Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis infiltrat adalah inflamasi pada apendiks atau mikroperforasi yang


ditutupi atau dbungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus atau peritoneum
sehingga terbentuk suatu massa.3 Periapendikular abses, periapendikular infiltrat dan
ruptur pada apendiks dapat terjadi akibat penundaan penanganan apendektomi.
Umumnya massa Appendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila
tidak terjadi peritonitis umum.

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada apendisitis akut. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi apendiks, yaitu sekitar 20% pada anak
dengan apendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi apendiks.
Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
apendiks

Insiden appendicitis secara bertahap naik dari lahir, puncak di masa remaja akhir,
dan secara bertahap menurun di tahun-tahun geriatri. Usia rata-rata di usus buntu
adalah 22 tahun. Meskipun jarang, neonatal dan bahkan prenatal usus buntu telah
dilaporkan. Dokter harus mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi pada semua
kelompok umur.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Apendiks


Appendiks merupakan organ berbentuk tabung yang mempunyai otot dan
mengandung banyak jaringan limfoid, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm),
dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar
dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. (1)

Gambar 1. Appendiks

Pada 65% kasus, appendix terletak intraperitoneal. Kedudukan ini


memungkinkan appendix bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoappendix penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak

2
retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, dibelakang kolon asendens, atau di tepi
lateral kolon asendens
Terdapat beberapa variasi posisi apendiks vermiformis, yaitu diantaranya: (2)
1. Di belakang sekum (ascending retrocaecal): 64%
2. Inferior sekum (subcaecal), turun ke arah pelvis minor: 32%
3. Di belakang sekum (retrocaecal melintang): 2%
4. Anterior dari ileum (ascending paracaecal preileal): 1%
5. Posterior dari ileum (ascending paracaecal retroileal): 0,5%

Gambar 2. Variasi lokasi Apendiks vermicularis

Dasar apendiks melekat pada permulaan posteromedial caecum, sekitar 2,5 cm


di bawah ileocaecalis. Apendiks terletak di ileocaecum, pertemuan di 3 tinea (Tinea
libera, tinea colica, dan tinea omentum). Apendiks vermiformis diliputi seluruhnya
oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium intestinum tenue
melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek, mesoapendiks. Mesoapendiks berisi
arteri dan vena appendicularis, dan saraf-saraf (3)

3
Apendiks vermiformis terletak di regio iliaca dextra, dan ujungnya diproyeksikan
ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior dan umbilicus (titik Mc.Burney).(3)

Gambar 3. Titik Mc Burney

Apendiks mulai terlihat pada minggu kedelapan pada perkembangan embriologi


sebagai tonjolan dari bagian terminal sekum. Selama perkembangan antenatal dan
postnatal, laju pertumbuhan sekum melebihi apendiks, sehingga apendiks berpindah
ke arah medial menuju katup ileosecal. Ujung dari apendiks dapat ditemukan di
retrosecal, panggul, subsecal atau posisi perikolik kanan.(4)
Jaringan limfoid pertama kali muncul dalam apendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir. Jumlah jaringan limfoid meningkat saat pubertas, tidak bertambah pada dekade
berikutnya, kemudian mulai menurun stabil dengan usia. Setelah usia 60 tahun,
hampir tidak ada jaringan limfoid dalam apendiks.(4)

2.2 Fisiologi Apendiks


Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL/hari. Normalnya lendir itu
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperanan pada patogenesis apendisitis.(1)
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhdapat infeksi. Namun

4
demikian, pengangkatan apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe disini sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh. (1)

2.3 Periapendikular Flegmon


2.3.1 Definisi
Periapendikular flegmon merupakan nama lain dari massa apendikular. Massa
apendikular adalah massa yang terbentuk akibat proses radang dari appendix. Pada
saat appendix meradang, terjadi proses walling of yang merupakan suatu proses untuk
membatasi penyebaran proses radang, penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum
dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal
mass).(5)
Umumnya massa appendix terbentuk pada hari ke 3-5 sejak peradangan appendix
dimula. Massa appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau
lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah
cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.(5) Appendix yang
meradang, omentum yang lebih besar, caecum edema, dilatasi peritoneum parietal dan
ileum membentuk massa di fosa iliaka kanan. Massa ini lembut, halus, tegas, baik
lokal, tidak bergerak dengan respirasi, tidak mobile, semua perbatasan baik terbuat
(terlokalisisr dengan baik) dan resonansi pada perkusi. Pasien mungkin mengalami
demam dan peningkatan leukosit.(5)

Gambar 5. Massa apendikularis dibentuk oleh ileum yang melebar, omentum yang lebih besar,
appendix yang meradang dan caecum(5)

5
2.3.2 Epidemiologi

Appendicitis adalah salah satu keadaan darurat bedah yang lebih umum, dan
itu adalah salah satu penyebab paling umum dari sakit perut. Di Amerika Serikat,
250.000 kasus appendicitis dilaporkan setiap tahun, mewakili 1 juta pasien-hari
masuk. Insiden appendicitis akut telah menurun terus sejak akhir 1940-an, dan
kejadian tahunan saat ini adalah 10 kasus per 100.000 penduduk. Appendicitis terjadi
pada 7% dari populasi Amerika Serikat, dengan kejadian 1,1 kasus per 1.000 orang
per tahun. Beberapa predisposisi familial ada.(6)
Di negara-negara Asia dan Afrika, kejadian appendicitis akut mungkin rendah
karena kebiasaan makan penduduk wilayah geografis tersebut. Insiden appendicitis
lebih rendah dalam budaya dengan asupan tinggi serat makanan. Serat pangan
diperkirakan akan menurunkan viskositas kotoran, mengurangi waktu transit usus,
dan mencegah pembentukan fecaliths, yang mempengaruhi individu untuk
penghalang dari lumen appendix.(6)
Dalam beberapa tahun terakhir, penurunan frekuensi usus buntu di negara-
negara Barat telah dilaporkan, yang mungkin terkait dengan perubahan asupan serat
makanan. Bahkan, insiden yang lebih tinggi dari appendicitis diyakini terkait dengan
asupan serat miskin di negara-negara tersebut.(6)
Ada dominan laki-laki sedikit 3: 2 pada remaja dan dewasa muda; pada orang
dewasa, kejadian appendicitis adalah sekitar 1,4 kali lebih besar pada pria
dibandingkan pada wanita. Insiden usus buntu utama adalah kira-kira sama pada
kedua jenis kelamin. (6)
Insiden appendicitis secara bertahap naik dari lahir, puncak di masa remaja
akhir, dan secara bertahap menurun di tahun-tahun geriatri. Usia rata-rata saat usus
buntu terjadi pada populasi pediatrik 6-10 tahun. Hiperplasia limfoid diamati lebih
sering pada orang dewasa dan bertanggung jawab untuk peningkatan insiden
appendicitis pada kelompok usia ini. Anak-anak muda memiliki tingkat yang lebih
tinggi perforasi, dengan tingkat dilaporkan 50-85%. Usia rata-rata di usus buntu
adalah 22 tahun. Meskipun jarang, neonatal dan bahkan prenatal usus buntu telah
dilaporkan. Dokter harus mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi pada semua
kelompok umur. (6)

6
2.3.3 Etiologi
Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada apendisitis akut. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi apendiks, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
apendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi apendiks. Penyebab yang
lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa apendiks, barium yang
mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama
Oxyuris vermicularis.1,4
Obstruksi apendiks juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika
tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti
pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya apendisitis. Faktor lain
yang mempengaruhi terjadinya apendisitis adalah trauma, stress psikologis, dan
herediter.1,4
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, sekitar 65% pada
kasus apendisitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus apendisitis akut
gangrenosa dengan perforasi.1,4

Gambar 4. Apendisitis (dengan fecalith)


Bakteriologi
Apendisitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan
lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami
perforasi. Flora normal pada apendiks sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora
pada apendiks akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis.
Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di
apendiks, Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi adalah Eschericia coli dan
Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan
Mycobacteria dapat ditemukan.1,4

7
Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob
Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (+)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Peranan lingkungan: diet dan higiene


Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat
dengan kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan
dengan kondisi tertentu pada pencernaan. Apendisitis, penyakit Divertikel, carcinoma
Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara
orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt
mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora
normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.4

2.3.4 Patofisiologi
Patofisiologi dasar apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks yang diikuti
oleh infeksi. Setelah terjadi obstruksi, peningkatan produksi lendir terjadi, yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal. Dengan meningkatnya tekanan dan
stasis dari obstruksi, pertumbuhan bakteri yang berlebihan kemudian terjadi. Lendir
kemudian berubah menjadi nanah yang menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam
tekanan luminal.(7) Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan kemudian merangsang
ujung saraf dari serabut aferen viseral, menghasilkan nyeri yang samar-samar, tumpul,
dan menyebar di midabdomen atau epigastrium. Peristalsis juga dirangsang oleh
distensi yang tiba-tiba, sehingga kram dapat menyamarkan nyeri viseral pada awal
perjalanan apendisitis. Distensi ini biasanya menyebabkan refleks mual dan muntah,
dan nyeri viseral difus menjadi lebih parah.(4)Tekanan luminal yang terus meningkat
mengakibatkan obstruksi limfatik terjadi yang kemudian menyebabkan edema pada

8
dinding apendiks. Tahap ini dikenal sebagai apendisitis akut atau fokal.(7)
Meningkatnya tekanan dalam lumen apendiks melebihi tekanan dari vena, sehingga
kapiler dan vena tersumbat. Aliran darah arteriol yang terus berlanjut menyebabkan
terjadinya obstruksi dan kongesti vaskular (4) dan mengakibatkan edema dan iskemia.
Invasi bakteri pada dinding apendiks dikenal sebagai apendisitis supuratif akut.(7)
Patologi apendisitis dimulai di mukosa, kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding
apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.(1) Proses inflamasi ini segera melibatkan
serosa apendiks kemudian peritoneum parietal, yang menyebabkan pergeseran
karakteristik nyeri ke kuadran kanan bawah.(4) Akibat tekanan yang terus meningkat,
terjadi trombosis vena dan arteri, menyebabkan gangren (apendisitis gangerenosa)
dan perforasi (apendisitis perforasi).(7)
Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan
menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa (Walling off) sehingga
terbentuk masa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate
apendiks. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara
lambat.(1)
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan
ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat organ ini
dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai eksaserbasi akut.(1)
Pada anak-anak dimana memiliki omentum yang pendek, dan pada orang tua
yang memiliki daya tahan tubuh yang sudah menurun sulit untuk terbentuk infiltrat
sehingga kemungkinan terjadi perforasi menjadi lebih besar.(1)

9
2.3.5 Manifestasi Klinis
Appensisitis infiltrat didahului oleh keluhan apendisitis akut yang kemudian
disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut biasanya
bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan
muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah (titik McBurney).
Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Nyeri pada awalnya di daerah epigastrium atau sekitar pusat,
kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah disebut juga dengan Kocher’s sign.
Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Biasanya terdapat konstipasi tetapi dapat juga terjadi diare, mual dan muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif.(1,4,8)

10
Appendiks yang terletak retrosekal retroperitoneal (antara sekum dan otot psoas
mayor), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan
peritoneal karena appendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih kearah perut sisi
kanan atau nyeri timbul saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal.(4,8)
Nyeri atipikal biasanya timbul jika appendiks terletak di dekat otot obturator
internus, rotasi dari pinggang meningkatkan nyeri pada pasien ditemui ketika ujung
appendiks terletak di panggul. Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis
dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga
peristaltis meningkat dan pengosongan rectum menjadi lebih cepat serta berulang.
Appendiks yang menempel ke kandung kemih dapat menimbulkan dysuria dan
peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan appendiks terhadap dinding
kandung kemih. Apendiks yang terletak di depan ileum terminal dekat dengan
dinding abdominal, maka nyeri sangat jelas. Sedangkan jika apendiks terletak di
belakang ileum akan menyebabkan nyeri testis, mungkin disebabkan iritasi arteri
spermatika dan ureter (4,8)
Hanya 55% dari pasien dengan apendisitis mengeluhkan gejala dan temuan
fisik yang klasik. Hal ini dikarenakan tanda-tanda dan gejala awal terutama
tergantung pada lokasi ujung apendiks yang sangat bervariasi. Ketika ujung
apendiksretrocecal, nyeri dapat dimanifestasikan dengan ekstensi pasif pinggul (psoas
sign). Ketika apendiks terletak di pelvis, nyeri dapat terdeteksi selama pemeriksaan
rektal toucher atau pemeriksaan panggul. Dengan demikian, pada pasien dengan sakit
perut terus-menerus dan gejala rektum (diare atau tenesmus), penting untuk
melakukan pemeriksaan dubur.(7)

2.3.6 Penegakan Diagnosis


Anamnesis
Pada kebanyakan pasien yang datang ke instalasi gawat darurat, keluhan utama mereka adalah
nyeri perut. Nyeri perut tidak spesifik jika terjadi beberapa jam setelah onset awal. Biasanya tipe nyeri
perut konstan dan menjalar ke periumbilikal atau epigastrium. Mual, muntah dan kurangnya nafsu
makan muncul secara bervariasi dan tidak pasti, namun 50% kasus appendicitis muncul gejala-gejala
ini. Dengan progresivitas penyakit, nyeri perut menjadi terlokalisir ke perut kanan bawah atau titk
McBurney. Pasien dengan appendix retrocaecal atau pasien hamil tua mungkin merasa nyeri di
pinggang kanan. (9)

11
Pemeriksaan Fisik 1,4,8,10

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam biasanya ringan, dengan suhu
sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa
terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C.
Apendisitis infiltrat terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai
nyeri lepas (Blumberg’s sign). Defence muscular menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis.
Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang
disebut Rovsing’s sign. Pada Appendicitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi
dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Jika sudah terbentuk abscess yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan
cepat membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan
selama 3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abscess) juga pada
palpasi akan teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat
diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT (Rectal Toucher)
sebagai massa yang hangat.
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur
menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya
pada Apendisitis pelvika. Pada Apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan,
maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok
dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak appendix.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
- Rovsing’s sign
Jika LLQ (Left Lower Quadrant) ditekan, maka terasa nyeri di RLQ (Right Lower
Quadrant). Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif pada apendisitis
namun tidak spesifik.

12
Gambar 5. Rovsing Sign
- Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan
dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver inimenggambarkan kekakuan
musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari
peradangan apendiks. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas
abdomen.

Gambar 6. Psoas Sign


- Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan
sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi
kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat
eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Apendiks, abscess
lokal, iritasi M. Obturatorius oleh apendisitis letak retrocaecal, atau adanya hernia
obturatoria.

13
Gambar 7. Obturator Sign

- Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ (Left Lower Quadrant) kemudian melepaskannya.
Manuver ini dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di
RLQ (Right Lower Quadrant).
- Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ (Right Lower Quadrant), dan terdapat penurunan peristaltik di
segitiga Scherren pada auskultasi.
- Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.
- Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak apendiks.
- Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Apendisitis letak pelvis.
- Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (1,8)
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan pada
keadaan akut, apendisitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan
shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis apendisitis akut harus dipertimbangkan.

14
Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada apendisitis tanpa
komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh
hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat
antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥
11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari
saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi
Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada
Apendisitis akut dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

USG (11,12)
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis apendisitis.
apendiks diidentifikasi atau dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus
yang nonperistaltik yang berasal dari caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
apendiks diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila
tanpa kompresi ukuran anterior-posterior apendiks 6 mm atau lebih. Ditemukannya
appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari apendiks normal,
yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur
berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis apendisitis akut.
Penilaian dikatakan negatif bila apendiks tidak terlihat dan tidak tampak adanya
cairan atau massa pericaecal

Appendicogram (8,10)

Apendikografi atau appendicogram merupakan salah satu jenis pemeriksaan


radiografi yang umum digunakan di Indonesia sebagai pemeriksaan penunjang dalam
menegakkan diagnosis apendisitis. Pemeriksaan ini menggunakan BaSO4 (barium
sulfat) yang diencerkan dengan air menjadi suspensi barium dan dimasukkan secara
oral. Selain secara oral, barium juga dapat dimasukkan melalui anus (barium
enema).Hasil dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan anatomi fisiologis dari

15
apendiks dan kelainan pada apendiks berupa sumbatan pada pangkal apendiks. Hasil
pemeriksaan apendikografi dibagi menjadi tiga, yakni:
- filling atau positive appendicogram: keseluruhan lumen apendiks terisi penuh
oleh barium sulfat. Gambaran ini menandakan bahwa tidak ada obstruksi pada
pangkal apendiks sehingga suspensi barium sulfat yang diminum oleh pasien
dapat mengisi lumen apendiks hingga penuh.
- partial filling: suspensi barium sulfat hanya mengisi sebagian lumen apendiks dan
tidak merata.
- non filling atau negative appendicogram: barium sulfat tidak dapat mengisi lumen
apendiks. Ada beberapa kemungkinan penyebab dari gambaran negatif
appendicogram yakni adanya obstruksi pada pangkal apendiks (dapat berupa
inflamasi) yang mengindikasikan apendisitis atau suspensi barium sulfat belum
mencapai apendiks karena perhitungan waktu yang tidak tepat (false negative
appendicogram).
Pemeriksaan ini pada masa lalu dilaporkan memiliki tingkat sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi, sebesar 83 dan 96 persen. Walau demikian, pemeriksaan ini
memiliki banyak keterbatasan yang mempengaruhi akurasinya, seperti kesulitan untuk
mendiagnosa apendisitis distal, tingkat nonvisualisasi yang tinggi (23%) pada orang
normal/ Hasil positif pada appendicogram juga bukan merupakan hasil yang spesifik
pada apendisitis dan bisa ditemukan pada kondisi lain. Hal ini ditambah dengan efek
samping dan risiko pemeriksaan yang cukup tinggi membuat pemeriksaan ini tidak
lagi digunakan di negara maju dan digantikan dengan ultrasonografi untuk diagnosis
lini pertama.

Skor Alvarado (13)

Semua penderita dengan suspek apendisitis akut dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan apendiks dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut

16
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.

17
2.3.7 Diagnosis Banding3,5,6
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding, seperti:

Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.
Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan
bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.

Kehamilan di luar kandungan


Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu.
Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan
timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok
hipovolemik.

Kista ovarium terpuntir


Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam
rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

Endometriosis ovarium eksterna


Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada
jalan keluar.

Urolitiasis pielum/ ureter kanan

18
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti


divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut,
pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid
abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks

2.3.8 Tatalaksana10,14,15,16,17
Terapi Appendikular infiltrat, kebanyakan adalah konservatif yaitu dengan
observasi ketat dan antibiotik, dengan cairan intravena, dan pemasangan NGT (Naso
Gastric Tube) bila diperlukan. Konservatif berlangsung selama ± 6 hari di rumah sakit,
lalu direncanakan untuk dilakukan appendectomy elektif setelah 4-6 minggu
kemudian untuk mencegah kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih
luas. Dari hasil penelitian komplikasi setelah operasi dengan penanganan konservatif
terlebih dahulu lebih sedikit bila dibandingkan dengan terapi pembedahan segera
seperti cedera pada ileum (Ileal injury), abses intrabdominal, infeksi karena luka saat
operasi. Sehingga terapi non-operatif pada appendicular infiltrat yang diikuti dengan
appendectomy elektif merupakan metode yang aman dan efektif. Hal ini dikarenakan
untuk mencegah komplikasi post operasi dan risiko dari prosedur pembedahan yang
besar (extensive).
Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi
abscess, dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa, appendectomy
direncanakan pada apendikular infiltrat tanpa pus yang telah ditenangkan.
Sebelumnya pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob
dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan appendectomy.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan
granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada
apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus

19
mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah
sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk
membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan
yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi
lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus
menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi
untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa
periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk
dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta
luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan
kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan
massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan
terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah
apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa
apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun
tanpa peritonitis umum.

20
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja.
Manajemen bedah pada masa apendikular masih kontroversial. Penanganan non
operatif awal di kenalkan oleh ochsner pada tahun 1901. Hal ini meliputi:
F regimen (Ochsner-Sherren Regimen)
1. Fowler position
2. Fluids by mouth atau intravena
3. Four hourly atau lebih sering, observasi nadi dan 2x sehari ukur suhu
4. Feel, palpasi massa apakah mengecil atau makin membesar
5. Fungi, antibiotik
6. Forbidden analgesik
Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala
menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendectomy.
Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari
ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil,
tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri
tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila
apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber
infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika
dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang
yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar
dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses
tiap hari penderita di RT.
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
- LED
- Jumlah leukosit
- Massa

21
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamnesis:
Penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik:
- Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur
rectal dan aksiler)
- Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
- Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi
lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium :
- LED kurang dari 20/jam
- Leukosit normal

Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :


1. Bila LED telah menurun kurang dari 40/jam
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak
mengecil lagi.

Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa:


- Apakah penderita sudah bed rest total
- Pemakaian antibiotik penderita
- Kemungkinan adanya sebab lain.

Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini
berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.
Pembedahannya adalah dengan appendectomy, yang dapat dicapai melalui
insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit
peritonitis berupa appendectomy yang dicapai melalui laparotomi.

22
Apendiktomi4,18
Apendektomi dapat dilakukan dengan open atau laparoskopi Menurut Society of
American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) 2010 keadaan yang
sesuai untuk dilakukan laparoskopi diantaranya pada pasien dengan apendisitis tanpa
komplikasi, anak-anak, dan wanita hamil. Prosedur apendektomi laparoskopi sudah
terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih
cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat
peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi.
Laparoskopi dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen,
terutama pada wanita.
Sebelum dilakukan operasi, maka perlu dilakukan persiapan seperti hidrasi yang
adekuat harus dipastikan, kelainan elektrolit harus diperbaiki, dan kondisi jantung,
paru, dan ginjal harus ditangani terlebih dahulu. Sebuah penelitian meta-analisis telah
menunjukkan efikasi antibiotik pra operasi dalam menurunkan komplikasi infeksi di
apendisitis. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi, tidak ada manfaat dalam
memperluas cakupan antibiotik melampaui 24 jam. Pada apendisitis perforasi atau
dengan gangren, antibiotik dilanjutkan sampai pasien tidak demam dan memiliki
jumlah sel darah putih normal. Untuk infeksi intra-abdominal dari saluran pencernaan
yang ringan sampai sedang, Surgical Infection Society telah merekomendasikan terapi
tunggal dengan cefoxitin, cefotetan, atau asam klavulanat tikarsilin. Untuk infeksi
yang lebih berat, terapi tunggal dengan carbapenems atau terapi kombinasi dengan

23
sefalosporin generasi ketiga, monobactam, atau aminoglikosida ditambah untuk
anaerobik dengan klindamisin atau metronidazole..Rekomendasi serupa untuk anak-
anak.
Penggunaan antibiotik terbatas 24 sampai 48 jam dalam kasus apendisitis
nonperforasi. Sedangkan untuk apendisitis perforasi, dianjurkan terapi diberikan
selama 7 sampai 10 hari. Antibiotik IV biasanya diberikan sampai jumlah sel darah
putih normal dan pasien tidak demam selama 24 jam. Selain itu pemberian analgesik
untuk menghilangkan nyeri juga diberikan pada pasien baik sebelum maupun sesudah
operasi untuk mengurangi keluhan.
Interval apendektomi dilakukan minimal 6 minggu setelah kejadian akut
direkomendasikan untuk semua pasien yang diobati baik nonoperatif atau dengan
drainase abses sederhana

2.3.9 Prognosis (6)


Appendicitis akut adalah alasan paling umum untuk operasi perut darurat.
Usus buntu membawa tingkat komplikasi dari 4-15%, serta biaya yang terkait dan
ketidaknyamanan rawat inap dan operasi. Oleh karena itu, tujuan dari ahli bedah
adalah untuk membuat diagnosis yang akurat sedini mungkin. Tertunda diagnosis dan
pengobatan untuk akun banyak mortalitas dan morbiditas terkait dengan usus buntu.(7)
Angka kematian keseluruhan 0,2-0,8% disebabkan komplikasi penyakit
daripada intervensi bedah. Tingkat kematian pada anak-anak berkisar antara 0,1%
sampai 1%; pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun, tingkat naik di atas 20%,
terutama karena keterlambatan diagnostik dan terapeutik.(7)
Perforasi appendix dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas meningkat
dibandingkan dengan usus buntu nonperforating. Risiko kematian akut tetapi tidak
gangren usus buntu kurang dari 0,1%, namun risiko meningkat menjadi 0,6% pada
appendicitis gangren. Tingkat perforasi bervariasi dari 16% sampai 40%, dengan
frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada kelompok usia muda (40-57%) dan pada
pasien yang lebih tua dari 50 tahun (55-70%), di antaranya misdiagnosis dan
diagnosis tertunda umum. Komplikasi terjadi pada 1-5% pasien dengan radang usus
buntu, dan infeksi luka pasca operasi account untuk hampir sepertiga dari morbiditas
terkait.(7)
Angka kematian keseluruhan 0,2-0,8% disebabkan komplikasi penyakit
daripada intervensi bedah. Perforasi apendiks dikaitkan dengan morbiditas dan

24
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan apendisitis nonperforasi. Risiko
kematian apendisitis akut tanpa gangren kurang dari 0,1%, namun risiko meningkat
menjadi 0,6% pada apendisitis gangren

25
BAB III
KESIMPULAN
Periapendikular flegmon merupakan nama lain dari massa apendikular. Massa
apendikular adalah massa yang terbentuk akibat proses radang dari appendix. Pada
saat appendix meradang, terjadi proses walling of yang merupakan suatu proses untuk
membatasi penyebaran proses radang, penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum
dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal
mass).
Tatalaksana bedah pada massa apendikular masih kontroversial. Penanganan
non operatif awal di kenalkan oleh Ochsner pada tahun 1901. Hal ini meliputi F
regimen (Ochsner-Sherren Regimen), Fowler position, Fluids by mouth atau intravena,
Four hourly atau lebih sering, observasi nadi dan 2x sehari ukur suhu, Feel, palpasi
massa apakah mengecil atau semakin membesar, Fungi antibiotic, Forbidden
analgesik.
Massa apendikular yang berdinding sempurna di anjurkan untuk dirawat
dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit
normal, pasien boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dilakukan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. Jakarta: Penerbit


buku kedokteran EGC. 2010.

2. Fritsch H, Kühnel W. Color atlas of human anatomy, Internal organs 5th ed.
Thieme Medical Publishers. 2008

3. Snell RS. Abdomen: Bagian II Cavitas Abdominalis. In: Sugiharto L, Hartanto


H, Listiawati E, Suyono YJ, Susilawati, Nisa TM, et al. Anatomi Klinik untuk
Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta:EGC, 2006: 230-1.

4. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. The Appendix. Shwartz’s
Principles of Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010

5. Mescher AL. Histologi dasar junqueira edisi 12. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC.

6. Bhat S. SRB’s manual surgery 3rd edition. New Dehli: Jaypee brothers medical
publishers. 2009.

7. Lee SL. Inflammation of Vermiform Appendix. Available at


https://emedicine.medscape.com/article/195652-overview#a9 Acessed March
2018
8. Soybel D. Appendix. In: Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, et al. Surgery Basic
Science and Clinical Evidence. 2nd Ed. New York: Springer. 2008.
9. Klingensmith ME, et al. The Washington Manual of Surgery 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2012
10. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of
Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical Practice 19th Ed. Philadelphia:
Elseviers Saunders. 2012
11. Pereira JM, Sirlin CB, Pinto PS et-al. Disproportionate fat stranding: a helpful CT
sign in patients with acute abdominal pain. Radiographics. 2014. 24 (3): 703-15.

27
12. Vriesman AB, Puylaert J. Appendicitis - Mimics Alternative Nosurgical
Diagnoses at Sonography and CT Available at
http://www.radiologyassistant.nl/en/p420f0a063222e/appendicitis-mimics.html
Acessed March 2018
13. Ohle R, O’Reilly F, O’Brien KK, Fahey T, Dimitrov BD. The Alvarado score for
predicting acute appendicitis: a systematic review. J BMC Medicine 2011. 9. 139
14. Malik AM, Shaikh NA. Recent Trends in The Treatment of the Appendicular
Mass. Lisquat University of Medical and Health Science, Janshoro (Sindh)
Pakistan. 2010
15. Lugo VH. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol 23 No 3. 2014
16. Kaya B, Sana B, Eric C, Kutanis R. Immediate Appendictomy for Appendiceal
Mass. Turkish Journal of Trauma and Emergency Surgery. 2012
17. Garba ES. Ahmed A. Management of Appendiceal Mass. Annals of African
Medicine. 2008. 7(4):200-4
18. Doherty GM, Way LW. Current surgical diagnosis & treatment. McGraw-Hill
Medical. 2006

28

Anda mungkin juga menyukai