15
Leukosit tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara amoeboid dan dapat
1. 109 sel leukosit dalam satu liter darah manusia dewasa yang sehat
atau sekitar 7000 - 25000 sel per tetes (Harahap, 2008). Leukosit adalah sel
darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Dilihat dibawah
(granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam
tidak mempunyai granula sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau
bentuk ginjal. Granula dianggap spesifik bila secara tetap terdapat dalam jenis
leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (prazatnya) (Effendi, 2003).
memeriksa variasi fisiologi dan patologi sel-sel darah tidak hanya persentase
tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus
diambil (Effendi, 2003). Ada enam macam sel darah putih yang secara normal
mencernanya yaitu melalui fagositosis. Fungsi pertama sel limfosit dan sel-sel
plasma berhubungan dengan sistem imun. Struktur macam leukosit pada darah
a b
c
reptil, dan aves memiliki inti. Bentuk oval dan bikonkaf dari eritrosit berfungsi
sebagai pertukaran oksigen. Sel darah merah mencit mempunyai ketebalan sel
2,1-2,13 m dan diameter rata-rata 6,2 m atau sekitar 5,7-7 m. Waktu hidup
sel darah mencit adalah sekitar 43 hari. Sel darah merah terdiri sekitar 20% air,
40% protein, 35% lemak, dan 6% karbohidrat (Weiss and Wardrop, 2010).
17
Fungsi utama dari sel darah merah adalah untuk mengangkut HbO2 yang
sel darah merah terbuat dari lipid, protein, dan karbohidrat. Perubahan
komposisi lipid membran dapat menghasilkan bentuk sel darah merah yang
bentuk tidak normal dari sel darah merah. Jumlah eritrosit (RBC) sering
Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai
oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk
kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak ada
hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak. Kerusakan ini bisa
disebabkan oleh zat kimia beracun, virus tertentu, atau bisa juga karena faktor keturunan.
Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju 3-6 kasus/
1,2
1 juta penduduk/ tahun.
Manifestasi anemia aplastik juga sangat beragam dimulai dari kasus yang bersifat
ringan hingga berat, dan juga sampai menimbulkan kematian. Oleh sebab itu, pada
penulisan ini saya membahas dampak yang ditimbulkan anemia aplastik, memerlukan
perhatian dari para tenaga kesehatan untuk memberikan suatu tindakan yang tepat dalam
4. Sel Trombosit
Trombosit adalah sel tak berinti yang diproduksi oleh sumsum tulang, yang
berbentuk cakram dengan diameter 2-5 m. Trombosit dalam darah tersusun atas
substansi fosfolipid yang berfungsi sebagai faktor pembeku darah dan
hemostasis (menghentikan perdarahan). Jumlahnya dalam darah dalam keadaan
normal sekitar 150.000 sampai dengan 300.000 /ml darah dan mempunyai masa
hidup sekitar 1 sampai 2 minggu atau kira-kira 8 hari. Pembentukan trombosit
berasal dari Multipotensial Stem Cell menjadi Unipotensial Stem Cell dibantu
Trombopoitin. Sel yang paling muda yang dapat dilihat dengan mikroskop
adalah Megakarioblas, Megakarioblas akan diubah menjadi megakariosit imatur
[13]
kemudian menjadi megakariosit matur.
Fungsi Trombosit bila tubuh mengalami luka maka trombosit akan berkumpul
dan saling melekatkan diri sehingga akan menutup luka tersebut, trombosit juga
akan mengeluarkan zat yang merangsang untuk terjadinya
pengerutan luka sehingga ukuran luka menyempit dan karena mempunyai zat
pembeku darah maka dapat menghentikan perdarahan. Umur Trombosit
Umur trombosit didalam tubuh sangat pendek yaitu sekitar 8 sampai 10 hari,
berbeda dengan umur eritrosit sekitar 120 hari serta sangat mudah terjadi
destruksi, apabila trombosit rusak maka akan segera dihancurkan didalam limpa.
Tranfusi trombosit diperlukan pada kasus-kasus tertentu misalnya :
a. Kelainan jumlah trombosit
3
Jumlah trombosit kurang dari 50.000 / mm disebut Trombositopenia,
Hal ini bisa terjadi pada kasus-kasus penyakit misalnya demam berdarah
(DBD), penyakit ini disebabkan oleh 4 virus dengue yaitu DN-1, Den-2, Den-
3 dan Den-4 sebagai diagnosa awalnya adalah penurunan jumlah trombosit
[18]
terutama pada hari ke3 dan ke4 dari serangan , Idiopathic
Thrombocytopenia Purpura (ITP).
b. Kelainan Fungsi Trombosit
Kelainan ini terjadi bila Adenosin Difosfat ( ADP) dalam trombosit
berkurang sehingga agregasi trombosit berkurang. Hal ini terjadi pada
penyakit Lupus Eritematosus (LE), Idiopatik Trombocytopenia Purpura
(ITP), Lekemia limfositik kronik sehingga menyebabkan jumlah trombosit
3
kurang dari 50.000/mm darah.
Sel trombosit sangat mudah rusak apalagi bila berada diluar tubuh, trombosit
akan kehilangan fungsinya bila disimpan lebih dari 24 jam dengan suhu
penyimpanan yang tidak sesuai akan mempercepat proses kerusakan
trombosit. Penyimpanan juga akan membentuk mikroagregat, Untuk itu
tranfusi trombosit harus segera dilakukan sesegera mungkin dari proses
pengambilan darah dan apabila disimpan maka harus tidak boleh lebih dari 3
0 0 .[1,16]
hari dengan suhu 20 c-24 c
5 . Jenis-jenis Antikoagulan Untuk Darah Donor
Pemilihan jenis antikoagulan akan berpengaruh pada batas waktu
penyimpanan darah donor dan tidak merubah fungsi dan kualitas komponen
darah. Jenis antikoagulant yang baik adalah yang tidak merusak komponen
komponen yang terkandung didalam darah dan harus sesuai dengan jenis
komponen darah yang dibutuhkan.
Ada beberapa jenis antikoagulan yang dipakai untuk darah donor antara lain
Citrat Phosphat Dextrose(CPD), Acid Citrat Dextrose(ACD), Heparin. Darah
yang diambil dari tubuh pendonor dikumpulkan di dalam kantung plastik 250
ml yang mengandung antikoagulan 65 sampai 75 ml Citrate Phosphate
Dextrose (CPD) atau Acid Citrate Dextrose (ACD). ACD dipakai untuk
membuat sediaan trombosit, sedangkan untuk darah lengkap (whole blood )
atau jenis komponen darah yang lain lebih baik dipakai CPD karena:
70%.[1,,17]
Ada lagi 1 jenis antikoagulant yaitu Heparin tetapi jarang digunakan karena
masa kadaluarsa yang singkat atau tidak tahan lama. darah lengkap dengan
antikoagulan Heparin akan kadaluarsa 48 jam setelah pengambilan, jadi
,[16]
komponen komponen didalam darah juga akan rusak.
f. Suhu Penyimpanan
Darah donor yang belum segera ditranfusikan akan disimpan dalam
refrigerator, suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap kualitas darah
dan usia dari darah yang disimpan. Dalam penyimpanan darah direfrigerator
suhu harus stabil dan harus dilakukan pengontrolan setiap hari dengan memakai
termometer yang berkualitas baik agar angka yang ditunjukkan menunjukkan
suhu yang sebenarnya. Penyimpanan darah donor sebaiknya menggunakan
refrigerator yang mempunyai kipas angin didalamnya supaya suhu merata
didalam ruang refrigerator dan juga harus ada penanganan bila listrik mati.
0 0
Suhu untuk penyimpanan darah donor berkisar antara 2 -6 c, pada suhu ini
proses glikolisis dalam darah dapat diperlambat. Dengan suhu yang dingin
diharapkan dapat mempertahankan fungsi komponen didalam darah. Suhu
0 0
penyimpanan untuk trombosit adalah 20 -24 c dan harus segera ditranfusikan,
untuk pengolahan darah menjadi komponen trombosit sampai siap ditranfusikan
[14]
harus dikerjakan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam.
a. Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi bakteri terjadi bila pada waktu proses penyadapan darah
dilakukan tidak secara aseptis. Kontak antara kulit yang tidak atau kurang steril
pada waktu penusukan akan membuat bakteri masuk kedalam kantong darah
dan terjadilah kontaminasi. Pemakaian alat yang tidak steril dan penanganan
darah yang tidak tepat oleh petugas bank darah juga bisa mengakibatkan
kontaminasi. Kontaminasi ini dapat berakibat darah menjadi rusak dan tidak
boleh digunakan untuk tranfusi karena berbahaya bagi kesehatan penerima
donor. Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah
dan 1-2% konsentrat trombosit.
Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan
sel darah merah atau plasma sebelum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar
meningkatkan pertumbuhan hampir semua bakteri. Beberapa organisme,
seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6C dan dapat bertahan hidup atau
berproliferasi dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan Yersinia dapat
berproliferasi bila disimpan pada suhu 4C. Stafilokokus tumbuh dalam
kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada
[17]
suhu 20-40C . Oleh karena itu risiko meningkat sesuai dengan lamanya
penyimpanan. Gejala klinis akibat kontaminasi bakteri pada sel darah merah
timbul pada 1: 1 juta unit transfusi. Darah donor yang terkontaminasi biasanya
menunjukkan warna plasma darah yang keruh atau berwarna kehijauan, akan
tetapi perubahan warna ini sering juga tidak tampak secara fisiologis tetapi
darah ternyata sudah terkontaminan dengan bakteri, untuk itu tindakan
pengambilan, penanganan dan pengolahan darah secara aseptis dan benar akan
mengurangi resiko kontaminasi bakteri.
hari.[1,16]
b. Packet Red Cell / PRC
Jenis darah ini adalah paket sel darah merah yang sudah dipisahkan dari
sebagian plasma darah atau disebut juga sel darah merah pekat. PRC
mempunyai masa simpan 2 minggu bila pemisahan komponen dilakukan
[1,17]
secara tertutup.
a. Plasma Segar Beku
Plasma segar beku adalah jenis darah yang telah dipisahkan dari sel darah
merah dan merupakan jenis darah kaya plasma yang telah dibekukan.
Jenis darah ini bisa bertahan selama 1 tahun bila disimpan pada suhu -18 c atau lebih rendah.
0
Selain plasma segar beku juga ada jenis darah plasma segar cair yaitu plasma segar yang disimpan
.[21]
Golongan darah adalah merupakan suatu komponen antigenik terstruktur dalam tubuh yang diturunkan dan diekspresikan pada permukaan sel eritrosit yang dapat terdeteksi dengan
penambahan alloantibodi spesifik. Antigen yang terdiri dari glikoprotein dan glikolipid pada permukaan sel eritrosit ini bervariasi tiap individu1 dengan yang lain.
r/2011 Transfusi darah merah pada anak dengan penyakit kritis 2.a. Penyakit kritis
Penyakit kritis merupakan penyakit yang membutuhkan pertolongan secepatnya karena
dapat menyebabkan risiko kematian ataupun kecacatan. Menurut Permenkes Nomor
416/Menkes/Per/2011 Transfusi darah merah pada anak dengan penyakit kritis 2.a.
Penyakit kritis
!!br0ken!!yang termasuk penyakit kritis atau kriteria gawat darurat adalah sebagai berikut:
a. Anemia sedang/berat
b. Apnea/ gasping
c. Bayi ikterus/anak ikterus
d. Bayi kecil/ prematur
e. Cardiac arrest/ Payah jantung
f. Diare profus (lebih dari 10 kali perhari) disertai dehidrasi
g. Difteri
h. Ditemukan bising jantung, aritmia
i. Edema/ bengkak seluruh badan
j. Epistaksis, tanda perdarahan lainnya disertai febris
k. Gagal ginjal akut
l. Gangguan kesadaran
m. Hematuria
n. Hipertensi berat
o. Hipotensi/ syok
p. Intoksikasi dengan keadaan umum masih baik ataupun intoksikasi disertai
gangguan fungsi vital
q. Kejang disertai penurunan kesadaran
r. Muntah profus (lebih dari 6 hari) disertai dehidrasi ataupun tidak
s. Panas tinggi lebih dari 40 C
t. Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun, sianosis ada retraksi hebat (penggunaan
otot pernafasan sekunder)
u. Sesak tapi kesadaran dan keadaan umum masih baik
v. Syok berat : nadi tidak teraba tekanan darah terukur termasuk Dengue Shock
Syndrome
w. Tetanus
x. Tidak kencing lebih dari 8 jam
y. Tifus abdominalis dengan komplikasi ( HIA , 2003; LIA, 2003).
Anak dengan penyakit kritis di ruangan pediatric intensive care unit umumnya
terindikasi untuk mendapatkan transfusi darah dengan berbagai alasan. Para dokter
seharusnya memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai produk darah,
indikasi, dan kontraindikasi serta efek samping yang mungkin ditimbulkan karena transfusi
darah tersebut mengingat anak sangat jauh berbeda dengan keadaan orang dewasa saat
masa pertumbuhan dan perkembangannya. Secara umum indikasi dilakukannya transfusi
darah yakni:
a. Menjaga kadar hemoglobin guna meningkatkan transportasi oksigen dalam tubuh.
b. Menjaga keseimbangan fungsi jantung
c. Menjaga mekanisme hemostasis tubuh (Istaphonous, 2011).
Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan pedoman dalam transfusi pada anak
dengan penyakit kritis ( Nahum ,2002) .
g. Malnutrisi
Nutrisi yang adekuat sulit untuk dicapai pada anak dengan penyakit kritis akibat
penyakit yang dideritanya dan ini menyebabkan terjadinya defisiensi. Kurangnya akses
enteral, menurunnya fungsi gastrointestinal dan tidakan pembedahan merupakan hal
yang sering menyebabkan defisiensi nutrisi. Anak dengan penyakit kritis umumnya
mengalami gangguan fungsi gastrointestinal yang menyebabkan gangguan dalam
penyerapan vitamin dan mineral.
Gambar 2.3. Patofisiologi anemia pada penyakit kritis (Didomenico, 2004)
Anemia dapat bersifat akut ataupun kronik. Pada anemia akut terjadi penurunan nilai
hemoglobin (Hb) dibawah 6 g/dl atau kehilangan darah dengan cepat yaitu lebih dari 30%-
40% volume darah, sehingga umumnya pengobatan terbaik adalah dengan transfusi sel
darah merah. Pada anemia kronik seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi sel
darah merah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronik. Transfusi sel
darah merah juga diindikasikan pada anemia kronik yang tidak responsif terhadap
pengobatan farmakologik. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan segera (darurat)
dengan kadar Hb <10gr/dl perlu dipertimbangkan pemberian Transfusi sel darah merah
sebelum tindakan tersebut (Garry, 2002; Thayyil, 2006; Liumbruno, 2009).
Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain
kadar hemoglobin adalah:
b. Gejala, tanda, dan kapasitas vital dan fungsional pasien
c. Ada atau tidaknya penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat
d. Penyebab dan antisipasi anemia
e. Ada atau tidaknya terapi alternatif lain (Christensen, 2011).
Pedoman transfusi sel darah merah pada anak dan remaja tidak serupa dengan pada
dewasa. Dosis pemberian transfusi sel darah merah yang dipergunakan untuk menaikkan
Hb dapat menggunakan modifikasi rumus empiris. Bila yang digunakan sel darah merah
pekat (packed red cells), maka kebutuhannya menjadi. Pemberian jumlah transfusi sel
darah merah didasarkan atas makin anemisnya seorang resipien makin rendah kadar
hemoglobin pasien maka makin sedikit jumlah darah yang diberikan dalam suatu seri
transfusi sel darah merah dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan untuk
menghindari komplikasi gagal jantung. Rumus tersebut adalah :Berat Badan (kg) x 4 x (Hb
diinginkan - Hb tercatat) (Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
Jika menggunakan packed red cells untuk transfusi darah, maka dosis PRC untuk
transfusinya dapat dilihat pada tabel 1. (Ramelan, 2005).
Tujuan utama dari transfusi sel darah merah adalah untuk meningkatkan delivery
oxygen (DO2) dan meningkatkan penggunaan oksigen jaringan guna menjaga kestabilan
organ tubuh . Nilai DO2 tergantung pada tiga faktor :
b. hemoglobin (Hb)
c. cardiac output (CO)
d. proporsi relatif dari oksihemoglobin yaitu persen saturasi oksigen (SaO2)
(Soemantri, 2009; Setiati, 2009) .
Oksigen diangkut dalam darah dan dikombinasikan dengan Hb, meskipun terdapat
sejumlah kecil yang secara bebas terlarut dalam fraksi plasma darah. Setiap gram Hb dapat
membawa sekitar 1,34 ml oksigen pada suhu tubuh normal. Oksigen terlarut plasma
berbanding lurus dengan PaO2 . Secara teori, dengan menaikkan kadar hemoglobin melalui
transfusi sel darah merah, maka dapat meningkatkan kapasitas pembawa oksigen darah,
dan memberikan cara yang efektif untuk meningkatan pengiriman oksigen kedalam sel-sel
dan menjadikan perbaikan klinis (Rao, 2002; Walsh, 2006).
Batas nilai hemoglobin agar dapat mentransportasikan oksigen pada anak dengan
penyakit kritis tidaklah dapat didefinisikan secara pasti, karena hal tersebut bergantung
juga pada keadaan tiap-tiap individu. Pada anak yang mengalami anemia mekanisme
kompensasi yang dilakukan tubuh adalah dengan meningkatan CO dan mengekstraksi
oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dalam kadar hemoglobin yang
sangat rendah. Namun hal tersebut tidak terjadi pada pasien dengan perdarahan, dimana
mekanisme kompensasi tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Menurut penelitian Lackritz et al yang dilakukan secara retrospektif pada 2.400 anak di
rumah sakit Kenya, tercatat bahwa 29 % dari semua anak memiliki kadar hemoglobin < 5 g/dL.
Sebagian besar anak-anak ini mengalami sakit malaria dan kasus anemia berat (Hb < 5 g/dL)
dikaitkan dengan kematian yang meningkat secara signifikan 18 % pada anemia berat
sementara 8 % di kontrol dengan p = .0001 . Di sisi lain, Bojang dkk melakukan penelitian
prospektif 287 anak yang juga dengan malaria dan anemia berat, pada anak-anak tersebut
terdapat 173 anak dengan gangguan pernapasan atau hematokrit < 12% (n=173) yang
mendapat transfusi sel darah merah, dan sisanya 114 anak mendapat transfusi sel darah merah
atau pengobatan zat besi selama 28 hari secara acak. Dua puluh empat anak dalam penelitian
ini meninggal, dimana 23 anak memiliki hematokrit < 12 % . Dan kelompok yang mendapat
terapi besi, 1 anak meninggal dan 10 anak kemudian memerlukan transfusi sel darah merah.
Setelah 28 hari, kadar hemoglobin pada anak-anak yang mendapat terapi besi meningkat secara
signifikan pada dibandingkan dengan yang mendapat transfusi darah ( p =
.02 ). Meskipun anak-anak dalam studi ini mungkin akan sangat berbeda dari pasien anak
di negara-negara yang lebih maju, tetapi peneliti menggarisbawahi risiko besar dari kadar
hemoglobin sangat rendah sebagai suatu mekanisme fisiologis untuk mempertahankan DO2
dalam pengaturan anemia berat pada populasi anak (Lackritz, 1992; Bojang, 1997) .
Pada Symposium On PICU Protocols All India Institute of Medical Sciences dinyatakan
bahwa indikasi dilakukan transfusi sel darah merah pada penyakit kritis adalah sebagai
berikut:
b. Hemoglobin 4 gr/dl atau kurang dari angka tersebut (hematokrit 12%) walaupun
tidak sesuai keadaan klinis
c. Hemoglobin 4-6 g/dl (Hematokrit 13-18%) dengan klinis hipoksia atau asidosis
yang menyebabkan dispneu atau penurunan kesadaran
d. Hematokrit kurang dari 30% atau sedang menggunakan ventilator dengan FiO2 >
0.35
e. Hiperparasitemia pada malaria (> 20%)
f. Klinis decompensasi kordis karena anemia
g. Kondisi anak yang masih belum stabil setelah 2 kali bolus 20cc/kg cairan kristaloid
dan dicurigai adanya kehilangan darah lebih dari 30%.
Pertimbangan transfusi sel darah merah bergantung pada keadaan pasien itu sendiri.
Efek anemia haruslah dibedakan dari keadaan hipovolemia, meskipun keduanya dapat
menghambat pengiriman oksigen jaringan. Kehilangan darah yang lebih dari 30% volume
darah akan menyebabkan gejala klinis yang signifikan, namun resusitasi dengan kristaloid
dapat memberikan hasil yang baik untuk berhasil bahkan kehilangan darah lebih dari 40%
volume darah. Selain itu, anemia normovolemik akut dapat tmbul timbul setelah
mendapatkan resusitasi dengan penggantian volume cairan yang memadai. Oksigenasi
jaringan masih dapat dipertahankan bahkan dengan tingkat hemoglobin serendah 6-7g /dL
pada orang sehat (Uppal, 2010).
Terdapat berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi yang berbeda
mengenai kebijakan transfusi sel darah merah pada anak dengan penyakit kritis. Sebagai
contoh penelitian pada kelompok anak dengan penyakit kritis yang stable yang
membandingkan transfusi sel darah merah saat hemoglobin pasien 7 g / dL dengan
kelompok kontrol yang hemoglobin 9 g / dL dengan hasil mortalitas dan tingkat keparahan
penyakit lebih rendah pada kelompok yang mendapat transfusi sel darah merah setelah
hemoglobin 7g/ dl. Sementara kasus anak dengan penyakit jantung memang belum banyak
diteliti namun Jacques Lacroix, MD et al dalam Red Blood Cell Transfusion : Decision
Making in Pediatric Intensive Care Unit menyatakan bahwa batas aman untuk transfusi
pada kasus anak yang stable namun menderita penyakit jantung sianotik, batas kadar
hemoglobin untuk transfusi adalah kurang dari 9 g/dl, sementara pada anak dengan
penyakit jantung asianotik kadar hemoglobin lebih dari 7g/dl. Sedangkan pada anak
dengan penyakit jantung yang unstable tentunya dibutuhkan kadar hemoglobin lebih dari 9
g/dl. Dengan demikian, transfusi sel darah merah pada penyakit kritis harus disesuaikan
dengan kondisi pasien, dan keputusan untuk transfusi harus dibuat atas dasar karakteristik
individu masing-masing pasien. Sayangnya, ketersediaan uji klinis tentang kebijakan ini
belumlah banyak (Tavian, 2005; Lacroix, 2010; Uppal, 2010).