Oleh :
Preseptor :
PADANG
2017
BAB I
Pendahuluan
1
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD)
adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring,
laring dan saluran nafas.4,7
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada
setiap orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak
sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi
peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke
lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak
menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi
berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 8
2.2. Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di
laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi
sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan.
Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara negara non-western
prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). Sementara di
Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini, namun di Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan
wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1.4 GERD pada negara
berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD. 4,9
2.3. Anatomi dan Fisiologi
a. Faring
2
Faring atau pharynx berasal dari bahasa yunani yang berarti tenggorok.
Faring digunakan sebagai saluran alat pernafasan. Pada manusia faring juga
digunakan sebagai alat artikulasi bunyi. Berdasarkan letaknya faring dibagi
menjadi Nasofaring, Orofaring dan Laringofaring. Fungsi faring yang utama
adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan artikulasi. Dan
yang bagian faring yang digunakan saat menelan adalah orofaring dan
laringofaring.
b. Esophagus
Esofagus atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada
vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam
lambung. Makanan berjalan melalui esofagus dengan menggunakan proses
peristaltik.
Esofagus bertemu dengan faring – yang menghubungkan esofagus
dengan rongga mulut pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi,
esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah
otot rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian
inferior (terutama terdiri dari otot halus).
Esofagus merupakan suatu organ berongga dengan panajang sekitar 25
cm dan diameter 2 cm. Terbentang dari hipofaring atao laringofaring hingga
3
bagian kardia dari lambung. Esofagus terletak posterior dari trakea dan jantung,
anterior terhadap vertebrae. Esofagus terutama befungsi menghantarkan bahan
makanan dari faring ke lambung.
5
Terdapat tiga fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase
esofageal. Pada fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan
disini disengaja atau volunter. Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus
makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus
makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung atau fase
esofageal.
Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan yang telah dikunyah membentuk bolus makanan. Bolus ini
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat
kontraksi otot intrinsik lidah.7
6
Kontraksi dari m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada
lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas
dinding posterior faring ternagkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat keatas. Berasamaan dengan ini terjadi penutupannasofaring
sebagai akibat dari kontraksi m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi
kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke
rongga mulut.
Fase Faringeal
Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpidahan
bolus makanan dari faring ke esofagus.
Faring dan laring bergerak keatas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfingofaring, m.tirohioid, dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup oleh
epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan pika vokalis tertutup karena kontraksi dari m.ariepiglotika dan
m.aritenoid obliquus. Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian udara ke
laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan
tidak akan sampai masuk ke dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus makanan
akan meluncur ke arah eofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah
dalam keadaan lurus.7
Fase Esofageal
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus tertutup, namun dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan
bisa masuk.7
Setelah bolus lewat, maka SEA akan berkontraksi lebih kuat melebihi
tonus introitus esofagus saat istirtahat, sehingga makanan tidak akan kembali
ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.7
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya
bolus makanan akan didorong ke distal oleh peristaltik esofagus.7
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dri tekanan dalam lambung sehingga
tidak akan terjadi regurgitasi. Pada akhir fase esofageal, SEB ini akan terbuka
7
secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong
makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini
akan menutup kembali.7
2.4. Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi
dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus.
Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal
Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus, resistensi mukosa
yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum, baik asam lambung
maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta
faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor
utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat
mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan
penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir
selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada
tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient sphincter
relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses menelan.
Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman
Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat
keadaan.Faktor hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya
tonus LES.5
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam
mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan
bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam
(esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap.
Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan
cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk
sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus
8
sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang
masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya gravitasi dan
peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling merugikan
oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan
proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer
dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus.
Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan
tersebut.5
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks
mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan
tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien
GERD.5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari
pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu
terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks.
Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan
refluks tadi.5
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan
mukosa esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.
2.5. Patofisiologi
Penyakit GERD bersifat multifaktorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih pada
disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus.7
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup
lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat
dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak
9
dengan refluksat tidak terlalu lama.4 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter
esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga
ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.3
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan
oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan
dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau
retrogard (muntah atau sendawa).4
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah.3,4 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus
bawah.3 Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg.4 Sedangkan
pada orang normal 25-35 mmHg.7
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus
bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan
intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan
lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi
lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring,
laring, mulut atau nasofaring.3
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat.4 Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya
tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi
peningkatan tekanan intraabdomen.4
10
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal.
Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain :3,4
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-
lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat
menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa
pada kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh
terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat
spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada
beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan
lambung dan dilatasi lambung.3,4
11
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar
bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.4
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu
bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin
besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD
memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks
adalah peristaltik esofagus yang minimal.4
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak
aktif.4
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster
(menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim
pancreas.4
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2,
12
atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling
memiliki daya rusak tinggi.4
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain :
dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan
lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif
kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang. 4
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab
GERD. Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari
lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster.
Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB.
Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah
refluks.9
13
terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA
menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.10
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang
terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan
regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah
terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian
14
atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-
menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni.
Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk,
cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak
nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun
dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip
bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit
faring dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang
merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin
dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh striktur esofagus,
tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan penyempitan lumen.
Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa gangguan motilitas dari esofagus
atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah. Gangguan motorik yang sering
menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan spasme esofagus yang
difus.5,6
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik
seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma3.
Manifestasi non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada
Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi
(Enamel decay).6 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD
oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB.
Misalnya theofilin.
2.7. Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
15
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien
GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux disease
(NERD).7
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala
heartburn atau regurgutasi memang karena GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya
pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
b. Klasifikasi Savary-Miller12
16
memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan hiatus
henia.2,4
Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastika ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4 pada
jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.3,4
Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada
pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan
pada esofagus4.
Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.3,4
Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut.
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4
17
perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah
satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan
kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB turun,
anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan
keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.4
2.8. Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura
esofagus dan esofagus Barret7,9.
Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari
50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara
lambung dan esophagus.9
Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat
refluks.9 Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada
gastroesophageal junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang
bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat. Seringkali
keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier
refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm.
Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat
dilakukan operasi.7
Barrett’s Esophagus
18
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti
menjadi epitel kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor
Adenokarsinoma esophagus.11 Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien
GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan
regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini
diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya
segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas
ke proksimal melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras
sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus.
Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa.7
2.9. Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi
gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini
mulai dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.4,5.
19
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman
soda karena dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam,
antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita
hamil dengan GERD.5
Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal
baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama
yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan
tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan, baru diberi obat
dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu
antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih
ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan
konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa
terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down.
3,4,5
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan
masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esophagitis.3,4,5 Selain
sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.4,5
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat
terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok
makan.
Antagonis Reseptor H2
20
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan
sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus.2,3 Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya
dengan barrett’s esophagus.5
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun
praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.4
Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan
gaster.
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan
dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan
dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid)
hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek
sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan
lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
21
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan
berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap
HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.3,4
Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan
drug of choice.3,4,5 Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir
proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis
erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung
esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan
prokinetik.
22
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.
Terduga kasus
GERD
Tidak Diselidik
diselidiki
Keluhan menetap
On demand Terapi
therapy Maintenance
23
Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain: Diagnosa yang tidak benar, pasien
GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-
mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus
kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan
adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil
yang tidak memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi
gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang
dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5
Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil.
Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik
operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah
memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan
cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.12
24
Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi
medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada
pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien
dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan
pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam
lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara
histologis menderita esofagus barret.
Terapi Endoskopi
25
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir
ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu,
penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi
endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian
distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.4
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal
pasien suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk
terapi medik.10
2.10. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan,
walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis
yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi, penyakit
saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan.
Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu, mortaliti dan
morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah medis yang
kompleks.
26
BAB III
Penutup
27
DAFTAR PUSTAKA
28