Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di


dunia.Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hamper mencapai 2
juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, yang terbanyak di Afrika
(30%), Asia (55%), dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35%.(1)

Laporan World Health Organization (WHO) (global reports 2010) pada tahun
2009 angka kejadian TB di seluruh dunia 9,4 juta (8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan
meningkat terus perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati
peningkatan per kapita. Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari
peringkat ketiga menjadi peringkat kelima di dunia, namun hal ini dikarenakan
jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB
di Indonesia.(2)

Menurut laporan WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ke tiga


jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu
kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000
penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185 per 100.000 penduduk ditahun
2012.(3)

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi angka kejadian TB dan


hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Diantaranya adalah
ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB sehingga tingginya
(obat anti TB) dan bertambah lamanya pengobatan.(4)

Oleh karena itu, pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama
pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada awalnya,
penerapan strategi Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) di Indonesia
hanya dilaksanakan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Seiring berjalannya
waktu, strategi DOTS mulai dikembangkan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat
(BKPM) dan rumah sakit baik pemerintah maupun swasta.(5)

Tingginya insidens dan prevalens TB terutama kasus TB BTA positif


merupakan ancaman penularan TB yang serius di masyarakat, karena sumber
penularan TB adalah penderita TB BTA positif.

Obat tuberkulosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama enam
bulan berturut-turut tanpa henti. Kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan
juga perlu diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah, yang setiap
saat dapat mengingatkan penderita untuk minum obat. Apabila pengobatan terputus
tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali
penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya
besar untuk pengobatannya.(6)

Beberapa faktor yang harus diperhatikan yang sangat mempengaruhi


keberhasilan pengobatan, seperti lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta
keteraturan penderita untuk berobat, daya tahan tubuh, juga faktor sosial ekonomi
penderita yang tidak kalah pentingnya. Pengobatan yang terputus ataupun tidak
sesuai dengan standar DOTS juga dapat berakibat pada munculnya kasus kekebalan
multi terhadap obat anti TB yang memunculkan jenis kuman TB yang lebih kuat,
yang dikenal dengan Multi Drug Resistant (MDR-TB). Pengobatan MDR-TB
membutuhkan biaya yang lebih mahal dan waktu yang lebih lama dengan ke-
berhasilan pengobatan yang belum pasti.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberculosis (Tb) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis.(7)

2.1.1 Definisi Pasien Tb

Tersangka pasien Tb adalah seseorang dengan gejala atau tanda mendukung


TB (sebelumnya dikenal dengan suspek Tb). Gejala umum Tb paru adalah batuk
produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak napas, nyeri
dada, hemoptisis) dan/atau gejala tambahan (tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, keringat malam, dan mudah lelah.(7)

Pasien Tb berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis


adalah seorang pasien Tb yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan
pemeriksaan mikroskopis, biakan atau diagnostik cepat yang diakui oleh WHO (misal
Gene-Xpert). Semua pasien yang memenuhi definisi ini harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan Tb sudah dimulai atau belum. Termasuk dalam tipe
pasien ini adalah pasien Tb paru BTA positif, yaitu pasien Tb yang hasil
pemeriksaan sediaan dahaknya positif dengan cara pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan, atau tes diagnostic cepat.(7)

Pasien Tb berdasarkan diagnosis klinis adalah seseorang yang memulai


pengobatan sebagai pasien Tb, namun tidak memenuhi definisi dasar diagnosis
berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis. Termasuk dalam tipe pasien
ini adalah pasien Tb paru BTA negatif dengan hasil foto thoraks sangat mendukung
gambaran Tb dan pasien Tb ekstra paru tanpa hasil konfirmasi pemeriksaan
laboratorium.(7)
Pasien Tb kambuh (relaps) adalah penderita Tb paru yang sebelumnya
mendapatkan pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian datang
lagi kembali berobatdengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.(8)

2.2 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis merupakan suatu bakteri berbentuk basil non


spora berukuran 0.5-3 μm. Gram netral dan bersifat tahan asam.Sifat tahan asamnya
disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mikolik, asam lemak rantai panjang dan
beberapa unsur lemak lainnya.Asam mikolik tersebut terikat dalam struktur
arabinogalactan dan peptidoglikan yang menyebabkan permeabilitas dinding sel
bakteri sangat rapat sehingga menurunkan kerja antibiotik. Lipoarabinomannan juga
merupakan suatu struktur bakteri yang berperan dalam proses interaksi dan
pertahanan diri dalam makrofag. Oleh sebab itu bakteri ini dapat diwarnai dengan
carbol fuchsin dan dipanaskan.Mycobacteriun tuberculosis biasanya ditemukan di
udara, tanah, bahkan air.Mycobacterium tuberculosis tumbuh lambat dan berkembang
biak dalam 18-24 jam. Mycobacteriun tuberculosis biasanya akan tampak membentuk
koloni dalam agar sekitar 2-5 minggu.(9)

Mycobacterium tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya tampak


serupa namun berbeda dalam tes biokimia. Mycobacterium bovis biasanya terdapat
pada susu basi dan varian mycobacterium lainnya menyerang hewan pengerat.
Biasanya varian lain lebih sering ditemukan di Afrika.(10)
Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain
adalah sebagai berikut:
 Berbentuk batang dengan panjang 1 -10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
 Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.
 Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.
 Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
mikroskopik.
 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu
lama pada suhu antara 40C sampai -700C.
 Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari, dan sinar ultraviolet.
 Papran langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati
dalam waktu beberapa menit.
 Dalam dahak pada suhu antara 30 – 370C akan mati dalam waktu lebih kurang 1
minggu.
 Kuman dapat bersifat dorman.
Kultur Agar yang biasa digunakan untuk kultur M. tuberculosis dapat berupa
kultur pada atau kultur cair yang berbasis telur seperti Löwenstein–Jensen,
BACTEC, Middlebrook 7H10/ 7H11. Kultur M. Tuberculosis pada medium cair
tergolong lebih cepat.(10)

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru setara
dengan 65% angka prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan kontribusi
40% total penderita baru TB dan Afrika menyumbang 24% pasien baru. Secara
global angka keberhasilan terapi pada penderita baru TB dengan sputum BTA positif
adalah 87% di tahun 2009 MDR-TB dideteksi mencapai 46.000 kasus. Walaupun
jauh dibawah angka estimasi yakni 290.000 kasus, MDR-TB masih menjadi
tantangan besar hingga saat ini. (5)

Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia pada tahun


1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara 0,2 –
0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan
oleh WHO pada tahun 2010, angka insiden TB di Indonesia pada tahun 2009
mencapai 430.000 kasus, dan dengan 62.000 kasus berakhir dengan kematian.(10)

Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh Rao et al dari Universitas


Queensland berdasarkan data epidemiologi tahun 2007-2008 menunjukkan bahwa
angka kematian akibat tuberculosis di Indonesia sangat tinggi terutama di propinsi
Papua.(10)
Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai
1.200.000 kasus atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas
mencapai 91.000 kasus atau 38 orang per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai
540.000 kasus atau 226 kasus per 100.000 populasi dengan 29.000 kasus TB HIV
positif.
Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant TB(MDR-
TB) pada tahun 2008.Keempat negara yang memiliki jumlah kasus MDR-TB
tertinggi adalah China (100.000 kasus), India (99.000 kasus), Federasi Rusia (38.000
kasus), dan Afrika Selatan (13.000 kasus).Pada Oktober 2011, 77 negara dan wilayah
telah melaporkan setidaknya terdapat satu kasus dari extensively drug-resistant TB
(XDR-TB). (10)

2.4 Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanis meimunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembangbiak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. (8)

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju


kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan dikelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis). (8)

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Selama
berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya
responspositif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih
negatif. (8)

Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah


terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik,
begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun,sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan. (8)

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.(8)
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. (8)

Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan


ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak
dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum
terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen.
Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. (8)

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya. (8)
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain. (8)

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita. (8)

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic


spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang
secara histologi merupakan granuloma. (8)

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted


hematogenicspread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan
menyebar kesaluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak
dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi
secara berulang. (8)
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau
meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesisegmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat
terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat
bervariasi,bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi
sempurna. (8)

Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa
muda.Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi
TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak
terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi
5-25 tahun setelah infeksi primer. (8)

2.1 Patogenesis Tuberculosis


2.5 Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu
“definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA
negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:


1) Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.tidak
termasukpleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada


TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPSpada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak adaperbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT. (8)

2) Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

C. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


1) TB paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan
paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien
buruk.

2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:


a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativaunilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB salurankemih dan alat
kelamin.

D. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapatipe pasien, yaitu:
1) Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernahmenelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus Kambuh (Relaps)


Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)
Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebihdengan BTA positif.

4) Kasus Gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembalimenjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untukmelanjutkan pengobatannya.

6) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.Dalam
kelompokini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTApositif setelah selesai pengobatan ulangan. (8)

2.6 Diagnosis

Penemuan pasien TB bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui


serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB,
pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi
penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh
sehingga tidak menularkan penyakit kepada orang lain.Penentuan secara aktif dapat
dilakukan terhadap:(9)
1. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pasien
dengan HIV, Diabetes melitus, dan malnutrisi.
2. Kelompok yang retan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi
terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/ Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo.
3. Anak dibawah umur 5 tahun yang kontak dengan pasien TB.
4. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat.
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis (gejala klinis
dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan bakteriologik, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya. (7)
A. Pemeriksaan Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 bagian:8
a. Gejala respiratorik :
 Batuk : merupakan gejala yang paling dini dan paling sering
dikeluhkan. Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat.
Batuk-batuk yang berlangsung ≥ 2 minggu harus dipikirkan
adanya tuberkulosis paru.
 Batuk darah : darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis,
bercak, atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat
juga terjadi pada bronkiektasis dan tumor paru.
 Sesak napas : dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan
terdapat kerusakan paru yang cukup luas.
 Nyeri dada : timbul apabila parenkim paru subpleura sudah
terlibat.
b. Gejala sistemik :
 Demam : merupakan gejala yang paling sering dijumpai,
biasanya timbul pada sore dan malam hari.
 Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise,
berat badan menurun serta nafsu makan menurun.
Pemeriksaan fisik atau jasmani sangat tergantung pada luas lesi dan
kelainan struktural paru yang terinfeksi.Pada permulaan penyakit sulit didapatkan
kelainan pada pemeriksaan jasmani.Suara atau bising napas abnormal dapat
berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.(7)
B. Pemeriksaan Bakteriologi
Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman. Untuk
membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat sifat-sifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan perbedaan
kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari
sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bronchoalveolar
lavage, urine, jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi yang menggunakan
sputum cara pengambilannya terdiri dari 3 kali yaitu sewaktu (pada saat
kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu (pada saat menghantarkan dahak
pagi). Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen dan
Kinyoun Gabbet.(7)
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, nilai keberhasilan
pengobatan, dan menentukan potensi penularan.Pemeriksaan biakan untuk
identifikasi Mycobacterium tuberculosis(M.tb) bertujuan untuk menegakkan
diagnosis pasti TB pada pasien tertentu (Pasien TB ekstraparu, TB pada anak, pasien
TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik langsung BTA positif).Adapun
dapat juga dilakukan uji kepekaan obat yang dapat menentukan ada tidaknya
resistansi M.tb terhadap OAT. Pemeriksaan uji kepekaan obat harus dilakukan di
laboratorium yang disertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu. Untuk penemuan
pasien TB dengan resistansi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu
GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) di seluruh provinsi. (9)
WHO (2002) merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease):(7)
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif.
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (1+).
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (2+).
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (3+).
C. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pada foto toraks TB memberikan gambaran yang multiform.Dapat dicurigai sebagai
lesi TB aktif bila ditemukan bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan
posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.Kavitas terutama bila
lebih dari satu, bayangan bercak milier ataupun efusi pleura unilateral.Sedangkan lesi
yang inaktif bila adanya fibrosis, kalsifikasi, fibrotoraks atau penebalan pleura. (7)
Gambaran lainnya yang biasa muncul adalah infiltrat lobus dan interstitial
serta limfadenopati.Pada tahap lanjut lesi dapat menjadi kavitas dengan gambaran
radiologi kavitas yang berdinding tipis.
American Thoracic Society membagi luasnya proses TB pada foto toraks
terdiri dari 3 bagian :
a. Lesi Minimal
Bila proses TB mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan
luas tidak melebihi volume paru yang terletak diatas chondrosternal
junction dari iga kedua dan prossesus spinosus dari vertebra torakalis IV
atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi Sedang
Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar
dengan densitas sedang, tetapi luas tidak boleh lebih luas dari satu paru,
atau jumlah dari seluruh proses TB tadi memiliki densitas yang lebih
padat, lebih tebal, tetapi tidak boleh melebihi sepertiga dari satu paru dan
proses ini dapat disertai atau tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas,
tidak boleh melebihi 4 cm.
c. Lesi Luas
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
2.2 Gambar Alur Diagnosis TB

2.7 Tatalaksana
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (awal) (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan.Paduanobat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan1, 8
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangangunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi DosisTetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasanlangsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang PengawasMenelan Obat
(PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perludiawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)dalam 2
bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namundalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistensehinggamencegah
terjadinya kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia1,8


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2)TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebihlama dari waktu yang
ditentukan.(Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji
resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

b. TB paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil ujiresistensi dapat diberikan obat sesuaihasil uji
resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan
obat yang diberikan : 2RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan
dapat diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada
/ tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1
RHZE/5 R3H3E3(P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan


Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yangmasih sensitif), seandainya H resistentetap
diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil
uji resistensi dapat diberikanobat 2 RHZES, untuk kemudiandilanjutkan sesuai uji
resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif /
perbaikan, pengobatan OATSTOP. Bila gambaran radiologik aktif,lakukan
analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinanpenyakit paru lain. Bila terbukti
TBmaka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yanglebih lama. Jika telah diobati
dengankategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuatdan jangka waktu pengobatan
yanglebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan
kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulaidari awal dengan paduan obat
yangsama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi)
terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji
resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H
tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Paket Kombipak. (9)
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting


untuk menyembuhkan pasien danmenghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis).Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TBmerupakan
prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHOmenyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primerpada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:


1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.

3. Jenis Pengobatan(9)

Kategori-1 (2HRZE/ 4 (HR)3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negative, foto toraks positif/ klinis
c. Pasien TB ekstra paru
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis
(mg/kgBB/Hari) Harian Intermitten Maksimum
(mg/kgBB/Hari) (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 2.Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3.Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori 2(2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
Sebelumnya (pengobatan ulang):
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 4.Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5.Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomisi Jumlah/
Pengobat Pengobata Isoniasid Rifampisi Pirazinami Tablet Tablet n Injeksi kali
an n @ 300 n d @ 250 @ 400 menelan
mg @ 450 mg @ 500 mg mg mg obat
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu
)

Tabel 6.Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7.Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
@ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan
mg obat
Tahap
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHOmerupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit
/ dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.

5. Pengobatan TB dengan kelainan hati


a. Pasien TB dengan hepatitis akut(9)
Pemberian OAT pada pasien TB hepatitis akut atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke
fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
b. Pasien dengan kondisi sebagai berikut dapat diberikan panduan pengobatan
OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis, seperti: pembawa
virus hepatitis, riwayat penyakut hepatitis akut, dan pecandu alkohol. Reaksi
hepatotoksik terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi
tersebut diatas sehingga harus di waspadai.
c. Hepatitis kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
fungsi hati > 3x normal sebelum memulai pengobatan, panduan OAT berikut
ini perlu dipertimbangkan:
 2 obat yang hepatotoksik: 2 HRSE/ 6 HR.
 1 obat hepatotoksik: 2 HES/ 10 HE
 Obat yang tanpa hepatotoksik: 18-24 SE ditambah salah satu golongan
kuinolon
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus
menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik. Pasien dianjurkan untuk
melakukan konsultasi ke dokter spesialis, dilakukan pemantauan klinis dan LFT.
Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan diperlukan
evaluasi gangguan penglihatan.

6. Efek samping pengobatan. (7) (9)

Tabel 8. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 9. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Obat (penyebab lain sampai ikterik
disingkirkan) menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(suspect drug-induced dan lakukan uji fungsi
pre-icteric hepatitis) hati
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

Pasien dinyatakan sembuh apabila tidak ditemukan BTA pada pewarnaan


tahan asam dibandingkan dengan sebelum pengobatan. Terapi dikatakan gagal
apabila sudah menjalani terapi intensif dan lanjutan namun hasil BTA tetap positif
pada bulan ke lima atau bulan berikutnya. Pasien default adalah pasien dengan terapi
yang terinterupsi selama minimal dua bulan berturut-turut.1,8

2.8 Komplikasi
Pada pasien tuberculosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah: batuk darah, pneumothorak, gagal
nafas, gagal jantung, efusi pleura.

2.9 Prognosis
Beberapa faktor yang harus diperhatikan yang sangat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan, seperti lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta
keteraturan penderita untuk berobat, daya tahan tubuh, juga faktor sosial ekonomi
penderita yang tidak kalah pentingnya.Pengobatan yang terputus ataupun tidak sesuai
dengan standar DOTS juga dapat berakibat pada munculnya kasus kekebalan multi
terhadap obat anti TB yang memunculkan jenis kuman TB yang lebih kuat, yang
dikenal dengan Multi Drug Resistant (MDR-TB).Pengobatan MDR-TB
membutuhkan biaya yang lebih mahal dan waktu yang lebih lama dengan ke-
berhasilan pengobatan yang belum pasti.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Serikat Sembiring
Umur: : 62 tahun
Alamat : Rawang Kempas
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
RM : 878043
Tanggal Pemeriksaan : 12 Februari 2018

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Batuk Darah
Keluhan Tambahan:
Sesak napas, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, riwayat keringat
malam, demam kadang – kadang.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan batuk darah sejak 2 hari SMRS. Awalnya
pasien mengeluhkan batuk, batuk sudah lama dirasakan, berdahak sejak 1 bulan,
namun batuk berdarah dirasakan sejak ± 2 hari yang lalu, dalam sehari kira-kira
mencapai ½ gelas aqua, selama batuk pasien merasakan sesak, sesak hilang timbul,
tidak dipengaruhi dengan aktivitas. Selain itu pasien juga mengeluhkan sering
berkeringat pada malam hari atau pada saat tidur malam, tidak nafsu makan dan
mengalami penurunan berat badan. Penurunan berat badan kurang lebih 2 kg dalam 1
bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan kadang - kadang mengalami demam yang
dirasakan sejak ± 1 bulan yang lalu, demam tidak terlalu tinggi, hilang timbul dan
tidak menggigil. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien sudah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya pada 10 bulan yang
lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti yang
dialami pasien. Riwayat TB (-), Hipertensi (-), DM (-).

Riwayat Pengobatan:
Pasien riwayat minum obat OAT 6 bulan + 3 bulan tuntas sejak ± 10 bulan
yang lalu.

Riwayat Kebiasaan Sosial:


Pasien bekerja sebagai petani bertempat tinggal di perumahan yang padat dan
riwayat merokok ± 30 tahun.

3.3 Pemeriksaan Tanda Vital


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4 M6 V5
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
Pernapasan : 26x/menit
Suhu : 36, 80C
BB : 45 kg
TB : 155 cm
IMT : 19 kg/m2

3.4 Pemeriksaan Fisik


a. Kulit
 Warna : Sawo Matang
 Turgor : Cepat Kembali
 Cyanosis : (-)
 Icterus : (-)
 Oedema : (-)
b. Kepala
 Rambut : Hitam, sukar dicabut
 Wajah : Simetris, oedema (-), deformitas (-)
 Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), ikterik
(+/+) sekret (-/-), refleks cahaya (+/+), Pupil isokor
bulat 3 mm/3 mm.
 Telinga : Serumen (-/-),
 Hidung : Sekret (-/-), Napas cuping hidung (-)
 Mulut :
- Bibir : Bibir kering (-), mukosa kering (-),sianosis (-)
- Lidah : Tremor (-), hiperemis (-).
- Tonsil : Hiperemis (-/- ) T1 – T1,
c. Leher
- Inspeksi : Simetris, retraksi (-). JVP 5-1 cm H2O
- Palpasi : Pembesaran KGB (-), Kaku kuduk (-)
d. Thoraks
Inspeksi
 Statis : Simetris, bentuk normochest,
 Dinamis : Pernafasan abdominotorakal, retraksi suprasternal (-) retraksi
intercostal (-), retraksi epigastrium (-), Iga gambang (-)
Paru
 Inspeksi : Simetris statis, dinamis.
 Palpasi : Kanan Kiri
Depan Fremitus N Fremitus N
Belakang Fremitus N Fremitus N
 Perkusi :
Depan Sonor Sonor
Belakang Sonor Sonor
 Auskultasi
Depan vesikuler(+/+) vesikuler(+/+)
rh(+/+), wh(-/-) rh(+/+), wh(-/-)
Belakang vesikuler vesikuler
e. Jantung
 Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus Cordis teraba 2 jari medial linea midclavicula sinistra,
thrill (-)
 Perkusi : Batas-batas jantung
Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Kiri : ICS V dua jari medial linea mid-clavicula sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dekstra,
 Auskultasi: BJ I/ II reguler (+), bising (-)
f. Abdomen
 Inspeksi : Simetris, datar, distensi ( -), vena kolateral (+)
 Palpasi : Nyeri Tekan ( - )
Hepar : teraba 3 jari dibawah arcus costae konsistensi lunak,
permukaan rata, tepi tumpul. Lien : tidak teraba
Ginjal : Ballotement tidak teraba
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), Undulasi (-)
 Auskultasi: Bisiung Usus (+) N
g. Tulang Belakang : simetris
 Kelenjar Limfe : pembesaran. KGB (-)
h. Ekstremitas : extremitas Superior: palmar eritema (+)
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Pucat - - - -
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
3.5 Pemeriksaan Laboratorium
A. Darah Rutin
Pemeriksaan 6/2/2018 Nilai Normal
Hemoglobin 8,1 11,0-16,0 gr/dl
Hematokrit 25,2 35 – 50 %
Eritrosit 3,51 3,5-5,5 x
106/mm3
Leukosit 6,42 4,0-10,0x
103/mm3
Trombosit 266 100-300
x103/mm3
MCV 71,8 80-100
MCH 23,1 27-34
MCHC 321 320-360
LYM 8,7 14-53 %
LED 104 <15
GDS 124 mg/dL
Kesan: anemia , LED meningkat
B. Elektrolit
Pemeriksaan 6/2/2018 Nilai Normal
Na 139,47 135-148
K 3,75 3,5-5,3
Cl 99,29 98-110
Ca 1,45 1,19-1,23
Kesan: Hiperkalsemia
BTA Sputum
Tanggal pemeriksaan Spesimen dahak
Sewaktu Pagi Sewaktu
07/02/2018 - - -

Xpert MTB-RIF Assay (08/02/2018)


MTB Not Detected
Foto Thoraks (08/02/2018)

Gambar 3.1 Foto Thorax PA pasien 1


Kesan Pneumonia lobaris dd Tuberculosis Paru

Faal Hati
a. SGOT: 19 N: <40
b. SGPT: 10 N: < 41
Faal Ginjal
a. Ureum: 24,0 N: 15-39 mg/dL
b. Kreatinin: 1,0 N: 0,9-1,3 mg/dL
3.6 Diagnosis
Diagnosis Banding
Diagnosis Primer TB Paru Relaps Pneumonia
Ca Paru
MDR TB
Diagnosis Sekunder Suspek Sirosis Hepatis Hepatitis B Kronik
Anemia

3.7 Tatalaksana
a. Non Farmakologi
 Tirah baring, kepala direndahkan, tubuh dimiringkan ke sisi sakit.
 Monitoring : KU, TTV, kesadaran, perkembangan gejala klinis
 Edukasi:
- Edukasi mengenai TB paru dan komplikasi
- Edukasi mengenai efek samping dari OAT.
- Edukasi bahwa pengobatan TB harus rutin, dan ajak keluarga menjadi PMO.
b. Farmakologi
- O2 3-4 l/menit
- IVFD RL 20 tpm
- Inj, Asam Tranexamat 3x500 mg Inj. Cefotaxim 2x1
- Inj. Vitamin K 2x1 amp
- Inj. Ranitidin 2x1
- OAT Kategori 2
- Transfusi PRC sampai Hb>10
- Po. Asam folat 3x1
- Codein 3x 10 mg
- Asetylsistein 2 x1
- Salbutamol 3x2 mg
3.8 Pemeriksaan Anjuran
a. CT Scan Thorax
b. USG Abdomen
c. Feritin, SI TIBC,
d. Bilirubin Total, direk, indirek
e. HbsAg

3.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
BAB IV
ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan batuk, batuk sudah lama


dirasakan ± 10 bulan yang lalu, batuk hilang timbul dan dalam sebulan ini batuk
sudah menetap dan berdahak, namun batuk berdarah dirasakan sejak ±2 hari yang
lalu, selama batuk pasien merasakan sesak, sesak hilang timbul, tidak dipengaruhi
dengan aktivitas. Selain itu pasien juga mengeluhkan sering berkeringat pada malam
hari atau pada saat tidur malam, tidak nafsu makan dan mengalami penurunan berat
badan.Penurunan berat badan kurang lebih 2 kg dalam 1 bulan terakhir. Pasien juga
mengeluhkan kadang - kadang mengalami demam yang dirasakan sejak ± 1 bulan
yang lalu, demam tidak terlalu tinggi, hilang timbul dan tidak menggigil.Hal ini
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan
gejala sistemik. Gejala respiratorik yang berupa batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak
napas dan nyeri dada, sedangkan gejala sistemik berupa demam dan gejala sistemik
lain seperti malaise, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan.(9)

Batuk merupakan reaksi tubuh terhadap iritasi saluran pernapasan oleh benda-
benda asing, misalnya infeksi mikroorganisme dan cara tubuh untuk mengeluarkan
benda- benda asing tersebut. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang yang sehat,
ia akan menempel didalam saluran napas dan parenkim paru. Partikel dapat masuk
kedalam alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer.(11)Respon batuk terjadi karena
perjalanan setelah bakteri TB mencapai alveoli dan terjadi reaksi antigen antibody,
maka reaksi radang akan muncul, kemudian terjadi pengeluaran secret atau mucus
dari jalan napas. Akumulasi secret di jalan napas membuat bersihan jalan napas tidak
efektif dan mengakibatkan respon batuk-batuk.

Batuk darah merupakan salah satu penyakit kegawatdaruratan respirasi yang


menyebabkan penderita datang segera untuk berobat, karena bagi masyarakat awam
batuk darah merupakan pertanda bahwa penyakit yang dideritanya cukup
membahayakan dan akan membawa maut padanya. Batuk darah adalah ekspektorasi
darah atau dahak mengandung darah, berasal dari saluran napas dibawah pita
suara.(12) Pada tuberculosis perdarahan mungkin terjadi karena robekan atau rupture
aneurisma artery pulmonary seperti yang terdapat pada dinding kavitas (aneurisma
rassmussen) atau karena pecahnya anastomosis yang membesar. Selain itu dapat juga
terjadi karena ulserasi mukosa bronkus. Sesak napas terjadi karena kurangnya suplai
oksigen akibat kuman Tb yang sudah tersebar diseluruh parenkim paru dan
terbentunya infiltrat.
Pasien juga mengeluhkan demam yang dirasakan sejak ± 1 bulan yang lalu,
demam tidak terlalu tinggi, hilang timbul dan tidak menggigil.Hal ini terjadi karena
respon imun merangsang interleukin-1 sebagai pemicu zat endogen pirogen dan
merangsang prostaglandin untuk meningkatkan suhu tubuh sehingga dapat melawan
kuman Tb agar tidak berkembang menjadi lebih banyak. Aktifnya termoregulator
mengakibatkan peningkatan metabolisme tubuh sehingga memecah cadangan
makanan dan mengakibatkan pengeluaran keringat yang berlebihan lalu kebutuhan
nutrisi sel meningkat dan membuat nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan berat
badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status internus dalam batas normal kecuali
pada auskultasi paru didapatkan suara ronkhi basah halus di paru kanan dan kiri. Pada
pemeriksaan fisik pasien dengan tuberkulosis paru ,kelainan yang didapat tergantung
luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
didaerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex
lobus inferior. (7)
Untuk pemeriksaan BTA SPS didapatkan hasil negatif. Dan dari foto thoraks
pada tanggal pada tanggal 06 februari 2018 didapatkan hasil dengan kesimpulan
kemungkinan TB paru. Pada tanggal 08 februari 2018 didapatkan hasil negatif pada
Gene Expert MDR TB terhadap Rifampisin. Diagnosis TB paru ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinis (gejala klinis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan
bakteriologik, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. (7)
BAB V

KESIMPULAN

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M.
africanum, M. bovis, M. canettii, dan M. microti.Bakteri patogen ini menyerang paru-
paru dan organ tubuh lainnya.Mycobacterium tuberculosis umumnya disebarkan
melalui udara dalam bentuk droplet nuklei yang menimbulkan respon granuloma dan
inflamasi jaringan. Tanpa penanganan yang baik, kasus akan menjadi fatal dalam 5
tahun.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan yang sangat mempengaruhi
keberhasilan pengobatan, seperti lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta
keteraturan penderita untuk berobat, daya tahan tubuh, juga faktor sosial ekonomi
penderita yang tidak kalah pentingnya. Pengobatan yang terputus ataupun tidak
sesuai dengan standar DOTS juga dapat berakibat pada munculnya kasus kekebalan
multi terhadap obat anti TB yang memunculkan jenis kuman TB yang lebih kuat,
yang dikenal dengan Multi Drug Resistant (MDR-TB).Pengobatan MDR-TB
membutuhkan biaya yang lebih mahal dan waktu yang lebih lama dengan ke-
berhasilan pengobatan yang belum pasti
DAFTAR PUSTAKA

1. Pengalaman Menjalani Pengobatan TB Kategori II di Wilayah. Rejeki, Herni,


Astuti Yuni Nursasi dan Henny Permatasari. Pekalongan : STIKES Muhammadiyah
Pekajangan Pekalongan, Maret 1, 2012, Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol. IV No. 1 Maret
2012, Vol. IV, p. 1. 1.

2. Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru Kategori I di RSUPH. Adam


Malik, Medan. Sihombing, Hendra, Hilaluddin Sembiring, Zainuddin Amir, dan
Bintang Y.M. Sinaga. Medan : Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,, Juli 2012, J Respir Indo,
Vol. 32, p. 1. 3.

3. Determinasi Penyakit Tuberculosis Di Daerah Pedesaan. Suharya. Semarang :


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Juli 2013, Jurnal Kesehatan Masyarakat, p. 2. ISSN :
1858-1196.

4. RI, Kementrian Kesehatan. Terobosan Menuju akses universal: Strategi


Pengendalian TB di indonesia. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI, 2010, 2010-2014.

5. Departemen Kesehatan Indonesia. Panduan tatalaksana TB sesuai ISTC dengan


srategi DOTS untuk dokter praktik swasta (DPS). . Jakarta : Departemen
Kesehehatan RI dan Ikatan Dokter Indonesia, 2011.

6. Faktor Risiko Multidrug Resistent Tuberculosis (MDR-TB). SR, Dwi Sarwani, Sri
Nurlaela dan Isnani Zahrotul A. 1, Semarang : Jurnal Kesehatan Masyarakat, Juli
2012, Vol. 8, pp. 60-66. ISSN 1858-1196.

7. Tuberkulosis, dalam Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Isbaniyah, Fattiyah, Thabrani, Zubaedah and Soepandi, P.Z. Jakarta : Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2011.

8. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis. Werdhani, Retno Asti.


Jakarta : Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI,
2009.

9. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. RI, Kementrian Kesehatan.


Jakarta : s.n., 2014.

10. Panduan Tatalaksana TB sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk Dokter
Praktik Swasta (DPS). Indonesia, Departemen Kesehatan. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Indonesia, 2011.

Anda mungkin juga menyukai