Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia radang kornea masih merupakan masalah kesehatan mata


sebab kelainan ini merupakan salah satu penyebab utama kebutaan. Insiden
kebutaan di Indonesia setiap tahunnya yaitu sebanyak 210.000 orang. Penyebab
kebutaan terbanyak di Indonesia yaitu katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, gangguan
refraksi 0,14%, gangguan retina 0,13 dan abnormalitas kornea termasuk keratitis
0,10%.1

Keratitis atau radang kornea biasanya di klasifikasikan dalam lapis kornea


yang terkena yaitu seperti keratitis superfisial, intertisial atau profunda. Radang
kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri,
jamur, dan virus. Keratitis akan memberikan gejala seperti mata merah, nyeri pada
mata, rasa silau, dan merasa seperti kelilipan. Bila terlambat didiagnosis atau
diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma dan
meninggalkan jaringan parut yang luas.2

Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan


dan membatasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah
satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat.
Kebanyakan gangguan penglihatan dapat dicegah, namun hanya bila diagnosis
penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Hilman Surya S
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Alamat : Jakarta
MR : 172913
Pekerjaan : Karyawan
Tanggal pemeriksaan : 4 April 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Rasa tidak nyaman pada mata kiri
Anamnesis : Dialami sejak ± 3 hari yang lalu, Mata nyeri dan perih (+),
Mata terasa seperti kelilipan (+), mata silau apabila terkena
cahaya matahari (+), mata merah (+) mata berair (+), mata
kabur (-), mata gatal (-), Riwayat keluar kotoran yang
banyak dari mata (-). Riwayat bersepeda motor tanpa
menggunakan kaca helm (-) Riwayat memakai kaca mata
atau lensa kontak (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, 1 tahun yang
lalu dan berobat ke poliklinik mata TNI AL Mintohardjo, diberikan obat tetes
namun pasien lupa apa nama obatnya. Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, dan penyakit saluran pernapasan. Riwayat alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat penyakit yang sama dikeluarga disangkal.

2
III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda Vital
o Tekanan darah : 110/70 mmHg
o Nadi : 70 kali/menit
o Suhu : 36,8C
o Pernapasan : 19 kali/menit
 Antropometri
o Berat Badan : 72 kg
o Tinggi Badan : 170 cm
o BMI : 25,2

 Pemeriksaan thorax dan abdomen: dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI


A. INSPEKSI

OD OS

Visus dasar 6/15 6/15

Pergerakan
bola mata

Versi : Baik Versi : Baik

Duksi : Baik Duksi : Baik

3
Pemeriksaan Eksternal

Supercilia Normal Normal

Cilia Trikiasis (-) Trikiasis (-)

Palpebra Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)


superior

Palpebra Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)


inferior

Aparatus Sumbatan (-) Sumbatan (-)


lakrimalis

Conj. Tarsalis Papil (-), Folikel (-) hiperemis (-) Papil (-), Folikel (-) hiperemis (-)
superior

Conj. Tarsalis Papil (-), Folikel (-) hiperemis (-) Papil (-), Folikel (-) hiperemis (-)
inferior

Conj. Bulbi Hiperemis (-), Injeksi siliar (-), Hiperemis (+), Injeksi siliar (+),
Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (+)

Kornea Jernih Jernih, infiltrate (+)

COA Sedang Sedang

Pupil

 Bentuk Bulat Bulat


 Diameter
3 mm 3 mm
 Reflex
cahaya (+) (+)

4
Iris
Coklat
 Warna Coklat
 Kripta Kripta jelas
Kripta jelas
 Sinekia
(-)
(-)

Lensa Jernih Jernih

B. PALPASI
PALPASI OD OS
1. Tensi Okuler Tn Tn
2. Nyeri tekan (-) (-)
3. Massa tumor (-) (-)
4. Glandula preaurikuler Tidak ada Pembesaran Tidak ada Pembesaran

C. VISUS
AVOD : 6/15 S -1,0 6/6
AVOS : 6/15 S -0,25 6/6
Additional +2,50

D. TONOMETRI
TOD : 13 mmHg
TOS : 16 mmHg

E. SLIT LAMP
SLOD: Konjungtiva hiperemis (-), Injeksi (-), kornea jernih, BMD kesan
normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, refleks cahaya (+), lensa
jernih

5
SLOS: Konjungtiva hiperemis (+), Injeksi Konjungtiva (+), Injeksi Siliar (+)
kornea infiltrat, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral,
refleks cahaya (+), lensa jernih

F. TES FLUORESENSI
Positif

G. LABORATORIUM
Tidak dilakukan pemeriksaan

V. RESUME
Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien Tn.
H (54th) datang ke Poli Mata RS TNI AL DR Mintoharjo dengan keluhan rasa
tidak nyaman pada mata kiri, Dialami sejak ± 3 hari yang lalu, terasa mata nyeri
dan perih, Mata terasa seperti kelilipan, mata silau apabila terkena cahaya
matahari, mata merah dan berair. Tidak ada keluhan mata kabur, mata gatal,
riwayat keluar kotoran yang banyak dari mata, riwayat trauma pada mata. Pasien
pernah menderita keluhan seperti ini 1 tahun yang lalu. Riwayat Hipertensi dan
Diabetes mellitus disangkal
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan AVOD :6/15 S -1,0 6/6
AVOS : 6/15 S -0,25 6/6, Additional +2,50. TOD : 13 mmHg, TOS: 16 mmHg

6
Dan pada pemeriksaan eksternal didapatkan injeksi konjungtiva dan injeksi siliar
pada mata kiri, gambaran infiltrate pada kornea mata kiri. Hasil ini juga
ditemukan pada saat pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dimana terdapat
infiltrat halus pada mata sebelah kiri. Dilakukan tes fluoresensi hasil didapatkan
positif. dan dilakukan tes dilakukan tes sensibilitas kornea positif.

VI. DIAGNOSIS
Keratitis Superficial Pungtata

VII. TERAPI
1. - Acyclovir 5x400 mg selama 7-10 hari.
-Acyclovir eye oinment 5x applic I OS
- Artificial eye drops 5x gtt I OS
2. Edukasi untuk tidak mengucek mata, menjaga higenitas mata dan tangan. Dan
menggunakan pelindung kepala (helm) pada saat menggunan sepeda motor.

H. PROGNOSIS
 Ad vitam : bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
 Ad functionam : bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI KORNEA
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-
ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan
dengan konjungtiva. Kornea merupakan jaringan avaskular yang bersifat
transparan, berukuran 11-12mm horizontal dan 10-11mm vertikal. Kornea
memberikan kontribusi 74% atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris, terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman
melepas selubung Schwannya.

Dalam nutrisinya kornea bergantung pada difusi glukosa dari aquos


humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan,
kornea perifer di suplai oksigen dari arteri sirkulus limbus. Inflamasi pada kornea
dan struktur mata didalamnya ditandai dengan pelebaran pembuluh darah ini.5

8
Gambar 2.1 Anatomi kornea5

Kornea merupakan selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat
tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah
depan, dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang terdiri
atas:6,7

1. Epitel
Tebalnya 50 um, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel
gepeng.

2. Membrana Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

9
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar stu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama hingga 15 bulan. Keratosit merupakan
sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat
kolagen stroma. Keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio sesudah trauma.

4. Membrana Descemet
Membran aselular yang merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, tebal 20-40
um. Endotel melekat pada membran descemet melalui hemidesmosom
dan zonula okluden. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik
terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf V, saraf
siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membran bowman melepaskan selubung schwannya.

Seluruh lapis epitek dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan


tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan
didaerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang
merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu
sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenerasi.8

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup


bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh
kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea

10
dilakukan oleh kornea. Transparansi kornea disebabkan oleh
strukturnya yang seragam, avaskularitasnya, dan deturgensinya.8

II. FISIOLOGI KORNEA


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang
dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat tembus cahaya kornea
disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular, dan deturgesens.
Deturgesens adalah suatu keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi
sawar epitel dan endotel. Kerusakan pada sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan, yang cenderung bertahan
lama karena terbatasnya potensi perbaikan fungsi endotel. Kerusakan pada
epitel biasanya hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma
kornea yang akan menghilang dengan regenerasi sel-sel epitel yang cepat.
Penguapan air dari film air mata prakornea menyebabkan film air menjadi
hipertonik; proses tersebut dan penguapan langsung adalah faktor-faktor
yang menarik air dari stroma kornea superfisial untuk mempertahankan
keadaan dehidrasi. Penetrasi obat melalui kornea yang utuh terjadi secara
bifasik. Substansi larut lemak dapat melalui epitel utuh, dan substansi larut
air dapat melalui stroma yang utuh. Jadi, agar dapat melalui kornea, obat
harus lemak dan larut air.9

III. ETIOPATOGENESIS
Keratitis pungtata merupakan keratitis yang terkumpul didaerah bowman
dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis pungtata disebabkan oleh
hal-hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada moluskum kontangiosum, akne
rosasea, herpes zooster, herpes simpleks, blefaritis, keratitis neuroparalitik, infeksi
virus, dry eyes, trauma radiasi, lagoftalmus, dan keracunan obat. Keratitis
pungtata sangat sering ditemukan mengingat etiologi dari penyakit ini berasal dari

11
berbagai faktor eksogen seperti benda asing pada bagian dalam palpebra, lensa
kontak, asap dan lain-lain.(4)

Keratitis pungtata superfisial sangat sering ditemukan mengingat


etiologi dari penyakit ini berasal dari berbagai faktor eksogen seperti benda
asing pada bagian dalam palpebra, lensa kontak, asap, dan lain-lain. Penyakit
ini pun dapat berupa gejala sekunder dari keratitis jenis lain. Keratitis
pungtata superfisialis ini pun dapat disebabkan oleh faktor endogen yaitu
Thygeson disease.(5)

Beberapa penyebab keratitis pungtata superfisial: (6)

1. Infeksi virus merupakan penyebab utama. Virus yang sering menginvasi


ialah herpes zoster, adenovirus, epidemic keratoconjunctivitis, pharyngo-
conjunctival fever dan herpes simpleks.
2. Infeksi chlamydia termasuk di dalamnya trachoma dan konjungtivitis
inklusi.
3. Lesi toksik dapat berasal dari toksin staphylococcal yang berhubungan
dengan blepharokonjungtivitis.
4. Lesi tropik seperti keratitis exposure keratitis danneuroparalytic keratitis.
5. Lesi alergik seperti vernal keratokonjungtivitis.
6. Lesi iritasi merupakan efek dari beberapa obat seperti idoxuridine.
7. Gangguan kulit dan membran mukosa seperti acne rosacea dan
pemphigoid.
8. Dry eye syndrome sepertikeratoconjunctivitis sicca
9. Penyakit idiopatik sepertiThygeson superficial punctate keratitis and
Theodore's superior limbic keratoconjunctivitis.
10. Photo-ophthalmitis.

12
IV. KLASIFIKASI
Keratitis dapat di bagi berdasarkan :
1. Lesi Kornea
Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis,
dan pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang terlibat
(misalnya pada keratitis pungtata superfisialis). Perubahan pada epitel sangat
bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembuntukan
filament, keratinisasi parsial, dan lain-lain. Lesi-lesi itu juga bervariasi lokasinya
pada kornea. Semua variasi ini mempunyai makna diagnostik yang penting dan
pemeriksaan biomikroskopik dengan dan tanpa pulasan fluorosein yang
merupakan bagian dari setiap pemeriksaan mata bagian luar.(4)

Keratitis Stroma
Respon stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang
menunjukkan akumulasi sel – sel radang; edema muncul sebagai penebalan
kornea, pengkeruhan atau parut; penipisan dan perlunakan, yang dapat berakibat
perforasi, dan vaskulasrisasi. Pada respon ini kurang spesifik bagi penyakit ini,
tidak seperti pada keratitis epithelial dan dokter sering harus mengandalkan
informasi klinik dan pemeriksaan labpratorium untuk menetapkan penyebabnya.(4)

Keratitis Endotelial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat ederma kornea, yang mula-
mula mengenai stroma dan epitel. Ini berbeda dari edema kornea yang disebabkan
oleh peningkatan tekanan intraokuler, yang mulai pada epitel kemudian stroma.
Selama kornea tidak terlalu sembab, sering masih mungkin dilihat kelainan
morfologik endotel kornea dengan slitlamp. Sel–sel radang pada endotel (endapan
keratik atau keratik precipitat) tidak selalu menandakan adanya penyakit endotel
karena sel radang juga merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang dapat
atau tidak menyertai keratitis stroma.(4)

13
2. Organisme Penyebab
Keratitis Bakterial
Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Sejumlah
bakteri yang dapat menginfeksi kornea yaitu Staphylococcus epidermis,
Staphylococcus aureus, Streptococcus pnemoniae, koliformis, pseudomonas dan
haemophilus. Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel
kornea masih intak. Hanya bakteri gonococci dan difteri yang dapat menetrasi
epitel korea yang intak. Gejala – gejalanya antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus
lemah, lakrimasi dan sekret purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri
sedangkan keratitis virus mempunyak sekret yang berair.(1,5)
Terapi konservatif pada keratitis bakteri adalah antibiotik topikal
(ofloxacin dan polymixin) yang berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan
bakteri gram negative sampai hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui.
Immobilisasi badan siliar dan iris oleh terapi midriasis diindikasikan jika ada
iritasi intraocular. Keratitis bakteri dapat diterapi pertama kalinya dengan tetes
mata ataupun salep. Terapi pembedahan berupa keratoplasti emergency dilakukan
jika terdapat descematocel atau ulkus kornea yang perforasi.(5)

Keratitis Bakteri

14
Keratitis Viral

 Keratitis Herpes Simplex


Terdapat dua bentuk keratitis herpes simplex yaitu primer dan rekurens.
Keratitis jenis ini merupakan penyebab ulkus yang paling umum dan penyebab
kebutaan kornea yang paling umum. Gejalanya yaitu sangat nyeri, photophobia,
hiperlakrimasi, dan pembengkakan pada kelopak mata. Bentuk keratitis virus
herpes simpleks dibedakan berdasarkan lokasi lesi pada lapisan kornea. Keratitis
dendritic mempunyai khas lesi epitel yang bercabang, sensitifitas kornea menurun
dan dapat berkembang menjadi keratitis stromal. Keratitis stromal ini mempunyai
epitel yang intak, pada pemerikasaan slitlamp menunjukkan infiltrate kornea
disirformis sentral. Sedangkan keratitis endothelium terjadi karena virus herpes
simpleks terdapat pada humor aquos yang menyebabkan pembengkakan sel
endotel. Dan sindrom nekrosis retinal akut mengenai bola mata bagian posterior
yang terlibat pada pasien imunokompromis (AIDS).(5)
Pengobatan dapat diberikan virustatika seperti IDU trifluoritimidin dan
asiklovir. Pemberian streroid pada penderita herpes sangat berbahaya, karena
gejala akan sangat berkurang akan tetapi proses berjalan trus karena daya tahan
tubuh yang berkurang.(5)

15
 Keratitis Herpes Zooster
Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zoster
pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian
pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus ini,
maka akan memberikan keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan pada herpes
zoster akan mengakibatkan terdapatkan vesikel pada kulit. Pada mata akan terasa
sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia dolorosa). Pengobatan adalah
simtomatik seperti pemberian analgetika, vitamin dan antibiotik topical atau
umum untuk mencegah infeksi sekunder.(5)

Keratitis Jamur
Pathogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan Candida albicans.
Mekanisme yang sering adalah trauma terkena bahan - bahan organic yang
mengandung jamur seperti ranting pohon. Pasien pada umumnya mengeluhkan
gejala yang sedikit. Pada inspeksi didapatkan mata merah, ulkus yang berbatas
tegas dan dapat meluas menjadi ulkus kornea serpiginuous. Pada pemeriksaan
slitlamp menunjukkan infiltrate stroma yang berwarna putih keabuan, khusuhnya
jika penyebabnya adalah candida albicans. Lesi – lesi yang lebih kecil
berkelompok mengililingi lesi yang besar membentuk lesi satelit. Indentifikasi
mikrobiologi jamur sulit dan memakan waktu. Pengobatan konservatif berupa anti
nikotik topikal seperti natamycin, nystatin dan amphoterisin B, sedangkan
tindakan pembedahan berupa keratoplasti jika dengan pengobatan konservatif
gagal dan keadaan makin memburuk dalam perawatan.(5)

16
V. GEJALA KLINIS
Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien
yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien
dapat mengeluhkan adanya rasa nyeri, pengeluaran air mata berlebihan,
fotofobia, penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan
blefarospasme. Oleh karena korea memiliki banyak serat – serat saraf,
kebanyakan lesi kornea baik supervisial ataupun profunda, dapat menyebabkan
nyeri dan fotofobia. Nyeri pada keratitis diperparah degan pergerakan dari
palpebral (umunnya palpebral superior) terhadap kornea dan biasanya menetap
hingga terjadi penyembuhan karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan
merefraksikan cahaya, lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan
menjadi kabur, terutama ketika lesinya berada dibagian Sentral.(4)
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi
epithelia multiple sebanyak 1 – 50 lesi (rata – rata sekitar 20 lesi didapatkan).
Lesi epithelia yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa
kumpulan bintik – bintik kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung
berakumulasi di daerah pupil. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak
apabila di inspeksi secara langsung, tetapi dapat dilihat dengan slitlamp
ataupun loup setelah diberi flouresent.(3)

17
Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi
tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks.
Walaupun umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi
reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien.(4)

VI. DIAGNOSIS
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien
yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau
(fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini
biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis superfisial termasuk lesi
inflamasi dari epitel kornea dan membran bowman superfisial terkait.(2)
Fluoresein adalah pewarna khusus yang dipakai untuk memulas kornea
dan menonjolkan setiap ketidakteraturan pada permukaan epitelnya. Fluoresein
topikal merupakan larutan pewarna water-soluble yang non-toksik dantersedia
dalam berbagai bentuk, contohnya disertai dengan obat anestetik (benoxinate or
propracaine) atau dengan antiseptik (povidoneiodine). Secarik kertas steril dengan
fluoresein dibasahi dengan saline steril atau anestetik lokal dan ditempelkan pada
permukaan dalam palpebra inferior untuk memindahkan pewarna kekuningan itu
ke dalam lapis air mata.(2,8)
Flourenscein dapat melakukan penetrasi pada intraseluler kornea, namun
jika lapisan epitel kornea intak maka larutan flourensceins ini tidak bisa
menembus epitel. Larutan flourenscein ini lebih mudah diobservasi pada kornea
dibandingkan pada konjungtiva, maka pemeriksaan flourenscein ini merupakan
pemeriksaan yang dibutuhkan dalam mengevaluasi kelainan di kornea. Larutan
floresens diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan menggunakan slit lamp
ataupun dengan iluminasi terang dan melihat menggunakan loup. Hal tersebut
dapat memberikan gambaran defek epithelial. Pola distribusi flouresensi yang
spesifik dapat sebagai informasi yang berguna dalam menegakkan kemungkinan
etiologi dan keratitis pungtata superfisial.(9)

18
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian
selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan
diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan
pencitraan dengan menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan
inflamasi aktif dan periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak
begitu penting dalam penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.(6)

VII. DIAGNOSIS DIFERENTIAL


Uveitis
Uveitis adalah peradangan yang terjadi pada iris, corpus ciliare, atau
koroid. Uveitis dapat juga terjadi sekunder akibat keratitis atau skleritis. Uveitis
biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun. Uveitis dapat di bagi menjadi 3 bentuk
yaitu uveitis anterior, intermediet dan posterior. Gejala pada uveitis anterior
adalah nyeri, fotofobia dan penglihatan kabur. Uveitis anterior biasanya terjadi
unilateral dan onsetnya akut. Tanda dari uveitis intermediet adalah peradangan
vitreus. Uveitis intermediet memiliki gejala khas yaitu floaters dan penglihatan
kabur. Nyeri, fotofobia dan mata merah biasanya tidak ada. Sedangkan gejala
pada uveitis posterior adalah floaters, kehilangan lapangan pandang atau
penurunan tajam penglihatan yang mungkin parah.(1)

19
Gambar 5. uveitis

Glaukoma akut sudut tertutup


Glaukoma sudut tertutup akut (glaukoma akut) terjadi bila bentuk iris
bombe yang menyebabkan oklusi sudut bilik mata depan oleh iris perifer. Hal ini
akan menghambat aliran keluar aqueous dan tekanan intraokular meningkat
dengan cepat, menimbulkan nyeri hebat, kemerahan dan penglihatan kabur.(1)

Gambar 6. Glaukoma Akut Sudut Tertutup

20
Oftalmika Simpatika
Oftalmika Simpatika merupakan peradangan bilateraldengan gejala klinis
penglihatan menurun dan mata merah. Biasanya terjadi akibat trauma tembus atau
bedah mata intraokular. Tanda dini dari penyakit ini adalah gangguan binokular
akomodasi atau tanda radang ringan uvea anterior ataupun posterior. Tanda yang
terlihat adalah mata sakit dan fotofobia pada kedua mata. (4)

Endoftalmitis
Merupakan peradangan berat dalam bola mata, biasanya akibat infeksi
setelah trauma atau bedah, atau endogen akibat sepsis. Endoftalmitis terbagi dua
yaitu endoftalmitis eksogen akibat trauma atau infeksi sekunder setelah proses
pembedahan dan endoftalmitis endogen terjadi akibat penyebaran bakteri, jamur,
ataupun parasit dari fokus infeksi di dalam tubuh. Peradangan akibat bakteri akan
memberikan gambaran klinik rasa sakit yang sangat, kelopak merah dan bengkak,
kelopak sukar di buka, konjungtiva keruh dan merah, kornea keruh, BMD keruh
yang kadang-kadang di sertai hipopion.(4)

21
Endoftalmitis

VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan dari keratitis biasanya simptomatik : (4)
1. Artificial tears membantu mata mengeluarkan benda asing
2. Specific treatment dapat ditambahkan pada pasien, misalnya antiviral
jika penyebabnya adalah virus
Respon cepat lambatnya kornea pada agen infeksinya bergantung pada
penyebabnya, maka diberikan pengobatan berupa artificial tears untuk membantu
mata mengeluarkan agen penyebab iritasi pada kornea. Sekitar 90% dari inflamasi
kornea disebabkan oleh bakteri. Selain itu epitel yang tidak intak dapat sebagai
jalur penetrasi dari bakteri ke dalam kornea. Penanganan diawali dengan
antibiotik topikal dengan aktivitas broad spectrum terhadap kebanyakan
organisme Gram-positif dan Gram-negative hingga hasil kultur dan tes sensitifitas
diketahui. Regimen awal yang diberikan termasuk aminoglycoside dengan
cephalosporin generasi pertama setiap 15-30 menit. Seringkali digunakan
ciprofloxacin 0,3% yang meberikan percepatan waktu rata – rata penyembuhan

22
dan penururnan terapi dibandingkan terapi konvensional.levofloxacin maupun
ofloxacin memiliki penetrasi aqueous dan vitreus yang baik dengan pemberian
oral.(2,4,6)

IX. PROGNOSIS
Secara umum prognosis dari keratitis pungtata superfisial adalah baik jika
tidak terdapat sikatriks ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode
penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan
keratitis pungtata superficial sangat baik. Sikatriks pada kornea dapat timbul pada
kasus-kasus dengan keratitis pungtata superfisial yang berlangsung lama.(5)

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan D,Asbury T,Riordan-Eva P. general Ophthalmology. 17th


edition. Connecticut; Appleton &lange; 1999. p. 139
2. Riordan-Eva. Anatomy and embryology of The Eye. In : Vaughan
D,Asbury T,Riordan-Eva P. general Ophthalmology. 15th edition.
Connecticut; Appleton &lange; 1999. p. 1-26
3. Doggart JH. Superficial Punctate Keratitis [online]. 1933 [cited 2011
July]; [1screen].
4. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam :
Ilyas S. IlmuPenyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI ; 2008. H 147-78
5. Khurana KA. Diseases of the Cornea. In:, Khurana KA, editors.
Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age
International. 2007. p. 51 - 82.
6. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook
Atlas. 2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60
7. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston
D. Manualof Ocular Diagnosis and Theraphy. 5 th edition.
Philadelphia; Lippincott Williams &Wilkins; 2002. p. 67-129
8. The Eye M.D. Association. External Diseases and Cornea in Basic and
Clinical Science Course, American Academy of Opthalmology.
Lifelong Education for the Opthalmologist. 2011-2012. p.
9. Pflugfelder, Stephen C. Beuerman, Roger W. Stren, Michael S. Dry
Eye and Ocular Surface Disorder. Marcell Dekker. 2004. p. 285-95

24

Anda mungkin juga menyukai