhan keluarga pasien

sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan pada kondisi kegawatan

dan kritis. Usia perawat tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan komunikasi

perawat dalam penanganan pasien di ruang IPCU. Komunikasi merupakan hal

dasar yang di ajarkan sebagai dasar keperawatan dalam setiap kurikulum

pembelajaran keperawatan, namun pengembangan dalam kemampuan secara

individu tetap merupakan tanggung jawab perawat. Beberapa faktor eksternal

seperti, lingkungan kerja, kesejahteraan, budaya sosial yang dimiliki masyarakat

merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan motivasi seorang perawat

mengembangkan kemampuan non teknis dalam penanganan pasien di ruang

IPCU.

6.7 Hubungan Pendidikan dengan Pelaksanaan Komunikasi

Terapeutik
Berdasarkan Diagram 5.6. dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden memiliki pendidikan dasar keperawatan Diploma IV keperawatan

kebawah yaitu sebanyak 27 responden (67,5%). Analisis bivariat pada tabel 5.10.

diketahui bahwa nilai P value riwayat pendidikan 0,804 (p>0,05) terhadap

kemampuan komunikasi perawat yang berarti tidak ada hubungan riwayat

pendidikan perawat terhadap kemampuan komunikasi perawat dalam

16
pelaksanaan komunikasi terapeutik di Ruang IPCU RSJ Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang.
Komunikasi secara efektif antara perawat dengan pasien, maupan tim

saat penanganan pasien di IPCU merupakan bagian yang sangat penting,

kemampuan mengenali bahasa non verbal dari keadaan pasien pada situasi

IPCU memberikan informasi yang akurat untuk memberikan penanganan yang

tepat, cepat dan efektif. Komunikasi merupakan hal dasar yang di ajarkan

sebagai dasar keperawatan dalam setiap kurikulum pembelajaran keperawatan

baik pada ranah pendidikan diploma III keperawatan maupun pendidikan profesi

sarjana keperawatan (Akca, 2015). Perbedaan kurikulum pembelajaran pada

pendidikan dasar keperawatan bukan merupakan determinan yang

mempengaruhi kemampuan komunikasi, karena setiap kurikulum pembelajaran

keperawatan membahas tentang komunikasi terapeutik dalam memberikan

asuhan keperawatan (Valindazeh, 2012). Kondisi kegawatan dan kritis

merupakan suatu kondisi dimana pasien, tim dan keluarga membutuhkan

kemampuan bertukar informasi secara tepat dan efektif (Wallis, 2011). Dalam

penanganan pasien jiwa di IPCU komunikasi secara baik verbal, non verbal antar

pasien, keluarga pasien, perawat digunakan untuk mengkaji riwayat kesehatan

pasien sehingga menjadi data untuk menemukan penyebab kondisi yang dialami

(Kroushev, 2009). Kurikulum pembelajaran terapeutik merupakan komponen

dasar keperawatan, untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dalam

penanganan pasien di IPCU. Pelatihan khusus komunikasi dalam pelaksanaan

kegawatan yang ditindaklanjuti dengan roleplay secara berkala untuk

meningkatkan kemampuan komunikasi dalam penangan pasien di ruang IPCU.

Semakin sering seorang perawat terpapar dengan situasi Intensive

17
meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menyimpulkan respon non

verbal pada pasien saat memberikan asuhan keperawatan.


Masa bekerja merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja di

tempat kerja. Makin lama seseorang bekerja semakin banyak pengalaman yang

dimilikinya sehingga akan semakin baik komunikasinya (Kariyoso, 1994). Hasil

penelitian tentang lama bekerja didapatkan bahwa responden yang sudah

bekerja di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang sebagian besar yaitu

sebanyak 16 orang (40%) telah bekerja lebih dari 10 tahun. Dari kecenderungan

sebagian perawat berkomunikasi terapeutik dengan baik yaitu sebanyak 13

responden (32.5%) tersebut dapat disimpulkan semaki lama pengalaman bekerja

seseorang dibidangnya maka pelaksanaan komunikasi terapeutiknya juga akan

semakin baik pula.

6.8 Faktor yang Paling Dominan yang Mempengaruhi

Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik

Berdasarkan hasil analisis multivariate regresi logistic bahwa variable

dominan yang paling berhubungan dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik

perawat di IPCU RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang adalah faktor

kecerdasan emosi dengan nilai p = 0,03 (p < 0,05) dengan nilai r 0.3440

sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor dominan yang paling berhubungan

dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik adalah faktor kecerdasan emosi.

6.9 Keterbatasan Penelitian

18
Setiap penelitian pasti memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga

peneliti menyadari terdapat beberapa keterbatasan dalam pelaksanaan

penelitian ini, antara lain:

6.9.1 Peneliti memiliki keterbatasan waktu, tenaga dan biaya sehingga

penelitian ini hanya dilaksanakan di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat

Lawang saja sehingga hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan.


6.9.2 Instrumen penelitian menggunakan kuisioner, sehingga ada

kemungkinan ketidakjujuran responden dalam memilih jawaban,

penggunaan kuisioner tertutup juga dapat menyebabkan peneliti tidak

dapat mengeksplorasi jawaban responden secara keseluruhan.

6.10 Implikasi Keperawatan


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi berkontribusi

terhadap pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat di IPCU RSJ Dr. Radjiman

Wediodiningrat Lawang. Berikut diuraikan implikasi penelitian ini:


6.10.1 Pelayanan Keperawatan
Rumah sakit jiwa khususnya ruang perawatan intensif merupakan ruang

perawatan pasien kritis umumnya menunjukkan berbagai gejala masalah

perilaku, seperti perilaku kekerasan, kecenderungan mencederai orang lain,

agitasi, dan percobaan bunuh diri. Kondisi pasien yang demikian menuntut

perawat untuk melakukan observasi ketat selama 24 jam, beban kerjanyapun

melebihi ruang perawatan yang lain dan perawat diharapkan dapat selalu

menghadirkan diri secara terapeutik, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk

membantu meminimalkan stressor pada perawat yang bekerja di ruangan

tersebut. Upaya yang telah dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit sejauh

ini sudah baik, sehingga hal tersebut dapat dipertahankan atau bahkan dapat

lebih ditingkatkan lagi.


6.10.2 Pendidikan Keperawatan

19
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi menjadi faktor

yang berkontribusi terhadap pelaksanaan komunikasi terapeutik perawat. Hasil

tersebut dapat memperkaya referensi yang membuktikan bahwa pelaksanaan

komunikasi terapeutik pada pasien jiwa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
6.10.3 Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini hanya terbatas di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat

Lawang. Oleh karena itu penelitian selanjutnya dapat dilaksanakan di rumah

sakit jiwa yang lain dimana setting pelayanannya sama atau hampir sama

dengan RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, agar hasil penelitian lebih

komprehensif maka penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan beberapa

keterbatasan yang dialami dalam penelitian ini.

20

Anda mungkin juga menyukai