Anda di halaman 1dari 10

Teori Psikososial Erik Erikson Teori Psikososial Erik Erikson dan Aplikasinya Bagi Pembinaan Orang Dewasa Tengah

Baya di Gereja (Pdt. Junihot M. Simanjuntak, M.Pd.K) Pendahuluan Salah satu aspek penting dalam pendidikan Kriten saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai pembinaan orang dewasa dalam konteks gereja. Kepentingan hal ini dinilai berdasarkan pergumulan yang sering dihadapi oleh para pendidik Kristen di gereja dalam beberapa dekade ini, dimana didapati kecilnya peran aktif dari warga jemaat dewasa untuk ikut terlibat dalam program pembinaan orang dewasa. Berdasarkan hasil penelitian Michael Harton, hal itu terjadi karena orang dewasa itu sendiri merasa tidak menemukan kebutuhan mereka dalam pembinaan tersebut.[1] Ferris Jordan mengatakan bahwa hal ini terjadi karena adanya salah pengertiaan tentang gambaran orang dewasa itu sendiri.[2] Les Steele menyatakan bahwa teori Erikson dapat membantu kita memberi pertimbangan pendekatan bagi pendidikan Kristen. Alasannya karena Erikson sendiri memberi apresiasi atas peran gereja sebagai institusi di dalam budaya yang dapat membantu kita menyampaikan iman dan harapan. Untuk itu teori Erikson dapat membantu kita memahami potensi orang dewasa untuk bertumbuh ke arah iman dan pengharapan yang benar di dalam Tuhan. [3] Melihat peluang yang terbuka lebar dan kaya atas pemanfaatan teori psikososial Erik Erikson dalam kepentingan pendidikan orang dewasa di gereja maka saya mencoba membahas makalah yang berjudul Teori Psikososial Erik Erikson dan Aplikasinya bagi Pembinaan Orang Dewasa Tengah Baya di Gereja. Tujuannya supaya melalui pegembangan teori Erikson ini, tugas pembinaan orang dewasa,secara khusus dalam lingkup pembinaan orang dewasa usia tengah baya di gereja dapat berjalan lebih optimal, efisien dan relevan, sehingga dapat memberi daya tarik dan minat yang besar bagi orang dewasa itu sendiri untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan yang telah di programkan oleh gereja. Setidaknya juga dapat memberi gambaran awal bagi gereja dalam penyusunan program dan pengelolaan pembelajaran bagi orang dewasa, sebagai warga jemaat yang merupakan bagian sentral dalam gereja itu sendiri.

Untuk memenuhi maksud pembahasan tersebut, maka pertanyaan-pertanyaan berikut akan dijadikan sebagai alat bantu penelitian literatur, yaitu: Bagaimanakah sketsa biografi Erikson? Bagaimanakah gambaran teori Erikson dalam pengembangan psikososial manusia? Apa yang dimaksud dengan generatifitas dalam teori psikososial Erikson? Bagaimana mengaplikasi teori generatifitas Erikson dalam pembinaan orang dewasa tengah baya di gereja? Sketsa Biografi Erikson Pencarian identitas merupakan fokus perhatian terbesar Erikson dalam kehidupan dan teorinya. Sebab Erikson dalam membentuk teorinya, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erik Homburger Erikson dilahirkan di Frankurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902. Ayahnya adalah seorang laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan tidak mau mengaku Erikson sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi. Saat Erikson berusia tiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang dokter bernama Theodore Homburger, kemudian mereka pindah kedaerah Karlsruhe di Jerman Selatan. Nama Erik Erikson dipakai pada tahun 1939 sebagai ganti Erik Homburger.[4] Pertama kalinya Erikson belajar sebagai child analyst melalui sebuah tawaran dari Anna Freud di Vienna Psycholoanalytic Institute selama kurun waktu kurang lebih tahun 19271933. Kemudian pada tanggal 1 April 1930 Erikson menikah dengan Joan Serson, seorang sosiologi Amerika yang sedang penelitian di Eropa. Pada tahun 1933 Erikson pindah ke Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan psikoanalisa. Pada tahun1939 Erikson pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara tersebut.[5] Teori Erik Erikson Dalam Pengembangan Psikososial Manusia Dalam bukunya Childhood and Society (1963), Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah delapan tahap perkembangan manusia. Kedelapan tahap perkembangan manusia dalam teori psikososial Erikson tersebut adalah

sebagai berikut: I. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan). Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1 tahun (infancy)P Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain. I. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu. Tahap kedua ini adalah tahap anusotot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 1- 3 tahun (Early Childhood) Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian. Anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Teguran yang harus diberikan orangtua kepada anaknya harus tegas namun toleran, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan raguragu. I. Inisiatif vs Kesalahan. Tahap inidialami saat anak menginjak usia 4-5 tahun (preschool age). T,maka di,

Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan. I. Kerajinan vs Inferioritas. Tahap ini adalah tahap laten yang terjadi pada usia 6-12 tahun (school age)di tingkat ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya. Tahap ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan sikap rajin. Jika anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), anak dapat mengembangkan sikap rendah diri. Sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangat penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anakanak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.

I.

Identitas vs Kekacauan Identitas. Tahap ini merupakan tahap adolesen (remaja), dimulai saat masa puber dan berakhir pada usia 12-18/anak harus mencapai tingkat identitas ego. DDalam tahap ini lingkungan semakin luas, tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah,HalArtinya pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai iaApabila tahap-tahap sebelumnya tidak berjalan secara baik karena Di sisi lain, jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan

kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat. Mereka akan mencari identitas di tempat lain dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya. Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidak konsistennya. I. Keintiman vs Isolasi. Tahap ini terjadi pada masa dewasa awal(young adult), usia sekitar 18/20-30 tahun. PmampuDari segi Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengesampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain. I. Generativitas vs Stagnasi. Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 20-an - 55 tahun (middle adult). Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah

dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas dicerminkan dengan . Sikap yang Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orangorang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan. I. Integritas vs Keputusasaan. Tahap ini disebut tahap usia senja (usia lanjut) . DIni merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, dimana, Pengertian Generatifitas Teori Erikson Generativitas adalah istilah yang diberikan Erikson untuk usia dewasa tengah baya yang sedang fokus memberikan perhatian untuk membangun dan membimbing generasi berikutnya.[6] Dewasa tengah baya ditandai sikap mantap memilih teman hidup dan membangun keluarga. Dewasa tengah menggunakan energy sesuai kemampuannya untuk menyesuaikan konsep diri dan citra tubuh terhadap realita fisiologis dan perubahan pada penampilan fisik. Generatifitas adalah keinginan untuk merawat dan membimbing orang lain. Dewasa tengah dapat mencapai generatifitas dengan anak-anaknya melalui bimbingan dalam interaksi sosial dengan generasi berikutnya. Jika dewasa tengah gagal mencapai generatifitas akan terjadi stagnasi. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian yang berlebihan pada dirinya atau perilaku merusak anak-anaknya dan masyarakat. Generatifitas mencakup kesadaran bahwa "tak seorang pun di sini kecuali kita." Dewasa tengah merasakan bahwa dia sekarang bertanggung jawab atas dunia. Mereka menyadari akan dampak pribadinya di dunia dalam lingkup: pertama, kontribusinya yang

menuntut rasa tanggungjawabnya. Kedua akuntabilitasnya, seperti contoh: "Saya bertanggung jawab atas apa yang telah saya lakukan", dan p "Aku punya tanggung jawab atas apa yang telah saya ciptakan". Kreativitas dewasa awal berbeda dengan generatifitas dewasa tengah baya. Generatifitas tidak hanya sekedar produktif atau kreatif. Generatifitas melibatkan pengasuhan orang lain. Dengan kata lain, produktivitas dan kreativitas ditujukan ke arah perkembangan orang lain. Ekspresi kreatif didominasi oleh apa yang diharapkan orang lain dan keinginan untuk membuktikan kemampuan. Generatifitas menyerap dorongan untuk membuktikan diri sendiri dan mengekspresikan diri dalam kapasitas untuk menyatakan kemampuan diri sendiri.

Generatifitas adalah hal yang sangat penting bagi laki-laki dan perempuan dewasa tengah. Tugasnya memiliki banyak bentuk. Lowenthal dalam penelitiannya, menemukan kebanyakan perempuan mengalami peningkatan ketidakpuasan perkawinan. Hal ini terjadi bukan karena masalah monopause, melainkan karena masalah generatifitas. Jika perempuan hanya mampu memberi kontribusinya dalam hal keluarga, ia lebih cenderung untuk kecewa oleh perubahan hidup. Baginya tantangannya adalah untuk menemukan daerah baru dan menyatkan energinya.[7]

Aplikasi Teori Generativitas Erikson Dalam Pembinaan Orang Dewasa Tengah Baya Di Gereja Setelah mendalami generatifitas dalam teori psikososial Erikson, dua hal berikut dapat diaplikasikan dalam pembinaan orang dewasa tengah baya di gereja, yaitu: Pertama, gereja dapat menciptakan program-program pembinaan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan jemaat dewasa tengah baya seperti berikut: a. Menyajikan pembinaan yang otentik. Seperti menjawab krisis yang sedang dialami dewasa usia tengah baya, sehingga melalui pembinaan yang dirancang gereja, mereka dapat terbebas dari segala bentuk kemunafikan, kepalsuan diri, keluar dari cinta akan diri sendiri, menerima keberhasilan orang lain sebagai motivasi, dan lainnya. Dari para pemimpin gereja

dituntut kesetiaan sekalipun itu dinilai sangat membosankan. Program diciptakan untuk tujuan menguji kesabaran. Terkait dengan hal ini, gereja perlu mempromosikan keterbukaan dalam hubungan kejemaatan. Materi diberikan melalui acara mendengarkan pengalaman masing-masing anggota, sehingga melalui hal tersebut mereka menyadari bahwa orang lain juga memiliki masalah dan perjuangan, dan mendengar bagaimana mereka telah menghadapinya. Gereja perlu membina kelompok-kelompok diskusi di jemaat dewasa awal dengangkat topik masalah dan perasaan. Gereja harus menyadari betul bahwa pelayanan yang sejati tidak hanya datang dari hal-hal yang menyenangkan, tetapi juga datang dari semua momen, termasuk yang menyakitkan. Gereja yang otentik adalah gereja yang memiliki alasan alkitabiah yang baik untuk segala apa yang dilakukannya. b. Menciptakan iklim kebebasan dalam kelas pembinaan. Hal ini sangat perlu bagi orang dewasa tengah yang sedang berkembang. Doktrin-doktrin yang diajarkan dan khotbahkhotbah tidak boleh disampaikan tanpa memberi ruang tanya-jawab, sebagai kesempatan yang diberikan kepada mereka untuk mendapatkan penjelasan. Terkait dengan hal ini, pembaharuan orang dewasa tengah baya dapat dibangun pula dengan mengajukan kembali pertanyaan-pertanyaan lama yang tersimpan dalam diri mereka. Sasaran yang dicapai melalui hal ini adalah, supaya mereka tumbuh menjadi lebih kuat dalam iman. Kebebasan pilihan topik diskusi yang diciptakan dalam kelas pembinaan orang dewasa dapat menjadi peluang motivasi. Untuk mencapai itu, mereka membutuhkan ruang untuk mengeksplorasinya dari gereja yang menawarkan pilihan dengan penuh rasa hormat, dari gereja yang memberi kebebasan untuk bertanya, dan dari gereja yang memahami perbedaan individu. c. Memberi penekanan program pada penuangan empati daripada memberi tekanan pada orang dewasa itu sendiri. Richard Olson dalam artikelnya The Mid-Life Dropout mengatakan: "Pada dasarnya, saya telah berdebat untuk kepekaan dan dukungan dari kebutuhan hidup di tengah-tengah orang. Selama bertahun-tahun gereja telah menelan bakat, waktu, energi, dan uang di tengah-tengah kehidupan orang. Gereja-gereja telah melakukan ini dengan pengakuan yang akurat tentang berapa banyak orang-orang ini harus memberi. Tapi orang ini juga memiliki kebutuhan - kebutuhan yang terlalu sering kebutuhannya

diabaikan" (Baptist Leader 43, no. 3, Juni 1981, h. 32.) Kedua, mengusung tema-tema teologi yang mengakomodasi bidang-bidang kebutuhan (rohani, fisik, emosional, dan mental) dalam program pembinaan orang dewasa tengah baya, seperti berikut ini: a. Doktrin kedewasaan dalam Kristus. Menurut Alan B. Knox dalam artikelnya Issues of Mid-life, Orang dewasa tengah meskipun banyak yang akrab dengan Alkitab dan memahami peran Roh Kudus dalam menghasilkan kedewasaan, namun mereka memiliki ketertarikan dalam beberapa aspek yang lebih kompleks. Mereka tidak menemukan diri mereka dewasa karena mereka memiliki banyak pertanyaan tentang bagaimana bertumbuh dalam iman Kristen. Mereka mungkin akan terkejut dan malu serta mengecam kehidupan masa usia tengah baya mereka dan mereka mempunyai pertanyaan tentang hal itu. Mereka biasanya meraba-raba beberapa kinerja sebagai standar yang digunakan untuk mengukur diri mereka sendiri. (dalam Programming for Adults Menghadapi Mid-Life Change, 1979, hal. 125-26.) b. Doktrin kasih karunia. Perasaan gagal dan rasa bersalah dapat membuat orang dewasa tengah terjun kedalam kolam penyegaran kasih karunia. Melalui ajaran kasih karunia mereka perlu untuk mendengarkan firman Tuhan yang berbunyi: "Cukuplah kasih karuniaKu bagimu" (2 Korintus 12:9) c. Teologi gereja. Hal ini perlukan untuk memecahkan banyak konflik batin yang muncul dari perasaan kegagalan yang mereka hadapi. Sehingga melalui doktin yang diajarkan ini mampu menyadarkan mereka dan kembali terlibat dalam kepeduliaan terhadap masyarakat Kristen secara khusus d. Teologi masyarakat. Kesadaran yang lebih luas tentang masyarakat dan dunia akan membuat banyak orang dewasa tengah beralih ke isu-isu sosial. Kebenaran Alkitab akan dibawa untuk mendukung rasa tanggung jawab mereka dalam menghadapi kemelaratan dunia, perang, aborsi, dan sejumlah masalah sosial lainnya e. Teologi pengharapan. Kematian dan eskatologi adalah tipu daya bagi orang dewasa tengah. Kehadiran wahyu menjadi kebutuhan yang besar bagi orang dewasa tengah baya dan bukan keingin tahuan yang bersifat sambilan atau keisengan belaka. Studi tentang hal-hal eskatologis, perlu disampaikan sebagai ruang yang membuka pengetahuan mereka tentang kedaulatan Allah, sekalipun di dalamnya berisi tentang berita akhir zaman yang destruktif, permukaan dunia yang kacau balau dan penuh dosa. Jika orang dewasa tengah mampu menemukan dirinya di dunia gelap, Tuhan akan menjadi cahaya bagi jalan untuk membimbing mereka melalui semuanya itu

Penutup Banyak anggota gereja dewasa, tetapi partisipasi kehadiran mereka dalam ibadah lebih sedikit. Mereka duduk di bangku dan kemudian pergi, kurang memberi diri. Dan peran aktif mereka, bergerak ke arah stagnasi dan akhirnya putus asa. Sementara disisi lain, gereja berlimpah kesempatan untuk memberikan pelayanan kepada orang dewasa, untuk menerapkan karunia rohani untuk kebutuhan duniawi, untuk partisipasi dan kebergunaan diri dalam Kerajaan Allah. Generatifitas adalah inti dari pelayanan pengajaran gereja, di mana orang dewasa punya tanggung jawab besar untuk menyampaikan kepada anak-anak prasekolah, anak-anak, pemuda, dan orang dewasa muda tentang prinsip-prinsip hidup dalam Kristus.[8] Beberapa contoh generatifitas dapat kita lihat melalui kesaksian hidup tokoh-tokoh Alkitab, seperti: Tuhan Yesus dan rasul Paulus. Yesus memiliki integritas pada akhir hidup-Nya, kemanusiaan-Nya berbicara, Dia menghabiskan pelayanan-Nya dalam generatifitas aktif: memberikan diri-Nya pada orang lain. Paulus menghabiskan kehidupannya di kemudian hari tidak hanya sebagai "hamba Kristus" (Roma 1:1), tetapi menjadikan dirinya sebagai "budak untuk semua orang, untuk memenangkan sebanyak mungkin" (1 Korintus 9:19). Dia menyerahkan dirinya kepada orang lain melalui pengajaran dan pemberitaan, melalui pembinaan dan pelatihan gereja-gereja dan pendeta. Inilah yang disebut generatifitas Kristen.

http//www.theory of psychosocial.com http//www.theory of psychosocial development.com

sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2102731-teori-perkembangan-psikososial-eri...

Anda mungkin juga menyukai