Anda di halaman 1dari 35

REVIEW JURNAL

Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada


Suatu Refleksi School-Based Democracy Education (Studi Kasus Pilkada
Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara Tahun 2010)

Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Individu Formatif 4

Dosen Pengampu : Budi Ali Mukmin, S.IP., M.A

Disusun Oleh:

Nama : Claudia Beatrix

NIM : 3152111026

Kelas : Reguler A 2015

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2016
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II

KAJIAN TEORI

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV

PEMBAHASAN

BAB V

PENUTUP
Judul : Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada

Suatu Refleksi School-Based Democracy Education (Studi


Kasus Pilkada Kabupaten Halmahera Timur Provinsi
Maluku Utara Tahun 2010)

Penulis : J. W. Batawi

Volume : 2 Nomor 2 Agustus 2013

Penerbit : Jurnal UNIERA

ISSN : 2086-0404
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat
kesadaran siswa SLTA sebagai pemilih pemula dalam pilkada dalam konteks
berpolitik dan penerapan sekolah sebagai laboratorium demokrasi (School–Based
Democracy Education). Penelitian mengambil sampel siswa SLTA di wilayah
Wasile sebanyak 35 responden dan wilayah Maba sebanyak 40 responden.
Wilayah Wasile mengambil 3 sekolah sedangkan wilayah Maba sebanyak 6
sekolah yang berbeda. Responden adalah siswa yang telah melakukan
pemilihan/pencoblosan pada masa pilkada untuk memilih kepala dan wakil kepala
daerah di wilayah kabupaten Halmahera Timur (Haltim) tahun 2010. Penelitian ini
menggunakan metodologi observasi, wawancara langsung dan pengisian
kuesioner. Berdasakan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan
bahwa tingkat kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada
menunjukan perbedaan yang didasarkan pada pemahaman dan pengalaman belajar
konsep berpolitik di tingkat persekolahan. Sedangkan 60 persen siswa senang
terdaftar sebagai pemilih pemula dalam pilkada. Sebagai pemilih pemula, siswa
dihadapkan pada persoalan psikologis yaitu menempatkan jati diri dan
pemahaman tentang belajar berpolitik yang banyak dipengaruhi oleh pergaulan
antar rekan sejawat dan lingkup persekolahan.
Kata kunci: kesadaran politik, pemilih pemula, pilkada, Halmahera Timur.
BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya diterima pendapat bahwa pendidikan dalam arti luas


bertujuan untuk mensosialisasikan siswa ke dalam nilai, norma-norma dan
kebiasaan-kebiasaan dasar dari masyarakatnya. Pendidikan sebagai suatu proses
dalam berbagai kesempatan, jauh lebih luas daripada hasil lembaga persekolahan,
mencakup interaksi kemasyarakatan di masyarakat itu sendiri.
Berkenaan dengan pendidikan politik bagi siswa sebagai bagian
masyarakat pemilih pemula dalam pilkada diharapkan dapat dijadikan proses
pembelajaran untuk memahami kehidupan bernegara. Sebagaimana diketahui
bahwa pilkada merupakan proses pergantian kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang secara sah diakui hukum, serta momentum bagi rakyat untuk secara
langsung menentukan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai
dengan aspirasi/ keinginan rakyat.
Dalam jalur pendidikan formal sebagaimana kita ketahui dan alami
penanaman kesadaran politik dilakukan baik melalui kegiatan-kegiatan intra
maupun ekstra kurikuler, sedangkan dalam jalur non formal dan informal proses
tersebut berjalan melalui komunikasi sosial secara timbal-balik, di lingkungan
keluarga, organisasi organisasi kemasyarakatan serta forum forum
kemasyarakatan lainnya
Kekeliruan pandangan umum tentang politik terhadap siswa dapat
dipahami, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Bagi siswa
kekaburan tentang pandangan Politik menjadi besar karena pengalaman-
pengalaman di masa lalu dan praktek di kehidupan politik yang lebih
menampilkan aspek negative sehingga menumbuhkan citra yang negatif pula.
Misalnya masih adanya fenomena politik uang (money politic) atau politik praktis
yang memaksakan kehendak untuk kepentingan sesaatbagi golongan politik
tertentu. Hal ini berarti aspek-aspek praktis dari sistem politik yang berlaku lebih
berpengaruh dalam pembentukan persepsi kesadaran siswa tentang budaya politik
yang kurang benar.
Pada saat ini rata-rata usia siswa SLTA berkisar 16-18 tahun, adapun
kegiatan pilkada di beberapa daerah mencakup pilkada untuk kepala daerah
tingkat kabupaten (bupati/walikota), hingga gubernur. Dapat penulis bayangkan
berapa kali siswa yang semula sebagai pemilih pemula akan mengikuti perhelatan
politik di daerahnya berkenaan dengan pilkada.
Jika dianalisis, maka seringnyasiswa terlibat dalam kegiatan berpolitik
akan muncul beberapa kondisi psikologis, diantaranya (1) kejenuhan akibat
kegiatan pilkada yang monoton dan siswa sekedar dianggap sebagai “anak
bawang” yang belum tentu aspirasi suaranya dapat didengar oleh pemenang
pilkada atau penguasa/pemda setempat. (2) pembelajaran berpolitik hanya sesaat,
sehingga setelah perhelatan pilkada selesai maka selesailah tugas mereka sebagai
anggota masyarakat dalam berdemokrasi. Padahal pemahaman dan etika
berdemokrasi sangat diperlukan sepanjang mereka sebagai warga negara dan
generasi penerus bangsa untuk memajukan budaya politik yang terpuji.
Disinilah kita melihat betapa perlunya mensosialisasikan kesadaran politik
bagi siswa dalam nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan dasar dalam
kehidupan kemasyarakatan, dimana kehidupan politik merupakan salah satu
seginya. Dan karena tujuan yang demikian itu adalah juga merupakan tujuan dari
pendidikan, baik formal maupun informal.
Kesenjangan pendidikan semakin melebar tatkala, orientasi pendidikan itu
sendiri masih berfokus pada aspek kognitif, dan siswa lebih banyak diperlakukan
sebagai objek pelengkap dalam proses pembelajaran. apa yang mereka pelajari di
kelas kadang tidak sesuai dengan kehidupan yang mereka jalani sebagai anggota
masyarakat,padahal mereka adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi posotif bagi ligkungannya. (Umberto, 2002: 42)
Memahami kesadaran politik siswa sebagai pemilh pemula dalam pilkada
perlu kiranya diaktualisasi melalui pembelajaran yang melibatkan langsung diri
siswa terhadap fenomena sosial yang terjadi di lingkungan anggota dan aktivitas
keluarga (masyarakat) dengan pendekatan school-based democracy educaton.
Program ini pada intinya mendekatkan materi pembelajaran dengan objek
sesungguhnya atau pengkajian fenomena sosial secara langsung (Polma, 1987 :
62). Dengan demikian siswa akan terlibat langsung dengan aktivitas masyarakat
dan dirinya sebagai obyek sekaligus subyek dalam berdemokrasi.
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis terdorong untuk
mengkaji lebih dalam dan memfokuskan pada bagaimana peran sekolah terhadap
fenomena siswa dalam berdemokrasi, sebagai aset bangsa yang memiliki visi dan
misi budaya politik yang terpiji. Adapun alasan sekolah sebagai tempat yang
dapat mengembangkan pembelajaran demokrasi, dikarenakan pada umumnya
lingkungan sekolah telah memiliki unsur-unsur dasar demokrasi yang dapat dikaji
dan dipelajari dengan karakter individu yang beragam. Selain itu masyarakat
sekolah dapat mewakili sebagai miniatur kegiatan sosial, politik dan budaya yang
utuh bagi pembelajaran siswa dalam berdemokrasi.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pendidikan dan Kesadaran Politik bagi Siswa


Dalam pengertian umum, pendidikan politik adalah cara bagaimana suatu
bangsa mentransfer budaya politiknya dari generasi satu ke generasi kemudian
(Panggabean,1994 : 36 ). Sedangkan budaya politik adalah keseluruhan nilai,
keyakinan empirik, dan lambang ekspresif yang menentukan terciptanya situasi di
tempat kegiatan politik terselenggara.
Pendidikan politik sebagai proses penyampaian budaya politik bangsa,
mencakup cita-cita politik maupun norma-norma operasional dari sistem
organisasi politik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Pendidikan politik perlu
ditingkatkan sebagai kesadaran dalam berpolitik akan hak dan kewajiban sebagai
warga negara, sehingga siswa diharapkan ikut serta secara aktif dalam kehidupan
kenegaraan dan pembangunan.
Pendidikan politik mengupayakan penghayatan atau pemilikan siswa
terhadap nilai-nilai yang meningkat dan akan terwujud dalam sikap dan tingkah
laku seharihari dalam hidup kemasyarakatan termasuk hidup kenegaraan serta
berpartisipasi dalam usaha-usaha pembangunan sesuai dengan fungsi masing-
masing. Dengan kata lain pendidikan politik menginginkan agar siswa
berkembang menjadi warga negara yang baik, yang menghayati nilai-nilai dasar
yang luhur dari bangsanya dan sadar akan hak-hak dan kewajibannya di dalam
kerangka nilainilai tersebut.
Pendidikan dalam sistem yang demokratis menempatkan posisi yang
sangat sentral.secara ideal pendidikan dimaksudkan untuk mendidik warga negara
tentang kebajikan dan tanggung jawab sebagai anggota civil society. Pendidikan
dalam arti tersebut merupakan suatu proses yang panjang sepanjang usia
seseorang untuk mengembangkan diri. Proses tersebut bukan hanya yang
dilakukan dalam lingkungan pendidikan formalseperti sekolah tapi juga meliputi
pendidikan dalam arti yang sangat luas melibatkan keluaga dan juga lingkungan
sosial. Lembaga-lembaga pendidikan harus mencerminkan proses untuk mendidik
warga negara ke arah suatu masyarakat sipil yang kondusif bagi berlangsungnya
demokrasi dan sebaliknya harus dihindarkan sejauh mungkin dari unsur unsur
yang memungkinkan tumbuhnya hambatan-hambatan demokrasi (Riza Noer
Arfani,1996: 64). Namun demikian di samping dibicarakan masalah kesadaran
berpolitik, maka perlu pemahaman pula apa yang dimaksud dengan pengertian
budaya politik, menurut Meriam Budiarjo konsep budaya politik ini berdasarkan
keyakinan, bahwa setiap politik itu didukung oleh suatu kumpulan kaidah,
perasaan dan orientasi terhadap tingkah laku politik (Meriam Budiardjo 1982:17).

B. Kebudayaan Remaja/Siswa sebagai Pemilih Pemula dalam Pilkada


Siswa atau remaja pada umumnya memiliki suatu sistem sosial yang
seolah olah menggambarkan bahwa mereka mempunyai “dunia sendiri”.dalam
sistem remaja ini terdapat kebudayaan yang antara lain mempunyai nilai-nilai,
norma-norma. sikap serta bahasa tersendiri yang berbeda dari orang dewasa.
Dengan demikian remaja pada umumnya mempunyai persamaan dalam pola
tingkah laku, sikap dan nilai, dimana pola tingkah laku kolektif ini dapat berbeda
dalam beberapa hal dengan orang dewasa (Prijono, 1987: 52).
Nilai kebudayaan remaja antara lain adalah santai, bebas dan cenderung
pada hal-hal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal
yang kurang menyenangkan dihindari. Di samping mencari kesenangan kelompok
sebaya atau”peer group” adalah penting dalam kehidupan seorang remaja,
sehingga bagi seorang remaja perlu mempunyai kelompokteman sendiri dalam
pergaulan.
Masa pubertas merupakan tahap permulaan perkembangan perasaan sosial.
Pada masa ini timbul keinginan remaja untuk mempunyai teman akrab dan sikap
bersatu dengan temantemannya, sedangkan terhadap orang dewasa mereka
mejauhkan diri. “peer culture” ini berpengaruh sekali selama masa remaja
sehingga nilai-nilai kelompok sebaya mempengaruhi kelakuan mereka. Seorang
remaja membutuhkan dukungan dan consensus dari kelompok sebayanya. Dalam
hal ini setiap penyimpangan nilai dan norma kelompok akan mendapat celaan dari
kelompoknya, karena hubungan antara remaja dan kelompoknya bersifat solider
dan setia kawan. Pada umumnya para remaja atas kelompok-kelompok yang lebi
kecil berdasarkan persamaan dalam minat, kesenangan atau faktor lain.
Berkenaan dengan kapasitas kebudayan remaja/siswa tersebut, setidaknya
dapat dijadikan gambaran penting upaya melihat peta demokrasi dan kesadaran
politik kalangan remaja di lingkungan persekolahan sebagai bagian pemilih
pemula dalam pilkada. Menurut Bambang, ada tiga tingkat materi yang perlu
ditanamkan dalam kurikulum pendidikan.
Ketiga materi tersebut adalah penanaman hakekat pemilu yang benar
sehingga memunculkan motif yang kuat bagi pemilih pemula untuk mengikuti
pemilu, pemahaman mengenai sistem pemilu, dan pemahaman tentang posisi
tawar politik. (seminar “Menggagas Partisipasi Aktif Guru Dalam Peta Politik
Indonesia” di Bandung 5 Ferbuari 2004). Pemahaman perilaku politik (Political
Behavior) yaitu perilaku politik dapat dinyatakan sebagai keseluruhan tingkah
laku actor politik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara
pemerintah dan masyarakat antara lembaga-lembaga pemerintah, dan antara
kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanan dan penegakan
keputusan politik.
Sedangkan menurut Almond dan Verba yang dimaksud budaya politik
(Political Culture) merupakan suatu sikap orientasi yang khas warga negara
terhadap sistem politik dan aneka ragam, serta sikap terhadap peranan warga
negara yang ada di dalam sistem itu. Warga negara senantiasa mengidentifikasi
diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi
yang mereka miliki (Budiyanto, 2004: 103).

C. Pendidikan Demokrasi di Lingkup Sekolah


Pendidikan Demokrasi adalah esensinya pendidikan kewarganegaraan
(PKn). PKn itu sendiri bagian dari Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS).
PIPS memiliki tiga tradisi seperti dikatakan oleh Barr, Barth dan Shermis (1937)
dalam Soemantri (2001:81) “The Three Social Studies Traditions yaitu: (a) Social
Studies as Citizenship Transmissions (Civic Education), (b) Social Studies as
Social Science, (c) Social Studies as Reflective Inquiry”. Kaitan dengan tradisi
pertama yaitu “social studies as citizenship transmission”. menunjukan bahwa
PIPS sebagai Citizenship Education atau Civic Education atau pendidikan
kewarganegaraan (PKn).
Kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan
demokrasi (CICED, 1999). Dengan kata lain bahwa pendidikan demokrasi sebagai
muatannya, pendidikan kewarganegaraan sebagai kendaraannya, sedangkan PIPS
sebagai jembatan pendidikan ilmu-ilmu social yang bertujuan pendidikan.
Kaitannya dengan tradisi kedua “social studies as social science” atau PIPS
sebagai ilmuilmu sosial.
Secara logika pendidikan demokrasi itu sendiri merupakan turunan dari
ilmu politik yang bertujuan pendidikan yang ditopang oleh ilmuilmu sosial secara
interdisipliner, walaupun terjadi tarik-menarik antara PIPS perlu diajarkan secara
terpadu dan secara terpisah. Akhirnya terpisah. Kaitan dengan tradisi ketiga
“social studies as reflective inquiry” bahwa social studies cenderung unutk
melatih keterampilan “reflective thinking” (Barr dkk, 1977:37). Diperkuat oleh
ShirleyEngle pada tahun 1960 menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Decision
Making: The Heart Of Social Studies Instruction”.
Secara tegas dan merefleksikan gagasan John Dewey tentang pendidikan
berpikir kritis. Dengan kata lain pembelajaran demokrasi di lingkup sekolah
dapat: meningkatkan kemampan siswa menganalisis isu-isu demokrasi yang
muncul di masyarakat menambah kemampuan nalar siswa dalam pengetahuan
kemasyarakatan (sicioscientific reasoning), mengembangkan keterampilan
berpikir (higher-order thinking skill), termasuk memecahkan masalah, mengambil
keputusan membuat menganalisis dan kritis, mengembangkan kesadaran peran
siswa dalam proses dari perubahan demokrasi, membantu siswa mengakui
kompleksnya dari membuat keputusan masalah demokrasi, menyediakan
kesempatan siswa untuk menguji kemungkinan dampak demokrasi bagi
kehidupan dan perubahan masyarakat.
D. School-Based Democracy Education Model
Pendidikan demokrasi yang baik adalah bagian dari pendidikan yang baik
secara umum.berkenaan dengan hal tersebut disarankan Gandal dan Finn
(Saripudin,2001) perlu dikembangkan model sekolah berbasis pendidikan
demokrasi. Terdapat 4 (empat) alternative bentuk dari model ini
1. Perhatian yang cermat diberikan pada landasan dan bentuk bentuk
demokrasi
2. Adanya kurikulum yang dapat menfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi
bagaimana ide demokrasi telah diterjemahkan dalam bentuk-bentuk
kelembagaan dan praktik di berbagai belahan bumi dalam berbagai kurun
waktu. Dengan demikian siswa akan mengetahui dan memahami kekuatan
dan kelemahan demokrasi dalamm berbagai konteks ruang dan waktu.
3. Adanya kurikulum yang memungkinkan siswa dapat mengeksplorasi
sejarah demokrasi di negaranya unutk dapat menjawab persoalan apakah
kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya dalam
berbagai kurun waktu.
4. Tersedianya kesempatan bagi siswa untuk memahami kondisi demokrasi
yang diterapkan di negara-negara di dunia, sehingga para siswa memiliki
wawasan yang luas tentang aneka ragam sistem sosial demokrasi dalam
berbagai konteks.
Selain dari uraian tersebut di atas agar dapat diupayakan dalam bentuk
kegiatan ekstra kulikuler yang bernuansa demokrasi serta membudayakan budaya
demokratis dan menjadikan sekolah sebagai budaya lingkungan yang demokratis
serta perlunya keterlibatan/penglibatan siswa dalam kegiatan masyarakat. Sanusi
(Saripudin.U.,2001:56 ) juga mengemukakan perlu dikembangkannya pendidikan
demokrasi yang bersifat multidimensional yang memungkinkan para siswa dapat
mengembangkan dan menggunakan seluruh potensinya sebagai individu dan
warga negara dalam masyarakat bangsa-bangsa yang demokratis.
Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu materi pendidikan
kewarganegaraan dalam paradigm barunya yaitu mengembangkan pendidikan
demokrasi mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan
warganegara (Civic intellingence), membina tanggung jawab warganegara (Civic
Responbility) dan mendorong partisipasi warganegara (Civic Participation).
Keccerdasan warganegara yang dikembangkan untuk membentuk waganegara
yang baik bukan hanya dalam dimensi rasional melainkan juga dalam dimensi
spiritual, emosional dan sosial sehingga paradigma baru pendidikan
kewarganegaraan bercirikan multidimensional.

E. Tata Aturan Pilkada


Pilkada, meskipun di dalam undang-undang 32 tahun 2004 yang terdapat
dalam pasal 56-119 tidak memberikan definisi yang tegas tentang pilkada, tetapi
menurut hemat penulis definisi pilkada dapat kita definisikan, bahwa pilkada
adalah singkatan dari pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur
dan wakilnya di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota dan wakilnya di tingkat
kab/kota), pilkada dapat juga diartikan sebagai proses pergantian kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang secara sah diakui hukum, serta momentum bagi
rakyat untuk secara langsung menentukan pasangan kepala daerah dan wakil
kepala daerah sesuai dengna aspirasi/keinginan rakyat. Dalam hal ini pilkada,
meskipun salah satu produk negara yang berlandaskan hukum (Recht Staat) bukan
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat) namun bukan berarti pilkada
merupakan parameter yang mutlak dalam rangka memberikan suatu penilaian
apakah momentum pilkada benar-benar demokratis, disisi lain pilkada merupakan
demokrasi yang prosedural dan belum menyentuh asas demokrasi yang
substansial yakni lahirnya kualitas kepemimpinan yang bersih, jujur, dan lain
sebagainya.
Keterlibatan masyarakat dalam momentum pilkada langsung menjadi
landasan dasar bagi bangunan demokrasi. Bengunan demokrasi tidak akan kokoh
manakala kualitas partisipasi masyarakat diabaikan Karena itu, proses
demokratisasi yang sejatinya menegakan kedaulatan rakyat menjadi semu dan
hanya menjadi anjang rekayasa bagi mesin-mesin politik tertentu. Format
demokrasi pada aras lokal (Pilkada) meniscayakan adanya kadar dan derajat
kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Apabila demokrasi yang totalitas
bermetamorfosis menjadi konkrit dan nyata, atau semakin besar dan baik kualitas
partisipasi masyarakat, maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula.
Demikian juga sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi
masyarakat maka semakin rendah kadar kualitas demokrasi tersebut.
Pentingnya pandidikan demokrasi memungkinkan setiap warga negara
dapat belajar demokrasi melalui praktek kehidupan yang demokratis, dan untuk
membangun tatanan dan praksis kehidupan demokrasi yang lebih baik di masa
mendatang (Saripudin,2001).
Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemerintah
daerah sejak tahun 1945 mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan
dimaksudkan untuk mencari bentuk yang dapat mencerminkan aspirasi dan hingga
sejak reformasi lahirlah UUNo. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan
tidak lama kemudiandisempurnakan lagi oleh UU No. 3 tahun 2004.
Dari dua perubahan terakhir mengalami perubahan yang cukup mendasar
dibandingkan dengan peraturan perundangan pemerintahan yang pernah terjadi,
jika belum sesuai dengan aspirasi masyarakat, maka yang perlu dipertanyakan
kemudian mungkin sistem perundang-undangan ataukah memang mungkin dari
tingkat kesadaran masyarakat sebagian belum memahaminya. Berikut disebutkan
“Kepala Daerh dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil” Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudian diatur
pendukung peraturan perundangan lainseperti peraturan pemerintah No. 6 Tahun
2005 & Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2005, tentang pemilihan, pengesahan
pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Definisi Konsepsional
Definisi konsepsional merupakan pembatasan pengertian tentang hal-hal
yan perlu diamati. Sedangkan pengertian konsep itu sendiri adalah suatu
pemikiran umum mengenai suatu masalah atau persoalan (Koentjaraningrat,
1980). Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep
merupakan pembatasan terhadap variabel-veriabel penelitian untuk menentukan
indikatorindikator yang akan diteliti. Dengan demikian definisi konsepsional pada
Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada adalah suatu sikap yang
ditentukan adanya kepedulian terhadap budaya berpolitik yang baik dengan
mengikutsertakan secara aktif dalam memaknai pembelajaran berpolitik dan
memanfaatkannya dengan sikap pengendalian diri melalui pengembangan
pengalaman yang didapatkannya untuk bekal bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

B. Definisi Operasional
Menurut Koentjaraningrat (1980 76), definisi operasional adalah unsure
penelitian yang memberikan pengertian tentang cara mengubah konsep-konsep
yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku gejala
yang dapat diamati dan dapat diuji serta ditentukan kebenarannya oleh orang lain.
Dengan demikian variabel dalam penelitian ini mencakup kesadaran
politik dan pemaham siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada. Sedangkan
instrumen dikembangkan berdasarkan indikator sebagai berikut:
1. Sikap dan perilaku yang saling peduli, yaitu: suatu nilai dari perbuatan yang
timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan.
2. Partisipasi aktif, yaitu: perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara
giat/berusaha.
3. Kebermanfaatan yang diperolah yaitu: sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk
dicapai.
4. Akses dan kontrol sosial, yaitu: pencapaian pengendalian berkenaan dengan
masyarakat.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman, yaitu: pengaruh kuat yang
mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah
didapatkannya.

C. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SLTA di daerah penelitian
Wasile dan Maba Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara dengan
mengambil sampel daerah Wasile 3 sekolah. Pengambilan sampel dilakukan
melalui rancangan sampling menurut kategori sampel acak sederhana. Jumlah
siswa yang terkait dengan penelitian sebanyak 75 siswa, dimana mereka telah
mengikuti kegiatan pilkada pada masa pemilihan/pencoblosan sebagai pemilih
pemula dalam pilkada di daerahnya masing-masing.untuk guru sebagai sampel
sebanyak 27 orang dari 2 daerah ujicoba.
Data kuesioner dari siswa yang daat diidentifikasi dengan baik sebanyak
48 responden. Sedangkan alasan pengambilan daerah penelitian yaitu wilayah
Wasile dan Maba Kabupaten Halmahera Timur Prov Maluku Utara dikarenakan
daerah tersebut telah menyelenggarakan pilkada dengan karakteristik sebagai
daerah kompleksitas pemilih pemula yang potensial. Siswa dari sekolah yang
terlibat dalam penelitian ini antara lain:

D. Metode Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data sebagai bahan dalam penelitian ini, akan
dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain:
a. Library research, yaitu satu penelitian dengan cara mempelajari dan
mengumpulkan berbagai bahan bacaan atau literatur, dokumen serta media
masa yang ada hubungannya dengan penulisan penelitian.
b. Field Work Research, yaitu mengumpulkan data dari penelitian yang
dilakukan secara langsung di lapangan.
Untuk mempermudah penelitian di lapangan, perlu ditentukan teknik
pengumpulan data agar yang dihimpun dapat efektif dan efisien. Teknik yang
dilakukan menggunakan metode sebagai berikut:
1. Interview
Menurut Hadi (1990) berpendapat bahwa: interview adalah metode
pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara sepihak, yang dikerjakan
dengan sistematis, logis, metodologis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.
Adapun bentuk wawancara yang dipergunakan dalam penelitian berpedoman pada
kuesioner yang berstruktur atau tertutup yang memuat pertanyaan secara cermat
dan terperinci dengan pilihan jawaban yang telah disediakan.
2. Observasi
Menurut Winarno Surakhmat (1990) observasi adalah teknik pengumpulan
data dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala yang diteliti yang
dilaksanakan dalam situasi yang khusus. Observasi dalam penelitian ini adalah
peneliti dengan seksama mengamati langsung terhadap obyek dan sasaran
penelitian yaitu aktualisasi kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam
pembelajaran politik di kegiatan pilkada.
3. Menurut Suharsimi Arikunto (1993) dokumentasi adalah mencari data
mengenai sesuatu hal atau variabel yang berasal dari pihak lain berupa
catatan,buku, surat kabar.

E. Metode Analisis Data


Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian adalah dengan
menghitung standar deviasi. Sedangkan untuk menggambarkan variabelitas
tingkat kesadaran politik siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada
dipergunakan rumus sebagai berikut:
1. Untuk mencari tingkat kesadaran politik digolongkan:
a. Kesadaran politk yang sangat baik (u+0.5.T)
b. Kesadaran politik baik antara (u+0,25.T) dan (u+0,5.T)
c. Kesadaran politik cukup antara (u+0,5.T) dan (u+0,25.T)
d. Kesadaran politik kurang baik antara (u+0,5.T) dan (u-0,25.T)
e. Kesadaran politik sangat kurang baik <(u-0,5T)
2. Untuk mencari standar deviasi dari suatu variabel dirumuskan dengan uji –T
3. Untuk mencari rata-rata dapat digunakan rumus sebagai berikut
1
U =---------------------- [xi]
N
Keterangan :
U = rata-rata
T = standar deviasi
N = pupulasi
[xi] = jumlah deviasi
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan disampaikan data data hasil penelitian lapangan tentang
Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam pilkada; suatu refleksi School-Based
Democracy Education, melalui nilai sikap dan perilaku yang saling peduli,
partisipasi aktif, kebermanfaatan yang diperoleh, akses kontrol sosial, dampak
yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam pilkada, dan
gambaran hasil kegiatan pembelajaran sosiologi di sekolah.
Indikator-indikator dijabarkan secara rinci berdasarkan konsep teori dan
diukur menggunakan instrumen skala Likert dengan 5 skala pernyataan yaitu,
skala 1 untuk menyatakan sangat tidak setuju, skala 2 tidak setuju, skala 3 cukup
setuju, skala 4 setuju dan skala 5 sangat setuju. Adapun pernyataaan yang
dikembangkan berdasarkan indicator sebagai berikut

1. Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli (suatu nilai dari perbuatan
yang timbal balik untuk dapat memperhatikan / menghiraukan
sesuatu/lingkungan)
Diukur menggunakan pernyataanpernyataan seperti: “saya senang terdaftar
sebagai pemilih pemula dalam pilkada”, “memang sebaiknya seusia saya sudah
diwajibkan untuk ikut berpolitik”, “ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih
pemula dalam pilkada”, “ikut pilkada hanya sebagai keisengan saja”, “karena
teman yang lain tidak ada yang jadi pemilih sehingga saya juga tidak memilih,
pada saat pilkada”, “saya dan kelompok teman bermain sedang ada kegiatan lain
sehingga lebih baik tidak memilih”, “saya disuruh datang ke TPS untuk
menyoblos padahal saya belum berpengalaman”, “saya berusaha mengajak teman
yang lain yang sudah terdaftar sebagai pemilih untuk ikut jadi pemilih”, “malas
ikut pilkada”, “criteria calon pilkada tidak ada yang sesuai dengan keinginan
saya”, “saya melakukan pencoblosan dalam pilkada karena saya ingin jadi warga
yang baik”.
Indikator nilai sikap dan perilaku yang peduli (suatu nilai dari perbuatan
yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/ menghiraukan sesuatu/lingkungan)
mempunyai tingkat reabilitas = 0,76.

2. Partisipasi aktif (perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara


giat/berusaha)
Diukur menggunakan pernyataanpernyataan seperti: “sebagai generasi
muda saya dukung kegiatan politik”, “saya akan memilih salah satu calon di
pilkada dengan ikut kampanye”. “saya selalu mencari informasi di media untuk
mengetahui perkembangan pilkada”, “di setiap waktu saya suka membicarakan
tentang pilkada dengan teman lain”, “saya menyebarluaskan berita tentang pilkada
kepada orang lain”, “supaya orang lain menjadi mengerti sehingga saya suka
berdiskusi dengan para guru mengenai pilkada”. Indikator partisipasi aktif (perihal
turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha) mempunyai tingkat
reabilitas = 0,64.

3. Kebermanfaatan yang diperoleh (sesuatu hal/keadaan yang berguna unutk


dicapai)
Diukur menggunakan pernyataanpernyataan seperti: “ saya ikut memilih
dalam pilkada supaya mengerti berpolitik”, “sebagai pemilih di Pilkada tidak ada
untungnya”, “tujuan saya memilih pilkada karena memang disuruh oleh guru di
sekolah”, “ikut pilkada sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah”, “saya
merasa jadi warga yang baik setelah ikut pemilihan dalam pilkada”, “belajar di
sekolah tentang berpolitik sebatas teori sedangkan prakteknya saya ikut pilkada”,
“lebih baik belajar berpolitik dilakukakn sesaat saja”. Indikator kebermanfatan
yang diperoleh (sesuatu hal/keadaan yang berguna unutk dicapai) mempunyai
tingkat reabilitas = 0,74.
4. Akses kontrol sosial (pencapaian pengendalian berkenaan dengan
masyarakat)
Diukur menggunakan pernyataanpernyataan seperti: “saya adalah bagian
dari masyarakat”,”jika terdapat penyimpangan berpolitik dalam masyarakat saya
cuek saja”, “saya selalu ikut-ikutan dalam kegiatan masyarakat”, “lebih baik
berdiam diri saat ada keributan mengenai pilkada”, “saya akan berusaha mencari
informasi tentang calon pilkada yang pantas saya pilih”, “membantu kegiatan
seputar pilkada, jika diperlukan”, “sebaiknya sebagai pelajar kita wajib
menyukseskan pilkada”. Indikator akses kontrol sosial (pencapaian pengendalian
berkenaan dengan masyarakat) mempunyai tingkat reabilitas = 0,67.
Dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam
pilkada (pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari
pengalaman yang telah didapatkannya) diukur menggunakan
pernyataanpernyataan seperti: “saya tidak berminat ikut-ikutan dalam pemilihan
pilkada”, “setelah ikut pilkada saya tidak merasa mendapatkan pembelajaran
politik”, “ikut pilkada biasa-biasa saja”, “saya jadi bertambah paham tentang
berpolitik setelah ikut pilkada”, “saya akan ajak teman untuk ikut pilkada karena
berguna untuk masa depan”, “lebih baik belajar politik di sekolah saja seperti
dalam pemilihan ketua kelas”, “saya jadi ragu apakah aspirasi saya untuk memilih
dapat direalisasikan oleh pemenang pilkada”. Indikator dampak yang didapat dari
pengalaman sebagai pemilih pemula dalam pilkada (pengaruh kuat yang
mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah
didapatkannya) mempunyai tingkat reabilitas = 0,83.
Tabel 2 Rebialitas Instrumen diukur dengan Alpha
Indikator Jumlah Butir Alpha
Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli (suatu 11 0, 76
nilai dari perbedaan yang timbul untuk dapat
memperhatikan/menghentikan sesuatu/ lingkungan
Partisipasi aktif (perihal turut berperan serta di suatu 6 0, 04
kegiatan secara giat/berusaha
Kebermanfaat yang diperoleh sesuatu hal/ keadaan 7 0, 74
yang berguna untuk dicapai
Akses control social (pencapaian pengendalian 7 0, 07
berkenaan dengan masyarakat)
Dampak yang didapat dari pengalaman sebagai 7 0, 83
pemilih dalam pilkada (pengaruh kuat yang
mendatangkan akibat negative atau positif dari
pengalaman yang lebih didapatkan
Total 38 0, 71

Deskripsi Responden
Responden adalah siswa SLTA yang telah melakukan kegiatan
pencoblosan untuk memilih kepala daerah dalam hal ini pilkada gubernur provinsi
Maluku Utara pada tahun 2009. Dari 75 siswa yang dimintai pengisian kuesioner,
sebanyak 48 responden dijaring dan memberikan pernyataannya secara terstruktur
dengan baik, selain interview/wawancara seputar fenomena pilkada. Sementara itu
untuk mendukung data, dilakukan observasi terhadap kegiatn program School-
Based Democracy Education pada guru, siswa, dan kepala sekoah. Jumlah guru
yang terlibat sebanyak 7 orang sedangkan siswa terbagi dalam, siswa pria
sebanyak 42 orang dan siswa wanita sebanyak 33 orang.
Refleksi School-Based Democracy Education
Kegiatan ini melibatkan guru, siswa dan kepala sekolah. Indikator yang
digunakan adalah mengidentifikasi mekanisme perubahan sosial budaya, seperti
pembangunan masyarakat di sektor politik. Program diarahkan pada pendekatan
School-Based Democracy Education, yaitu siswa ditugaskan untuk terlibat secara
langsung dalam menggali konsep berpolitik di lapangan dan mendiskusikan dalam
kelas. Dari hasil wawancara dengan pihak guru dan siswa dihasilkan:
1. Program School-Based Democracy
Education lebih bermakna jika melibatkan siswa sebagai subyek dan obyek dalam
kegiatan pilkada.
2. beberapa temuan di lapangan seputar kasus pilkada dapat dijadikan bahan
diskusi yang teridentifikasi secara menyeluruh
3. simulasi sangat penting dalam rangka pemahaman teknis dalam pilkada,
terutama bagi siswa yang baru sebagai pemilih pemula
4. daya kritis siswa terhadap karakter calon kepala daerah menjadi pola pikir yang
dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih. Sebagian besar dari hasil wawancar
ini siswa lebih mencermati pandangan visi dan misi calon kepala daerah yang
banyak dipampangkan dalam bentuk poster, spanduk, dan baliho.
5. Sebagai pemilih pragmatic mencerminkan bahwa pandangan siswa terhadap
fenomena tersebut terbagi kedalam kelompok pendukung dan menolak, yang
intinya bahwa melalui pembelajaran politik di sekolah pemahaman mereka
terhadap politik praktis menjadi konsep yaitu berpolitik bagi mereka adalah
pengakuan jati diri dengan kebebasan untuk menentukan diri sendiri Selain itu
pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran demokrasi juga melibatkan pada
unsure pelajaran sosiologi. Intinya pelajaran ini diterapkan dengan pendekatan
pembelajaran aktif yang dikombinasikan dengan konsep lingkungan meluas atau
expanding environment approach.
Dengan model pembelajaran konstruktivisme tersebut didapatkan fungsi
guru, siswa dan sarana belajar secara sinergi, dengan memperhatikan:
1. Keseimbangan antara kognisi, keterampilan, afektifdan keseimbangan antara
deduktif dan induktif,
2. Penyajian materi menggunakan ilustrasi dan pemberian tugas secara aktif,
3. Proses pembelajaran dilakukan dengan upaya memfasilitasi tumbuhnya
dinamika kelompok di dalam kelas, sehingga terwujud siswa yang mandiri dalam
belajar. Sesuai dengan karaketer mata pelajaran sosiologi, strategi pembelajaran
yang diharapkan adalah pembelajaran yang terpusat pada siswa denganp
pendekatan belajar aktif, yaitu siswa menjadi pusat kegitan belajar mengajar.
Siswa dirangsang untuk bertanya dan mencari pemecahan masalah serta didorong
untukmenafsirkan informasi yang diberikan oleh guru, sampai informasi tersebut
dapat diterima oleh akal sehat. peta hasil belajar rumpun pembelajaran demokrasi
yang dapt dikembangka untuk nilainilai demokrasi, meliputi
Tingkat Deskripsi Peta Hasil Belajar
1. Peserta didik menunjukkan kemampuan mengidentifikasi diri dan
keluarga (nama, tempat tinggal, umur)
2.  Peserta didik menunjukkan kemampuan menggolongkan
peran-peran anggota keluarga dan sekolaj sesuai dengan
kedudukannya.
 Peserta didik menunjukkan kemampuan untuk menempatkan
etika dan sopan santun dalam berinteraksi di rumah, sekolah,
dan lingkungan.
3.  Peserta didik menunjukkan kemampuan mendeskripsikan
acuan-acuan yang berlaku di keluarga dan sekolah.
 Peserta didik menunjukkan kemampuan mendeskprisikan
keanekaragaman etnis yang ada di lingkungan setempat.
 Peserta didik men menunjukkan kemampuan mendeskprisikan
perubahan-perubahan dalam pranata keluarga.
4. Peserta didik menunjukkan kemampuan membandingkan berbagai
kelompok sosial di masyarakat.
5. Peserta didik menunjukkan kemampuan menerapkan nilai-nilai dan
norma-norma dalam menciptakan ketentuan hidup dalam masyarakat.
6. Peserta didik menunjukkan kemampuan menganalisis nilai dan norma
dalam membentuk ketentuan hidup bermasyarakat.
7. Peserta didik menunjukkan kemampuan menganalisis berbagai faktor
penyebab konflik sosial dan dampaknya serta memberikan alternative
pemecahannya.

Deskripsi Hasil Analisis Indikator


1. Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli
Nilai-nilai memainkan peranan penting di dalam kehidupan masyarakat.
Terjadinya hubungan-hubungan social didasarkn bukan saja pada fakta-fakta
positif, akan tetapi juga pertimbanganpertimbangan nilai negative
(Duverger,1982).
Karena nilai-nilai mencerminkan suatu kualitas preferensi dalam tindakan.
Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli dibedakan dalam lima pernyataan yang
terdiri dari sangat setuju, setuju, cukup setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju.
Dalam pernyataan “saya senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam pilkada”
menunjukan bahwa 60 persen setuju atau 29 responden dari 48 yang menyatakan
sangat senang terdaftar sebagai pemilih pemula.
Selanjutnya dalam pernyataan“sebaiknya seusia saya sudah diwajibkan
untuk ikut berpolitik” menunjukan bahwa 60 persen setuju atau 29 responden dari
48 yang menyatakan sebaiknya seusia saya sudah diwajibkan unutk ikut
berpolitik. Sedangkan 10 persen menyatakan tidak setuju
Berikutnya dalam pernyataan:”ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih
pemula dalam pilkada” menunjukan bahwa 48 persen setuju atau 23 responden
dari 48 yang menyatakan sebaiknya ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih
pemula dalam pilkada
Dalam pernyataan: “ikut pilkada hanya sebagai keisengan saja”
menunjukan bahwa 73 persen tidak setuju atau 35 responden dari 48 yang
menyatakan “ikut pilkada hanya sebagai keisengan saja” dan hanya 8 persen yang
setuju. Berikut pernyataan “karena teman yang lain tidak ada yang jadi pemilih
sehingga saya juga tidak memilih, menunjukan 67 persen tidak setuju atau 32
responden dari 48 yang menyatakan tersebut
Selanjutnya pernyataan: “pada saat pilkada, saya dan kelompok teman
bermain sedang ada kegiatan lain sehingga lebih baik tidak memilih”, menunjukan
bahwa 62 persen tidak setuju atao 30 responden dari 48 yang menyatakan tersebut
Dalam pernyataan: “saya disuruh dating ke TPS untuk menyoblos padahal
saya belum berpengalaman”, menunjukan bahwa 46 persen setuju atau 22
responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Sedangkan 25 persen yang tidak
setuju.
Pernyataan : “saya berusaha mengajak yang lain yang sudah terdaftar
sebagai pemilih untuk ikut jadi pemilih pemula dalam pilkada”, menunjukan
bahwa 58 persen setuju atau 28 responden dari 48 yang menyatakan tersebut
Selanjutnya pernyataan: “ program pemda/KPU tidak sesuai dengan
aspirasi saya, sehingga saya malas ikut pilkada”, menunjukan bahwa 44 persen
tidak setuju atau 21 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Sedangkan yang
setuju sebanyak 33 persen.
Selanjutnya pernyataan: “kriteria calon pilkada tidak ada yang sesuai
dengan keinginan saya”, menunjukn bahwa 42 persen tidak setuju atau 20
responden dari 48 yang menyatakan tersebut namun yang setuju sebanyak 54
persen atau 26 responden, dimana pernyataan cukup setuju dan setuju seimbang.
Berikut pernyataan: “saya melakukan pencoblosan untuk pilkada karena
saya ingin jadi warga yang baik”, menunjukan bahwa 52 persen setuju atau 25
responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Namun berdasarkan data, secara
umum responden menyatakan setuju.
2. Partisipasi aktif yaitu perihal turut berperan serta di suatu kegiatan
secara giat/berusaha
Menggambarkan data sebagai berikut: pernyataan “sebagai generasi muda
saya dukung kegiatan politik”, menunjukan 52 persen setuju atau 25 responden
yang menyatakan tersebut. “saya akan memilih salah satu calon di pilkada dengan
ikut kampanye”, menunjukan 50 persen cukup setuju atau 24 responden yang
menyatakan tersebut. “saya selalu mencari informasi di media unutk mengetahui
perkembangan pilkada”, menunjukan 40 persen cukup setuju atau 19 orang yang
menyatakan tersebut. “disetiap waktu saya suka membicarakan tentang pilkada
dengan teman lain”, menunjukan 42 persen cukup setuju dan tidak setuju atau
masing-masing 25 responden yang menyatakan tersebut. “saya menyebarluaskan
berita tentang pilkada kepada orang lain”, menunjukan bahwa 56 persen setuju
atau 27 responden yang menyatakan tersebut.
“supaya orang lain menjadi mengerti sehingga saya berdiskusi dengan para
guru mengenai pilkada”. Menunjukan hampir seimbang yaitu 50 persen tidak
setuju dan 46 persen setuju.

3. Kebermanfaatan yang diperoleh yaitu sesuatu hal/keadaan yang berguna


untuk dicapai,
Menggambarkan pernyataan: “saya ikut memilih dalam pilkada supaya
mengerti berpolitik”,menunjukan 48 persen setuju atau 23 responden yang
menyatakan tersebut. “sebagai pemilih di pilkada tidak ada untungnya”,
menunjukan 50 persen tidak setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut
dan 23 persen setuju atau 11 responden menyatakan hal yang sama. “tujuan saya
ikut memilih pilkada karena memang disuruh oleh guru di sekolah”, menunjukan
54 persen tidak setuju atau 26 responden yang menyatakan tersebut.
“ikut pilkada sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah”, mennjukan 44
persen setuju atau 21 responden yang menyatakan tersebut. “saya merasa jadi
warga yang baik setelah ikut pemilihan dalam pilkadaa”, menunjukkan 56 persen
setuju atau 27 responden yang menyatakan tersebut
“belajar di sekolah tentang berpolitik sebatas teori sedangkan prakteknya
saya ikut pilkada”, menunjukan 50 persen setuju atau 24 responden yang
menyatakan tersebut.
“lebih baik belajar berpolitik dilakukan sesaat saja”. Menunjukan 50
persen tidak setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut. Namun 46
responden menyatakan setuju dan cukup setuju.

4. Akses kontrol sosial yaitu pencapaian pengendalian berkenaan dengan


masyarakat,
Digambarkan dengan pernyataan: “syaa adalah bagian dari masyarakat”,
menunjukan 70 persen setuju atau 34 responden yang menyatakan tersebut. “jika
terdapat penyimpangan berpolitik dalam masyarakat saya cuek saja”,
menunjukkan masing-masing seimbang yaitu 35 persen setuju dan tidak setuju
atau 15 responden yang menyatakan tersebut. “saya selalu ikut-ikutan dalam
kegiatan masyarakat”, menunjukkan 42 persen tidak setuju atau 20 responden
yang menyatakan tersebut.
“lebih baik berdiam diri, saat ada keributan mengenai pilkada”,
menunjukkan 29 persen tidak setuju atau 14 responden yang menyatakan tersebut.
Namun 31 persen responden setuju. “saya akan berusaha mencari informasi
tentang calon pilkada yang pantas saya pilih”, menunjukkan 54 persen setuju atau
26 responden yang menyatakan tersebut.
“membantu kegiatan seputar pilkada, jika diperlukan”, menunjukkan 84
persen setuju dan cukup setuju atau 40 responden yang menyatakan tersebut.
“sebaiknya sebagai pelajar kita wajib menyukseskan pilkada”,
menunjukkan 90 persen setuju dan cukup setuju atau 43 responden yang
menyatakan tersebut.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam
pilkada
Yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari
pengalaman ygn telah didapatkannya, menggambarkan data pernyataan: “saya
tidak berminat ikutikutan dalam pemilihan pilkada”, menunjukkan 44 persen tidak
setuju atai 21 responden yang menyatakan tersebut. “setelah ikut pilkada saya
tidak merasa mendapatkan pembelajaran politik”, menunjukkan 38 persen setuju
atau 18 responden yang menyatakan tersebut.
“ikut Pilkada biasa-biasa saja”, menunjukan 40 persen setuju atau 19
responden yang menyatakan tersebut. “saya paham tentang berpolitik setelah ikut
Pilkada”, menunjukan 44 persen setuju atau 21 responden yang menyatakan
tersebut. “saya akan ajak teman untuk ikut Pilkada karena berguna untuk masa
depan”, menunjukan 40 persen setuju atau 19 responden yang menyatakan
tersebut, “lebih baik belajar politik di sekolah saja seperti dalam pemilihan ketua
kelas”, menunjukann 38 persen tidak setuju atau 18 responden yang menyatakan
tersebut. “saya jadi ragu apakah aspirasi saya untuk memilih dapat direalisasikan
oleh pemenang Pilkada”, menunjukan 33 persen tidak setuju atau 16 responden
yang menyatakan tersebut. Namun 31 persen menyatakan setuju.
Perhitungan skor akan dilakukan melalui Standar Deviasi. Sebelum
menggunakan perhitungan standar deviasi,
B . Pembahasan
Dalam pembahasan konsep tingkat kesadaran pemilih pemula dalam
pilkada digunakan indikator yang tergambarkan dalam bentuk item-item
pernyataan sikap, yaitu pilihan jawaban responden terhadap item-item pernyataan
yang ada pada kuesioner, yang merupakan pernyataan dengan kategori sangat
setuju, setuju, cukup setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Apabila respondden memberikan persetujuan dengan konsisten dan betul
betul atas dasar pemahaman isi pernyataan, maka responden yang mempunyai
tingkat kesadaran baik akan dengan konsisten menyetujui pernyataan-pernyataan
yang bernilai skala besar. Sebaliknya responden yang tidak mempunyai kesadaran
baik akan secara konsisten menyetujui pernyataan-pernyataan yang mempunyai
nilai skala kecil.
Atau dengan perkataan laindapat dikatakan bahwa pandangan positif dan
bernilai skala besar, jika setuju dengan konsep sebagai pemilih pemula di pilkada,
sebaliknya pandangan negatif dan bernilai skala kecil jika tidak setuju dengan
konsep sebagai pemilih pemula dalam pilkada.
Dari skor/nilai di atas, maka dapat diketahui bahwa :
N = 48
[x i = 5803
[xi2 = 709401
Berdasarkan skor tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada di atas ,
maka akan dihitung terlebih dahulu nilai rata-rata sebagai berikut.
U = 1/N.[xi
=1/48.5803
=120,89
Dari hasil perhitungan nilai rata-rata tersebut, selanjutnya akan dihitung pula
standar deviasi dari tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada sebagai
berikut.
T = V.N. [xi2 - ( [xi ) 2/N2
=48.709401 -( 5803 ) 2/2304
=34051248 - 33674809/2304
=376439/2304
T =12,78
Dari hasil perhitungan standar deviasi di atas, maka akan diperoleh criteria tingkat
kesadaran pemilih pemula dalam pilkada sebagai berikut.
a) Tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada, sangat kurang baik, yaitu
kurang dari :
<( u-0,5 T )
<( 120,89 - 0,5.12,78 )
<( 120,89 - 6,39 )
< 114,5
< 115
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil perhitungan di atas,adalah tingkat
kesadaran pemilih pemula dalam pilkada yang mempunyai kriteria sangat kurang
baik berjumlah 16 orang atau 33,
b) Tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada kurang baik, antara :
=( u-0,5.T ) dan ( u-0,25.T )
=( 120,89 - 0,5.12,78 ) dan (120,89 – 0,25.12,78 )
=120,89 -6,39 dan 120,89 –3,195
=114,5 – 11769
=115-118
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil perhitungan di atas , adalah bahwa
tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada yang mempunyai criteria kurang
baik berdasarkan perhitungan nilai/skor tidak ada.
c) Tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada cukup baik, antara :
= ( u – 0,25. T ) dan ( u + 0,25.T)
=( 120,89 – 0,25. 12,78 ) dan (120,89 + 0,25. 12,78 )
=( 120,89 -3,195 ) dan ( 120,89 + 3,195 )
= 117,69 – 124,08
=118 – 124
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil perhitungan di atas, adalah bahwa
tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada yang mempunyai kriteria cukup
baik berjumlah 14 orang atau 29,2 %.
d) Tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada baik, antara :
= ( u + 0,25.T ) dan ( U + 0,5 .T)
= ( 120,89 + 0,25 . 12,78 ) dan (120,89 + 0,5. 12,78 )
= ( 120,89 + 3,195 ) dan (120,89 + 6,39 )
= 124,08 – 127,28
= 124 – 127
e) Tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada sangat baik, lebih besar dari
( u + o,5. T )
( 120,89 + 0,5 . 12,79 )
( 120,89 + 6,39 )
127,28
127
Kesimpulan dapat ditarik dari perhitungan di atas, adalah bahwa tingkat kesadaran
pemilih pemula dalam pilkada yang mempunyai kriteria baik dan sangat baik
berjumlah 18 orang atau 37,5 %.

Tabel 4. Tingkat Kesadaran Pemilih Pemula dalam Pilkada


Dari tabel di atas menunjukan bahwa presentase dari masing-masing
criteria mempunyai selisih yang tidak jauh berbeda. Dengan demikian yang dapat
kami simpulkan bahwa tingkat kesadaran siswa SLTA diwilayah wasile sebagai
pemilih pemula dala pilkada.
Pilkada Halmahera Timur memiliki pandangan yang sangat beragam. Hal
ini sangat beralasan karena sebagai pemilih pemula siswa dihadapkan pada
persoalan psikologis yaitu menempatkan jati diri dan pemahaman tentang belajar
berpolitik yang banyak dipengaruhi oleh pergaulan antar rekan sejawat dan
lingkup persekolahan.
Selain itu jika dapat dipetakan dari tingkat kesadaran tersebut tidak
terlepas dari pengalaman yang masih baru dan awam sabagai pemilih pemula,
sehingga peran guru terutama guru sosiologi dapat berperan aktif dalam
mensosialisasikan konsep politik yang benar dan tepat kepada para siswa. Dengan
program School-Based Democracy Education diharapkan penerapan budaya
berpolitik yang tepat dapat diimplementasikan secara profesional oleh masyarakat
sekolah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai
kesadaran politik pemilih pemula dalam pilkada : sebagai refleksi School-Based
Democracy Education, dapat disimpukan beberapa hal sebagai berikut :
1) Tingkat kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada enunjukan
perbedaan yang beragam didasarkan pada pemahaman dan pengalaman belajar
konsep berpolitik ditingkat persekolahan. Pada umumnya pengalaman tersebut
didapat sebatas dalam pemilihan ketua OSIS atau ketua kelas dan pemilihan
lainnya.
2) Dari hasil penjabaran indicator yang dikembangkan menghasilkan indikasi
bahwa hampir 60 persen siswa senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam
pilkada. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran ikut aktif berpolitik telah enjadi
kekuatan individu siswa dalam bermasyarakat , berbangsa dan bernegara.
3) Pentingnya kesadaran berpolitik bagi siswa dapat dijelaskan dengan nilai sikap
dan perilaku yang saling peduli yaitu suatu nilai dari perbuatan yang timbale balik
untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan.
Rata-rata pernyataan sikap siswa di atas 60 persen berpandangan positif.
Sedangkan partisipasi aktif yaitu perilaku turut berperan serta disuatu kegiatan
secara giat/berusaha. Rata-rata pernyataan sikap siswa 56 persen mendukung.
Adapun mengenai kebermanfaatan yang diperoleh yaitu suatu hal/keadaan yang
berguna untuk dicapai, rata-rata pernyataan sikap siswa 48 persen menyatakan
positif. Mengenai akses kontrol sosial yaitu pencapaian pengendaliaan berkenaan
dengan masyarakat, rata-rata pernyataan sikap siswa 62 persen memberikan
kontribusi baik, dan berdasarkan dampak yang didapat dari pengalaman sebagai
pemilih pemula dalam pilkada yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat
negatif dan positif dari pengalaman yang telah didapatkannya, rata rata pernyataan
sikap siswa 40 persen berpengaruh terhadap pola pikirnya.
B. Saran

1) Perlu diberikan sosialisasi kesadaran berpolitik bagi siswa sebagai pemilih


pemula dalam pilkada dilingkup persekolahan, pemda setempat, dan LSM terkait.
2) Perlu mengembangkan hasil penelitian dengan melakukan penelitian lanjutan
yang lebih luas dan sistematis, sehingga diperoleh anfaat yang lebih optimal.
3) Peran komponen sekolah , yaitu siswa , guru, dan komite sekolah terhadap
pendidikan demokrasi sebagai aplikasi dari School- Based Democracy Education
lebih disenergikan.
4) Pengadaan suatu Civic Learning Center yang dapat digunakan siswa untuk
belajar dan berbagi pengalaman seputar budaya politik dan berdiskusi tentang
makna demokrasi sehingga pemahaman mengenai berpolitik menjadi lebih
profesional dan bermakna menjadi focus keberadaannya. Ditempat ini akan
dijumpai beberapa kegiatan seperti kegiatan eskul lainnya dan zona online serta
melibatkan siswa pada observasi-observasi lapangan seputar masalah pilkada
DAFTAR PUSTAKA

Arfani, Riza Noer, 1996, Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: Raja


Grafindo Persada.
Bambang, 2004, ”Menggagas Partisipasi Aktif Guru dalam Peta Politik
Indonesia” Materi Seminar, Bandung.
Budiardjo Miriam, 1982, Masalah Kenegaraan, Jakarta: Gramedia.
Budiyanto, 2002, Kewarganegaraan , SMA Kurikulum 2004, Jakarta : Elangga
Hadi Sutrisno, 1990, Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset
J.W.Batawi, 2004, Guru dalam Partai Politik, makalah, tidak diterbitkan.
Koentjaraningrat, 1980, Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Gramedia.
Panggabean, 1994, Pendidikan Politik dan Kaderisasi Bangsa, Jakarta: Sinar
Harapan.
Polma M.Margaret, 1987, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Prijono Onny, 1987, Kebudayaan Remaja dan Sub-Kebudayaan Delinkuen,
Jakarta: CSIS.
Rush, Michael dan Althoff, Philip (1990). Penganntar sosiologi Politik, Jakarta:
Rajawali Press.
Saripudin U, 2001, Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana
Sistemik PendidikanDemokrasi ( Disertasi ). UPI : Program Pascasarjana.
Saripudin U.dkk, 2003, Materi dan Pembelajaran PKn SD, Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.
Suharsimi A, 1993, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta.
Suhartono, 2006, Tingkat Kesadaran Pemilih dalam Pemilu, (makalah tidak
diterbitkan).

Anda mungkin juga menyukai

  • BBBB
    BBBB
    Dokumen15 halaman
    BBBB
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Silabus Bab 1
    Silabus Bab 1
    Dokumen3 halaman
    Silabus Bab 1
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Lampiran 1
    Lampiran 1
    Dokumen4 halaman
    Lampiran 1
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Lampiran 3 Dan 3 A
    Lampiran 3 Dan 3 A
    Dokumen40 halaman
    Lampiran 3 Dan 3 A
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Cover+Kata Pengantar
    Cover+Kata Pengantar
    Dokumen24 halaman
    Cover+Kata Pengantar
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Lampiran 35
    Lampiran 35
    Dokumen6 halaman
    Lampiran 35
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Kritikan Buku
    Kritikan Buku
    Dokumen13 halaman
    Kritikan Buku
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Prosem Kelas Vii
    Prosem Kelas Vii
    Dokumen7 halaman
    Prosem Kelas Vii
    Simson Voeller Pardosi
    Belum ada peringkat
  • Kritikan Buku
    Kritikan Buku
    Dokumen13 halaman
    Kritikan Buku
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Review
    Review
    Dokumen1 halaman
    Review
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • PKM
    PKM
    Dokumen24 halaman
    PKM
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Mini
    Mini
    Dokumen6 halaman
    Mini
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Bab
    Bab
    Dokumen8 halaman
    Bab
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Authors
    Authors
    Dokumen4 halaman
    Authors
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Kritikan
    Kritikan
    Dokumen11 halaman
    Kritikan
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Judul
    Judul
    Dokumen17 halaman
    Judul
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Bab
    Bab
    Dokumen8 halaman
    Bab
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Bab Pembahasan PKM
    Bab Pembahasan PKM
    Dokumen17 halaman
    Bab Pembahasan PKM
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Bab Pembahasan PKM
    Bab Pembahasan PKM
    Dokumen17 halaman
    Bab Pembahasan PKM
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Abs Trak
    Abs Trak
    Dokumen1 halaman
    Abs Trak
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Judul
    Judul
    Dokumen17 halaman
    Judul
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • SKT
    SKT
    Dokumen1 halaman
    SKT
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • SKT
    SKT
    Dokumen1 halaman
    SKT
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Perbaikan RPP 3
    Perbaikan RPP 3
    Dokumen15 halaman
    Perbaikan RPP 3
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Program Semester
    Program Semester
    Dokumen6 halaman
    Program Semester
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Program Semester
    Program Semester
    Dokumen6 halaman
    Program Semester
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat
  • Program Tahunan Gladis
    Program Tahunan Gladis
    Dokumen3 halaman
    Program Tahunan Gladis
    Claudia Beatrix Lumban Gaol
    Belum ada peringkat