Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid. Toksik dan non toksik merujuk pada

ada tidaknya kelainan fisiologi seperti hipertiroidisme. Nodusa atau diffusa merupakan

gambaran anatomi struma. Struma nodusa non toxic adalah pembesaran kelenjar tiroid

berbatas jelas yang tanpa disertai dengan hipertiroidisme.

Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah

pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah dengan substitusi

iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada

keluarga tertentu. Etiologinya umumnya multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar

sejak usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.

Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut, dan

perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi.

Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin. Penderita struma nodosa

biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme.

Nodul mungkin tunggal, tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak

berfungsi.

Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya

yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di

leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa

gangguan.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Struma

Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena

folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian folikel

tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler.

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba

nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.

Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis

atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.

Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma. 1

2.2 Embriologi Kelenjar Tyroid

Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan.

Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada

akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara

branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang

kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan akhirnya

melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus tyroglossus

yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.

Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu

masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya

abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual,

2
sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial

pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular

atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tyroid janin secara fungsional

mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. 1,2

2.3 Anatomi Kelenjar Tyroid

Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan

fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh

darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya

dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya

terletak pada permukaan belakang.

Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup

cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia

pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya

3
kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah

suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak. 2

Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a.

Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel

lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem

venanya berasal dari pleksus perifolikular. 2

Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus

trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl.

Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika

dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga

penyebaran keganasan.2

2.4 Fisiologi Hormon Tyroid

Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).

Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari

konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar

tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku

hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan

selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai

monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari

MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.

Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam

kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur

4
ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid

(thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-

binding pre-albumine, TPBA). 1

2
2.5 Fisiologi Kelenjar Tyroid

Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis

mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid

teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi.

2. TSH (thyroid stimulating hormone)

Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam

sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-

TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat

3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).

Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat

hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga

pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis

terhadap rangsangan TSH.

4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.

Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid. Efek metabolisme

Hormon Tyroid : 2

- Kalorigenik

5
- Termoregulasi

- Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi

dalam dosis besar bersifat katabolik

- Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal

meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot

menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.

- Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses

degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,

sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada

hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.

- Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan

hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.

- Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus

traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare,

gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

2.7 Patofisiologi Struma

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk

pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke

dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar,

iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating

Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.

6
Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan

molekul yoditironin (T3).

Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid

Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin

(T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat

mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis

tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH

oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

2.8 Klasifikasi Struma 3,4

Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan). Menurut American society

for Study of Goiter membagi :

1. Struma Non Toxic Diffusa

2. Struma Non Toxic Nodusa

3. Stuma Toxic Diffusa

4. Struma Toxic Nodusa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi

fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah

nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

2.9 Struma Non Toksik5

a. Definisi

7
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid,

tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan

simetri atau nodular. Hampir semua struma diduga sebagai hasil dari stimulasi

TSH sekunder yang menyebabkan kurangnya sintesis hormon tiroid. Pembesaran

kelenjar tiroid tersebut berguna untuk mempertahankan pasien dalam keadaan

eutiroid. Struma dapat berbentuk difus, uninodular, atau multinodular. Struma

familial diakibat oleh kurangnya enzim yang diperlukan untuk sintesis hormon

tiroid secara keseluruhan atau parsial dan bersifat genetik.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka

pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda

hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau

adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi

iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang

menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita

usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai

bentuk involusi.

Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena

tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi

kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi

jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering

berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di

leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena

menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika

8
pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan

dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti

menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan

stridor inspirator.

b. Manifestasi Klinik

Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal

(Mansjoer, 2001) :

1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma

nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.

2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin,

nodul hangat, dan nodul panas.

3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.

Hampir semua pasien struma nodusa non toksis tidak memiliki keluhan.

Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik

atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan

struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada

esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Jika ada pasien yang datang

dengan keluhan kelumpuhan nervus rekuren laringeal seperti suara parau

sebaiknya dicurigai kearah keganasan.

Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada

leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada

kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih

9
kecil. Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu

metastase karsinoma tiroid pada kranium.

c. Diagnosis

Anamnesa sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis atau macam

kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah

penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita

(struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher

bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah

ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma

tiroid tipe meduler). Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai :

1. jumlah nodul

2. konsistensi

3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak

4. pembesaran gelenjar getah bening

5. Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian

depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah.

Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.

6. Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk

penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita. Pada

palpasi harus diperhatikan :

- Lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau

keduanya)

- Ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)

10
- Konsistensi

- Mobilitas

- Infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar

- Apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada

bagian yang masuk ke retrosternal)

Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun

pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya

keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah

satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya. Harus

juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya

metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.

Pemeriksaan penunjang meliputi :

1. Pemeriksaan sidik tiroid.

Pemeriksaan tiroid dilaksanakan dengan menggunakan

radiofarmaka Tc99m per technetate untuk angka penangkapan tiroid (uptake)

dan sidik tiroid, serta pemeriksaan in vitro menggunakan I125 untuk T3, T4,

dan TSH (RIA). Hasil pemeriksaan dengan radioisotop yang utama ialah

mengetahui fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi

Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi

yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid

dibedakan 3 bentuk :

- Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan

sekitarnya. Hal ini menunjukkan keadaan sekitarnya.

11
- Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.

Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.

- Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini

berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.

2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa

bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau

jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :

- Kista

- Adenoma

- Kemungkinan karsinoma

- Tiroiditis.

3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)

Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga

dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. Dilakukan

khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi

jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-

sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu

karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan

preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh

ahli sitologi.

4. Petanda Tumor

12
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin

(Tg) serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan

jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

d. Penatalaksanaan

Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah :

1. Keganasan

2. Penekanan

3. Kosmetik

Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang

terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua

lobus terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar

getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau

deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan

luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.

Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :

1. Inoperabel

2. Kontraindikasi operasi

3. Ada residu tumor setelah operasi

4. Metastase yang non resektabel

Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen

juga sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah

karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapi supresif ini juga

13
ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada

karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel. Preparat : Thyrax tablet

dengan dosis : 3x75 Ug/hari p.o.

2.10 Struma Toksik 5,6

a. Struma difus toksik (Grave’s Disease)

Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s

terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang

merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri.

b. Manifestasi klinis

Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan

ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter

akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid

yang berlebihan.

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan

aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan

panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun,

sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan

kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan

infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati

ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid

14
lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan

konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit, sel

mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola mata),

okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler.

c. Diagnosis

Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi

pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-

kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang

cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada

wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran

tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis. Menurut

Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating

Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4)

meningkat.

d. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon

tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau

merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

1. Obat antitiroid

Indikasi :

1. Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang

menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan

tirotoksikosis.

15
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan,

atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.

3. Persiapan tiroidektomi

4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia

5. Pasien dengan krisis tiroid

Obat antitiroid yang sering digunakan :

Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)

Karbimazol 30-60 5-20

Metimazol 30-60 5-20

Propiltourasil 300-600 5-200


2. Pengobatan dengan yodium radioaktif

Indikasi :

- Pasien umur 35 tahun atau lebih.

- Hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi.

- Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid.

- Adenoma toksik, goiter multinodular toksik.

3. Operasi

Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :

16
- Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap

obat antitiroid.

- Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid

dosis besar.

- Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium

radioaktif.

- Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.

- Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.

2.11 Struma nodular toksik

1. Definisi

Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease (Sadler

et al, 1999). Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi

goiter nodular kronik.

2. Manifestasi klinis

Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten

terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti

penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter

multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid

difus pada pasien penyakit Graves. Penderita goiter nodular toksik mungkin

memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan

mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian,

tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada

17
penyakit Graves. Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa

goiter terletak di retrosternal.

3. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan

didukung oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang

meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan.

4. Penatalaksanaan

Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapat mengurangi

gejala tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves.

Radioterapi tidak efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah

dan karena penderita ini membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang

soliter, nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker

jarang terjadi. Untuk struma multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan

subtotal lobektomi pada sisi yang lain adalah dianjurkan.

2.12 Penyakit Tiroid Yang Lain 5

Definisi Tiroiditis

Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid.

1. Akut (supuratif)

Penyakit ini jarang terjadi dan biasanya berhubungan dengan infeksi

saluran perafasan atas. Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau

18
jamur. Bentuk khas infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman

penyebab antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolyticus, dan

Pneumococcus. Infeksi terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari

jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus

yang persisten. Kelainan yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses.

Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, nyeri menelan, malaise,

demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan

gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain

dan sangat nyeri tekan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis,

LED meninggi, sidikan tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama

adalah antibiotik. Kokus gram positif biasanya diatasi dengan penisilin atau

derivatnya, tetrasiklin atan kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan satu

lobus diperlukan lobektomi (dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah

menyebar melalui kapsul dan mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan

drainage.

2. Subakut

Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai

antibodi autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga,

demam, malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan

fisik ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi

berkeringat, demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan

laboratorium sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat. Pada 2/3

kasus kadar hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan akibat

19
destruksi kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh

sendiri sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan

asetosal untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan

glukokortokoid misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.

3. Menahun

Limfositik (Hashimoto)

Merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma

limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur 30-50

tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu besar, simetris,

regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan nyeri tekan. Bisa

eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan histopatologisnya antara

lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid dan fibrosis. Diagnosis

hanya dapat ditegakkan dengan pasti secara histologis melalui biopsi. Bila

kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini

sebaiknya ditunda karena kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu.

Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal tersebut.

2.13 Komplikasi Struma

1. Perdarahan.

2. Masalah terbukanya vena besar dan menyebabkan embolisme udara.

3. Trauma pada nervus laryngeus recurrens.

20
4. Memaksa sekresi glandula ini dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi dengan

tekanan.

5. Sepsis yang meluas ke mediastinum.

6. Hipotiroidisme pasca bedah akibat terangkatnya kelenjar para tiroid.

7. Trakeumalasia (melunaknya trakea).

8. Trakea mempunyai rangka tulang rawan. Bila tiroid demikian besar dan menekan

trakea, tulang-tulang rawan akan melunak dan tiroid tersebut menjadi kerangka

bagian trakea.

21
BAB III

KESIMPULAN

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas

jelas dan tanpa gejala-gejala hipertiroidi. Klasifikasi dari struma nodosa non toksik

didasarkan atas beberapa hal yaitu berdasarkan jumlah nodul, berdasarkan kemampuan

menangkap iodium aktif dan berdasarkan konsistensinya.

Etiologi dari struma nodosa non toksik adalah multifaktorial namun kebanyakan

struma diseluruh dunia diakibatkan oleh defisiensi yodium langsung atau akibat makan

goitrogen dalam dietnya. Gejala klinis tidak khas biasanya penderita datang dengan

keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan tanpa keluhan hipo atau hipertiroidi.

Diagnosis ditegakkan dari hasil anamnesa. Pemeriksaan sidik tiroid, pemeriksaan

USG, Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Bajah), termografi, dan petanda Tumor (tumor marker).

Penatalaksanaan meliputi terapi dengan l-thyroksin atau terapi pembedahan yaitu

tiroidektomi berupa reseksi subtotal atau lobektomi total. Komplikasi dari tindakan

pembedahan (tiroidektomi) meliputi perdarahan, terbukanya vena besar dan menyebabkan

embolisme udara, trauma pada nervus laryngeus recurrens, sepsis, hipotiroidisme dan

traceomalasia.

22
BAB IV

LAPORAN STATUS PASIEN

IDENTITAS

Nama : Ny. Nurhamidah Nasution

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 18 tahun

Tgl. Lahir : 25 Oktober 1999

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Medan Tembung

Tgl. Masuk RS : 7 Agustus 2018

1. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Benjolan di leher depan sejak 2 tahun yang lalu dan masik membesar

Keluhan Tambahan

Demam malam hari, nafsu makan menurun

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien wanita, berusia 18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya

benjolan yang muncul di leher depan sejak 2 tahun yang lalu. Awalnya benjolan

23
dirasakan sebesar kelereng, tapi seiring berjalannya waktu, benjolan semakin membesar

hingga berukuran kurang lebih sebesar telur ayam kampung. Pasien tidak merasakan

adanya nyeri di daerah leher. Tidak ada keluhan gangguan bernapas atau gangguan

menelan. Demam waktu malam (+), nafsu makan menurun, dan tidak ada penurunan

berat badan. Tidak ada keluhan cepat haus, gangguan buang air besar, gangguan siklus

menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur.

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi : Disangkal

Asma : Disangkal

Diabetes mellitus : Disangkal

Alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang mengalami hal yang serupa

dengan pasien.

2. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum/Kesadaran : Tampak tidak sakit/compos mentis
Tanda-tanda vital
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu : Afebris
Kepala : Normocephale, rambut hitam dengan distribusi yang merata dan
tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, eksophtalmus -/-
Telinga : Bentuk normal, liang lapang, serumen (-), sekret (-).
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, deviasi septum (-), edema konka -/-
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, T1-T2 tenang.
Mulut : Bentuk normal, sianosis (-).
Leher : Lihat status lokalis
Thoraks

24
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kanan jantung pada sela iga IV linea parasternalis

dekstra. Batas kiri jantung pada sela iga V linea

midklavikularis sinistra. Batas atas jantung pada sela iga II

linea parasternalis sinistra.


Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler murni, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kanan dan kiri sama, nyeri tekan (-), krepitasi (-),

massa (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru depan dan belakang
Auskultasi :Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi :Datar, benjolan (-)
Auskultasi :Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskuler (-),

massa (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat , edema , tremor

Status Lokalis
Regio : Colli anterior
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi kanan, berbatas tegas,

berukuran + 3 x 3 cm x 2 cm. Warna kulit pada benjolan

sama dengan warna kulit sekitar. Benjolan ikut bergerak ke

atas pada saat menelan.


Palpasi : Benjolan teraba kenyal, mobile (mudah digerakkan). Nyeri

tekan (-). Trakea berada di tengah. Pembesaran KGB (-).

25
Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin 13 12 - 16 g/dl
Hematokrit 41 37 - 47%
Eritrosit 4,5 4,3 - 6,0 juta/ul
Leukosit 4800 4800 - 10800/ul
Trombosit 229.000 150.000 - 400.000/ul
2’00” 1 - 3 menit
Bleeding time
5’00” 1 - 6 menit
Clotting time 91 80 - 96 fl
30 27 - 32 pg
MCV
33 32 - 36 g/dl
MCH
MCHC
14 <40 U/l
23 <35 U/l
19 20 - 50 mg/dl
Kimia
1,0 0,5 - 1,5 mg/d
SGPT (ALT)
SGOT (AST)
Ureum
Kreatinin

Pemeriksaan Radiologi
Foto Roentgen thorax :
- Sinus, diafragma, dan cor normal
- Kedua hilus normal
- Tak tampak proses spesifik aktif di kedua paru dan tak tampak infiltrasi di paru
Kesan: Cor/pulmo normal
Pemeriksaan Tiroid
- T3 : 91,6 ng/dl (N: 65 - 214,5 ng/dl)
- fT4 : 1,52 ug/dl (N: 0,8 - 1,7 ug/dl)
- TSH : 1.59 uIU/ml (N: 0,27 - 3,75 uIU/ml)
Kesan : Struma nodosa (nodul dingin) non-toksik

26
Resume
Pasien wanita, 18 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya

benjolan yang muncul di leher depan kanan sejak 2 tahun yang lalu. Tidak ada nyeri

tekan di daerah leher. Tidak ada keluhan gangguan bernapas atau gangguan menelan.

Pasien tidak ada mengeluhkan sering berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan

menurun. Demam pada malam hari (+), tidak ada keluhan cepat haus, gangguan

buang air besar, gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah, rasa

cemas dan sulit tidur.


Pemeriksaan fisik
- Status generalis : Tidak ditemukan kelainan
- Status lokalis : Regio colli anterior
- Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi kanan, berbatas tegas,

berukuran + 3 x 3 cm x 2 cm. Warna kulit pada benjolan sama dengan warna

kulit sekitar. Benjolan ikut bergerak ke atas pada saat menelan.


- Palpasi : Benjolan teraba kenyal, mobile (mudah digerakkan). Nyeri

tekan (-). Trakea berada di tengah. Pembesaran KGB (-).


Pemeriksaan Penunjang
- T3 : 91,6 ng/dl (N: 65 - 214,5 ng/dl)
- fT4 : 1,52 ug/dl (N: 0,8 - 1,7 ug/dl)
- TSH : 1.59 uIU/ml (N: 0,27 - 3,75 uIU/ml)
Kesan : Struma Nodosa Non-Toksik

Diagnosis Kerja
Struma nodosa non-toksik (SNNT)

Diagnosis Banding
- Karsinoma tiroid
- Tiroiditis
- Grave’s diseas.

Penatalaksanaan Struma Nodusa Non-Toksik


- Rencana Bedah Oleh Sp.B

27
Daftar Pustaka

1. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,

Jakarta.

2. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam :

Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, FKUI., Jakarta.

3. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/med/topic919.htm

4. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,

http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm

5. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and

Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed.,

McGraw-Hill., Newyork.

6. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta

Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta

28
29

Anda mungkin juga menyukai