Anda di halaman 1dari 27

ERITROSIT

15

B. Sel Darah Putih (Leukosit)

Leukosit tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara amoeboid dan dapat

menembus dinding kapiler /diapedesis. Jumlah normal 4 109 hingga 11

1. 109 sel leukosit dalam satu liter darah manusia dewasa yang sehat

atau sekitar 7000 - 25000 sel per tetes (Harahap, 2008). Leukosit adalah sel

darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Dilihat dibawah

mikroskop sitoplasmanya sel darah putih mempunyai granula spesifik

(granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam

sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi. Sedangkan yang

tidak mempunyai granula sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau

bentuk ginjal. Granula dianggap spesifik bila secara tetap terdapat dalam jenis

leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (prazatnya) (Effendi, 2003).

Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme

terhadap zat-zat asing. Leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos

antara sel-sel endotelium dan menembus ke dalam jaringan penyambung. Bila

memeriksa variasi fisiologi dan patologi sel-sel darah tidak hanya persentase

tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus

diambil (Effendi, 2003). Ada enam macam sel darah putih yang secara normal

ditemukan dalam darah yaitu neutrofil polimorfonuklear, eosinofil

polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear, monosit, limfosit dan kadang-kadang

sel plasma. Sel-sel polimorfonuklir seluruhnya mempunyai


16

gambaran granular sehingga disebut granulosit. Granulosit dan monosit

melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama dengan cara

mencernanya yaitu melalui fagositosis. Fungsi pertama sel limfosit dan sel-sel

plasma berhubungan dengan sistem imun. Struktur macam leukosit pada darah

pheriperal terlihat pada Gambar 2.

a b
c

Gambar 2. Diferensiasi Sel Darah Putih (Leukosit) Mencit (Mus musculus) a.


Neutrofil b. Eosinofil c. Basofil d. Limfosit mencit (Perbesaran 100x)
(Sumber: Themi et al, 2004) e. Monosit mencit (Perbesaran 100x) (Sumber:
Weiss and Wardrop, 2010)
C. Sel Darah Merah (Eritrosit)

Morfologi normal sel darah merah (eritrosit) bervariasi tergantung kepada

spesies. Eritrosit mamalia tidak berinti sedangkan eritrosit bangsa camellidae,

reptil, dan aves memiliki inti. Bentuk oval dan bikonkaf dari eritrosit berfungsi

sebagai pertukaran oksigen. Sel darah merah mencit mempunyai ketebalan sel

2,1-2,13 m dan diameter rata-rata 6,2 m atau sekitar 5,7-7 m. Waktu hidup
sel darah mencit adalah sekitar 43 hari. Sel darah merah terdiri sekitar 20% air,

40% protein, 35% lemak, dan 6% karbohidrat (Weiss and Wardrop, 2010).
17
Fungsi utama dari sel darah merah adalah untuk mengangkut HbO2 yang

membawa oksigen ke jaringan. Membran permeabel yang menutupi komponen

sel darah merah terbuat dari lipid, protein, dan karbohidrat. Perubahan

komposisi lipid membran dapat menghasilkan bentuk sel darah merah yang

abnormal. Ketidaknormalan membran protein juga mungkin menghasilkan

bentuk tidak normal dari sel darah merah. Jumlah eritrosit (RBC) sering

digunakan untuk menegakkan diagnosa mengenai penyebab anemia (Thrall,

2004). Struktur sel darah merah dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Sel-sel darah merah normal secara mikroskopis (Vidinsky, 2011).

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang diantaranya ditandai

oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan platelet tanpa adanya bentuk

kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan sumsum dinyatakan hampir tidak ada

hematopoetik sel perkusi dan digantikan oleh jaringan lemak. Kerusakan ini bisa

disebabkan oleh zat kimia beracun, virus tertentu, atau bisa juga karena faktor keturunan.

Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju 3-6 kasus/

1,2
1 juta penduduk/ tahun.
Manifestasi anemia aplastik juga sangat beragam dimulai dari kasus yang bersifat

ringan hingga berat, dan juga sampai menimbulkan kematian. Oleh sebab itu, pada

penulisan ini saya membahas dampak yang ditimbulkan anemia aplastik, memerlukan

perhatian dari para tenaga kesehatan untuk memberikan suatu tindakan yang tepat dalam

menangani masalah tersebut.

3. Sel Darah Putih/Leukosit


Sel leukosit atau sel darah putih adalah sel yang membentuk komponen
darah. Sel darah putih ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai
penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak
berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus
dinding kapiler /diapedesis. Jumlah dalam keadaan normal adalah 5000-10000
sel/mm3. Jumlah sel leukosit yang lebih dari normal atau melebihi 10000 disebut
Leukositosis, sedangkan jumlah sel leukosit yang kurang dari normal atau kurang
[12]
dari 5000 disebut Leukopenia
Leukosit terdiri dari 2 kategori yaitu granulosit dan agranulosit.
a. Granulosit atau disebut juga polimorfonuklear yaitu sel darah putih yang
didalamnya terdapat granula antara lain : eosinofil, basofil, neutrofil. 75 %
dari komponen leukosit adalah sel granulosit dan sel ini dibentuk didalam
sumsum tulang belakang.
a. Agranulosit : merupakan bagian dari sel darah putih yang mempunyai 1 sel
lobus dan sitoplasmanya tidak mempunyai granula antara lain limfosit dan
monosit.
Fungsi leukosit adalah sebagai sistim imunitas atau kekebalan tubuh, bila
tubuh kemasukan benda asing misal bakteri atau virus maka oleh sel sel neutrofil
atau limfosit benda asing tersebut akan difagositosis dimana sel limfosit T akan
membunuh langsung atau membentuk limfokin yaitu suatu substansi yang
memperkuat daya fagositosis sedangkan limfosit B akan mengeluarkan antibodi
yang akan menghancurkan benda asing tersebut.
Jenis-jenis sel Leukosit
f. Neutrofil
Sel Neutrofil adalah bagian dari leukosit yang bertindak sebagai garis depan
dalam sistem kekebalan tubuh, neutrofil akan memfagositosis bakteri dan
mengencerkannya dengan enzim asam amino D oksidase dalam granula
azurofilik. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan
peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel bakteri dan
menghancurkannya. Neutrofil dibentuk dalam sumsum tulang dan
dikeluarkan dalam sirkulasi, jumlahnya dari leukosit adalah 60 -70 % . Sel
neutrofil bergaris tengah sekitar 12 um, mempunyai satu inti dan terdiri dari 2-5
lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8m)
mendekati batas resolusi optik, dengan pewarnaan giemsa tampak berwarna
keunguan.
Granul pada neutrofil ada dua :
1. Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.
2. Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan
zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang dinamakan fagositin.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit
mitokondria, apparatus golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen.
b. Eosinofil
Eosinofil adalah bagian dari sel leukosit yang dapat bergerak amuboid untuk
memfagositosis bakteri atau benda asing yang masuk dalam tubuh meskipun
pergerakannya tidak secepat neutrofil. Jumlah eosinofil sedikit hanya 1-4 %
leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih kecil dari neutrofil).
Mempunyai inti biasanya berlobus dua, mempunyai granula ovoid yang dengan
eosin asidofilik sehingga kelihatan berwarna merah, granula adalah lisosom
yang mengandung fosfatase asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung
lisosim.
c. Basofil
Basofil jumlahnya 0-1% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12m, inti
satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil
terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul
.[15]
bentuknya ireguler berwarna biru
d. Limfosit
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8m, jumlah dalam
leukosit sekitar 20-30% . Sel yang normal berinti relatif besar, bulat sedikit
cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, sitoplasma sedikit sekali, sedikit
basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Sel limfosit dibentuk didalam
kelenjar limfe dan sumsum tulang. Tidak memiliki gerakan amuboid dan tidak
dapat memfagositosis bakteri tetapi sel limfosit berperan dalam membentuk
antibodi untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap infeksi. Jumlah limfosit
yang meningkat dalam tubuh disebut limfositosis. Jumlah sel limfosit akan
menurun seiring bertambahnya usia, pada saat lahir jumlahnya sekitar 5% tetapi
pada usia lanjut kemampuan tubuh akan berkurang dalam memproduksi limfosit
[15,20]
sehingga kekebalan tubuh akan berkurang juga.
e. Monosit
Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal,
diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau
lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda.
Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, Granula azurofil, merupakan
lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Monosit ditemui dalam darah,
jaringan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik
[8,15]
mononuclear (system retikuloendotel).

4. Sel Trombosit
Trombosit adalah sel tak berinti yang diproduksi oleh sumsum tulang, yang
berbentuk cakram dengan diameter 2-5 m. Trombosit dalam darah tersusun atas
substansi fosfolipid yang berfungsi sebagai faktor pembeku darah dan
hemostasis (menghentikan perdarahan). Jumlahnya dalam darah dalam keadaan
normal sekitar 150.000 sampai dengan 300.000 /ml darah dan mempunyai masa
hidup sekitar 1 sampai 2 minggu atau kira-kira 8 hari. Pembentukan trombosit
berasal dari Multipotensial Stem Cell menjadi Unipotensial Stem Cell dibantu
Trombopoitin. Sel yang paling muda yang dapat dilihat dengan mikroskop
adalah Megakarioblas, Megakarioblas akan diubah menjadi megakariosit imatur
[13]
kemudian menjadi megakariosit matur.
Fungsi Trombosit bila tubuh mengalami luka maka trombosit akan berkumpul
dan saling melekatkan diri sehingga akan menutup luka tersebut, trombosit juga
akan mengeluarkan zat yang merangsang untuk terjadinya
pengerutan luka sehingga ukuran luka menyempit dan karena mempunyai zat
pembeku darah maka dapat menghentikan perdarahan. Umur Trombosit

Umur trombosit didalam tubuh sangat pendek yaitu sekitar 8 sampai 10 hari,
berbeda dengan umur eritrosit sekitar 120 hari serta sangat mudah terjadi
destruksi, apabila trombosit rusak maka akan segera dihancurkan didalam limpa.
Tranfusi trombosit diperlukan pada kasus-kasus tertentu misalnya :
a. Kelainan jumlah trombosit
3
Jumlah trombosit kurang dari 50.000 / mm disebut Trombositopenia,
Hal ini bisa terjadi pada kasus-kasus penyakit misalnya demam berdarah
(DBD), penyakit ini disebabkan oleh 4 virus dengue yaitu DN-1, Den-2, Den-
3 dan Den-4 sebagai diagnosa awalnya adalah penurunan jumlah trombosit
[18]
terutama pada hari ke3 dan ke4 dari serangan , Idiopathic
Thrombocytopenia Purpura (ITP).
b. Kelainan Fungsi Trombosit
Kelainan ini terjadi bila Adenosin Difosfat ( ADP) dalam trombosit
berkurang sehingga agregasi trombosit berkurang. Hal ini terjadi pada
penyakit Lupus Eritematosus (LE), Idiopatik Trombocytopenia Purpura
(ITP), Lekemia limfositik kronik sehingga menyebabkan jumlah trombosit
3
kurang dari 50.000/mm darah.
Sel trombosit sangat mudah rusak apalagi bila berada diluar tubuh, trombosit
akan kehilangan fungsinya bila disimpan lebih dari 24 jam dengan suhu
penyimpanan yang tidak sesuai akan mempercepat proses kerusakan
trombosit. Penyimpanan juga akan membentuk mikroagregat, Untuk itu
tranfusi trombosit harus segera dilakukan sesegera mungkin dari proses
pengambilan darah dan apabila disimpan maka harus tidak boleh lebih dari 3
0 0 .[1,16]
hari dengan suhu 20 c-24 c
5 . Jenis-jenis Antikoagulan Untuk Darah Donor
Pemilihan jenis antikoagulan akan berpengaruh pada batas waktu
penyimpanan darah donor dan tidak merubah fungsi dan kualitas komponen
darah. Jenis antikoagulant yang baik adalah yang tidak merusak komponen
komponen yang terkandung didalam darah dan harus sesuai dengan jenis
komponen darah yang dibutuhkan.
Ada beberapa jenis antikoagulan yang dipakai untuk darah donor antara lain
Citrat Phosphat Dextrose(CPD), Acid Citrat Dextrose(ACD), Heparin. Darah
yang diambil dari tubuh pendonor dikumpulkan di dalam kantung plastik 250
ml yang mengandung antikoagulan 65 sampai 75 ml Citrate Phosphate
Dextrose (CPD) atau Acid Citrate Dextrose (ACD). ACD dipakai untuk
membuat sediaan trombosit, sedangkan untuk darah lengkap (whole blood )
atau jenis komponen darah yang lain lebih baik dipakai CPD karena:

e. Masa simpan lebih lama ( CPD 28 hari sedangkan ACD 21 hari )


f. Penurunan pH tidak begitu cepat
g. Dapat mempertahankan 80% kadar Diphosphoglycerate/DPG (dalam
darah ACD setelah 2 minggu hanya tertinggal 10% DPG).
Kadar 2,3 DPG dalam eritrosit akan menjadi normal kembali setelah darah
donor berada di dalam sirkulasi resipien selama 24 jam. Lama penyimpanan
0
darah (suhu 4 -6C) ditentukan dengan standar jumlah eritrosit donor yang
masih bertahan di dalam sirkulasi resipien selama 24 jam, yaitu minimum

70%.[1,,17]
Ada lagi 1 jenis antikoagulant yaitu Heparin tetapi jarang digunakan karena
masa kadaluarsa yang singkat atau tidak tahan lama. darah lengkap dengan
antikoagulan Heparin akan kadaluarsa 48 jam setelah pengambilan, jadi
,[16]
komponen komponen didalam darah juga akan rusak.

f. Suhu Penyimpanan
Darah donor yang belum segera ditranfusikan akan disimpan dalam
refrigerator, suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap kualitas darah
dan usia dari darah yang disimpan. Dalam penyimpanan darah direfrigerator
suhu harus stabil dan harus dilakukan pengontrolan setiap hari dengan memakai
termometer yang berkualitas baik agar angka yang ditunjukkan menunjukkan
suhu yang sebenarnya. Penyimpanan darah donor sebaiknya menggunakan
refrigerator yang mempunyai kipas angin didalamnya supaya suhu merata
didalam ruang refrigerator dan juga harus ada penanganan bila listrik mati.
0 0
Suhu untuk penyimpanan darah donor berkisar antara 2 -6 c, pada suhu ini
proses glikolisis dalam darah dapat diperlambat. Dengan suhu yang dingin
diharapkan dapat mempertahankan fungsi komponen didalam darah. Suhu
0 0
penyimpanan untuk trombosit adalah 20 -24 c dan harus segera ditranfusikan,
untuk pengolahan darah menjadi komponen trombosit sampai siap ditranfusikan
[14]
harus dikerjakan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam.

a. Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi bakteri terjadi bila pada waktu proses penyadapan darah
dilakukan tidak secara aseptis. Kontak antara kulit yang tidak atau kurang steril
pada waktu penusukan akan membuat bakteri masuk kedalam kantong darah
dan terjadilah kontaminasi. Pemakaian alat yang tidak steril dan penanganan
darah yang tidak tepat oleh petugas bank darah juga bisa mengakibatkan
kontaminasi. Kontaminasi ini dapat berakibat darah menjadi rusak dan tidak
boleh digunakan untuk tranfusi karena berbahaya bagi kesehatan penerima
donor. Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah
dan 1-2% konsentrat trombosit.
Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan
sel darah merah atau plasma sebelum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar
meningkatkan pertumbuhan hampir semua bakteri. Beberapa organisme,
seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6C dan dapat bertahan hidup atau
berproliferasi dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan Yersinia dapat
berproliferasi bila disimpan pada suhu 4C. Stafilokokus tumbuh dalam
kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada
[17]
suhu 20-40C . Oleh karena itu risiko meningkat sesuai dengan lamanya
penyimpanan. Gejala klinis akibat kontaminasi bakteri pada sel darah merah
timbul pada 1: 1 juta unit transfusi. Darah donor yang terkontaminasi biasanya
menunjukkan warna plasma darah yang keruh atau berwarna kehijauan, akan
tetapi perubahan warna ini sering juga tidak tampak secara fisiologis tetapi
darah ternyata sudah terkontaminan dengan bakteri, untuk itu tindakan
pengambilan, penanganan dan pengolahan darah secara aseptis dan benar akan
mengurangi resiko kontaminasi bakteri.

a. Jenis-Jenis Komponen Darah Simpan


Darah donor ada berbagai jenis dan tiap jenis darah mempunyai
masa simpan yang berbeda. Penyimpanan darah disesuaikan
dengan jenis darah dan komponen yang terkandung didalam
darah yang sesuai dengan
kebutuhan tranfusi.
a. Whole Blood / Darah lengkap
Jenis darah ini mengandung semua komponen darah yaitu plasma dan juga
semua sel sel darah. Jenis darah whole blood ini bila memakai antikoagulan
CPD Adenin maka akan mempunyai masa simpan selama 35

hari.[1,16]
b. Packet Red Cell / PRC
Jenis darah ini adalah paket sel darah merah yang sudah dipisahkan dari
sebagian plasma darah atau disebut juga sel darah merah pekat. PRC
mempunyai masa simpan 2 minggu bila pemisahan komponen dilakukan
[1,17]
secara tertutup.
a. Plasma Segar Beku
Plasma segar beku adalah jenis darah yang telah dipisahkan dari sel darah
merah dan merupakan jenis darah kaya plasma yang telah dibekukan.
Jenis darah ini bisa bertahan selama 1 tahun bila disimpan pada suhu -18 c atau lebih rendah.
0
Selain plasma segar beku juga ada jenis darah plasma segar cair yaitu plasma segar yang disimpan

pada suhu 1-6 c.


0
[1,16]
1. Trombosit Konsentrat
Suatu jenis darah didalamnya mengandung trombosit yang telah dipisahkan
dari sel darah merah dan sebagian plasma sehingga jenis darah ini disebut
trombosit konsentrat. Masa simpan paket trombosit sel ini adalah 3 hari dan
0
disimpan pada suhu 20-24 c.

3. Jenis Golongan Darah Pendonor

.[21]

Golongan darah adalah merupakan suatu komponen antigenik terstruktur dalam tubuh yang diturunkan dan diekspresikan pada permukaan sel eritrosit yang dapat terdeteksi dengan
penambahan alloantibodi spesifik. Antigen yang terdiri dari glikoprotein dan glikolipid pada permukaan sel eritrosit ini bervariasi tiap individu1 dengan yang lain.

Jenis-jenis golongan darah menurut Landsteiner ada 4 macam, yaitu :


a. Gol darah A :Mempunyai antigen A dan antibodi B
b. Gol darah B :Mempunyai antigen B dan antibodi A
c. Gol darah O :Tidak mempunyai antigen A dan B tetapi mempunyai antibodi A
dan B.

d.Gol darah AB:Tidak mempunyai antibodi A dan B tetapi mempunyai antigen A


dan B.
Selain itu dikenal juga Jenis golongan darah Rhesus yaitu Rhesus(-)negatif
dan Rhesus (+)/positif.
.[21]
Setiap jenis golongan darah mempunyai kepekaan (more susceptible) dengan penyakit-penyakit tertentu misalnya pada golongan darah A mempunyai kepekaan terhadap penyakit Ca Gastrik dan colon,
Golongan B terhadap infeksi Streptococcus Pneumoniae dan Eschericia Coli, Golongan O mempunyai kepekaan terhadap Gastric dan Duodenal Ulcer

r/2011 Transfusi darah merah pada anak dengan penyakit kritis 2.a. Penyakit kritis
Penyakit kritis merupakan penyakit yang membutuhkan pertolongan secepatnya karena
dapat menyebabkan risiko kematian ataupun kecacatan. Menurut Permenkes Nomor
416/Menkes/Per/2011 Transfusi darah merah pada anak dengan penyakit kritis 2.a.
Penyakit kritis
!!br0ken!!yang termasuk penyakit kritis atau kriteria gawat darurat adalah sebagai berikut:
a. Anemia sedang/berat
b. Apnea/ gasping
c. Bayi ikterus/anak ikterus
d. Bayi kecil/ prematur
e. Cardiac arrest/ Payah jantung
f. Diare profus (lebih dari 10 kali perhari) disertai dehidrasi
g. Difteri
h. Ditemukan bising jantung, aritmia
i. Edema/ bengkak seluruh badan
j. Epistaksis, tanda perdarahan lainnya disertai febris
k. Gagal ginjal akut
l. Gangguan kesadaran
m. Hematuria
n. Hipertensi berat
o. Hipotensi/ syok
p. Intoksikasi dengan keadaan umum masih baik ataupun intoksikasi disertai
gangguan fungsi vital
q. Kejang disertai penurunan kesadaran
r. Muntah profus (lebih dari 6 hari) disertai dehidrasi ataupun tidak
s. Panas tinggi lebih dari 40 C
t. Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun, sianosis ada retraksi hebat (penggunaan
otot pernafasan sekunder)
u. Sesak tapi kesadaran dan keadaan umum masih baik
v. Syok berat : nadi tidak teraba tekanan darah terukur termasuk Dengue Shock
Syndrome
w. Tetanus
x. Tidak kencing lebih dari 8 jam
y. Tifus abdominalis dengan komplikasi ( HIA , 2003; LIA, 2003).
Anak dengan penyakit kritis di ruangan pediatric intensive care unit umumnya
terindikasi untuk mendapatkan transfusi darah dengan berbagai alasan. Para dokter
seharusnya memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai produk darah,
indikasi, dan kontraindikasi serta efek samping yang mungkin ditimbulkan karena transfusi
darah tersebut mengingat anak sangat jauh berbeda dengan keadaan orang dewasa saat
masa pertumbuhan dan perkembangannya. Secara umum indikasi dilakukannya transfusi
darah yakni:
a. Menjaga kadar hemoglobin guna meningkatkan transportasi oksigen dalam tubuh.
b. Menjaga keseimbangan fungsi jantung
c. Menjaga mekanisme hemostasis tubuh (Istaphonous, 2011).
Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan pedoman dalam transfusi pada anak
dengan penyakit kritis ( Nahum ,2002) .

2.b. Transfusi sel darah merah


Transfusi sel darah merah merupakan trasnfusi yang tersering digunakan pada anak dengan
penyakit kritis di ruang Pediatric Intensive Care Unit. Hampir 50% pasien yang dirawat
pada ruangan tersebut mendapatkan transfusi sel darah merah. Batas dari transfusi sel darah
merah masih merupakan hal yang kontroversial pada dunia penelitian kedokteran.
Pemberian transfusi sel darah merah tidaklah terbatas hanya menurut kadar hemoglobin
namun ada beberapa unsur yang harus dipertimbangkan yakni :
b. Kadar Hemoglobin yang rendah antara 7-9 g/dl
c. Nilai saturasi yang rendah
d. Nilai PaO2 yang rendah
e. Rendahnya cardiac output
f. Tingkat keparahan dari suatu penyakit
g. Perdarahan yang aktif
h. Tindakan operasi yang bersifat emergensi (Lacroix, 2007; Rieles, 2007; Lacroix,
2014).
Sementara menurut beberapa kepustakaan terdapat beberapa Patofisiologi anemia pada
penyakit kritis , diantaranya : (Didomenico, 2004; Walsh, 2006).
c. Perdarahan
Perdarahan saluran cerna merupakan perdarahan yang sering terjadi. Angka
kejadiannya sekitar 40% dari penderita yang dirawat di ruang intensif dan 33% dari
jumlah tersebut mendapatkan transfusi sel darah. Oleh karena itu perlu
dipertimbangkan pemberian profilaksis dan pemberian asupan makanan dini guna
mencegah terjadinya stress ulcer yang sering terjadi.
d. Phlebotomi
Kejadian anemia yang tidak diharapkan dari pasien yang mendapatkan perawatan
diruang intensif adalah yang disebabkan phlebotomi. Hal ini dibuktikan dari hasil
penelitian yang menunjukan pasien yang mendapatkan perawatan di ruangan intensif
berpotensi 3 kali lebih sering dilakukan pengambilan darah dibandingkan yang
mendapatkan perawatan di bangsal biasa. Beberapa penelitian menunjukkan pasien
yang dirawat di ruang intensif kehilangan darah 41-70 cc/hari dari tindakan phlebotomi
setiap harinya, dimana hal ini berkorelasi positif dengan lamanya hari tinggal diruang
intensif dan meningkatnya kebutuhan transfusi.
e. Inflamasi
Sekitar 50% anemia pada pasien yang menderita penyakit kritis bukanlah dari suatu proses
yang dikarenakan kehilangan darah yang akut melainkan karena adanya suatu proses
inflamasi yang mendasarinya yakni proses inflamasi yang menggiring ke arah sepsis. Hal
ini dipicu karena adanya pelepasan mediator inflamasi oleh sitokin yang juga akan
memyebabkan penurunan dari sintesis heme dan peningkatan pengahancuran heme.
f. Produksi eritropoetin yang tidak sesuai
Eritropoetin (EPO) merupakan suatu hormon glikoprotein yang merupakan regulator
utama dalam proses eritropoesis yang memproduksi sel darah merah. Ketika terjadi
suatu proses hipoksia, terjadi penurunan Delivery Oxygen ataupun penurunan kadar
hemoglobin yang akan menyebabkan produksi EPO meningkat dan menstimuli
pembentukan sel darah merah. Hormon EPO ini terutama diproduksi di sel intersisial
peritubuler korteks ginjal dan juga pada sel hepatosit hepar. Eritropoetin berikatan
dengan reseptor EPO pada sel progenitor eritroid. Sel progenitor ini akan
berdiferensiasi menjadi colony forming unit yang kemudian menjadi proeritroblast lalu
eritroblast, retikulosit dan menjadi eritrosit.
Zat besi digunakan oleh eritroid saat eritropoesis dan EPO pun dipercaya
memegang peranan penting pada metabolisme zat besi. Zat besi yang diperoleh dari
nutrisi diserap di usus halus dan berikatan dengan transferin (protein yang digunakan
untuk transportasi besi). Transferin berikatan dengan transferin reseptor (TfR) pada sel
eritroid yang menyebabkan sel tersebut dapat mengambil zat besi pada transferin.
Metabolisme zat besi diregulasi oleh iron regulatory protein (IRP)-1 dan -2. Protein ini
mengatur penyimpanan, penggunanan dan up take besi. Namun yang terjadi pada
pasien yang kritis adalah konsentrsi EPO lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak
menderita penyakit kritis . Hal lain yang menyebabkan EPO dapat menurun adalah
karena pada penyakit kritis terjadi pelepasan sitokin-sitokin yang menghasilkan IL1
dan tumor nekrosis- yang menekan produksi EPO.
Selain itu pada anak dengan penyakit kritis, sitokin inflamasi lainnya juga
mengganggu metabolisme besi. Interleukin 1, tumor nekrosis-, IL-6 akan
menyebabkan meningkatnya produksi feritin, yang menyebabkan penurunan cadangan
besi. Pengaruh sitokin ini pula dapat menurunkan absorpsi besi di usus halus. Hal-hal
tersebut diatas menyebabkan menurunnya kemampuan IRP-1 dan IRP-2 dalam
berikatan. Transferin reseptor yang memegang peranan penting dalam metabolisme
besi juga mengalami disfungsi dikarenakan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan yang berakibat menurunnya up take oleh sel eritroid yang terjadi pada anak
dengan penyakit kritis. Hal tersebut menyebabkan penyimpanan besi yang berbentuk
feritin meningkat, serum besi menurun dan eritropoesis terganggu.
Nitrit oxide juga berperan dalam menyebabkan anemia pada anak dengan penyakit
kritis, dimana proses inflamasi akan meningkatkan produksi nitrit oxide yang akan
menghambat asam klavulanat, menurunkan konsumsi besi, dan menurunkan aktifitas
ferrochelatase yang akan menghambat proses akhir eritropoesis. Banyaknya mediator
inflamasi yang dilepaskan seperti tumor nekrosis- dan IL 1 akan menurunkan masa
hidup dari sel darah merah yang seharusnya mencapai 120 hari.
h. Hemodilusi
Pada penyakit kritis dapat terjadi hipovolemia intravaskular yang disebabkan karena
keadaan pasien yang mengharuskan dilakukannya resusitasi cairan baik menggunakan
cairan koloid maupun kristaloid.

Gambar 2.2. Komposisi plasma dan sel darah merah

g. Malnutrisi
Nutrisi yang adekuat sulit untuk dicapai pada anak dengan penyakit kritis akibat
penyakit yang dideritanya dan ini menyebabkan terjadinya defisiensi. Kurangnya akses
enteral, menurunnya fungsi gastrointestinal dan tidakan pembedahan merupakan hal
yang sering menyebabkan defisiensi nutrisi. Anak dengan penyakit kritis umumnya
mengalami gangguan fungsi gastrointestinal yang menyebabkan gangguan dalam
penyerapan vitamin dan mineral.
Gambar 2.3. Patofisiologi anemia pada penyakit kritis (Didomenico, 2004)

Anemia dapat bersifat akut ataupun kronik. Pada anemia akut terjadi penurunan nilai
hemoglobin (Hb) dibawah 6 g/dl atau kehilangan darah dengan cepat yaitu lebih dari 30%-
40% volume darah, sehingga umumnya pengobatan terbaik adalah dengan transfusi sel
darah merah. Pada anemia kronik seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi sel
darah merah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronik. Transfusi sel
darah merah juga diindikasikan pada anemia kronik yang tidak responsif terhadap
pengobatan farmakologik. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan segera (darurat)
dengan kadar Hb <10gr/dl perlu dipertimbangkan pemberian Transfusi sel darah merah
sebelum tindakan tersebut (Garry, 2002; Thayyil, 2006; Liumbruno, 2009).
Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain
kadar hemoglobin adalah:
b. Gejala, tanda, dan kapasitas vital dan fungsional pasien
c. Ada atau tidaknya penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat
d. Penyebab dan antisipasi anemia
e. Ada atau tidaknya terapi alternatif lain (Christensen, 2011).
Pedoman transfusi sel darah merah pada anak dan remaja tidak serupa dengan pada
dewasa. Dosis pemberian transfusi sel darah merah yang dipergunakan untuk menaikkan
Hb dapat menggunakan modifikasi rumus empiris. Bila yang digunakan sel darah merah
pekat (packed red cells), maka kebutuhannya menjadi. Pemberian jumlah transfusi sel
darah merah didasarkan atas makin anemisnya seorang resipien makin rendah kadar
hemoglobin pasien maka makin sedikit jumlah darah yang diberikan dalam suatu seri
transfusi sel darah merah dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan untuk
menghindari komplikasi gagal jantung. Rumus tersebut adalah :Berat Badan (kg) x 4 x (Hb
diinginkan - Hb tercatat) (Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
Jika menggunakan packed red cells untuk transfusi darah, maka dosis PRC untuk
transfusinya dapat dilihat pada tabel 1. (Ramelan, 2005).

Tabel 2.1. Dosis transfusi sel darah merah


Hb penderita (g/dl) Jumlah PRC yg diberikan dlm 3-4 jam
7- 10 10 ml/ kgBB
5- 7 5 ml/ kgBB
<5 3 ml/ kgBB

Tujuan utama dari transfusi sel darah merah adalah untuk meningkatkan delivery
oxygen (DO2) dan meningkatkan penggunaan oksigen jaringan guna menjaga kestabilan
organ tubuh . Nilai DO2 tergantung pada tiga faktor :
b. hemoglobin (Hb)
c. cardiac output (CO)
d. proporsi relatif dari oksihemoglobin yaitu persen saturasi oksigen (SaO2)
(Soemantri, 2009; Setiati, 2009) .
Oksigen diangkut dalam darah dan dikombinasikan dengan Hb, meskipun terdapat
sejumlah kecil yang secara bebas terlarut dalam fraksi plasma darah. Setiap gram Hb dapat
membawa sekitar 1,34 ml oksigen pada suhu tubuh normal. Oksigen terlarut plasma
berbanding lurus dengan PaO2 . Secara teori, dengan menaikkan kadar hemoglobin melalui
transfusi sel darah merah, maka dapat meningkatkan kapasitas pembawa oksigen darah,
dan memberikan cara yang efektif untuk meningkatan pengiriman oksigen kedalam sel-sel
dan menjadikan perbaikan klinis (Rao, 2002; Walsh, 2006).
Batas nilai hemoglobin agar dapat mentransportasikan oksigen pada anak dengan
penyakit kritis tidaklah dapat didefinisikan secara pasti, karena hal tersebut bergantung
juga pada keadaan tiap-tiap individu. Pada anak yang mengalami anemia mekanisme
kompensasi yang dilakukan tubuh adalah dengan meningkatan CO dan mengekstraksi
oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dalam kadar hemoglobin yang
sangat rendah. Namun hal tersebut tidak terjadi pada pasien dengan perdarahan, dimana
mekanisme kompensasi tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Menurut penelitian Lackritz et al yang dilakukan secara retrospektif pada 2.400 anak di
rumah sakit Kenya, tercatat bahwa 29 % dari semua anak memiliki kadar hemoglobin < 5 g/dL.
Sebagian besar anak-anak ini mengalami sakit malaria dan kasus anemia berat (Hb < 5 g/dL)
dikaitkan dengan kematian yang meningkat secara signifikan 18 % pada anemia berat
sementara 8 % di kontrol dengan p = .0001 . Di sisi lain, Bojang dkk melakukan penelitian
prospektif 287 anak yang juga dengan malaria dan anemia berat, pada anak-anak tersebut
terdapat 173 anak dengan gangguan pernapasan atau hematokrit < 12% (n=173) yang
mendapat transfusi sel darah merah, dan sisanya 114 anak mendapat transfusi sel darah merah
atau pengobatan zat besi selama 28 hari secara acak. Dua puluh empat anak dalam penelitian
ini meninggal, dimana 23 anak memiliki hematokrit < 12 % . Dan kelompok yang mendapat
terapi besi, 1 anak meninggal dan 10 anak kemudian memerlukan transfusi sel darah merah.
Setelah 28 hari, kadar hemoglobin pada anak-anak yang mendapat terapi besi meningkat secara
signifikan pada dibandingkan dengan yang mendapat transfusi darah ( p =
.02 ). Meskipun anak-anak dalam studi ini mungkin akan sangat berbeda dari pasien anak
di negara-negara yang lebih maju, tetapi peneliti menggarisbawahi risiko besar dari kadar
hemoglobin sangat rendah sebagai suatu mekanisme fisiologis untuk mempertahankan DO2
dalam pengaturan anemia berat pada populasi anak (Lackritz, 1992; Bojang, 1997) .
Pada Symposium On PICU Protocols All India Institute of Medical Sciences dinyatakan
bahwa indikasi dilakukan transfusi sel darah merah pada penyakit kritis adalah sebagai
berikut:
b. Hemoglobin 4 gr/dl atau kurang dari angka tersebut (hematokrit 12%) walaupun
tidak sesuai keadaan klinis
c. Hemoglobin 4-6 g/dl (Hematokrit 13-18%) dengan klinis hipoksia atau asidosis
yang menyebabkan dispneu atau penurunan kesadaran
d. Hematokrit kurang dari 30% atau sedang menggunakan ventilator dengan FiO2 >
0.35
e. Hiperparasitemia pada malaria (> 20%)
f. Klinis decompensasi kordis karena anemia
g. Kondisi anak yang masih belum stabil setelah 2 kali bolus 20cc/kg cairan kristaloid
dan dicurigai adanya kehilangan darah lebih dari 30%.
Pertimbangan transfusi sel darah merah bergantung pada keadaan pasien itu sendiri.
Efek anemia haruslah dibedakan dari keadaan hipovolemia, meskipun keduanya dapat
menghambat pengiriman oksigen jaringan. Kehilangan darah yang lebih dari 30% volume
darah akan menyebabkan gejala klinis yang signifikan, namun resusitasi dengan kristaloid
dapat memberikan hasil yang baik untuk berhasil bahkan kehilangan darah lebih dari 40%
volume darah. Selain itu, anemia normovolemik akut dapat tmbul timbul setelah
mendapatkan resusitasi dengan penggantian volume cairan yang memadai. Oksigenasi
jaringan masih dapat dipertahankan bahkan dengan tingkat hemoglobin serendah 6-7g /dL
pada orang sehat (Uppal, 2010).
Terdapat berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi yang berbeda
mengenai kebijakan transfusi sel darah merah pada anak dengan penyakit kritis. Sebagai
contoh penelitian pada kelompok anak dengan penyakit kritis yang stable yang
membandingkan transfusi sel darah merah saat hemoglobin pasien 7 g / dL dengan
kelompok kontrol yang hemoglobin 9 g / dL dengan hasil mortalitas dan tingkat keparahan
penyakit lebih rendah pada kelompok yang mendapat transfusi sel darah merah setelah
hemoglobin 7g/ dl. Sementara kasus anak dengan penyakit jantung memang belum banyak
diteliti namun Jacques Lacroix, MD et al dalam Red Blood Cell Transfusion : Decision
Making in Pediatric Intensive Care Unit menyatakan bahwa batas aman untuk transfusi
pada kasus anak yang stable namun menderita penyakit jantung sianotik, batas kadar
hemoglobin untuk transfusi adalah kurang dari 9 g/dl, sementara pada anak dengan
penyakit jantung asianotik kadar hemoglobin lebih dari 7g/dl. Sedangkan pada anak
dengan penyakit jantung yang unstable tentunya dibutuhkan kadar hemoglobin lebih dari 9
g/dl. Dengan demikian, transfusi sel darah merah pada penyakit kritis harus disesuaikan
dengan kondisi pasien, dan keputusan untuk transfusi harus dibuat atas dasar karakteristik
individu masing-masing pasien. Sayangnya, ketersediaan uji klinis tentang kebijakan ini
belumlah banyak (Tavian, 2005; Lacroix, 2010; Uppal, 2010).

2.c. Komplikasi transfusi sel darah merah


Tidak semua reaksi transfusi sel darah merah dapat dicegah karenanya diperlukan
kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi sel darah merah yang
mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi sel darah merah dan gejalanya
bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih (Bennet,1999).
2. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut
Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan
golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi
karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan
diberikan.Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau
tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urin berkurang,
hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan
(shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan atau gagal ginjal akut yang
dapat berakibat kematian (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
3. Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat
Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi
yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi sel darah merah dilakukan
karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk
meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya
ekstravaskuler (Buskard,1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
Gejala dan tanda yang dapat timbul pada reaksi transfusi hemolitik lambat adalah
demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal
yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler,
tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa
pengobatan (Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005; Buskard, 1987).
4. Reaksi Transfusi Non-Hemolitik
a. Demam
Sembilan puluh persen reaksi transfusi adalah demam dan umumnya bersifat ringan
dan hilang dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi
dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya
sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang
sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. Dapat pula
terjadi demam akibat peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). (Buskard, 1987;Djajadiman,
2002; Ramelan, 2005).
b. Reaksi alergi
Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak
disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan
transfusi sel darah merah. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan
terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE resipien di
permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin
(Buskard, 1987; Djajadiman ,2002; Ramelan, 2005).
c. Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien
dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer
tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi sel
darah merah dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada
saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik
biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan,
hipotensi, dan renjatan (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
4. Efek samping lain dan resiko lain transfusi sel darah merah
a. Transfusion Acute Lung Injury (TRALI)
Transfusion acute lung injury merupakan komplikasi yang berpotensi fatal akibat
transfusi produk darah. TRALI dapat terjadi baik pada transfusi satu atau pun lebih
unit produk darah. Berbagai penelitian telah memperkirakan insiden terjadinya
TRALI antara 1 / 1.120 dan 1 / 5.000 unit transfusi (Kleinman, 2004; Toy, 2007;
Marik, 2008).
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan Canadian
Consensus Conference TRALI adalah cedera paru akut yang baru atau sindrom
gangguan pernapasan akut yang terjadi selama atau dalam waktu enam jam setelah
pemberian produk darah tanpa ada faktor resiko yang dapat menyebabkan cedera
paru. Faktor- faktor resiko ini yakni pneumonia, sepsis yang disebabkan akibat
penyakit paru, aspirasi, transfusi darah berulang , tenggelam, Disseminated
intravascular coagulation, patah tulang panjang atau pelvis, luka bakar, baypass
kardiopulmoner. Untuk menegakkan diagnosis dari TRALI penting untuk kita
ketahui definisi cedera paru akut atau acute lung injury (ALI) menurut the
European Society of Intensive Care Medicine:
-
Waktu onset akut: 7 hari
-
Rontgen dada gambaran radioopac yang bukan merupakan efusi, kolaps paru
ataupun nodul paru dan edema paru bukan berasal dari gagal jantung.
-
Hipoksemia: Rasio PaO2 / FIO2 300 mm Hg tanpa menggunakan paek end
expiratory pressure (PEEP) ataupun continous positive airway pressure (CPAP)
5 cmH2O (Kleinman, 2004 ;Toy, 2007; Marik, 2008).
b. Penularan penyakit Infeksi seperti infeksi virus hepatitis, AIDS (Acquired Immune
Deficiency syndrome),infeksi CMV, dan penyakit infeksi lain yang jarang. Selain itu
beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi sel
darah merah adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa,
penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD
(Creutzfeldt Jakob Disease).
c. GVHD(Graft versus Host disease)
GVHD merupakan reaksi atau efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien
dengan imunosupresif atau pada bayi prematur. Hal ini terjadi oleh karena limfosit
donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen
penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian komponen sel darah merah
yang diradiasi atau dengan leukosit rendah (Buskard, 1987; Djajadiman, 2002;
Ramelan , 2005).

Anda mungkin juga menyukai

  • Tinjauan Pustaka Case Report
    Tinjauan Pustaka Case Report
    Dokumen17 halaman
    Tinjauan Pustaka Case Report
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Anestesi Inhalasi
    Anestesi Inhalasi
    Dokumen20 halaman
    Anestesi Inhalasi
    Maulida Annisa'
    Belum ada peringkat
  • Kolestasis
    Kolestasis
    Dokumen4 halaman
    Kolestasis
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Tugas Kimia Medisinal
    Tugas Kimia Medisinal
    Dokumen6 halaman
    Tugas Kimia Medisinal
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • PRESUS
    PRESUS
    Dokumen29 halaman
    PRESUS
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Referat LMNH
    Referat LMNH
    Dokumen20 halaman
    Referat LMNH
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen33 halaman
    Bab 3
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Referat LMNH
    Referat LMNH
    Dokumen20 halaman
    Referat LMNH
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Tugas Kimia Medisinal
    Tugas Kimia Medisinal
    Dokumen6 halaman
    Tugas Kimia Medisinal
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo Fix
    Presus Vertigo Fix
    Dokumen22 halaman
    Presus Vertigo Fix
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN FORENSIK
    LAPORAN FORENSIK
    Dokumen33 halaman
    LAPORAN FORENSIK
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen2 halaman
    Bab Iii
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo Fix
    Presus Vertigo Fix
    Dokumen26 halaman
    Presus Vertigo Fix
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo Fix
    Presus Vertigo Fix
    Dokumen22 halaman
    Presus Vertigo Fix
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Saraf
    Lapsus Saraf
    Dokumen58 halaman
    Lapsus Saraf
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Sensoris - Melinda Kusumadewi - 1710221098
    Pemeriksaan Sensoris - Melinda Kusumadewi - 1710221098
    Dokumen26 halaman
    Pemeriksaan Sensoris - Melinda Kusumadewi - 1710221098
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen16 halaman
    Bab Ii
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen16 halaman
    Bab Ii
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen9 halaman
    Bab I
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen27 halaman
    Bab 2
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen9 halaman
    Bab I
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • PRESUS SARAF Mitta
    PRESUS SARAF Mitta
    Dokumen37 halaman
    PRESUS SARAF Mitta
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat
  • Presus Vertigo
    Presus Vertigo
    Dokumen27 halaman
    Presus Vertigo
    Khadijah Karimah
    Belum ada peringkat
  • Sirup Etiket
    Sirup Etiket
    Dokumen1 halaman
    Sirup Etiket
    Eka Oktafyanti
    Belum ada peringkat