CHF
Disusun oleh:
Nania T. D. N. Tampubolon G4A017011
Nur Eka Oktafyanti 1620221180
2017
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
CHF
Disusun oleh:
Nania T. D. N. Tampubolon G4A017011
Nur Eka Oktafyanti 1620221180
Dokter Pembimbing:
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural
ataupun fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian ventrikel dan
ejeksi darah ke seluruh tubuh (AHA, 2014). Angka kejadian gagal jantung semakin meningkat
dari tahun ke tahun, data WHO tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat
menderita gagal jantung dan 700.000 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit per
tahun. Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih
lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun (Gray et.al, 2005). Menurut World Health Organization
(WHO), penyakit kardiovaskular akan menjadi penyebab terbanyak kasus kematian di seluruh
dunia. Di Indonesia, penyakit gagal jantung kongestif telah menjadi pembunuh nomor satu.
Prevalensi penyakit jantung di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun (2013), prevalensi gagal jantung berdasarkan pernah
didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13 persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau
gejala sebesar 0,3 persen.
Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat
diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis
ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun
pertama. Di Inggris, sekitar 100.000 pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk gagal
jantung, merepresentasikan 5% dari semua perawatan medis dan menghabiskan lebih dari 1%
dana perawatan kesehatan nasional di negara tersebut (Gray et.al, 2005).
BAB II
STATUS PENDERITA
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. SK
Usia : 64 tahun
Alamat : Linggapura RT 001/007 Tonjong
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Tanggal masuk : 28-10-2017
Tanggal periksa : 01-11-2017
No. CM : 00908925
B. Anamnesis
1. Keluhan utama :
sesak nafas
2. Keluhan tambahan :
Kaki bengkak, BAK tidak lancar, nyeri dada menjalar sampai ke punggung.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak nafas 1 hari SMRS,
pasien juga mengeluhkan kedua kaki bengkak, BAK tidak lancar dan nyeri
dada menjalar sampai ke punggung. Sesak napas memberat saat kelelahan
dan membaik jika minum obat. Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan
berat badan. Sebelumnya pasien sudah pernah masuk RS dengan keluhan
yang sama, pasien pernah menjalani HD 1 kali di bulan Juni 2017. Pasien
rutin kontrol tiap bulan di poli jantung.
Nafsu makan pasien juga menurun. Sekarang setiap kali makan
pasien hanya menghabiskan ½ porsi dari biasanya. Pasien menyangkal
merasa panas seperti terbakar di perut atas dan menjalar hingga ke leher.
b. Personal habit
Pasien tidak merokok. Pasien sering minum teh tawar.
d. Drug and Diet
Pasien mengaku makan sehari 3 kali dengan lauk yang cukup
bervariasi. Pasien mengaku jarang berolahraga dan mempunyai suka
makan gorengan. Pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi obat-
obatan terlarang. Pasien rutin konsumsi obat ISDN, Irbesartan, Ca CO3,
Bicnat, Pro renal dan Asam folat.
e. Occupational
Pasien seorang Ibu rumah tangga
f. Biaya Pengobatan
Pasien berasal dari keluarga menengah. Sumber pembiayaan
kesehatan berasal dari BPJS Non PBI.
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal RSR Bawah RSMS, 01 November 2017
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
4. Tanda vital
5. Tekanan darah : 110/80 mmHg
6. Nadi : 92 x/ menit, regular, isi cukup
7. Respirasi : 18 x/ menit
8. Suhu : 36.2 ºC
9. BB : 60 kg
10. TB : 160 cm
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
28-10- 2017 29-10-2017 30-10-2017 31-10-2017
Hemoglobin 8.8 g/dL (L) 10.9 mg/Dl (H)
Leukosit 9010 U/L 9650 u/L
Hematorkit 27 % (L) 32 % (L)
Eritrosit 3.0 x10^6/uL (L) 3.7 x10^6/uL (L)
Trombosit 213k/uL 224k/UL
MCV 89.0 fL 67.2 fL
MCH 29.4 pg/cell 29.6 ng/cell
MCHC 33.1 % 34.0 %
MPV 12.0 % 11.9 %
RDW 10.7 Fl 11.0 fL
Hitung jenis
Basofil 0.2 % 0.4%
Eosinofil 1.7 % (L) 1.9 % (L)
Batang 0.2 % (L) 0.6 % (L)
Segmen 35.6 % (L) 71.9 % (H)
Limfosit 54.3 % (H) 18.9 % (L)
Monosit 8.0 % 6.3 %
Kimiaklinik
SGOT 33 U/L
SGPT 30 U/L
Ureum darah 93.1 mg/Dl (H) 93.8 mg/dl (H) 92.6 mg/dl (H)
Kreatinin 5.14 mg/Dl (H) 5.00 mg/dl (H) 4.25 mg/dl (H)
GDS 72 mg/Dl 297 mg/dl (H) 295 mg/dl (H) 257 mg/dl (H)
Natrium 144 mmol/L
Kalium 3.5 mmol/L
Klorida 109 mmol/L (H)
EKG Tgl 28 Oktober 2017
E. Diagnosa
- CHF
F. Tatalaksana
Non farmakologis
1. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit, risiko, komplikasi dan
pencegahannya
G. Prognosis
1. Ad fungsionam : ad malam
2. Ad vitam : ad malam
3. Ad sanationam : ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
KLASIFIKASI
Untuk mempermudah hal klasifikasi fungsional, NYHA mengklasifikasikan gagal
jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa. Klasifikasi
menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan pedoman untuk pengklasifikasian
penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik.
Tabel 1. Klasifikasi Fungsional NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang
dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari –
hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan.
Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan
akan semakin meningkat.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir selalu disertai
peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena ventrikel yang
lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan
volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam
jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin mengenai
sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung (Brainwauld, 2009)..
PATOMEKANISME
Mekanisme Frank Starling
Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan
volume ventriculer end diastolic. Bila terjadi peningkatan pengisian diastolic, berarti ada
peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal pada filament aktin dan myosin,
dan hasilnya meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal,
mekanisme Frank Starling mencocokkan output dari dua ventrikel (Boron dan Boulpaep,
2005).
Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung kardiak output.
Kardiak output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung yang sedang beristirahat,
dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end diastolic dan mekanisme Frank-
Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika jantung mengalami pengisian yang
berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang berlebihan (Boron dan Boulpaep, 2005).
Hal penting yang menentukan kosumsi energy otot jantung adalah ketegangan dari dinding
ventricular. Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan ketebalan dinding pembuluh
darah dan meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan
dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan
kebutuhan oksigen otot jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya
gangguan fungsi jantung (Loscalzo et al., 2008).
Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik
Stimulasi system saraf simpatetik berperan penting dalam respon kompensasi menurun
cardiac output dan pathogenesis gagal jantung . Baik cardiac sympathetic tone dan katekolamin
(epinephrine dan norepinephrin) meningkat selama tahap akhir dari hamper semua bentuk
gagal jantung. Stimulasi lansung irama jantung dan kontraktilitas otot jantung oleh pengaturan
vascular tone, sistem saraf simpatetik membantu memelihara perfusi berbagai organ, terutama
otak dan jantung (Loscalzo et al., 2008). Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf
simpatetik melibatkan peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung
dalam memompa. Stimulasi simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran
darah ke kulit, otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya menurunkan perfusi
jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan vaskular dan stres berlebihan
dari jantung (Rang, 2003).
Mekanisme Renin-Angiotensin Aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output dalam gagal
jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus, yang
menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal, meningkatkan sekresi
renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pula angiotensin II. Peningkatan
konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi
produksi aldosteron dari adrenal korteks. Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium
dengan meningkatkan retensi air (Tsutsui et al., 2007). Selain itu angiotensin II dan aldosteron
juga terlibat dalam inflamasi proses perbaikan karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya
menstimulasi produksi sitokin, adhesi sel inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan
kemotaksis; mengaktivasi makrofag pada sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi
pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan kolagen (Loscalzo et al., 2008).
Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara local
Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide (ANP), brain natriuretic
peptide (BNP), dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP dihasilkan dari sel atrial sebagai
respon meningkatkan ketegangan tekanan atrial, memproduksi natriuresis cepat dan sementara,
diuretik dan kehilangan kalium dalam jumlah sedang dalam urine. BNP dikeluarkan sebagai
respon tekanan pengisian ventrikel sedangkan fungsi CNP masih belum jelas.
Hipertrofi otot jantung dan remodeling
Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah satu mekanisme
akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi ventrikel memperbaiki kerja
jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang penting bagi morbiditas dan mortalitas. Keadaan
hipertrofi dan remodeling dapat menyebabkan perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi
chamber) dan fungsi (gangguan fungsi sistolik dan diastolik). Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu
pertama Concentric hypertrophy, terjadi penebalan dinding pembuluh darah, disebabkan oleh
hipertensi.dan kedua Eccentric hypertrophy, terjadi peningkatan panjang otot jantung
disebabkan oleh dilated cardiomyopathy (Shigeyama et al., 2005).
PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Gagal ventrikel kiri : seesak napas, ortopnea, dispena nocturnal paroksismal (masalah
pernapsan pada malam hari dan jumlah bantal yang dipakai), batuk, wheezing,
toleransi olahraga yang berkurang
b. Gagal ventrikel kanan : edema perifer khususnya pada pergelangan kaki, tungkai,
ascites yang menyebabkan distensi abdomen, efusi pleura yang menyebabkan sesak
napas, ikterik, nyeri perut kanan atas, mual dan nafsu makan menurun
c. Mengenai riwayat penyakit dahulu dan obat-obatan apakah ada riwayat penyakit dada,
riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat faktor risiko aterosklerosis, riwayat
penyakit pernapasan atau ginjal
d. Penyelidikan tentang toleransi terhadap olahraga serta masukan garam dan air.
e. Konsumsi obat yang menyebabkan kardiomiopati, merokok dan alkohol
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara
luas.Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut
tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK,
sirosis hati, atau sindroma nefrotik. Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk
gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena jugular
Hepatojugular reflux
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi pasien
dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan apa
penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya sindroma gagal jantung.
Memperoleh informasi tambahan mengenai profil hemodinamik, sebagai respon terhadap
terapi dan menentukan prognosis adalah tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik (Borlaug,
2011).
a. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki
keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa
menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya
nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-kata akibat
sesak.Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya berkurang
pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa
berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa
meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non
spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi
perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir
dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan (Fonseca,
2006).
b. Pemeriksaan vena jugularis
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan,
dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri.Pemeriksaan tekanan vena
jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut
45o.Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H2O (normalnya
kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena jugularis diatas
angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada postur
apapun).Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat
istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup
lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif).Giant V wave menandakan
keberadaan regurgitasi katup tricuspid (Fonseca, 2006).
c. Pemeriksaan Paru
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari
rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat
didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar
(asma kardiale).Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk
gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa ronkhi seringkali tidak
ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika pulmonary
capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien sudah
beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat.
Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura,
hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura.Karena vena pada pleura
bermuara pada vena sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada
kegagalan kedua ventrikel (biventricular failure).Walau effusi pleura biasanya
ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura kanan lebih sering daripada
yang kiri (Kelder, 2011).
d. Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan
informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali,
titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space
(ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri
yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat angkat).
Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya
disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar
dan teraba pada apex (Kelder, 2011).
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi
dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal
kiri (right ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada
pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan
seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi jantung
keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada pada pasien dengan
disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan
pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut (Dickstein, 2008).
e. Pemeriksaan Abdomen dan Ekstremitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan
gagal jantung.Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat
berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul
sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena
yang berfungsi dalam drainase peritenium (Dickstein, 2008).
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium
lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal
jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan)
hepar dan hipoksia hepatoselular.Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal
jantung, hal ini walau demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada
pasien yang telah mendapat diuretik.Edema perifer pada pasien gagal jantung
biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling
sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih
beraktivitas.Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan
skrotum. Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras
dan pigmentasi yang bertambah (Dickstein, 2008).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain adalah : darah
rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine, SGOT/PT, dan BNP.
Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung karena
beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi
gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi
ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan
hemodinamik) (Borlaug, 2011).
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang, namun
dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat ditingkatkan.Kadar
serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik kaliuretik seperti thiazid
atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia. Derajat hiponatremia juga
merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan kadar natrium secara
tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin angiotensin yang terjadi
pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi garam bersamaan dengan terapi diuretik yang
intensif dapat mengakibatkan hiponatremia.Gangguan elektrolit lainnya termasuk
hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia (Borlaug, 2011). Anemia
dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan meningkatnya kardiak
output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme jaringan, hal ini akan
meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa
anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal jantung (Borlaug,
2011).
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan gagal
jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration rate (GFR),
menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan klasifikasi
kelas fungsional. Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai
akibat hepatomegali yang menyertai.Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan
alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT) dapat
memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.Urinalisis
harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk mencari infeksi
bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri.Konsentrasi dan volume urine harus
mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan
yang mendapat diuretic (Borlaug, 2011).
b. Foto Thorax
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang kardiologi,
selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru dapat
dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio (CTR) yang
lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter
dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal jantung.
Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang mengalami
pressure-overload atau volume-overload, dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari
aorta asenden (Borlaug, 2011).
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran hipertensi
pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan gagal jantung
kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya Kerley-
lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang timbul
akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular intersitial akibat adanya
edema.Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena tekanan
hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi.Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan
pada pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung kronis telah
terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang
kelebihan cairan interstitial dan/atau paru.Hal ini konsisten dengan temuan tidak
adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri
pulmonal sudah meningkat.Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga merupakan
informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai
melalui CXR dan CT-scan.
c. Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien yang
dicurigai gagal jantung.1 Dampak diagnostik elektrokardiogram (ECG) untuk gagal
jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi cukup tinggi.1 Temuan
EKG yang normal hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.1 Gagal
jantung dengan perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang Q
patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB),
left bundle branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T dapat
ditemukan. Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan
fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering terjadi
dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk, sementara takikardi
ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap sebagai sesuatu yang
membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya tidak terdeteksi pada resting ECG
tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24- atau 48- jam (Borlaug, 2011).
d. Echocardiography
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum digunakan
untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan perikadium, dan
mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress
farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara
cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah diulang secara serial, dan memungkinkan
penilaian fungsi global dan regional ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung
echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan
aman dengan banyak fitur seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate
imaging, dan cardiac motion analysis (Borlaug, 2011).
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-
ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan
perubahan pada fungsi diastolik.14 Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai
fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung (Borlaug, 2011).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara non
farmakologis dan secara farmakologis.Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik
ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.
Terapi :
1. Non Farmakalogi :
a. Anjuran umum :
1) Terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
2) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
3) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
b. Tindakan Umum :
1) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g
pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5
liter pada gagal jantung ringan.
2) Hentikan rokok
3) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
4) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut
jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
5) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
2. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin II,
diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain,
anti-trombotik, dan anti-aritmia.
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit
diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid.
Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik
intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien
dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal
jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal, dan pada
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai
dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian dimulai dosis
kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal
jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau
metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi terhadap ACE
ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama
diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli
serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.
Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan
aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia
ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang
mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat
digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Borlaug BA, Paulus WJ. Heart failure with preserved ejection fraction: pathophysiology,
diagnosis, and treatment. Eur Heart J 2011;32:670–679.
Brainwauld, E. 2009. Heart Failure and cor pulmonale. Dalam H. L. Kasper, Horrison's
Principal Internal Medicine (hal. 216-230). New York: McGrewHill.
Boron, Walter F.; Boulpaep, Emile L. 2005. Medical Physiology: A Cellular and Molecular
Approach(Updated ed.). Saunders. p. 533.
Cowie, M.R., Wood, D.A., Coats, A.J.S., Thompson, S.G., Poole-Wilson, P.A., Suresh, V.,
Sutton, G.C., 2008. Incidence and Aetiology of Heart Failure. Available from :
http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/20/6/421.full.pdf
Fonseca C. Diagnosis of heart failure in primary care. Heart Fail Rev 2006;11:95–107.
Gray, H.H, Dawkins D.K, Simpson L.A, Morgan, M.J. 2005. Lecture Notes: Kardiologi, Alih
Bahasa: JKFT, Edisi Nomor 2, Januari 2016 | 85 Agoes, A.Z, 2005: Penerbit Erlangga.
Hellermann, J.P., Goraya, T.Y., Jacobsen, S.J., Weston, S.A., Reeder, G.S., Gersh, B.J.,
Redfield, M.M., Rodheffer, R.J., Yawn, B.P., Roger, V.L., 2003. Incidence of heart failure
after myocardial infarction: is it changing over time?. Am. J. Epidemiology 157 (12):
1101–1107.
Kelder JC, Cramer MJ, van Wijngaarden J, van Tooren R, Mosterd A, Moons KG, Lammers
JW, Cowie MR, Grobbee DE, Hoes AW. The diagnostic value of physical examination
and additional testing in primary care patients with suspected heart failure. Circulation
2011;124:2865–2873.
Lip, G.Y.H., Gibbs, C.R., Beevers, D.G. 2001. Aetiology. In: ABC of Heart Failure.
Loscalzo, Joseph; Fauci, Anthony S.; Braunwald, Eugene; Dennis L. Kasper; Hauser, Stephen
L; Longo, Dan L. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine(17 ed.). McGrawHill
Medical. ISBN 978-0-07-147693- 5.
Rang, HP. 2003. Pharmacology. Edinburgh: Churchill Livingstone. p. 127. ISBN 0- 443-
07145-4.
Riaz K, Ahmed A, Talavera F, Ali YS, Hypertensive Heart Disease. Medscape reference drug,
disease and procedure. 2012 available at http://emedicine.medscape.com/article/162449-
overview last update 29 mei 2012
Scoote M., Purcell I.F., Poole-Wilson P.A. 2005. Pathophysiology of Heart Failure. In :
Essential Cardiology. 2th Ed. 347-369.
Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III ed.IV, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
Tsutsui H, Matsushima S, Kinugawa S, et al. May 2007. Angiotensin II type 1 receptor blocker
attenuates myocardial remodeling and preserves diastolic function in diabetic heart.
Hypertens. Res. 30(5): 439–49.