Anda di halaman 1dari 27

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Paru

1. Anatomi Paru

Paru merupakan salah satu organ respirasi, yang terletak pada

rongga toraks, terdapat dua buah paru pada manusia, yaitu paru kanan

dan paru kiri. Paru kanan terbagi menjadi 3 lobus sedangkan paru kiri

terbagi menjadi 2 lobus, lobus-lobus tersebut terbagi lagi menjadi

beberapa segmen sesuai dengan cabang bronkusnya (Snell, 2012).

Paru dilingkupi oleh dinding toraks yang terdiri dari sternum,

cartilago costae, costae, dan vertebrae thorakalis. Costae terdiri dari

12 pasang, yaitu 7 pasang costae vera, 3 pasang costae spuria, dan 2

pasang costae fluktuantes. Setiap spatium intercostalis memiliki

musculus intercostalis yang terdiri dari musculus intercostalis externa

dan musculus intercostalis interna. Musculus intercostalis externa

berfungsi untuk mengangkat dinding toraks ketika inspirasi sehingga

rongga toraks akan bertambah besar, sedangkan musculus intercostalis

interna membantu dalam proses ekspirasi dengan menarik costae

saling mendekat sehingga rongga toraks menjadi semakin kecil. Selain

musculus intercostal externa terdapat diagfragma yang berperan dalam

inspirasi dengan memperbesar rongga toraks saat berkontraksi

(Sherwood, 2011).

6
7

2. Fisiologi Paru

Paru berfungsi untuk melakukan pertukaran gas antara darah dan

atmosfer, sehingga oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan dapat

masuk ke dalam tubuh dan karbondioksida yang merupakan sisa dari

proses metabolisme dapat dikeluarkan dari tubuh. Udara secara

bergantian dimasukan ke dan dikeluarkan dari paru sehingga udara

dapat dipertukarkan antara atmosfer dan paru melalui proses ventilasi.

Proses ventilasi terdiri atas proses inspirasi dan proses ekspirasi

(Ganong, 2008).

Proses inspirasi dimulai dengan kontraksi dari otot-otot inspirasi,

yaitu musculus intercostalis externa dan diagfragma, yang

menyebabkan rongga toraks bertambah besar. Paru melekat ke dinding

toraks akibat adanya daya kohesif cairan intrapleura dan gradien

tekanan transmural, sehingga ketika dinding toraks bertambah besar

maka paru ikut bertambah besar. Paru yang bertambah besar

menyebabkan tekanan udara di dalam paru menjadi berkurang

sehingga tekanan udara dalam paru lebih rendah dari tekanan udara di

atmosfer, hal ini menyebabkan udara mengalir dari atmosfer ke dalam

paru sampai tekanan udara di dalam paru dan di atmosfer kembali

seimbang (Sherwood, 2011).

Proses ekspirasi diawali dengan terjadinya relaksasi pada otot-

otot inspirasi. Paru memiliki sifat elastis, sehingga ketika otot-otot

inspirasi relaksasi paru dan rongga toraks akan kembali ke ukuran

semula. Paru yang kembali ke ukuran semula menyebabkan tekanan


8

udara dalam paru meningkat melebihi tekanan udara di atmosfer

sehingga udara di dalam paru mengalir keluar dari paru menuju ke

atmosfer sampai tekanan udara di dalam paru kembali seimbang

(Sherwood, 2011)

B. Alat Pengukur Fungsi Paru

Pemeriksaan fungsi paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu

menggunakan spirometer, karena pertimbangan biaya yang murah, ringan,

praktis dibawa kemana-mana, akurasinya tinggi, cukup sensitif, tidak

invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi yang handal.

Spirometer merupakan salah satu alat untuk mengukur fungsi paru yang

dapat mengukur volume udara yang dihirup dan dihembuskan oleh paru.

Alat ini terdiri dari tong berisi udara yang terapung pada sebuah wadah

berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara

keluar masuk tong melalui sebuah selang penghubung, tong akan naik atau

turun yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram (Fathmaulida, 2013).

Dari berbagai pemeriksaan faal paru, yang sering dilakukan adalah

(Khumaidah, 2009):

1. Vital Capasity (VC)

Vital Capasity (VC) merupakan volume udara maksimal yang

dapat dihembuskan setelah inspirasi maksimal. Ada dua macam vital

capasity berdasarkan cara pengukurannya, yaitu: pertama, Vital

Capasity (VC), subjek tidak perlu melakukan aktifitas pernapasan

dengan kekuatan penuh, kedua Forced Vital Capasity (FVC), dimana


9

subjek melakukan aktifitas pernapasan dengan kekuatan maksimal.

Berdasarkan fase yang diukur VC dibedakan menjadi dua macam,

yaitu: VC inspirasi, dimana VC hanya diukur pada fase inspirasi dan

VC ekspirasi, diukur hanya pada fase ekspirasi. Pada orang normal

tidak ada perbedaan antara FVC dan VC, sedangkan pada kelainan

obstruksi terdapat perbedaan antara VC dan FVC. Vital capasity

merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas atau jaringan paru

sehingga VC yang menurun menunjukkan adanya kekakuan jaringan

paru atau dinding toraks.

2. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1)

Forced Expiratory Volume in 1 Second adalah besarnya volume

udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi

pertama pada orang normal berkisar antara 4 5 detik dan pada detik

pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar

80% dari nilai VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari

fase-fase selanjutnya. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya

tetapi pada perbandingan dengan FVC. Pada penyakit obstruktif

seperti bronkitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV1 yang

lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin

normal).

3. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)

Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) adalah aliran udara maksimal

yang dihasilkan oleh sejumlah volume tertentu. PEFR dapat

menggambarkan keadaan saluran pernapasan, apabila PEFR menurun


10

berarti ada hambatan aliran udara pada saluran pernapasan.

Pengukuran dapat dilakukan dengan Mini Peak Flow Meter atau

Pneumotachograf.

Indikasi pemakaian spirometri terbagi menjadi 4 yaitu sebagai

berikut (Uyainah, 2014):

a. Diagnostik: evaluasi individu yang mempunyai gejala, tanda, atau

hasil laboratorium yang abnormal; menilai risiko preoperasi;

mengukur efek fungsi paru pada individu yang mempunyai

penyakit paru; skrining individu yang mempunyai risiko penyakit

paru; menentukan prognosis penyakit yang berkaitan dengan

pernafasan serta untuk menilai status kesehatan sebelum memulai

program latihan

b. Monitoring: memantau perkembangan penyakit yang

mempengaruhi fungsi paru, menilai intervensi terapeutik, efek

samping obat yang mempunyai toksisitas pada paru, dan

monitoring individu yang terpajan agen berisiko terhadap fungsi

paru

c. Evaluasi kecacatan/kelumpuhan: menentukan pasien yang

membutuhkan program rehabilitasi, kepentingan asuransi dan

hukum.

d. Kesehatan masyarakat: survei epidemiologis (skrining penyakit

obstruktif dan restriktif) menetapkan standar nilai normal dan

penelitian klinis.
11

Adapun kontraindikasi pemakaian spirometri terbagi menjadi 2

yaitu kontraindikasi absolut dan relatif sebagai berikut (Graci-Rio,

2013):

a. Absolut

1) Ketidakstabilan hemodinamik

2) Emboli paru sampai diberikan antikoagulan yang adekuat

3) Pneumotoraks baru-baru ini (2 minggu setelah re-ekspansi)

4) Hemoptisis akut

5) Infeksi saluran pernafasan aktif (TBC, nonvirus, influenza)

6) Infark miokard (7 hari)

7) Angina yang tidak stabil

8) Aneurisma arteri toraks

9) Hipertensi intrakranial

10) Ablasi retina akut

b. Relatif

1) Anak usia di bawah 5 6 tahun

2) Orang yang bingung atau pasien demensia

3) Pasca operasi bedah perut atau dada

4) Pasca operasi otak, mata, telinga, hidung, dan tenggorokan

5) Diare akut, muntah, dan mual

6) Krisis hipertensi

7) Masalah gigi dan wajah sehingga sulit untuk menggunakan

mouthpiece
12

Prosedur pemakaian spirometri mencakup 4 aspek yaitu persiapan

alat dan pasien, pelaksanaan pemeriksaan spirometri, mencetak hasil

spirogram yang akurat dengan nilai acuan, serta interpretasi hasil:

a. Persiapan alat dan pasien (Levy, 2009)

1) Persiapan alat

a) Kaliberasi alat secara akurat

b) Mengontrol terjadinya infeksi

c) Persiapan alat dan ruangan

d) Timbangan dan pengukur tinggi

e) Nose clip, Mouth piece (1 per pasien)

f) Spiro filter dan Spirometer

g) Suhu ruangan 25C

2) Persiapan pasien

a) Anamnesis secara terperinci yaitu dengan menanyakan

identitas, usia, ras, dan riwayat penyakit atau pengobatan

b) Pengukuran tinggi badan dan berat badan

c) Aktivitas atau keadaan yang harus dihindari sebelum

dilakukan pemeriksaan:

i. Merokok kurang dari 4 jam

ii. Mengkonsumsi alkohol kurang dari 4 jam

iii. Melakukan latihan fisik kurang dari 30 menit

iv. Makan kenyang kurang dari 2 jam

v. Memakai pakaian dan atau celana yang ketat

selama pemeriksaan
13

vi. Menggunakan bronkodilator (albuterol, pirbuterol)

d) Mengosongkan kandung kemih

e) Pasien mendapat penjelasan mengenai tujuan dan

prosedur pemeriksaan

b. Pelaksanaan pemeriksaan spirometri (Levy, 2009)

1) Slow Vital Capacity Maneuver

a) Pemeriksaan SVC dilakukan dengan posisi berdiri, dan

lebih baik dilakukan sebelum pemeriksaan FVC.

b) Pasien diminta untuk melonggarkan pakaian, dasi, ikat

pinggang, BH, dan perlengkapan lain supaya dapat

melakukan pernafasan maksimal

c) Posisi pasien saat melakukan pemeriksaan adalah berdiri

tegak dengan leher menghadap ke depan dan sedikit

mendongak.

d) Pasien diminta memasukkan mouth piece dan melakukan

inspirasi dan ekspirasi biasa sebanyak 3 kali. Kemudian

pasien diminta untuk menarik nafas maksimal dan

menghembuskannya secara maksimal.

e) Menghentikan test setelah pasien selesai melakukan

ekspirasi maksimal atau pasien tidak mampu

melanjutkan pemeriksaan.

f) Dalam satu kali pemeriksaan jumlah maneuver yang

disarankan adalah 3 kali dan maksimal dilakukan 4 kali


14

maneuver. Interval antar manuver adalah selama 1 menit

atau lebih.

2) Forced Vital Capacity Maneuver

a) Teknik pemeriksaan FVC adalah pasien diminta untuk

memasukkan mouth piece ke dalam mulut kemudian

menarik nafas maksimal secara cepat serta

menghembuskannya secara cepat dan maksimal dalam

satu kali usaha.

b) Manuver dihentikan apabila ekspirasi maksimal telah

selesai atau subjek telah melakukan ekspirasi lebih dari

sama dengan 6 detik dan atau tidak mampu melanjutkan

pemeriksaan.

c. Kriteria penerimaan dan kriteria reproduksibel (Levy, 2009)

1) Kriteria penerimaan

a) Permulaan pemeriksaan harus baik

b) Pemeriksaan harus selesai

c) Waktu ekspirasi minimal adalah 3 detik

d) Grafik flow volume memiliki puncak

e) Terbebas dari artefak:

i. Batuk

ii. Penutupan glottis

iii. Sumbatan mouth piece

iv. Kebocoran

2) Kriteria reproduksibel
15

a) Kriteria reproduksibel ditentukan setelah dilakukan 3

manuver yang memenuhi kriteria penerimaan.

b) Pemeriksaan dinyatakan reproduksibel apabila 2

manuver dengan nilai terbesar memiliki perbedaan

volume absolut kurang dari 5% atau kurang dari 100 ml

untuk nilai FVC dan FEV1, pilih yang lebih besar.

d. Interpretasi hasil spirometri

1) Kurva spirometri normal

Hasil spirometri normal menunjukkan FEV1 > 80% dan

FVC >80% (Uyainah, 2014).

Gambar 2.1 Kurva Spirometri Normal.


Sumber: Uyainah (2014)

2) Kurva spirometri gangguan obstruksi paru

Gambar 2.2 Kurva Spirometri Gangguan Obstruksi Paru.


Sumber: Uyainah (2014)
16

3) Kurva spirometri gangguan restriksi paru

Gambar 2.3 Kurva Spirometri Gangguan Restriksi Paru.


Sumber: Uyainah (2014)

Interpretasi hasil spirometri dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru

Restriksi Obstruksi
Penggolongan
FVC/nilai prediksi (%) FEV1/FVC (%)
80 Normal 75
60 79 Ringan 60 74
30 59 Sedang 30 59
< 30 Berat < 30
Sumber: Price (2004)

C. Gangguan Fungsi Paru Akibat Kerja

Gangguan fungsi paru merupakan keadaan adanya hambatan dalam

proses pengambilan oksigen dan pengeluaran karbondioksida antara udara

luar dengan saluran nafas yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, debu,

dan partikel lainnya (Yunus, 2006).

1. Jenis-Jenis Gangguan Fungsi Paru

Terdapat banyak jenis gangguan fungsi paru, tetapi pada

umumnya gangguan fungsi paru terbagi dalam dua jenis, yaitu


17

gangguan obstruksi paru dan gangguan restriksi paru. Akan tetapi

terdapat juga gangguan fungsi paru yang merupakan kombinasi dari

keduanya yaitu, gangguan paru campuran (Sherwood, 2011).

a. Gangguan Obstruksi Paru

Gangguan obstruksi paru adalah keadaan terdapat sumbatan

pada saluran nafas sehingga aliran udara antara paru dan

lingkungan menjadi terhambat. Pasien dengan gangguan obstruksi

paru biasanya jauh lebih sulit melakukan ekspirasi daripada

inspirasi, sebab kecenderungan menutupnya saluran nafas sangat

meningkat akibat tekanan ekstra positif dalam dada selama

ekspirasi. Sebaliknya, tekanan ekstra negatif pada pleura yang

terjadi selama inspirasi ternyata menarik saluran nafas membuka

bersamaan dengan mengembangnya alveoli. Kecepatan aliran

ekspirasi maksimum menjadi sangat berkurang karena saluran

nafas lebih mudah kolaps daripada saluran normal. Penyakit yang

menyebabkan gangguan obstruksi paru antara lain asma bronkhial,

PPOK, bronkhiolitis, dan bronkhiektasis (Guyton, 2007).

b. Gangguan Restriksi Paru

Gangguan restriksi paru adalah keadaan terbatasnya

pengembangan paru sehingga udara yang masuk ke paru lebih

sedikit dibandingkan keadaan normal. Pasien dengan gangguan

restriksi paru mengalami penurunan vital capasity (VC) dan

penurunan residual volume (RV) dikarenakan paru tidak dapat

mengembang secara maksimal. Penyakit yang menyebabkan


18

gangguan restriksi paru antara lain penyakit fibrosis paru, seperti

tuberkulosis, silikosis, sarkoidosis, dan tumor paru, selain itu juga

penyakit yang menyempitkan dinding toraks, seperti kifosis,

skoliosis dan trauma pada toraks (Guyton, 2007).

c. Gangguan Fungsi Paru Campuran (Mixed)

Gangguan paru campuran (mixed) merupakan kombinasi dari

gangguan obstruksi paru dan gangguan restriksi paru.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Gangguan Fungsi Paru

Akibat Kerja

a. Karakteristik Pekerja

1) Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

fungsi paru. Pertumbuhan paru pada anak-anak masih belum

maksimal, ukuran dan jumlah alveolus pada anak lebih

sedikit sehingga kapasitas vital paru anak-anak lebih kecil

dibandingkan orang dewasa. Paru anak akan terus bertumbuh

hingga akhirnya berhenti pada usia 20 tahun (James, 2014).

Faktor usia mempengaruhi elastisitas bronkus dan paru

sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Selain itu semakin

meningkat usia seseorang maka semakin rentan seseorang

terkena penyakit. Penurun fungsi paru dimulai pada usia 30

tahun dengan kapasitas paru rata-rata antara 3.000 sampai

3.500 ml, sedangkan pada usia 50 tahun kapasitas paru

seseorang kurang dari 3.000 ml. Pada usia 50 tahun paru


19

mulai mengalami perubahan struktur, dimana terjadinya

perubahan dinding dada terutama musculus intercostalis

internus yang berfungsi sebagai otot ekspirasi. Hal ini

menyebabkan terjadinya gangguan pada kemampuan recoil

paru sehingga fungsi ekspirasi terganggu (Sprung, 2006;

Budiono, 2007).

2) Indeks Massa Tubuh

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat

mengkonsumsi makanan dan zat-zat gizi. Status gizi

seseorang dapat dinilai dengan menggunakan indeks massa

tubuh (IMT) dengan rumus sebagai berikut (Supariasa,

2002):

Berat Badan (kg)


IMT =
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Salah satu akibat kekurangan gizi adalah dapat

menurunkan system imunitas dan antibodi sehingga orang

mudah terserang infeksi dan juga berkurangnya kemampuan

tubuh untuk melakukan detoksikasi terhadap benda asing

seperti debu yang masuk dalam tubuh. Selain itu status gizi

dapat mempengaruhi kapasitas paru seseorang, orang yang

memiliki indeks massa tubuh yang normal cenderung

memiliki kapasitas vital paksa yang lebih besar dibandingkan

orang yang memiliki indeks massa tubuh yang overweight

atau obese (Harmanto, 2012).


20

Tabel 2.2 Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia

Ketegori Status Gizi IMT


Sangat Kurus Gizi Kurang <17,0
Kurus Gizi Kurang 17,0 18,4
Normal Gizi Baik 18,5 25,0
Gemuk Gizi Lebih 25,1 27,0
Sangat Gemuk Gizi Lebih >27,0
Sumber: Supariasa (2002)

3) Kebiasaan Merokok

Menurut Yuliani (2010) kebiasaan merokok dapat

mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat merokok terjadi

suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan

polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang

sekresi lender sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia

sehingga fungsi pembersihan jalan nafas terhambat dan

konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang

menyebabkan terjadinya sesak nafas.

Dari penelitian yang dilakukan Fathmaulida (2013), 40%

responden yang mengkonsumsi rokok 10 batang per hari

mengalami gangguan fungsi paru. Hal ini sejalan dengan

penelitian Yuliani (2010), pada pekerja yang mengkonsumsi

rokok 10 batang per hari mengalami penurunan fungsi

paru, tetapi pada penelitian Yuanika (2015) tidak didapati

hubungan antara gangguan fungsi paru dengan kebiasaan

merokok pada responden yang merokok 10 batang per hari.

Hal ini sejalan dengan penelitian Aviandari (2008) dimana


21

didapati tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok

dengan gangguan fungsi paru obstruktif.

4) Riwayat Penyakit Paru

Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi kapasitas vital

paru seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat

berkurang akibat sakit. Terdapat riwayat pekerjaan yang

menghadapi debu akan mengakibatkan pneumokoniosis dan

salah satu pencegahannya dapat dilakukan dengan

menghindari diri dari debu dengan cara memakai masker saat

bekerja (Sumamur, 2009; Anugrah, 2013).

Penyakit yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi

paru meliputi:

a) Emfisema Paru Kronik

Emfisema paru memiliki arti adanya udara yang

berlebihan di dalam paru. Hal ini terjadi karena adanya

infeksi atau iritasi kronik pada bronkus dan bronkiolus

oleh bahan-bahan iritan sehingga menimbulkan

peradangan dan edem. Edem pada bronkiolus

menyebabkan obstruksi pada saluran nafas sehingga

udara terperangkap dalam alveoli dan menyebabkan

alveoli menjadi teregang dan mengalami kerusakan

(Sherwood, 2011).
22

b) Pneumonia

Pneumonia merupakan keadaan radang paru, dengan

beberapa atau seluruh alveoli terisi cairan dan sel-sel

darah. Penyakit ini disebabkan infeksi atau iritasi pada

alveoli sehingga terjadi peradangan, hal ini menyebabkan

cairan, sel darah putih dan sel darah merah masuk ke

dalam alveoli. Akibat dari peradangan tersebut fungsi

pertukaran udara di paru menurun (Guyton, 2007).

c) Atelektasis

Atelektasi berarti alveoli mengalami kolaps. Hal ini

bisa terjadi akibat adanya obstruksi total saluran nafas

atau berkurangnya surfaktan yang melapisi alveoli.

Obstruksi total saluran nafas bisa disebabkan oleh

menumpuknya mukus pada saluran nafas akibat

peradangan, sedangkan berkurangnya surfaktan yang

melapisi paru dapat terjadi pada bayi-bayi prematur

(Guyton, 2007).

d) Asma

Asma ditandai dengan kontraksi spastik otot polos

bronkiolus, yang menyumbat bronkiolus secara parsial

dan menyebabkan kesukaran bernafas yang hebat.

Penyebab asma umumnya adalah hipersensitivitas

kontraktil bronkiolus sebagai respon terhadap benda-

benda asing di udara (Sherwood, 2011).


23

e) Tuberkulosis (TB) Paru

Infeksi bakteri tuberkulosis menimbulkan reaksi

jaringan yang unik sehingga terbentuk jaringan fibrotik

di paru. Adanya jaringan fibrotik di paru menyebabkan

berkurangnya luas permukaan membran pernafasan dan

terhambatnya proses pengembangan paru sehingga

mengurangin difusi oksigen dan karbondioksida paru

secara keseluruhan (Guyton, 2007).

f) Bronkhitis kronik

Bronkhitis kronik merupakan suatu penyakit

peradangan saluran nafas bawah jangka panjang,

umumnya disebabkan oleh paparan berulang zat iritan

atau allergen. Sebagai respon terhadap iritasi kronik,

saluran nafas menyempit karena penebalan edematosa

kronik lapisan dalamnya disertai oleh pembentukan

berlebihan mucus kental (Sherwood, 2011).

5) Pemakaian Alat Pelindung Diri (Masker)

Alat Pelindung Diri (APD) masker atau penutup hidung

merupakan suatu alat untuk perlindungan diri mencegah

masuknya partikel-partikel debu, gas, uap, atau udara yang

terkontaminasi di tempat kerja ke dalam saluran pernafasan.

Pemakaian APD (masker) merupakan hal yang penting untuk

dilakukan dalam kondisi lingkungan kerja berdebu

(Anggraeni, 2013).
24

Penelitian yang dilakukan Mengkidi (2006) pada

karyawan pabrik semen, didapatkan bahwa pemakaian APD

(masker) merupakan salah satu faktor protektif terhadap

timbulnya gangguan fungsi paru. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2007), pekerja yang

tidak selalu menggunakan masker memperbesar resiko

terjadinya gangguan fungsi paru.

b. Beban Kerja

1) Waktu kerja

Waktu kerja adalah jumlah jam kerja yang dihabiskan

pekerja di area kerja. Semakin lama perkerja menghabiskan

waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama

pula paparan debu diterimanya, sehingga kemungkinan untuk

terjadinya gangguan fungsi paru juga akan lebih besar. Nilai

ambang batas waktu kerja adalah tidak melebihi 8 jam sehari

atau 40 jam seminggu (Sumamur, 2009).

Bertentang dengan teori, penelitian Mengkidi (2006)

menunjukan tidak ada hubungan antara lama paparan dengan

gangguan fungsi paru. Hal ini sejalan dengan penelitian

Budiono (2007) yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan

antara lama jam kerja per minggu dengan gangguan fungsi

paru.
25

2) Lama kerja

Lama kerja adalah lamanya seorang tenaga kerja (dalam

tahun) bekerja dalam satu lingkungan kerja, dihitung mulai

saat bekerja sampai penelitian berlangsung. Semakin lama

seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah

terpapar bahaya yang telah ditimbulkan oleh lingkungan kerja

tersebut (Sumamur, 2009).

Debu memiliki kecenderungan untuk tertimbun di dalam

paru. Salah satu mekanisme yang menyebabkan debu dapat

tertimbun di dalam paru yaitu pada waktu udara membelok di

jalan pernafasan yang tidak lurus, partikel debu yang cukup

besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara

melainkan terus lurus dan akhirnya menempel pada selaput

lendir. Mekanisme lainnya adalah sendimentasi terutama

pada bronkus dan bronkiolus, sebab di daerah tersebut

kecepatan udara pernafasan sangat berkurang kira-kira 1

cm/detik sehingga gaya gravitasi bumi dapat bekerja pada

partikel-partikel debu dan mengendapkannya (Harmanto,

2012).

Mekanisme terakhir yang menyebabkan debu tertimbun

di paru adalah gerakan brown yaitu gerakan terus menerus

dari suatu partikel sehingga partikel tersebut tidak pernah

dalam keadaan stasioner atau diam. Gerakan brown terutama

terjadi pada partikel debu yang berukuran kurang dari 1 m,


26

gerakan ini menyebabkan partikel debu membentur

permukaan alveoli sehingga debu akan tertimbun disana

(Harmanto, 2012).

Semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak

debu yang terpapar pada orang tersebut, sehingga debu yang

tertimbun di dalam paru akan semakin banyak dan dapat

menyebabkan munculnya gangguan pada fungsi paru.

Menurut Nuraisyah (2012) waktu yang dibutuhkan seseorang

terpapar oleh debu untuk terjadinya gangguan fungsi paru

adalah lebih dari 10 tahun. Semakin lama seseorang bekerja

pada lingkungan berdebu, maka dapat menurunkan kapasitas

vital paru. Setiap penambahan lama kerja dalam satu tahun

akan terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,39 ml. Hal

ini sesuai dengan penelitian Sugeng (2003) dalam Yulaekah

(2007) yang menunjukan bahwa lama kerja lebih dari 10

tahun mempunyai resiko terjadinya obstruksi paru pada

pekerja industri yang berdebu.

c. Beban Tambahan Akibat Kerja

1) Kadar Debu

Kadar debu merupakan parameter yang penting untuk

menilai kemungkinan dampak negatifnya terhadap fungsi

paru-paru pekerja yang terpapar debu. Kadar debu terhisap

yang melebihi 3 mg/m3 merupakan nilai ambang batas untuk

debu tak terklasifikasi (Budiono, 2007).


27

Secara teori diketahui bahwa debu berperan dan

behubungan terhadap gangguan pernafasan dan risiko

penyakit kronik yang mematikan, namun seorang pekerja

yang berada di lingkungan kerja dengan konsentrasi yang

sama, durasi paparan dan karakteristik prilaku lainnya yang

sama namun akan mengakibatkan kelainan klinis yang

berbeda. Hal ini disebabkan karena kerentanan tubuh dan

fungsi organ masing-masing individu yang berbeda dan

akhirnya menyebabkan status dan gangguan kesehatannya

berbeda (Fathmaulida, 2013).

Menurut penelitian Ikhsan (2007) pada pekerja pabrik

semen menunjukan tidak adanya hubungan antara kadar

pajanan debu dengan kelainan klinis paru. Hal ini sejalan

dengan penelitian Fathmaulida (2013) dimana tidak terdapat

hubungan bermakna antara kadar debu dengan gangguan

fungsi paru.

2) Kelembaban Udara

Kelembaban udara yang tinggi merupakan penyebab

meningkatnya keluhan sesak nafas. Sesak nafas terjadi

dikarenakan peningkatan kelembaban udara menyebabkan

peningkatan densitas dan massa jenis udara, sehingga aliran

udara menurun dan meningkatkan kerja saluran nafas.

Penyebab lainnya adalah peningkatan kelembaban udara

menyebabkan peningkatan alergen di udara yang dapat


28

menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang menimbulkan

sesak nafas (Mengkidi, 2006)

Penelitian Fathmaulida (2013) pada pekerja batu kapur

didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban

udara dengan gangguan fungsi paru.

D. Debu pada Proses Pembuatan Batu Bata

Batu bata merupakan salah satu bahan terpenting dalam konstruktur

suatu bangunan. Batu bata berbahan dasar tanah liat dengan atau tambahan

bahan lain, dibakar pada suhu tinggi hingga batu bata tidak mudah hancur

bila direndam di air. Batu bata yang baik sebagian besar terdiri atas pasir

(silika), tanah liat (alumina), dan kapur sehingga tercipta batu bata yag

mudah dibentuk dan tidak mudah retak (Kurniawan, 2014).

Proses pembuatan batu bata secara umum dapat dibagi menjadi tiga

tahap, yaitu menyiapkan bahan dasar, mencetak bentuk, kemudian

membakarnya. Tanah yang digunakan adalah tanah liat yang terdapat pada

lapis kedua, yaitu lapisan tanah yang tidak mengandung humus. Tanah liat

adalah bahan alam yang mengandung senyawa Silika Oksida (SiO2),

Alumunium Oksida (Al2O3), Besi Oksida (Fe2O3), dan Magnesium Oksida

(MgO) (Anggraeni, 2013).

Proses pembakaran batu bata dapat menghasilkan debu yang sangat

banyak. Debu adalah partikel-partikel zat padat, yang disebabkan oleh

kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran,

pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan bahan-bahan baik organik


29

maupun anorganik misalnya batu, kayu, bijih logam, arang batu, butir-

butir zat-zat dan sebagainya. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan

pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan

debu pada proses produksinya. Nilai ambang batas untuk debu respirable

adalah 3 mg/m3 (Sumamur, 2009; Nuraisyah, 2012).

Debu memiliki beberapa sifat antara lain (Harmanto, 2012):

1. Sifat pengendapan (setting rate)

Debu memiliki kecenderung selalu mengendap akibat adanya

gaya grafitasi bumi. Namun karena ukurannya yang kecil kadang-

kadang debu ini relatif tetap berada di udara. Debu yang mengendap

dapat mengandung proporsi partikel yang lebih dari pada yang ada di

udara.

2. Sifat Permukaan Basah (wetting)

Permukaan debu akan cenderung selalu basah dilapisi oleh

lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian

debu dalam tempat kerja.

3. Sifat Penggumpalan (flocculation)

Oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat

menempel satu sama lain dan dapat menggumpal. Kelembaban di

bawah saturasi kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Akan

tetapi bila tingkat humiditas di atas titik saturasi mempermudah

penggumpalan.
30

4. Sifat Listrik Statik (electrical)

Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel

lain yang berlawanan. Dengan demikian, partikel dalam larutan debu

mempercepat terjadinya proses penggumpalan.

5. Sifat Optis

Debu atau partikel basah/lembab lainnya dapat memancarkan

sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.

E. Hubungan antara Debu pada Proses Pembuatan Batu Bata dan

Gangguan Fungsi Paru

Menurut Nuraisyah (2012) 55% debu yang terhisap melalui udara

pernafasan mempunyai ukuran antara 0,25 6 m. Partikel debu yang

mempunyai ukuran lebih besar dari 10 m dapat dikeluarkan secara

komplit melalui saluran pernafasan bagian atas (hidung). Partikel debu

yang berukuran 5 10 m tertahan terutama pada saluran nafas bagian

atas dan menimbulkan banyak penyakit berupa iritasi sehingga

menimbulkan penyakit faringitis.

Partikel debu yang berukuran 3 5 m akan ditahan oleh saluran

nafas bagian tengah (bronkus/bronkiolus) yang dapat menimbulkan

bronkhitis, alergi atau asma. Partikel debu yang berukuran < 3 m dapat

mencapai bagian yang lebih dalam dan mengendap pada alveoli karena

adanya gravitasi dan difusi. Debu-debu tersebut dapat menghambat fungsi

alveoli sebagai media pertukaran gas asam arang sehingga dengan


31

melekatnya proses pertukaran gas yang lebih kecil ukurannya dan lebih

perlahan jatuhnya (Nuraisyah, 2012).

Dalam dosis besar, semua debu bersifat merangsang dan dapat

menimbulkan reaksi walaupun ringan. Reaksi tersebut berupa produksi

lendir berlebihan. Debu yang masuk ke saluran nafas menyebabkan

timbulnya reaksi mekanisme pertahanan tubuh berupa batuk dan bersin.

Otot polos di sekitar jalan nafas dapat terangsang sehingga menimbulkan

penyempitan. Semakin besar jumlah debu yang masuk ke dalam saluran

nafas maka semakin besar dampak yang ditimbulkan pada saluran nafas

(Putri, 2012).

F. Kerangka Pemikiran Penelitian

Karakteristik
Pekerja:
- Usia
- Indeks Massa
Tubuh
- Kebiasaan
Merokok
- Riwayat
Penyakit Paru
- Pemakaian
APD (Masker)
Penyakit Paru Akibat
Beban Kerja: Kerja (Gangguan
- Waktu Kerja Fungsi Paru)
- Lama Kerja
-
Beban Tambahan
Akibat Kerja:
- Kelembaban
Udara
- Kadar Debu

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian.


32

G. Kerangka Konsep Penelitian

Lama Kerja Gangguan Fungsi Paru

- Usia
- Indeks Massa Tubuh
- Kebiasaan Merokok
- Pemakaian APD (Masker)
- Riwayat Penyakit Paru
- Waktu Kerja
- Kadar Debu
- Kelembaban Udara

Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian.

Keterangan:

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Variabel Perancu

H. Hipotesis

Pekerja yang lama kerja lebih dari 10 tahun memiliki kemungkinan

lebih besar mengalami gangguan fungsi paru dibandingkan pekerja yang

lama kerja kurang dari atau sama dengan 10 tahun.

Anda mungkin juga menyukai

  • Tinjauan Pustaka Case Report
    Tinjauan Pustaka Case Report
    Dokumen17 halaman
    Tinjauan Pustaka Case Report
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Anestesi Inhalasi
    Anestesi Inhalasi
    Dokumen20 halaman
    Anestesi Inhalasi
    Maulida Annisa'
    Belum ada peringkat
  • Kolestasis
    Kolestasis
    Dokumen4 halaman
    Kolestasis
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Tugas Kimia Medisinal
    Tugas Kimia Medisinal
    Dokumen6 halaman
    Tugas Kimia Medisinal
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • PRESUS
    PRESUS
    Dokumen29 halaman
    PRESUS
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Referat LMNH
    Referat LMNH
    Dokumen20 halaman
    Referat LMNH
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen33 halaman
    Bab 3
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Referat LMNH
    Referat LMNH
    Dokumen20 halaman
    Referat LMNH
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Tugas Kimia Medisinal
    Tugas Kimia Medisinal
    Dokumen6 halaman
    Tugas Kimia Medisinal
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo Fix
    Presus Vertigo Fix
    Dokumen22 halaman
    Presus Vertigo Fix
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga Forensik
    Laporan Jaga Forensik
    Dokumen33 halaman
    Laporan Jaga Forensik
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen2 halaman
    Bab Iii
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo Fix
    Presus Vertigo Fix
    Dokumen26 halaman
    Presus Vertigo Fix
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo Fix
    Presus Vertigo Fix
    Dokumen22 halaman
    Presus Vertigo Fix
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Saraf
    Lapsus Saraf
    Dokumen58 halaman
    Lapsus Saraf
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Sensoris - Melinda Kusumadewi - 1710221098
    Pemeriksaan Sensoris - Melinda Kusumadewi - 1710221098
    Dokumen26 halaman
    Pemeriksaan Sensoris - Melinda Kusumadewi - 1710221098
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen16 halaman
    Bab Ii
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen16 halaman
    Bab Ii
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen9 halaman
    Bab I
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Untitled 1
    Untitled 1
    Dokumen27 halaman
    Untitled 1
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen9 halaman
    Bab I
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • PRESUS SARAF Mitta
    PRESUS SARAF Mitta
    Dokumen37 halaman
    PRESUS SARAF Mitta
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Sirup Etiket
    Sirup Etiket
    Dokumen1 halaman
    Sirup Etiket
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat