Anda di halaman 1dari 15

TUTORIAL KLINIK

MELTING KORNEA dengan DESMATOCELE


Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Mata
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan kepada Yth:


dr. Yunani , Sp. M

Diajukan oleh:
Vika Aprilia Isnaeni
20120310171

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Tutorial Klinik

MELTING KORNEA dengan DESMATOCELE

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :

Vika Aprilia Isnaeni

20120310171

Mengetahui

Dosen Penguji Klinik

dr. Yunani , Sp.M


PROBLEM HIPOTESIS MEKANISME DATA TAMBAHAN TUJUAN BELAJAR PEMECAHAN
MASALAH
Identitas pasien OD Melting (tertera dalam Terlampir - Mampu mengetahui Dari anamnesis,
Nama: Tn. J Kornea dengan tinjauan definisi melting kornea pemeriksaan fisik
Usia: 63 Tahun
desmatocele pustaka) - Mampu mengetahui disimpulkan bahwa
Anamnesis faktor resiko dan diagnosa pasien ini
Keluhan Utama : Mata gejala kinis melting adalah melting kornea
kanan nyeri, nerocos, dan
kornea dengan desmatocele.
penglihatan menurun.
Seorang pasien laki- - Mengertahui
laki berumur 63 tahun datang bagaimana diagnosis
ke poli klinik mata RS PKU dan tata laksana
dengan keluhan mata kanan melting kornea
nyeri, nerocos, dan
penglihatan menurun.
Keluhan dirasakan sejak ± 2
tahun SMRS. Keluhan
tersebut pertama kali
dirasakan saat pasien
mencangkul disawah, pasien
mengatakan matanya seperti
kemasukan tanah. Awalnya
pasien hanya mengucek
matanya namun beberapa
hari setelah itu pasien
mengatakan pandangan
makin kabur dan seperti
keluar nanah. Kemudian
pasien membawa ke RS PKU
dan oleh RS PKU pasien di
diagnosis melting kornea dan
desmatocele kemudian
dirujuk ke YAP untuk
dilakukan operasi. Setelah di
operasi di YAP pasien rutin
kontrol di PKU dengan
keluhan yang masih tetap
sama namun sudah tidak
nyeri dan rasa mengganjal
seperti saat sebelum operasi.
RPD:
- Pasien pernah
mengalami hal serupa
(-).
- HT(-), DM (-)
- Riwayat berkacamata
(-)
- Riwayat trauma mata
(-).
RPK:
- Tidak ada keluarga
yang mengalami hal
serupa (-).
- HT(-), DM(-).
- Riwayat Personal
Sosial: Dalam
keseharian pasien
adalah seorang petani.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: compos
mentis, gizi cukup.
Vital sign:
- TD 135/79 mmHg
- N 68 kpm
- R 22 kpm
- S 36,5oC
Kepala
Mata :terlampir
status opthalmologi
Hidung : dbn
Teling : dbn
Mulut : dbn
Leher : Tidak diperiksa
Thoraks: Tidak diperiksa
Cor: Tidak diperiksa
Pulmo : Tidak diperiksa
Abdomen:Tidak diperiksa.
Ekstremitas: Tidak diperiksa.
Status Opthalmologis

 Pemeriksaan Subjektif

a. Visus Jauh : 1/~

b. Refraksi :-

c. Koreksi :-

d. Presbiop :+3

 Pemeriksaan Objektif

Inspeksi OD OS
Gerakan bola mata Normal kesegala arah Normal kesegala arah
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Nyeri Tekan (+) Nyeri Tekan (-)
Spasme (+) Spasme (-)
Konjungtiva CVI (+), PCVI (+) Tenang

Kornea Hypopion (+), ulkus (+) Jernih


COA Keruh Normal
Pupil Sulit dievaluasi Pupil bulat (+)
Reflek direk (+)
Reflek Indirect (+)
Iris Sulit dievaluasi Sinekia (-)
Lensa Sulit dievaluasi Jernih
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek
kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel
sampai stroma. Ulkus kornea yang luas dapat menyebabkan komplikasi berupa
descematokel, perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan.
Melting/ perforasi adalah kondisi dimana terdapat defek pada seluruh
lapisan kornea dan adanya hubungan antara anterior chamber dan permukaan bola
mata. Perforasi kornea merupakan hasil dari berbagai kelainan yang dapat
meninggalkan sekuel pada penglihatan.
Descematokel adalah sebuah lesi dimana terjadi destruksi dari epitelium dan
stroma dengan hanya menyisakan membran descement dan endotelium.
Descematokel dengan keluarnya humour aquos secara teknis disebut perforasi.
2. ETIOLOGI DAN GEJALA KLINIS
Etiologi
a. Infeksi
Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies
Moraxella merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk
sentral. Gejala klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar
bersifat mukopurulen yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
 Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus,
Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.
 Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk
khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang
bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk
disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya
varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).
 Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air
yang tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea
oleh acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna
lensa kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri.
Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak yang
terpapar air atau tanah yang tercemar.
b. Noninfeksi
 Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik,
organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan
terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak
tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat
superfisial saja. Pada bahan alkali antara lain amonia, cairan pembersih
yang mengandung kalium/natrium hidroksida dan kalium karbonat akan
terjadi penghancuran kolagen kornea.
 Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang
akan merusak epitel kornea.
 Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis
sicca yang merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan
defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan
palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik
kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada
kornea dan defek pada epitel kornea terpulas dengan flurosein.
 Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan
vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan
ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
 Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan mekanisme imun, misalnya;
kortikosteroid, IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan
imunosupresif.
 Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
 Pajanan (exposure)
 Neurotropik
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
 Granulomatosa wagener
Rheumathoid arthritis
Gejala Klinis
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa :
Gejala Subjektif
 Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
 Sekret mukopurulen
 Merasa ada benda asing di mata
 Pandangan kabur
 Mata berair
 Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
 Silau
 Nyeri
Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat
pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
Gejala Objektif
 Injeksi siliar
 Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
 Hipopion.
3. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan klinis dengan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium. Dari
anamnesis, nyeri merupakan keluhan yang paling sering pada penyakit kornea.
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang
bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering
kambuh. Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien
seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi,
virus terutama keratitis herpes simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat
penyakit sistemik seperti diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi
imunosupresi khusus.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan air mata yang berlebih akibat
refleks lakrimasi atau sekret yang mukopurulen pada ulkus akibat bakteri.
Fluoroscens harus dilakukan atau ulkus mungkin tidak terdeteksi. Gangguan visus
tergantung pada lokasi dan luasnya ulkus dan visus yang normal bukan berarti tidak
terjadi ulkus. gejala obyektif berupa adanya injeksi siliar, kornea edema, terdapat
infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang
disertai dengan hipopion.
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :
 Ketajaman penglihatan
 Tes refraksi
 Tes air mata
 Pemeriksaan slit-lamp
 Keratometri (pengukuran kornea)
 Respon reflek pupil
 Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi.

Gambar. Kornea ulcer dengan fluoresensi


 Goresan ulkus untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)
Pada jamur dilakukan pemeriksaan kerokan kornea dengan spatula kimura dari
dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH, gram
atau Giemsa. Lebih baik lagi dengan biopsi jaringan kornea dan diwarnai
dengan periodic acid Schiff. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar
sabouraud atau agar ekstrak maltosa.
4. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
Ulkus kornea perforasi adalah keadaan darurat yang harus segera di tangani
agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut pada kornea. Terapi pada ulkus kornea
tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotik,
antivirus, anti jamur, siklopegik dan mengurangi reaksi peradangan. Namun
terapi tidak boleh ditunda hanya karena organisme tidak teridentifikasi pada
pemeriksaan mikroskopis kerokan kornea.
Infeksi pada mata harus diberikan:
 Antibiotik
Anti biotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum
luas diberikan sebagai salep, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada
pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salep mata karena dapat
memperlambat penyembuhan dan juga dapat menimbulkan erosi kornea
kembali.
 Anti jamur
Terapi medika mentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia berdasarkan jenis keratomitosis yang dihadapi bisa
dibagi :
1. Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya : topikal amphotericin
B 1, 2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10 mg/ml, Natamycin > 10 mg/ml, golongan
Imidazole
2. Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, Thiomerosal, Natamicin,
Imidazol
3. Ragi (yeast) : Amphotericin B, Natamicin, Imidazol
4. Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa, berbagai jenis anti
biotik
 Anti virus
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan steroid lokal
untuk mengurangi gejala, sikloplegik, anti biotik spektrum luas untuk infeksi
sekunder analgetik bila terdapat indikasi. Herpes simplex diberikan pengobatan
IDU, ARA-A, PAA, interferon inducer.
Perban tidak seharusnya dilakukan pada lesi infeksi supuratif karena dapat
menghalangi pengaliran sekret infeksi tersebut dan memberikan media yang
baik terhadap perkembangbiakan kuman penyebabnya. Perban memang
diperlukan pada ulkus yang bersih tanpa sekret guna mengurangi rangsangan.
 Sulfas atropin sebagai salep atau larutan,
Kebanyakan dipakai sulfas atropine karena bekerja lama 1-2 minggu.
Efek kerja sulfas atropine :
 Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
 Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
 Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya akomodsi
sehingga mata dalan keadaan istirahat. Dengan lumpuhnya M.
konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga sinekia posterior yang telah
ada dapat dilepas dan mencegah pembentukan sinekia posterior yang
baru.
 Skopolamin sebagai midriatika.
 Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain atau tetrakain
tetapi tidak boleh digunakan jangka panjang.
B. Pembedahan
1. Flap Konjungtiva
Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva, dengan melepaskan
konjungtiva dari sekitar limbus yang kemudian ditarik menutupi ulkus. Tujuan
tindakan ini memberi perlindungan dan nutrisi pada ulkus untuk mempercepat
penyembuhan. Jika sudah sembuh flap konjungtiva dapat dilepaskan kembali.
2. Transplantasi Membran Amnion
a. Indikasi
Transplantasi membran amnion digunakan pada defek epitel persisten
yang tidak respon terhadap pengobatan medikamentosa dan sebagai alternatif
lain dari tindakan flap konjungtiva dan tarsorafi. Transplantasi membran
amnion merupakan metode efektif untuk penatalaksanaan perforasi kornea
nontraumatik dan descemetokel. Metoda ini juga bermanfaat sebagai terapi
permanen atau sebagai tindakan sementara sampai inflamasi berkurang dan
prosedur rekonstruksi tetap dapat dilakukan. Disamping itu, teknik ini juga
bermanfaat pada negara-negara yang persediaan jaringan korneanya terbatas.
b. Kontra indikasi
Kontra indikasi transplantasi membran amnion meliputi dry eye berat
dengan lagoftalmus, atau nekrosis hebat yang mengiringi iskemik.
3. Keratoplasti
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas
tidak berhasil. Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu
penglihatan, kekeruhan kornea yang menyebabkan kemunduran tajam
penglihatan, serta memenuhi beberapa kriteria yaitu :
1. Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita
2. Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
3. Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.

Gambar. Keratoplasti. (A) Penetrating, (B) Lamellar


DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta,I. Yuliantini,R. Ilmu Penyakit Mata.2014. Fakultas Kedokteran


Indonesia:Jakarta

2. Coaster, J.D. Fundamental of Clinical Ophthalmology Cornea. 2002. London:


BMJ:41-64

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ulkus Kornea dalam : Ilmu


Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran Edisi 2. 2002.
Penerbit Sagung Seto, Jakarta.

4. Rapuano, C. Marc A. Management of Corneal Perforation. In : Corneal


Surgery.Availablefrom:http://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters
/9780323023153/Chapter%2037.pdf

Anda mungkin juga menyukai