Anda di halaman 1dari 424
isn Menggapai Mahkota Sufi SYAIKH ‘ABDUL QADIR AL-JAILANI Intisari Kitab Karya al-Jailani: al-Fath al-Rabbany, Sirr al-Asrar, al-Futuh al-Ghayb, dan al-Ghunyah Ii Thalibi Thariq al- iq K.H. Muhammad Sholikhin 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani oleh K.H. Muhammad Sholikhin 15 x 23cm, xvi +480 him ISBN 979-878-036-1 201 1. Sufi I. Judul__204 Hak cipta dilindungi undang-undang Setting/ Editing: Aning Desain Sampul: Hengky Irawan/Gunawan Penerbit Mutiara Media Kompleks PJIKA Jl. Langensari No. 22 (Pengok B10), Demangan, Yogyakarta 55221 Telp. (0274) 6855361 Email. mutiaramedia@ymail.com Cetakan Pertama, 2009 Distributor tunggal: PT. BUKU KITA Ji. Kelapa Hijau No. 22 RT 006/03 Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa Jakarta 12620 Telp. (021) 7888-1850, Faks. (021) 7888-1860 Email. marketingbukukita@gmail.com Website. wwvw.distributorbukukita.com Bagian Kedua Tujuh Jalan Pengetahuan Syaikh al-Jailani, Gerbang Makrifatuilah ~ 77 Bab 4 Pengetahuan tentang Tasawuf dan Sofi Syaikh al-Jailani ~ 79 A. Makna Umum Tasawuf dan Sufi ~ 79 B. Basis Seorang Sufi ~ 86 CC. Makna Harfiyyah Kalim, 1D. Model Guru Sufi ~ 94 E._ Intisari Tasawuf dan Hubungan Sufi dengan Allah ~ 98 Bab5 _ enperneat tentang Ruh al. Qudde dan Ruh a I: shawwut” ~- 92 ‘ : B Doktrin Nur Muharnind dalam Sufisme Syakh al-Jailans ~ 105 C. Nur Muhammad dan Pengetahuan Laduniyah ~ 108 A. Tasawuf sebagai Bagian B_ Pandangan al-Jailani Pengetahwan tentang Pembersihan Jiwa, Kesucian hati, dan Penyingkapan Hijab ~ 124 \. Hati Sebagai Tempat Makrifat ~ 124 B_ Makrifat Jiwa dan Hati ii C. Kattan Shalat Syariat dan Shalat Dai dalam Hati ~ 134 D. Kebutaan Hati dan Memerangi Hawa Nafsu ~ 137 I Macam-macam Tipuan Hust Ruhani (Ghirwr/ Angan-angan) dan Pengobatannya ~ 139 Bab § Pengetahuan tentang Zikrullah ~ 159 50 eels @ i ~ 163 C. Zikir sebagai Sarana “Mewadahi” Allah ~ 165 D. Manfaat dan Keutamaan Spesifik dari Zakir ~ 166 Bab 9 Pengetahuan dan Pemahaman tentang Aplikasi Spiritual Atass Rukun Islam ~ 175 A. Syahadat dalam Perspektif al-Qur’an dan Sufi ~ 177 B. Shalat Sufistik ~ 183 Puasa Makrifar ~ D._Zakat Spiritual ~ 188 cara Melaksanakan Haji Ruhani ~ 191 Bab 10 Pengetahuan tentang Fana’ dan Manunggal dengan Allah ~ 194 A. Fana’ dan Baga’ sebagai Sentral Pengalaman Spiritual ~ 194 B. Pencapaian Kondisi Pana’, Baga’ dan Kemanunggalan ~ 197 Bagian Ketiga Sepuluh Jalan Makrifat Menghampiri Allah, Menjadikan Diri Manusia Illahi ~ 203 Bab 11 Jalan Taubat, Proses dan Hasilnya dalam Diri Seorang Sufi ~ 205 A. Pengertian Dasar dan Makna Taubat ~ 205 B. Proses Perjalanan Menuju Taubat ~ 208 C. Keutamaan Taubat di Mata Kaum Sufi ~ 210 D. Taubat dan Istiqgamah ~ 212 E. Tanda-tanda Orang yang Taubatnya Diterima Allah ~ 221 E_ Klasifikasi Kelompok Taubat } Bab 12 Qana’ah dan Syukur, Sifat Para Sahabat Rasulullah ~ 229 A. Qana'ah sebagai Bekal Kehidupan Abadi ~ 229 B. Syukur sebagai Watak Dasar Kekasih Allah ~ 234 C. Bersyukur Dengan Hati ~ 237 D. Bersyukur dengan Lisan ~ 239 E. Bersyukur dengan Semua Anggota Tubuh ~ 239 Bab 15 Zubud dan Wara’, Pakaian Para Auliya ~ 244 A. Zubud sebagai Pengikat Hati dan Jiwa Menuju Allah ~ 244 B. Wara’ sebagai Sarana Berada dalam Pengayoman Allah ~ 249 Bab 14 Takwa, Takut, dan Raja’, Sarana Menggapai Malkifatullah ~ 254 A. Takwa, Khauf dan Raja’, Pembuka Hijab Menuju Allah ~ 254 B. Derajat dan Tingkat Takwa dan Berbagai Jalan Menuju Takwa ~ 262 C. Karakter Manusia Takwa Menurut Syaikh al-Jailani ~ 263 usia ~ 222 D. Hasil dan Man faat Ketakwaan ~ 265 Bab 15 Sabar, Kunci Keselamatan dan Kebahagiaan Seorang Sufi ~ 272 A. Makna dan Hakikat Sabar ~ 272 B. Kategori Kesabaran dalam Tasawuf al-Jailani ~ 278 C. Kesabaran sebagai Pembuka Hijab Menuju Allah ~ 279 D. Sabar sebagai Sarana Menuju Kemenangan Jiwa ~ 280 E. Klasifikasi Manusia dalam Kesabaran ~ 282 F. Berbagai Wacana yang Membutuhkan Kesabaran ~ 287 xiv Bab 16 Jiwa Ikhlas, Performance al-Insan al-Kamil ~ 296 A. Makna Hakiki Ikhlas ~ 296 B. Tanda-tanda Keikhlasan ~ 300 C. Keikhlasan sebagai Syarat Penerimaan Allah tethadap Hamba-Nya ~ 301 D. Corak Khas Keikhlasan Seorang Sufi ~ 302 Bab 17 Meretas Hidup Bahagia dan Abadi dengan Ikhtiar, Tawakal, dan Kasb ~ 306 A. Keterkaitan antara Ikhtiar, Tawakal, dan Perolehan (Kast) ~ 306 B. Substansi Tawakal dalam Tasawuf ~ 311 C. Tahapan Merealisasikan Tawakal kepada Allah ~ 318 D. Faedah Tawakal Kesufian ~ 321 Bab 18 Bersifat dan Bersikap Ridha Terhadap Allah, agar Mendapat Ridha dan Makrifatnya ~ 324 A. Pengertian Ridha dalam Spiritualitas Islam ~ 324 B. Tahapan-Tahapan Menuju Ridha ~ 328 C. Penyebab Ridha; dari Usaha atau Karunia Allak 328 D. Adakah Penderitaan dan Kesedihan Sesudah Ridha? ~ 331 E. Kedudukan Ridha dalam Perspektif Kesufian Syaikh al-Jailani ~ 335 FE. Berdoa tidak Menggugurkan Magam Ridha ~ 337 G. Buah dari Sikap Ridha kepada Allah ~ 342 Bab 19 ‘Uzlah dan Khalwat Sufi Ajaran Syaikh al-Jaitani ~ 348 A. Pemahaman tentang Ugiah dan Khalwat Suft ~ 348 B. Pembagian Jenis Khalnat ~ 351 C. Tujuh Tahap Metode Praktis Pelaksanaan U'séah dan Khafnat Menurut Syaikh al-Jailani ~ 353 Bab 20 Tiga Kunci Meraih Hakikat Tagarrub, Mababbab, dan Makrifatullah ~ 369 A. Pentingnya Muragabah (Pendekatan) dan Musyahadah ~ 369 B. Tagarrub; Syarat Keterikatan dengan Allah ~ 372 C. Dengan Mahabbah Berada dalam Genggaman Allah ~ 375 D. Meknfatullah, Menggapai Semesta dalam Jiwa Merengkuh Allah dalam Hati ~ 379 Bagian Keempat Kbatimab: Kebahagiaan Sejati Para Kekasih Allah dalam Makrifat dan Hagigatullab ~ 387 xv Bab 21 Kesimpulan tentang Ajaran Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani: Mengelola Hati dalam Beribadah Menuju Haqigatullab dan Ru’yatullah ~ 389 A. Ruh Suci sebagai Sumber Segala Kebaikan ~ 389 B. Tujuan Peng nn Hati dalam Beribadah ~ 392 ara Mengelola Hati dalam Beribadah Menuju Hagigatullah ~ 394 D. Metode Membersihkan Harti Menuju Ru yatudah Menurut Syaikh al- E. Empat Kondisi Hatt yang “Hidup” Diliputi Allah ~ 398 E Buah Makrifat Kondist Hagegat: Rw’yatullah, Melihat Allah secaca Langsung ~ 405 G. Nasthat Penting bagi Mereka yang Telah Mencapai Makrifatullah ~ 410 fi. Penutup ~ 414 b 22 Panduan Tharigat Qadiriyab wa Nagsyabandiyah ~ 412 \. Makna dan Pentingnya Tharigat ~ 412 B. Hukum Mempelajart Ilmu Tarekat ~ 413 C. Hubungan Umu Tarekat dengan Imu Lain ~ 415 I. Adab Murid kepada Guru ~ 424 J. Silsilah Gaairey Ke Taly: L. Penj M. Praktik Tare N. Praktik Tai ©. Jalan Pendekatan Diri kepada Allah 4x0 wa Jalla ~ 435 P. Meragabah Duapuluh ~ 436 & Deikr al Anfas ~ 440 . Barat dengan Guru yang S_Silsilah Tarekat Gadi fermiliki Silsilah a/-‘Tdneyyah ~ 441 Bab 23 Metode Kontemplasi dan Zikir Ajaran Syaikh al-Jailani dalam Tarekat Qadiriyyah ~ 446 asi Menurut Tarekat Qadiniyyah ~ 446 C. Zikir Nama Zat Allah ~ 455 Daftar Pustaka ~ 467 ‘Tentang Penulis ~ 478 xvi Bagian Pertama: Biografi Ringkas, Manaqib, dan Karakteristik Ajaran Makrifat Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani “Abdul Qadir al-Jailani telah menyaksikan apa yang telah menimpa kehidupan umat Islam pada masanya. Mereka hidup berpecah-belah dan saling bermusuhan. Cinta dunia telah mendominasi mereka di samping berebut kehormatan di sisi raja dan sultan. Manusia sudah berpaling kepada materi, jabatan, dan kekuasaan. Mereka berkeliling di sekitar penguasa dan mengkultuskannya. Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani hidup di tengah-tengah mereka. Tetapi menjauh dari semua itu dengan (fisik dan mentalnya. Dia berbalik menghadapinya dengan nasihat bimbingan, dakwah, dan pendidikan untuk memperbaiki jiwa kaum muslimin dan membersihkannya. Untuk memerangi kemu- nafikan dan kecintaan kepada dunia, dengan cara menanamkan jiwa agama, menguatkan akidah yang benar terhadap hari akhirat dan menghindar dari tipu daya dunia.” (Abu al- Hasan al-Nadwi dalam Al-Imam ‘Abdul Qadir al-Jaylani ) Bab 1 Biografi Ringkas Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani A. Gambaran Umum Sayyid Muhyi al-Din Abu Muhammad ‘Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat Al-Jailani lahir tahun 470 H/1077 M, dan wafat tahun 561 H/1166 M (Gibb and Kramers, 1953/1961: I, 5), dinobatkan menjadi Syaikh (profesor) pertama tarekat Qadiriyyah. Kebanyakan biografi tokoh sufi terpopuler ini penuh dengan fiksi, tanpa mendasarkan pada fakta-fakta sejarah, padahal ulama ini meru- pakan tokoh sejarah yang cukup besar dalam wacana sejarah pemi- kiran Islam, terutama sejarah tasawuf. J. Spencer Trimingham (1973: 40), pengkaji tasawuf-tarekat yang cukup teliti menyatakan kesukaran dalam melakukan studi mengenai biografi Syaikh‘ Abdul Qadir sama halnya dengan menembus kabut legenda yang makin lama makin meng- gumpal dikarenakan makin menumpuknya legenda di sekitarnya. Bahkan banyak kitab-kitab kehidupannya yang kemudian dibuat oleh murid dan pengikutnya, namun kebanyakan hanya berisi keka- guman-kekaguman atas karamal atau kesaktian Syaikh sebagai se- orang wali. Tetapi yang jelas, Syaikh merupakan wali paling terkenal di dunia Islam. Gambar. Syalkh ‘Abdul Qadir Al-Jailani dengan pakaian keseharian sebagai seorang mubalig dan pengajar akademik di madrasahnya di Baghdad. “Karamah” itu sendiri di dalam istilah tasawuf mengandung pengertian, “karunia Allah yang diberikan kepada para wali Allah sehingga muncul dalam diri mereka khawarig al-‘adah (sesuatu yang, bertentangan dengan adat kebiasaan) sebagai rahmat Allah kepa- danya.” (Jamharah al-Auliya’, him. 105). Dikalangan sufi, ‘Abdul Qadir diakui sebagai ghauts dan quth- bal-auliya, yang menduduki tingkat kewalian tertinggi ... lebih dari- pada wali lain. Syaikh ‘Abdul Qadir dikagumi dan dicintai rakyat, di mana-mana orangtua menceritakan riwayat tentang karamat-ka- ramatnya kepada anak-anak mereka, dan pada hampir setiap upaca- ra keagamaan tradisional, orang menghadiahkan pembacaan Al-Fa- tihah kepadanya. Seorang penulis Muslim Jerman, Mehmed Ali Aini (1967), menyebut Al-Jailani sebagai “Orang suci terbesar di dunia Islam”. B. Kondisi Umum Masyarakat Muslim Ketika Syaikh Al-Jailani dilahirkan, kondisiumat Islam, khusus- nya Baghdad yang masih menjadi pusat peradaban muslim, dalam keadaan carut-marut dan kacau-balau. Dinasti Abbasiyah berada pada titik nadir degradasi yang parah dan pelan-pelan kekuasaan sosial politik keagamaan berpindah ke Dinasti Seljuk. Beliau juga menyaksikan kehancuran dinasti Buwaihi Gyi’ah) karena keunggulan Bani Salajiqah, yakni pada masa pemerintahan Sultan Dinasti A bbasi- yah Kalifah Al-Mustanzhir, yang secara real sebenarnya tidak memi- liki kekuasaan lagi karena kekuatan dan kekuasaan berada di panglima dan kepala serta para pembesar kabilah. Perpecahan ini berakibat pada kehancuran, dan menyebabkan masa paceklik ekonomi serta kelaparan bagi masyarakat kebanyakan. Ketakutan juga menghing- gapi masyarakat (Al-Oahthani, 1997). Syaikh Al Jailani mengalami masa pemerintahan lima penguasa: 1) Al-Mustandzir Billah, salah satu keturunan Harun Al-Rasyid yang dilahirkan tahun 470 H dan dilantik menjadi kalifah tahun 487 H, saat berusia 17 tahun. Meninggal tahun 512 H dalam usia kepemimpinan 24 tahun. Beliau memiliki akhlak mulia, hafidz Al-Qur'an yang baik dan fasih. Pada awal pemerintahannya su- dah terjadi pertentangan antara kelompok Sunni dengan Rawa- fidhah yang menyebabkan banyak kekacauan dan pembunuhan. 2) AlMustarsyid Billah bin Al-Mustandzir, menjabat kalifah meng- ganti ayahnya (512 H), pemimpin yang kuat, pemberani, memi- liki visi yang baik, ibadah kuat, disenangi masyarakat, namun sayangnya kemudian dibunuh oleh Kaum Bathiniyah tahun 529 Hsetelah memimpin selama 17 tahun. 3) Al-Rasyid Billah, tahun 529 H, pada masanya kekacauan mulai meluap, dengan masa kepemimpinan hanya 11 bulan. Setelah Beliau wafat, terjadilah berbagai fitnah besar untuk para fugahn’, dengan banyak korban terbunuh oleh Kaum Bathiniyyah. 4) Al-Muatafili Amrillah yang dibaiat menjadi pemimpinsetelah Al-Rasyid, meninggal pada tahun 555 H. 5) Al-Mustanjid Billah yang dilantik menjadi kalifah setelah wafat bapaknya, Al-Muqtafi li Amrillah. Beliau dikenal sebagai orang saleh yang meninggal tahun 566 H. Pada masa kehidupan Al-Jailani, pergolakan politik banyak terjadi, pertentangan antarkelompok dan paham agama Sudah me- runcing karena para pemimpin hanya sibuk mengurusi permusuh- an dan adu argumentasi, umat dan masyarakat menjadi terlantar, akhlak masyarakat keropos, serta hidup beragama tanpa bimbingan yang memadai. Para ulama sibuk beradu argumentasi, terutama dalam persoalan aqidah atau ilmu kalam. Terhadap hal-hal tersebut, sang Syaikh sengaja mengambil posisi netral, justru lebih memper- hatikan aspek perbaikan dan bimbingan kepada masyarakat lang- sung sehingga wajar jika majlisnya sampai dihadiri sekitar 70.000 jamaah, karena memang jarang ulama yang berkiprah langsung untuk memimpin dan membina keagamaan masyarakat. Selain kondisi carut-marut dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan tersebut, pada dimensi kemajuan ilmu pengetahuan justru menampakkan kemajuan, dengan banyaknya tokoh yang lahir pada periode kehidupan Syaikh al-Jailani. Misalnya seperti Syaikh Imam [bnal-Jauzi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad al-Qudamah yang merupakan ulama besar dengan keilmuan tafsir dan hadis dan problematikanya, fiqih dan ushul fiqih, ilmu nahwu dan hisab. Kondisi masyarakat secara umum tersebut tentu sangat mem- pengaruhi pilihan Syaikh pada program amar ma‘ruf nahi munkar secara khusus yang ditekankan pada perbaikan moral dan akhlak masyarakat, dan dengan penekanan keilmuan sufistik dan zikir kepada Allah, Suatu pilihan yang tidak salah. Tentang pribadi Beliau dan gurunya Syaikh Hammad al- Dabbas, Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah menyebutnya sebagai ah! al-istiqamah (orang yang memiliki konsistensi dalam beribadah) tanpa mengharapkan apapun dari-Nya melainkan ridha dan magh- firah-Nya. Ternyata kemudian bahwa pilihan Beliau selalu up to date, se- perti dewasa ini, di tengah kegersangan kehidupan moder, orien- tasi keagamaan yang kering dari nuansa spiritual, dan mekanisasi kehidupan global, ternyata sentuhan-sentuhan nasihat dan wejang- an spiritual Beliau masih terasa sangat dibutuhkan oleh masyara- kat ultra-modern dewasa ini. C. Nama dan Julukan Beliau bernama lengkap Sayyid Muhyi al-Din Abu Muham- mad ‘Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani Selain sebutan syaikh, wali, dan sebutan-sebutan lain dalam tarekat, juga melekat dalam dirinya sebutan “sayyid”, karena dari pihak ibunya turunan Husein, cucu Nabi saw., dan dari pihak ayahnya turunan Hasan, juga cucu Nabi saw.. Beliau juga memiliki sebut- an-sebutan yang disandangkan kepada Beliau antara lain Ghauts al-A’dzam, Quthb al-Rabbany, al-Haykal al-Shamadani, Qandil al-Laam'] al-Nurani, Sulthan al-Auliya’ wa al-'Arifin, Burhan al-Ashfiya’ wa al- Shalikin, dan Baz Allah al-Asyhab. Dalam literatur kesufian, penga- kuan sebagai al-ghats atau quthb al-auliya’ merupakan keduduk- an tingkat kewalian yang tertinggi (Martin van Brinessen, 1999: 211). Justru yang memberikan gelar Quihb al-Auliya’ ataupun al- Ghauts al-A’dzam adalah Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyahnya. Selain julukan-julukan yang sudah ter- sebut, Syaikh juga mendapatkan julukan dari para pengikutnya; Musyahtid Allah, Amr Allah, Fadhl Allah, Aman Allah, Nur Allah, Quthb Allah, Saif Allah, Firman Allah, Burhan Allah, Ayat Allah, Ghauts Allah, dan al-Ghauts al-A’dzam (SEI: 7). Intinya adalah gelar “Bare Pir Sahib” (orang suci agung) (Jamil Ahmad, 1994: 106) Syaikh al-Dzahabi memberikan gelar kepada Beliau karena wawasan keilmuannya yang luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu, dengan sebutan “al-Syaikh al-Imam al-‘Alim al-Zahid al-’Arif al- Quetwoah Syaikh al-Islam wa ‘Alima al-Auliya’ wa Muhyi al-Din.” Semen- tara itu Syaikh Ibn Rajab dalam kitab Dzail Thabagat al-Hanabilah menempatkannya sebagai “Syaikh al-Ashr wa Qudgah al-‘Arifin wa Sulthan al-Masyayikh Shahib al-Magamat wa al-Karamat wa al-Ulum wa al-Ma‘arif.” (Dahri, 2004; 17). D. Kelahiran Al-Jailani lahir di Nif atau Naif, termasuk pada distrik Jailan/ Jilan, Kurdistan Selatan, terletak 150 kilometer sebelah timur laut kota Baghdad (di Selatan Laut Kaspia, Iran), yang dahulunya ter- masuk dalam wilayah Thabaristan, di mana pengaruh mazhab al- Hanbali sangat kuat, pada Senin 28 Maret 1077 (waktu fajar 1 Ramadhan 470/471 H) (Trimingham, 1971: 41). la lahir di tengah keluarga yang hidup sederhana dan saleh. Kakeknya (ayah dari ibunya) adalah Sayyid ‘Abdullah Sauma’i, seorang sufi terkemuka waktu itu. Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani terlahir sebagai anak yatim, di mana ayahnya sudah meninggal dunia sebelum Syaikh lahir. Dalam berbagai cerita populer disebutkan bahwa sebagian dari min al-kharig al-‘adah Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani adalah sewaktu ibunya mengandung sudah berusia 60 tahun, yang secara alamiah seharusnya sudah tidak bisa mengandung, sehingga kela- hirannya diterima sebagai berkah Tuhan (Lihgat Jamil Ahmad, op. cit., hlm. 107, Dan setelah lahirnya didasarkan pada cerita ibu- nya tentang adat kebiasaan al-Jailani-Syaikh pada bulan Ramadhan, bayiSyaikh tidak mau menyusu ibunya sejak fajar hingga Maghrib, dalam artian ikut berpuasa (al-Nur al-Burhan: Il, 21), sehingga kemu- dian dijadikan pedoman penetapan hilal oleh masyarakat setempat (Lam'ah min Managib Amir al-Auliya’, tt.: 5). E. Silsilah Nasab dan Kebesaran Namanya Silsilah Beliau dari nasab ayahnya bermuara pada Sayyid al-Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, adalah Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani, putra (1) al-Imam Sayyid Abi Shalih Zangi Dausat Musa. putra (2) al-Imam Sayyid Abi ‘Abdillah, putra (3) al-Imam Sayyid Yahya al-Zahid, putra (4) al-lmam Sayyid Muhammad. Putra (5) al- Imam Sayyid Daud, putra (6) al-Imam Sayyid Musa, putra (7) al- Imam Sayyid ‘Abdillah, putra (8) Sayyid Musa al-Jun, putra (9) Sayyid ‘Abd Allah al-Muhshin al-Mahdi, putra (10) al-Imam Sayyid al-Hasan al-Mutsanna, putra (11) al-Imam Sayyid Muhammad al- Hasan al-Sibthi, putra (12) al-Imam Sayyidina‘ Ali ibn Abi Thalib (r.a) (al-Tadafi, Qalaa-id al-jawahir, 3; ‘Amir al-Najjar, t.t.: 106). Sedangkan silsilah Beliau dari nasab ibunya bermuara pada Sayyid al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, yaitu; Syaikh Muhyi al- Din ‘Abdul Qadir al-Jailani putra (1) Sayyidah Ummial-Khair Amat al-Jabbar Fathimah, putri (2) Sayyid ‘Abd Allah al-Suma’ial-Zahid, putra (3) Sayyid Abi Jamal al-Din Muhammad, putra (4) Sayyid Mah- mud, putra (5) Sayyid Abu al-Atha’i ‘Abd Allah, putra (6) Sayyid Kamal al-Din Isa, putra (7) Sayyid Imam Alau al-Din Muhammad al-Jawwad, putra (8) Sayyid Imam ‘Ali al-Ridha, putra (9) Sayyid Imam Musa al-Kadzim, putra (10) Imam Ja’far al-Shadiq, putra (11) Imam Muhammad al-Bagir, putra (12) Imam Zain al-’ Abidin ‘Ali, putra (13) Imam al-Husain Syahid al-Karbala, putra (14) Imam al- Hammam Amir al-Mu’minin Sayyidina ‘ Ali (Sirr al-Asrar, him. 2-3) ibn Abi Thalib. Jika silsilah ini diteruskan akan sampai kepada Nabi Ibrahim, yakni Abi Thalib bin’ Abd al-Muthalib bin Hasyim bin’ Abdi Manaf bin Qusyaiy bin Kilab bin Murrah bin Ka‘ab bin Lu’aiyyi bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mud- rikah bin Ilyas bin Mudhor bin Nazar bin Ma’ad bin Adnan bin ‘Addi bin Adad bin Hamiyasa bin Salaman bin Binta bin Sahail bin Jamal bin Haidhar bin Ismail bin Ibrahim al-Khalil Allah (Sa- ifullah al-Aziz, t.t.: 1). Silsilah tersebut mengantarkan kita pada suatu kesimpulan bahwa Syaikh ‘Abdul Qadiral-Jailani adalah keturunan Nabi Mu- hammad saw. lewat putri Beliau Fathimah al-Zahra yang menjadi istri Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib, baik dari jalur ibu maupun ayahnya. Namun mengenai kebesaran Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani bukan semata-mata karena faktor nasabnya, akan tetapi karena keulamaan dan kealimannya di bidang figih dan ushul figih mazhab Hanbali, dan menurut beberapa sumber juga menjadi mufti Sya- fi'iyyah, dan juga karena kesalehannya selaku seorang sufi besar, di samping kedudukannya sebagai peletak dasar ajaran tarekat Qadiriyyah. Bahkan berkat kesalehannya serta keberhasilannya memberikan harapan hidup dan kehidupan kepada kaum papa me- lalui spirit keagamaan, maka kemudian Beliau memperoleh gelar “Muhyial-Din” (penghidup agama/ yang menghidupkan agama) (‘Abd al-Rahman Jami’, 1336/1957: 5, 9; Schimmel: 247). F. Pengembaraan Mencari Ilmu Sejak kecil sudah menunjukkan berbagai tanda keistimewaan serta keilmuannya. la termasuk pemuda yang cerdas, pendiam, berbudi pekerti luhur, jujur, penurut orangtua, sering bermenung diri mengambil manfaat atas nalar, mencintai ilmu pengetahuan, senang ber-riyadhah dan mujahadah melawan hawa nafsu (semenjak belum belajar tasawuf), mencintai fakir miskin, dan gemar ber- anuar ma‘ruf nahi munkar. Setelah menimba pengetahuan agama di tempat kelahiran sendiri antara lain di samping sudah menghafal al-Qur'an, juga Kitab al-Minoatha’ ibn Malik, pada 1095 (488) ia terdorong untuk pergi merantau ke Baghdad (dalam usia 18 tahun), yang pada saat itu masih merupakan pusat peradaban dan pengetahuan, untuk mempe- lajari filsafat dan hukum (terutama Hanbali). Ibunyalah yang sela- lu memberikan dorongan semangat untuk melanjutkan studinya di Baghdad. Al-Jailani berangkat ke Baghdad dengan bergabung pada sebuah kafilah kecil yang berniaga ke Baghdad, yang waktu itu menjadi pusat peradaban dan perdagangan dunia. Setibanya di Baghdad -menurut sementara riwayat-, al-Ja- ilani tidak langsung memasuki gerbang kota, dan memilih tinggal di gurun pasir di luar kota Baghdad, dan tinggal pada sebuah kastil (reruntuhan istana raja-raja kuno Persia) didaerah Karkh, melaku- kan khalwat. Setelah beberapa tahun, baru al-Jailani memasuki kota Baghdad untuk menuntut ilmu. Disana al-jailani menimba ilmu pengetahuan agama sebanyak mungkin, ia jumpai para ulama, berguru dan bersahabat dengan mereka, sampai kelak ia berhasil menjadi ulama yang menguasai ilmu lahir dan ilmu batin. Di bidang pengetahuan legal-fiqih ia mengikuti pengajaran al-Hanbali, suatu mazhab yang menolak total hampir semua praktik mistik yang aneh-aneh, bahkan kadang juga menolak tasawuf (Von Grunebaum, 196). Al-Jailani mengikuti perguruan figih ini setelah ditolak masuk perguruan Nizhamiyyah di Baghdad. Setibanya di Baghdad memang dia berniat masuk di pergu- ruan Nizhamiyyah Baghdad yang waktu itu merupakan perguru- an tinggi yang sangat prestisius di Baghdad, namun dia ditolak oleh Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan posisi jabatan rektor saudaranya Abu Hamid al-Ghazali, yang keduanya diangkat oleh Perdana Menteri Dinasti Saljuk, Nizam al-Mulk. Penolakan ini dimungkinkan karena perbedaan mazhab yang dianut, di mana Ahmad al-Ghazali menganut mazhab Syafi’l-Asy’ari yang menjadi mazhab pemerintah, sedang al-Jailani bermazhab Hanbali, dan se- cara sufi menganut sistem al-Hallaj yang dipadu dengan filsafat Mu’ tazilah. Sementara, saat itu mazhab Hanbali dan Hallaj sedang dijadikan musuh oleh pemerintah. Maka kemudian dia mengikuti semacam kursus fiqih mazhab Hanbali yang dipimpin oleh Abu Sa’id al-Mukharrimi. Bahkan ke- mudian al-Jailani diangkat sebagai tangan kanan pertama faqih Han- baliyyah dengan mendapatkan ijazah (khirga) dari Abu Sa’d Mubarak ‘Ali al-Mukharrimi, atas perintah al-Khadir (Trimingham: 41-42). Namun demikian, walaupun sejak kecil tertradisi dengan mazhab Hanbali, banyak sumber menyebutkan setelah menjadi mufti, lebih banyak memberikan fatwa dalam garis mazhab Syafi'iyyah. Sedangkan salah seorang pembimbingnya dalam lapangan tasawuf sebagai guru sufi pertama kalinya adalah Abu al-Khair Hammad AI-Dabbas (w. 1131/525 H) yang mengantarkannya men- jadi guru sufi. Al-Dabbas merupakan seorang suci yang cukup ber- pengaruh dan termasuk dalam garis pengikut al-Sya’rani. Ia dise- gani sebagai seorang fagih dan dihormati sebagai seorang sufi dengan ribuan santri setiap tahunnya. Di Baghdad ini pula Syaikh ‘Abdul Qadir menimba ilmu filologi pada Abu Zakaria al-Tibrizi (w. 502/ 1109), yang juga merupakan salah seorang rektor perguruan Ni- W zamiyah, di mana al-Jailani menjadi murid kesayangannya selama delapan tahun. Namun penolakan di perguruan Nizhamiyah tersebut ada hikmah besarya. Justru setelah Beliau menjadi imam fiqh mazhab Hanbali, kemudian Beliau mendapatkan bimbingan tasawuf yang intensif ini, maka al-Jailani mencatatkan prestasi besar dalam seja- rah Islam, karena keberhasilannya menggabungkan antara hukum- hukum legal objektif (dalam hal ini figh) dengan kondisi kegembi- raan jiwa pribadi luar biasa, yakni aspek spiritual-tasawuf yang merupakan pengalaman keagamaan subjektif (combines religion of the law with ecstatic individualism) (Von Grunebaum: 196 dan 209), _ di samping juga berhasil menjaga kedudukan orang suci (wali) te- tap berada di bawah Nabi. Memang oleh para sejarawan dan peng- kaji tasawuf disebutkan bahwa salah satu keberhasilan terbesar al-Jailani adalah memadukan syariat dan tarekat secara aplikatif bagi kalangan masyarakat (awam khususnya). Dan ini adalah se- bagai hasil kombinasi jalan tengah antara spiritualisme ekstrem al-Hallaj dan rasionalisme Mu’tazilah, yang pada saat-saat itu sedang berada dalam jurang perpecahan dan permusuhan yang parah (Jamil Ahmad, 108). Al-Jailanilah yang pertama kali meme- gang posisi sebagai pemadu syariah dan tharigah (Gunadi & M. Shoelhi, 2002:79) sehingga menjadi harmonis dalam tataran aplikatif. Inilah yang membedakannya dengan al-Ghazali yang dipandang para pengamat sebagai pemadu syari’at dan thariqah, namun sebe- narnya tidak berhasil kecuali hanya secara teoretis, maka al-Jailani yang kemudian mewujudkannya. Jamil Ahmad memberikan komen- tar bahwa Imam al-Ghazali, setelah mengalami transformasi spiri- tualnya, mencoba melaraskanajaran dan spiritualisme Islam. Tetapi karena ia lebih sebagai seorang ilmuwan daripada pemikir keruha- nian, ia terbatas pada ajaran danaturan bukan penerapan spiritual- isme (Jamil Ahmad, 108). Sehingga Julian Baldick menyebut al- Jailani sebagai seorang sufi yang selalu menghindari teoretisasi yang abstrak (Julian Baldick, 100). Kehadiran al-Jailani di ribath al-Dabbas terasa memuakkan, karena sikap murid-muridnya yang tidak bersahabat dengan diri- nya karena mengikuti mazhab Hanbali, sementara al-Dabbas meng- ikuti mazhab Asy’raisme-Syafi’iyyah. Sesudah itu, dia lalu mengha- biskan 25 tahun dari usianya sebagai seorang pengembara sufi di Padang Pasir Iraq. Memang, sejak tahun 488 (1095), waktu dia mulai berada di Baghdad, sampai tahun 521 (1127), waktu dia mulai ter- kenal sebagai seorang ulama besar mazhab Hanbali di kota yang sama, ada masa usia yang kurang dikenal aktivitasnya. Belum di- dapatkan informasi yang cukup memuaskan mengenai perubahan dari pengkhotbah Hanbali yang tenang ini, menjadi prototipe wali yang dimuliakan di seluruh dunia Islam. Mungkin masa itu digu- nakannya untuk mengembara sebagai seorang sufi yang faqir di Padang Pasir Iraq, sebagaimana dikemukakan di atas, dan pada saat itu berguru kepada Abu Sa’id al-Muharrimi di sekolah Bab al- ‘Azl di pinggiran Baghdad, atau juga dia gunakan untuk melaku- kan perjalanan ibadah haji ke tanah suci dan menjalani kehidupan berkeluarga. Namun diduga saat kepindahannya menjadi seorang sufi itu, terjadi pula pola perpindahan kemazhaban fighnya, yakni dari mazhab Hanbali menjadi mazhab Syafi’iyyah yang lebih me- miliki kedekatan khas dengan sufisme. G. Tampil sebagai Juru Dakwah dan Master Sufi Setelah membenamkan diri dalam pencarian ilmu selama lebih dari 33 tahun dan menerima ijazah dari gurunya dalam mazhab Figh Hanbali serta memiliki kapasitas ushuliyah Syafi'i, maka pada usia 51 tahun al-Jailani mulai menampakkan dirinya dengan ber- khotbah, menyampaikan ajarannya serta berfatwa dalam mazhab tersebut di hadapan khalayak ramai (tahun 1127/521) sampaiakhir hayatnya. © Keputusannya untuk memulai berkhotbah di hadapan publik, disebabkan oleh dorongan dan bimbingan yang diberikan oleh se- orang guru spiritual Yusuf al-Hamadani (yang diduga bermaz- hab Syafi‘iyyah). 13 Setelah dia mendapat restu dari seorang sufi besar bernama Abu Yusuf al-Hamadany tersebut (440-535 H/ 1048-1140 M) (Shorter Encyclopaedia of Islant, 6; Schimmel, 1981: 364), yang melakukan kun- jungan spiritual di Baghdad pada tahun 506 H, dan mendapatkan ijazah pengajaran sufi, Beliau mulai banyak dikunjungi orang yang inginmenuntut ilmu, setelah membuka tablig umum di pintu gerbang Halba Baghdad. Schingga pada tahun itu juga, ia dipercaya memim- pinsebuah madrasah yang dibangun oleh masyarakat, yang sema- kin lama semakin tidak mampu menampungjumlah peminat yang ingin belajar di situ. Di situlah Beliau kemudian bertempat tinggal bersama keluarganya yang besar sekaligus mengajar murid-murid- nya yang juga tinggal bersamanya. Pola ini nampak seperti cikal- bakal pesantren di mana antara Kiai dan Santri tinggal bersama, dimana santri melaksanakan tugas kiai dalam hal keduniaan, namun kiai bertanggung jawab atas kebutuhan nafkah santri. Dalam hal inistatusnya masih lebih menampakkan ketokohannya sebagai seorang alim di bidang mazhab Hanbali daripada sebagai seorang sufi, Sahabat-sahabat dekatnya pun menyampaikan kesak- sian bahwa suasana mistik yang ditampilkanjustru sangat sedikit, walaupun ia sebagai seorang “ pengkhotbah tapabrata (asketik)”. Karena makin banyaknya massa yang hadir, pada tahun 528/1134, ribath yang berada diluar gerbang diperbesar, dan sekaligus Syaikh secara resmi dilantik menjadi kepalanya. Popularitas tersebut, sebagian disebabkan oleh perpaduan dua perguruan dalam dirinya, yakni pemikiran (dari pola Mu’ta- zilah) dan keruhanian (dari Nizamiyah) membuat al-Jailanimampu menjadi ulama yang disegani, dan khotbah-klhotbahnya banyak dirindukan masyarakat di segala kalangan. Kefasihannya dalam bertutur dan kekayaan batin yang dimiliki membuat ceramah yang dilakukan mampu menarik masa yang besar. Tidak kurang dari 70- 80 ribu orang mengunjunginya setiap kali Pengajian al-Jailani di- laksanakan. Setiap minggu tiga kali dia berbicara kepada murid-muridnya, dua kali di madrasah (sekolah), yaitu di Idghah pada Jumat pagi 14 dan Selasa sore atau malam, dan satu kali di ribath, dan di Musa- firkhana pada Ahad pagi. Sedangkan aktivitas keseharian al-Jailani: setelah Zuhur memberikan bimbingan, nasihat, dan konsultasi hu- kum dan spiritual pada orang yang mendatanginya. Pada sebelum Ashar dan sebelum Maghrib membagikan roti kepada orang-orang miskin. Saat setelah Maghrib datang al-Jailani berbuka puasa, dan ini dilakukan tidak sendirian, sebab setiap sore menjelang Maghrib pembantunya selalu berdiri di pintu rumah, menanyai orang-orang yang lewat (yang merasa lapar) untuk diajak makan malam bersama. Setelah Isya’ ia melakukan tafakur, mujahadah, membaca al-Qur’an dan bermunajat kepada Allah. Seiring dengan semakin menyebarnya ajaran tasawuf Beliau, maka lambat laun pencitraan terhadap Syaikh ‘Abdul Qadir lebih hanya terbatas pada potret kesufiannya (akibat pengaruh tarekat- nya yang menyebar luas, yang sebagian secara agak negatif). Pada- hal antara konsep teologi, fiqih-ushul figh dan tasawuf, menjadi seimbang pada pribadi, intelektualitas, maupun pola akademis Beliau. Trimingham mencatat bahwa salah satu kesuksesan besar atas reputasi Syaikh adalah menjadikan masyarakat biasa memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam wawasan, pengeta- huan, dan pengalaman-pengalaman kesufian. Sebuah prestasi yang jarang bisa dilakukan oleh imam-imam sufi sepanjang zaman. Pada 1135 M (628 H), madrasah itu diperluas karena semakin melubernya jumlah murid yang hadir. Selain itu juga dibangun sebuah ribath (pesanggrahan, padepokan sufi) diluar pintu gerbang kota Baghdad bagi masyarakat umum yang menghadiri khotbah- khotbahnya, di samping digunakan sebagai ajang diskusi di anta- ta para ulama, akademis, dan intelektual masa itu (dilakukan keba- nyakan di hadapan khalayak). Daya tarik Beliau adalah khotbah- khotbahnya yang kuat mengenai moralitas dan spiritual atau keru- hanian. Beliau dipandang sebagai tokoh mula-mula yang mengajar- kan konsep manajemen qalbu, serta membuka pengajian sufi secara masal dengan retorika yang menarik. Sedangkan tema-tema khotbah- nya tersebut tepat dengan kondisi moralitas sosial, politik umat 15 Islam yang sedang merosot tajam di tengah awal kehancuran ke- budayaan Islam, seiring dengan keruntuhan daulat Abbasiyah di Baghdad. Keberhasilannya nampak spektakuler, sebab di samping ber- hasil membuat orang-orang Nasrani dan Yahudi beralih ke pangkuan Islam, sekaligus juga menjadikan kaum muslim semakin baik segi jasmani dan ruhaninya sehingga memperoleh martabat kehidupan yang tinggi. Selama kehidupannya, al-Jailani dipandang mampu memperbaiki moral masyarakat, melakukan pencerahan ruhani dan meningkatkan kecerdasan beragama. Juga, sedikit banyak mampu memengaruhi sikap penguasa atau pejabat, karena ketegasan dan keteguhan, serta keberaniannya menyerukan dan menegakkan kebenaran maupun keadilan. Selain itu yang membuat banyak orang tertarik, bahwa selama hidupnya Beliau selalu hidup mandiri dengan usahanya sendiri, disertai sikap zuhud, wara’, banyak beribadah. la juga berdak- wah dengan sepenuh hati, dengan semua kalangan, serta yang per- tama kali menyusun blue print sistem tarekat menurut organisasi dalam disiplin ilmu tertentu, walau Beliau tidak pernah memak- lumkan sendiri tarekatnya. H. Corak Khas Ajaran Sufinya Ajaran tasawufnya (dalam pengaruhnya terhadap keadaan- keadaan spiritual), disebut “[lmu tentang Keadaan [jiwa]” (al~ilm al-hal). Inti daripada al-‘ilm ai-hal ini sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Abu Bakr al-Syibli, sebagai berikut: “Berbagai macam de- finisi digunakan orang untuk menjelaskan tentang hakikat tasawuf”, namun yang paling tepat dan paling baik ialah seperti yang dinyata- kan oleh Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali': “Tasawuf ialah pe- musatan diri sepenuhnya kepada Allah swt. seraya meremehkan segala sesuatu selain-Nya. Sebagai disiplin ilmu, tasawuf adalah ‘ Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazali, filosof, teolog. dan sufi yang mengikuti aliran Asy’ary-Syafi’i, lahir pada tahun 450 H, dan wafat pada tahun 505 H (Muhammad al-Ghazali, a/-Mungidz min al- Dhatai him, 221-222; Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Istam, 1993: IL, 25-27). 16 ilmu yang menjelaskan tentang doktrin-doktrin tertentu untuk mengukur tingkat kebaikan hati dan seluruh anggota tubuh.” Se- orang muhaqgig berkata: “Seorang sufiialah ‘alim yang mengamal- kan ilmunya dengan ikhlas. Tidak mungkin ia melampaui batas ini. Al-Hafidz al-Shuyuti? berkata: “Banyak orang mengira bahwa siapa telah membaca buku-buku tasawuf, ataupun menulis dan membuat catatan atas buku-buku tersebut boleh disebut sebagai seorang sufi. Tidak demikianlah halnya, sebab tasawuf adalah Iimu al-Hal (ilmu tentang keadaan) dan bukan Ilmu al-Magal (ilmu yang terucapkan).” Intinya ialah menghias diri denganakhlak mulia yang diriwayatkan dalam sunah Nabawiyyah. Karena kemasyhurannya, juga karena ajaran-ajarannya yang penuh dengan kedamaian dan menentramkan, maka al-Jailani, di kalangan darwis mendapatkan julukan “Mawar dari Baghdad”, suatu lencana dan simbol dari keharmonisan kesufiannya melalui wird (latihan konsentrasi-mengingat Allah). Julukan ini diberikan karena pada saat kehidupan Syaikh, di Baghdad telah demikian penuh dengan guru kebatinan (mistik), di mana kehadirannya sempat mendapatkan tantangan dari spiritualis yang lebih dahulu ada de- ngan mengirimkan pesan bahwa “Cawan (anggur) Baghdad sudah ? Jalal al-Din al-Shuyuti. di Indonesia dikenal dengan kitab tafsir al- Qur'an al’Adzimnya. yang kemudian dikenal sebagai kitab Jalalain, sebab ditulis oleh dua orang bernama Jalal. yaknibersama Jalal al-Din al-Maballi. Al- Shuyuthi lahir tahun 855/1451. Usia 18 tahun sudah mengajar ilmu figih, dan pada tahun 87 1/1467 mulai mengeluarkan fatwa. Selain sebagai pengajar, ia ju- ga dikenal sebagai penulis produktif, terutama bidang tafsir, hadis, dan hu- kum (figih). la menganut mazhab Syafi’iyyah yang diperoleh dari gurunya al-Bulgini (791/1389-868/1464). Karyanya banyak dikaji di dunia Barat, sclain dikenal di Hijaz, India. Afrika. hingga Asia. Ia dinobatkan oleh banyak kalangan sebagai mujtahid sekaligus mujadid pada abadnya. Pada tahun 891/1486 al- Shuyuithi mengundurkan diri dari aktivitas mengajar dan memberi fatwa karena konflik-konflik keras dengan para penentangnya di Mesir. Ia wafat pada tanggal 19 Jumada’ al-Awwal 911/18 Oktober 1505 (Sartain. Jalal al-Din al-Su- yuthi Biography and Background, 1975; al-Suyuthi, Al-Tahadduts bi-Ni’mat Allah, 1975; Nico Kaptein. Peravaan Hari Lahir Nabi Muhammad saw.. 1994: ASAT). 7

Anda mungkin juga menyukai