Anda di halaman 1dari 5

LEMAH DALIL PERPPU ORMAS

Oleh: Fery Chofa (*)

Legislation can neither be wise nor just which seeks the welfare
of a single interest at the expense and to the injury of many and
varied interests- Andrew Johnson (Veto message to the House of
Representatives 22 February 1869).

Undang-undang tidak dapat dianggap bijaksana dan adil apabila


hanya bertujuan untuk kesejahteraan kepentingan segelintir di atas beban
dan kerugian banyak kepentingan. Demikian pembelaan salah satu
presiden AS yang kontroversial ketika dia menggunakan hak istimewanya
untuk memveto sebuah rancangan UU yang akan disahkan oleh Kongres.
Fakta yang terbalik dan kontras justru terjadi dalam kekinian kita, ketika
presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Ormas yang berpotensi
memberangus demokrasi melalui kebebasan berkumpul, berserikat dan
berekspresi.

Hari-hari ini dan kedepannya, pengujian konstitusionalitas oleh


Mahkamah Konstitusi dan pengujian keabsahan secara politik oleh DPR
terhadap Perppu Ormas No.2/2017 telah dan akan berlangsung. Entah itu
akan berujung dalam pembatalan oleh MK maupun penolakan dari DPR
atau sebaliknya, Perppu dimaksud memiliki beberapa kelemahan dan cacat
substansial diluar subyektifisme Presiden dalam menafsirkan kedaruratan
dan kegentingan yang memaksa yang masih menjadi diskursus di ruang
publik.

Lemah Dalil

Pertama, Perppu memberi ruang yang sangat besar bagi pemerintah


(eksekutif) untuk bertindak represif dan otoriter dalam membungkam
ormas yang dianggap melanggar aturan maupun bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 dengan menjalankan sendiri seluruh kekuasaan
untuk mengatur (legislasi) melalui Perppu, melaksanakan undang-undang
(eksekusi), hingga menafsirkan pelanggaran serta membubarkan dan
mencabut status badan hukum dari ormas itu sendiri. Ada potensi
pelanggaran terhadap prinsip larangan main hakim sendiri (eigenrichting)
dan prinsip legalitas (due process of law) oleh pemerintah yang seharusnya
mengedepankan kewenangan peradilan untuk membubarkan ormas.

Dapat dimaklumi jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan


berekspresi tersebut tunduk dan taat kepada pembatasan yang diberikan
oleh undang-undang karena alasan keamanan nasional (national security),
ideologi negara maupun ketertiban umum (public order). Namun karena
kebebasan tersebut merupakan hak konstitusional warganegara semestinya
pembatasan tersebut harusnya ditentukan oleh DPR dalam bentuk UU,
bukan dalam Perppu seperti saat ini.

Kedua, sekaitan dengan sanksi administratif, Perppu Ormas telah


memangkas secara drastis prosedur, proses dan bentuk sanksi yang
diberikan diluar batas kewajaran yang beralasan. Bagaimana mungkin
sebuah ormas, yang bersifat nasional misalnya, diberikan peringatan
tertulis hanya 1(satu) kali dan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
sejak surat peringatan diterbitkan apabila tidak mematuhinya kemudian
langsung diberikan sanksi penghentian kegiatan?

Hal ini jelas bertentangan dan melanggar asas kesempatan untuk


membela diri (audi et alteram partem) sebagaimana yang dirumuskan dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf f UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan
yang mewajibkan Pejabat Pemerintahan untuk memberikan kesempatan
kepada warga masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat
Keputusan dan/atau Tindakan.

Ketiga, ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82A


sebagai pasal sisipan, jelas dan nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal
15 ayat (1) UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang hanya membolehkan pengaturan ketentuan
pidana melalui produk hukum yang melibatkan lembaga perwakilan rakyat
yaitu UU dan Perda. Pembatasan tersebut ditegaskan kembali dalam
Lampiran II angka 117 UU 12/2011 mengenai Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan yang jelas merupakan satu kesatuan yang
utuh dan mengikat dari undang-undang tersebut.

Dengan demikian, tidak ada dalih bagi Pemerintah bahwa Perppu


memiliki kedudukan yang sederajat dan memiliki materi muatan yang
sama dengan UU ataupun berkilah masih dibolehkannya penerapan prinsip
nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang) melalui
pengaturan dalam beragam bentuk perundang-undangan, termasuk
Perppu, sebagaimana dianut dalam KUHP kita karena sudah dibatasi
secara expressis verbis oleh UU 12/2011.

Keempat, Perppu ini tidak ubahnya bagaikan the Draconian Law yang
kejam karena ancaman sanksi pidananya yang tidak membedakan
ancaman pidana dengan besar-kecilnya kesalahan yang diperbuat dan
hanya mengedepankan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan (retributif)
semata. Sarana hukum pidana tidak lagi dijadikan upaya terakhir (ultimum
remedium) dalam penegakan hukum. Hal ini, dari aspek kebijakan publik,
berpotensi menambah beban persoalan overload penjara di Indonesia yang
tidak kunjung tuntas jalan keluarnya.

Pelemahan Kapital Sosial

Profesor kebijakan publik terkemuka, Robert D.Putnam dalam


bukunya Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community (2000) menggambarkan dengan baik bagaimana masyarakat
sipil Amerika kolaps saat banyak individu yang terdiskoneksi dengan ikatan
kekeluargaan, tetangga, komunitas, berbangsa dan bernegara karena tidak
berfungsinya organisasi sosial kemasyarakatan yang memberi kehidupan
berdemokrasi. Melemahnya kapital sosial akan mengancam banyak hal
seperti kinerja pendidikan, lingkungan yang nyaman, daya tanggap
demokratis, bahkan juga kesehatan dan kebahagiaan individual
masyarakat.

Dalam perspektif sosiologis dan kehidupan demokrasi, kehadiran


Perppu Ormas ditengarai akan turut menjadi bagian dari pelemahan kapital
sosial yang akan semakin menjauhkan masyarakat sipil dari keterlibatan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis karena mudahnya
jalan bagi pemerintah untuk memberangus ormas. Kondisi ini diperparah
dengan tidak berfungsinya dan rendahnya kepercayaan masyarakat
terhadap saluran partisipasi politik melalui institusi resmi seperti partai
politik dan lembaga keterwakilan masyarakat. Entah bagaimana lagi rakyat
mengartikulasikan partisipasinya dengan baik dalam pengambilan
kebijakan publik?

Mencari Keseimbangan

Rasanya lebih baik bagi pemerintah dan DPR untuk duduk bersama
mengagendakan revisi UU Ormas 17/2003 dalam rangka mencari
keseimbangan antara kepentingan keamanan nasional, ideologi negara dan
ketertiban umum dengan kehidupan berdemokrasi yang menjunjung tinggi
kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Bukankah yang diperlukan itu hanya penyederhanaan mekanisme


sanksi administratif pembubaran Ormas yang dianggap terlalu panjang,
tentunya dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan. (*)

(*) Penulis Pengajar di FH Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat,


Bukittinggi. Alumnus Universiteit Maastricht.

Contact Person:

fchofa@yahoo.com

081266852204 (HP)

Anda mungkin juga menyukai