Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

Tuba non patent menjadi penyebab infertilitas wanita yang paling sering, selain
masalah ovarium dan endometriosis. Tuba Falopii yang paten adalah sebuah syarat untuk
fertilitas yang normal pada manusia. Tuba falopii rentan terkena infeksi ataupun kerusakan
akibat operasi, di mana akan menyebabkan gangguan fungsinya karena terjadi perubahan
fimbrie yang lembut atau bagian di atasnya yaitu pada endosalping. Riwayat adanya penyakit
radang panggul (PID), abortus terinfeksi, apendisitis, pembedahan tuba, maupun kehamilan
ektopik dapat menyebabkan terjadinya kerusakan tuba. PID merupakan penyebab utama
infertilitas yang disebabkan faktor tuba dan juga sebagai penyebab kehamilan ektopik.1
Laparoskopi merupakan salah satu metode klasik untuk evaluasi patensi tuba pada
wanita infertil. Metode ini memberikan informasi yang tidak diberikan metode lainnya, serta
memiliki keuntungan dan kerugian. Laparoskopi memberikan informasi mengenai anatomi
panggul yang tidak dapat diperoleh bila menggunakan HSG saja, termasuk informasi
mengenai adhesi, endometriosis, dan patologi ovarium.1
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum
(NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan
anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak
diinginkan dari pasien. Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu :
Hipnosis (tidur), Analgesia (bebas dari nyeri), Relaksasi otot (diperlukan untuk mengurangi
tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan).2
Pada laporan kasus ini pasien adalah seorang wanita usia 36 tahun dengan non paten
tuba bilateral yang dilakukan tindakan laparaskopi dengan general anestesi. Dari KPA
(Kunjungan Pra Anestesi) ditemukan kesulitan dengan obesitas. Pada saat durante op
dilakukan dengan induksi propofol 160 mg, obesitas pasien menjadi kesulitan saat
dilakukannya tindakan laparaskopi. Sampai selesai operasi keadaan umum baik dan stabil.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 17 April 2018
Nama : Ny. J
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 154 cm/74 kg
Gol. Darah :O
Alamat : Tebo RT 16 Desa Perintis
No. RM : 879164
Ruangan : Zaal Kebidanan
Diagnosa : Non paten tuba bilateral
Tindakan : Pro Laparoskopi

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
Keluar darah dari kemaluan.

b. Riwayat Perjalanan Penyakit


Keluar darah dari kemaluan sejak 15 hari SMRS, darah berwana merah
kehitaman, berbongkah dan 1 hari bisa 4-5x ganti pembalut. Perdarahan tidak
keluar terus menerus. Keluhan tidak disertai nyeri perut bagian bawah. Sudah 3

2
tahun terakhir ini pasien mengalami siklus haid yang tidak teratur. HPHT pasien
adalah 20 januari 2018.
Pasien sudah menikah selama 16 tahun dengan riwayat abortus 1 kali dan
persalinan 1 kali. Pasien juga mengatakan memakai KB suntik sudah selama 4
tahun.
Riwayat demam (-), keputihan (-), trauma (-). Pasien mengatakan nafsu makan
seperti biasa, tidak ada perubahan berat badan yang bermakna.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Penyakit lain : (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 74 x/menit, reguller, kuat angkat, isi dan tahanan cukup.
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,5 ̊C
b. Kepala : normochepal
c. Mata : SI -/-, CA -/-, RC +/+, isokor +/+
d. THT : nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-)

3
e. Leher : simetris, pembesaran KGB (-).
f. Thoraks
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal Fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi : Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
g. Abdomen
Inspeksi : Tampak buncit
Palpasi : Soepel, fundus uteri tidak teraba, massa (-), nyeri tekan (-),
nyeri lepas (-), hati dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
h. Genital : tidak diperiksa
i. Ekstremitas : Akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin ( tgl 13-04-2018 )
WBC : 7,63 103/mm3
RBC : 4,51 106/mm3
HGB : 11,4 gr/dL
HCT : 37,5 %
PLT : 250 103/mm3
LED : 21 /jam

Masa Pendarahan : 2,5 (1-3 menit )


Masa Pembekuan : 5,5 ( 2 – 6 menit )

4
b. Urin rutin
Warna : Kuning keruh
BJ : 1015
Ph :7
Protein : negative
Albumnin : negative
Glukosa : negative
Leukosit : 9-10/LPB
Eritrosit : 45-50/LPB
Epithel : >100/LPK
Silinder : negative
Kristal : negative

c. Pemeriksaan Kimia Darah


Faal Hati
SGOT : 21 U/L (< 41)
SGPT : 32 U/L (< 40)

Faal Ginjal
Ureum : 19 mg/dl (15 - 39)
Creatinin : 0,9 mg/dl (0,6 – 1,1)

Glukosa darah
GDP : 95 mg/dl (< 126)
GD2PP : 111 mg/dl (< 200)

d. X-Ray Thorax
Cor dan Pulmo dalam batas normal.

5
4. Pra Anestesi
 Diagnosa pra bedah : Non paten tuba bilateral
 Tindakan bedah : Pro laparoskopi
 Penentuan status fisik ASA : 1/ 2 /3/4/5/E
 Mallampati :1
 Jenis / tindakan anestesi : General Anestesi
 Persiapan :
a. Pasien telah diberikan Informed Consent
b. Puasa 6 jam sebelum operasi
c. Pasien dirawat 1 hari sebelum tindakan

6
BAB III

LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 18 April 2018


Nama : Ny. J
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 154 cm/74 kg
Gol. Darah :O
Alamat : Tebo RT 16 Desa Perintis
No. RM : 879164
Ruangan : Zaal Kebidanan
Diagnosa : Non paten tuba bilateral
Tindakan : Pro laparoskopi
Operator : dr. Ade Permana, Sp.OG (K)
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp. An

5. Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 ( E=4, M=6, V=5 )
Tanda vital : Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 74 x/menit reguller
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,5 ºC
Status gizi : IMT : 31,2 (Overweight)
b. Laboratorium

7
WBC : 7,63 103/mm3
RBC : 4,51 106/mm3
HGB : 11,4 gr/dL
HCT : 37,5 %
PLT : 250 103/mm3
LED : 21 /jam

Masa Pendarahan : 2,5 (1-3 menit )


Masa Pembekuan : 5,5 ( 2 – 6 menit )

c. Status Fisik : ASA II


d. Puasa mulai jam 02.00 WIB

6. Tindakan Anestesi
a. Metode : General Anestesi
b. Premedikasi : Ranitidine 50 mg, Ondansentron 4 mg, dexamethasone 10 mg
Ketorolac 30 mg.

7. Anestesi Umum
a. Induksi : Sempurna
b. Teknik Anestesi : Anestesi Balans
c. Teknik Khusus :-
d. Medikasi : Sevoflurance 1, N2O 2, O2 2, Fentanyl 125 mcg, Propofol 160
mg, atracurium 30 mg
e. Cairan/Transfusi : RL 500 mL, RL 500 mL

8
8. Keadaan Selama Operasi
a. Letak Penderita : Lithotomi
b. Intubasi : Oral
No. Tube : 8 balon

c. Penyulit Intubasi : Tidak Ada


d. Penyulit Waktu Anestesi/Operasi :-
e. Lama Anestesi : 90 menit
f. Jumlah Cairan
Input : RL 500 mL, RL 500 ml, RL 500 ml,
Output : Perdarahan ± 20 cc
Kebutuhan cairan pasien ini;
BB = 74 Kg
 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB
= 2 cc x 74
= 148 cc
 Pengganti Puasa (P)
P=6xM
= 6 x 148
= 888 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 8 cc (Operasi besar)
= 74 x 8 cc
= 592 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (888) + 148 + 592
= 1184 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O

9
= ¼ (888) + 148 + 592
= 962 cc

Total cairan : 1184cc + 962cc + 20cc = 2166 cc.

9. Monitoring
TD awal : 130/80 mmHg, Nadi = 80 x/menit, RR = 18 x/menit

Jam Tindakan Nadi Saturasi TD RR


(x/menit) O2 (%) (mmHg) (x/menit)

08.30  Pasien masuk ke kamar operasi, 84 100 130/70 20


dan dipindahkan ke meja operasi
 Pemasangan monitoring tekanan
08.35 darah, nadi, saturasi O2 dan urin
bag dikosongkan.
 Diberikan cairan RL( 1 kolf)
08.45 dan obat premedikasi 80 100 130/70 20

09.00  Pasien mulai dilakukan general 90 100 145/90 18


anestesi, pemberian induksi
inhalasi (sevofluran)

09.05  Pemberian obat muscle relaxan


 Tes bulu mata
09.07
 Melakukan intubasi
09.10  Kedua mata pasien ditutup
dengan kassa dan ivafix
09.15 70 100 120/80 18
 Pasien diposisikan lithotomi
09.17  Pemberian maintenance

10
09.30  Operasi dimulai 60 100 110/70 20

09.45 60 100 140/90 18

10.00 76 99 130/90 22

10.15 74 98 140/90 20

10.30  Operasi selesai 65 100 130/80 18


 Posisi pasien di luruskan
10.33 70 100 120/80 18
kembali keadaan telentang
10.35  Gas N2O dan sevoflurane 70 100 120/80 18
dimatikam, dan gas O2
dinaikkan dengan menggunakan
ETT
 Pelepasan alat monitoring
10.37
 Pasien dipindahkan ke ruang RR
10.40

10. Ruang Pemulihan


1. Masuk Jam : 10.40 WIB
2. Keadaan Umum : Kesadaran: CM, GCS: 15
3. Tanda vital : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguller, kuat angkat, isi dan tahanan cukup.
RR : 18 x/menit
4. Pernafasan : Baik
5. Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2

11
Warna Kulit : 2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Instruksi Post Operasi:

 Monitoring tanda vital tiap 15 menit dan cek HB < 10 mg/dl transfusi.
 Tirah baring tanpa bantal sampai pasien sadar penuh
 Puasa sampai bising usus (+)
 Instruksi lanjutkan sesuai dr. Ade Permana, Sp.OG (K)

12
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuba Fallopi
Tuba Falopii yang paten adalah sebuah syarat untuk fertilitas yang normal pada
manusia. Akan tetapi tuba yang paten saja tidak cukup, fungsi tuba yang normal sangat
berperan penting. Tuba falopii memiliki peran penting dalam menangkap ovum dan
ovarium, transpor ovum sperma dan embrio. Tuba falopii pun dibutuhkan dalam kapasitasi
sperma dan pembuahan ovum. Ovum dibuahi di Tuba Falopii, demikian juga tahap
pertama perkembangan embrio yang terjadi dalam 4 hari perjalanan menuju uterus, maka
tuba pun penting untuk nutrisi dan perkembangan embrio.1
Tuba falopii rentan terkena infeksi ataupun kerusakan akibat operasi, di mana akan
menyebabkan gangguan fungsinya karena terjadi perubahan fimbrie yang lembut atau
bagian di atasnya yaitu pada endosalping. Kelainan tuba dan peritoneum cukup tinggi pada
wanita infertil, yaitu sekitar 30-35%, maka dan itu patensi tuba harus diinvestigasi dini.
Riwayat adanya penyakit radang panggul (PID), abortus terinfeksi, apendisitis,
pembedahan tuba, maupun kehamilan ektopik dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
tuba.1

Gambar 1. Anatomi reprodukasi wanita dan penyumbatan di tuba fallopi.

13
B. Laparoskopi
1. Laparoskopi Diagnostik
Laparoskopi secara umum dianggap sebagai tes definitif faktor tuba. Hal-hal mengenai
penjadualan, penggunaan antibiotik, dan risiko infeksi sama dengan HSG. Laparoskopi
diagnositik umumnya dilakukan dengan anestesi umum, namun dapat saja dilakukan
dengan sedasi dalam dan anestesi lokal. Laparoskopi operatif untuk pengobatan penyakit
umumnya memerlukan anestesi umum. Dengan pengecualian tertentu, inspeksi panggul
yang sistematik dan menyeluruh dapat menentukan lokasi dan derajat penyakit.
Pemeriksaan harus mencakup uterus, cul-de-sac anterior dan posterior, permukaan dan
fossae ovarium, serta tuba fallopii. lnjeksi blue dye yang encer melalui kanula yang
dilekatkan pada serviks atau pada manipulator intrauterin memungkinkan evaluasi patensi
tuba (kromotubasi).1
Laparoskopi memberikan gambaran panoramik terhadap anatomi reproduktif panggul
dan pembesaran dan permukaan uterus, ovanium, tuba, dan peritoneum. Oleh karenanya,
laparoskopi dapat mengidentifikasi penyakit okiusif tuba yang Iebih ringan (aglutinasi
fimbria, fimosis), adhesi pelvis atau adneksa, serta endometriosis yang dapat
mempengaruhi fertilitas yang tidak terdeteksi oleh HSG. Hal yang terpenting adalah
laparoskopi membenikan peluang untuk mengobati penyakit tersebut pada saat
ditegakkannya diagnosis.1
Walaupun laparoskopi merupakan prediktor fertilitas yang lebih baik dan HSG,
prosedur ini bukanlah tes yang sempurna untuk diagnosis patologi tuba. Kromotubasi
intraoperatif memiliki celah kesalahan hasil negatif palsu yang sama dengan HSG. Hasil
positif palsu pada laparoskopi jarang terjadi, namun tetap dapat terjadi, terutama pada
kasus pada mana tuba fallopi terhalang oleh adhesi. Patensi tuba pada HSG hampir selalu
dapat dikonfirmasi dengan laparoskopi, namun obstruksi tuba yang terdeteksi HSG
seringkali tidak dapat dikonfirmasi pada laparoskopi. Sesuai perkiraan, laparoskopi
merupakan prediktor kehamilan yang independen terhadap terapi yang lebih baik daripada
HSG karena informasi yang didapat lebih akurat.1

14
Prognosis paling baik diperoleh ketika kedua tuba fallopii paten, prognosis buruk bila
keduanya terhalang, dan prognosis sedang ketika hanya satu tuba yang terbuka. Karena
banyak obstruksi yang terdeteksi oleh HSG bukan merupakan obstruksi sebenarnya, dan
hanya sedikit yang tidak dapat dildentifikasi oleh laparoskopi, maka prognosis yang terkait
dengan okiusi tuba unilateral dan bilateral yang didiagnosis menggunakan laparoskopi
lebih buruk secara signifikan dibandingkan bila diagnosis yang sama hanya ditegakkan
oleh HSG.1

2. Efek Fisiologis Laparoskopi


CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak membantu
pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari paru-paru, mudah larut
dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan
pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan
O2 cukup, konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.3
Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini menyebabkan iritasi
peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat
saat kontak dengan permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi
kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk
gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory
acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat
menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi,
vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.3
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek
meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan
pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga pengaruh
refleks peningkatan tonus vagus yang dapat berkembang menjadi aritmia.3

15
Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut:4

a) Diawali dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas


CO2 intraperitoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan.
b) Joris dkk. menemukan penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 – 40%)
setelah induksi anestesi dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position).
c) Selanjutnya terjadinya penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra
peritoneum.
d) Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR. Fraksi
ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan kembali ke nilai
awal setelah 30 menit pneumoperitoneum.

Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada interaksi beberapa


faktor :

1. Faktor penderita
Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah
status kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya
prosedur laparoskopi.4
Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi, pneumoperitoneum
menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya SVR
sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan cardiac output yang
lebih besar.3
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi – difusi,
dengan adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac output.
Pasien ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan peak airway
pressure yang lebih tinggi untuk mencapai normokarbia sehingga akan menyebabkan
penurunan cardiac output yang lebih besar.3

16
Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum
pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang tinggi
serta tekanan arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan pneumoperitoneum akan
terjadi peningkatan SVR dan penurunan cardiac output yang lebih besar.3

2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum)


Insuflasi ruang intra peritoneum dengan gas CO2 menghasilkan
pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks tonus
vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia.3
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan pembuluh
darah vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat diikuti secara
perlahan dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan
afterload dan biasanya secara nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index
biasanya menurun dan besarnya penurunan ini sebanding dengan besarnya tekanan
intraabdominal. Pada pasien sehat yang akan menjalani laparoskopi kolesistektomi,
Dexter dkk. dengan menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac
output menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg
tetapi dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar peneliti
mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama insuflasi
peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk.
merekomendasikan batas tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO2 dengan
efek hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg.3
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena
sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini
diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa
keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.3
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung
membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan

17
menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan
cardiac output pada beberapa pasien.5
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara
meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan
tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien
sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan
darah dengan pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki dengan
elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami penurunan yang
signifikan ketika tekanan intraabdomen meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan
SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi
seperti isofluran atau obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.3
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan
obat penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi
secara signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa
mencegah perubahan hemodinamik.6

3. Efek dari posisi pasien3


Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi kolesistektomi
dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º trendelenburg. Posisi
pasien kemudian berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head up position)
dengan ditekan kelateral kiri untuk memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan
meminimalkan disfungsi diafragma. Perubahan posisi pada pasien dengan
pneumoperitonium menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan
akhir diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah balik
vena (venous return) atau preload, cardiac output, dan tekanan arteri rata – rata. Fraksi
ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada pasien sehat. Pola perubahan cardiac output
dan tekanan arteri pada pasien dengan penyakit jantung ringan sampai berat mirip
dengan pasien sehat. Namun secara kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas.

18
Peningkatan tekanan intraabdomen dan posisi head-up mengakibatkan penurunan
aliran darah vena femoralis, stasis pada vena – vena tungkai bawah, diperburuk
dengan posisi litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi terjadinya
tromboemboli.
Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload),
namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan
respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor
aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan bradikardia. Perubahan volume
vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih besar pada pasien dengan penyakit
arteri koroner (CAD), khususnya yang disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek
menyebabkan perburukan secara potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium. Posisi trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral,
khususnya pada pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan
peningkatan tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada pasien
dengan glaucoma akut.

3. Komplikasi Laparoskopi3,4
a) Trauma Gastrointestinal
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan
trokar meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus
yang bisa menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi
mesenterium. Trauma gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas. Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi
distensi lambung dan adhesi yang disebabkan oleh operasi abdomen sebelumnya.

b) Aritmia jantung
Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai
penyebab meliputi : hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO2 intraperitoneum dan

19
peningkatan reflek tonus vagus saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan
peritoneum, dan manipulasi organ visceral, khususnya bila anestesi kurang dalam.
Jenis gangguan aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah bradikardia sampai
asistol. Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun
harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus
(pengurangan insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas
atropine).

c) Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO2 ekstraperitoneum
yang disengaja (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi
pelvis) dan insuflasi CO2ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang
peritoneum pada laparoskopi dicapai dengan cara insersi buta veress
needle melalui insisi kecil subumbilikus. Insuflasi CO2ekstraperitoneum bisa
terjadi jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau
retroperitoneum saat insuflasi. Insiden dari komplikasi insuflasi ekstraperitoneum
bervariasi antara 0,4 – 2%. Emfisema subkutan yang luas bisa mengenai
abdomen,dada, leher, dan paha. Emfisema subkutis ditandai ditandai dengan
adanya krepitasi diatas dinding abdomen. Peningkatan absorbsi CO2 menyebabkan
peningkatan tiba – tiba ETCO2 dan hiperkapnea, dan asidosis respirasi yang
berhubungan dengan emfisema subkutis karena insuflasi ekstraperitoneum. Kehati
– hatian teknik pembedahan saat insersi veress needle dan penilaian lokasi jarum
intraperitoneum sebelum insuflasi mengurangi insiden komplikasi ini.

d) Pneumothorax, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium


Pneumothorax bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum atau
ekstraperitoneum. Pada laparoskopi kolesistektomi, pneumothorak dapat terjadi
saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi, dan diseksi kandung empedu.
Diduga mekanisme terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2 sekitar

20
aorta dan hiatus esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang
selanjutnya terjadi rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi
diafragma atau melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten
canalis pleuroperitoneum). Tension pneumothorak pernah ditemukan selama
laparoskopi kolesistektomi, dan berhubungan dengan defek diafragma kongenital.
Pada keadaan hemodinamik tidak stabil atau secara klinis nyata menunjukkan
pneumothorak tension, segera lakukan pengempisan abdomen dan pemasangan
WSD sebelum dilakukan foto thorak. Selanjutnya penatalaksanaannya tergantung
dari status hemodinamik. Jika pasien stabil, abdomen bisa diinsuflasi kembali dan
prosedur dapat diteruskan. Pneumothorak kecil yang terdeteksi saat akhir operasi
dan tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dapat diterapi secara konservatif.
CO2 dalam ruang pleura sangat cepat diabsorbsi setelah pengempisan abdomen dan
tidak memerlukan pemasangan WSD.
Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat
prosedur laparoskopi. Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi memegang
peranan terjadinya komplikasi ini. Penatalaksanaan tergantung pada tingkat
gangguan hemodinamik yang terjadi. Pengempisan pneumoperitoneum dan
observasi ketat harus dilakukan pada pasien dengan komplikasi ini.

e) Emboli Gas CO2


Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat prosedur
laparoskopi. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol
setelah tindakan pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli gas
meliputi penempatan veress needle intravena yang tidak disengaja, aliran
CO2 kedalam pembuluh darah dinding abdomen dan pembuluh darah peritoneum
selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada permukaan hepar saat diseksi
kandung empedu. Tanda dan beratnya efek emboli CO2 meliputi hipotensi dengan
kolap kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari
‘mill wheel murmur’

21
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :
a. Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum
b. Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini sejumlah
gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang karena busa
yang ringan berpindah kebagian lateral dan kaudal outflow ventrikel kanan.
c. Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk memperbaiki
hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan dampak emboli gas.
d. Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan seperlunya dengan
memperbesar ruang rugi fisiologis.
e. Jika cara – cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter vena
sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara.
f. Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar mungkin
bermanfaat untuk memecah emboli CO2 menjadi gelembung yang kecil.

C. Anestesi Umum (General Anesthesia)


Definisi2
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri bahkan
hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan. Tujuan anestesi yaitu :
- Hipnotik
- Analgesi
- Relaksasi otot

Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi
ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Cara pemberian anestesi umum :

22
1. Parenteral (intramuscular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral
dikombinasikan dengan cara lain.7
2. Parekteral. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.7
3. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang
mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan.
Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan oksigen) dan
konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan
parsial dalam jaringan otak akan menentukan kekuatan daya anestesi, zat anestetika
disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi
yang adekuat.7

Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum2,3


A. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial

B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
 Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.

23
 Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
 Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
 Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
 Koefisien partisi jaringan/darah
 Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit
pembuluh darah/JSPD)

D. Faktor Zat Anestetika


Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang
rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.

E. Faktor Lain
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.

Klasifikasi status fisik


Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau
kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

24
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan,
diantaranya :
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi
suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran,
narfoz).

25
Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan
tujuan kita member anesthesia yang lancer dan aman.

Macam- macam tehnik anasthesi umum8,9


1. ANESTESI INHALASI
Anesteai inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan
jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam
farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ
sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi.9
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah
adalahfaktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan
lambat padayang larut. Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau MAC (minimum
alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan
satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien yang
dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 % pasien, jika
kadarnya dinaikkan diatas3 0 % nilai KAM.

26
ELIMINASI
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru. Sebagian lagi
dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa metabolisme yang
larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.

N2O
N2O (gas gelak ,laughing gas , nitrous oxide, dinitrogen monooksida) diperolehdengan
memanaskan amonium nitrat sampai 240ºC. NH4NO3 --240 ºC ---- 2H2O + N2O N2O
dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalamsilinder warna biru
9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm. Pemberian anestesi dengan N2O
harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifatanestetik lemah, tetapi analgesianya
kuat, sehingga sering digunakan untuk menguranginyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapidikombinasi dengan salah satu
cairan anestesi lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran
O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2
100% selama 5-10 menit.

HALOTAN
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang
enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai induksi
anestesi kombinasi dengan N2O. Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi
intubasi, asalkan anestesinyacukup dalam, stabil dan sebelum tindakan dierikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit
lidokain kerja, umumnya laringoskop intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena
relaksasi otot cukup baik. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan
pada napas kendalisektar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis
pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak

27
yang sulitdikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai
untuk bedahotak. Kebalikan dari N2O, halotanan algesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontra indikasi. Pada bedah
sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterusakan menimbulkan
perdarahan. Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif
menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Pasca pemberian halotan
sering menyebabkan pasien menggigil.7

ENFLURAN
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer
setelahada kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan berulang.
Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia, karena itu
hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang
beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi.
Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan. Enfluran yang
dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-volatil yang dikeluarkan
lewat urin. Ssisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih dari
anestesia lebih cepat dibanding halotan. Efek depresi napas lebih kuat dibanding
halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, depresi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.7

ISOFLURAN
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapimeninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah
otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemariuntuk anestesi teknik

28
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Dosis
pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.7

DESFLURAN
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan dengananestetik
volatil lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depres napasnya
sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan napas atas, sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesia.

SEVOFLURAN
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik
terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.

TATALAKSANA ANESTESI UMUM INHALASI SUNGKUP MUKA8


Indikasi
- Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh dan berlangsungsingkat
dengan posisi terlentang, tanpa membuka rongga perut.
- Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik I atau II).
- lambung dalam keadaan kosong
Kontraindikasi :
- operasi di daerah kepala dan jalan napas.
- operasi dengan posisi miring atau tertelungkup

29
Tatalaksana :
1. pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman
2. pasang alat pantau yang diperlukan
3. siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4. siapkan mesin anestesi dengan sistem sirkuitnya dan gas anestesi
yangdigunakannya
5. induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang lain
6. berikan salah satu kombinasi obat inhalasi
7. awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas pasien
8. pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas/obat anestesi inhalasi dan berikan
oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit.
Penyulit: sehubungan dengan efek samping obat dan risiko sumbatan jalan napas
atas.
kombinasi obat anestesi inhalasi:
1. N2O + halotan atau
2. N2O + enfluran atau
3. N2O + isofluran atau
4. N2O + sevofluran

2. Anestesi Umum Intravena2,7

Anastesi umum intravena atau total intravenous anesthesia (TIVA) adalah suatu teknik
anestesi umum dimana seluruh obat dimasukan melalui jalur intravena, mulai dari pre-
medikasi, induksi serta rumatan anestesi, tanpa menggunakan zat inhalasi.

Jalur intravena telah digunakan untuk memberikan obat sejak ratusan tahun yang lalu
dan pemberian anestesia hanya melalui jalur intravena yang pertama kali didokumentasikan

30
dimulai sejak tahun 1870. Thiopentone pertama kali dikenal dalam praktek klinik pada tahun
1934 dan menjadikan induksi anestesi melalui intravena menjadi populer. Propofol mulai
dikenal pada tahun 1986 dan saat ini telah mengambil alih peran thiopentone. Proses evolusi
dalam pemahaman farmakokinetik, farmakodinamik, dan continuous drugs administration
obat-obat anestesi telah menjadikan TIVA, sebagai alternatif dari anestesia inhalasi, banyak
digunakan.

Obat-obat yang dapat digunakan untuk TIVA dapat diberikan secara tunggal atau
dalam kombinasi, tergantung pada pasien dan prosedur operasi.

Untuk tahap sedasi dapat digunakan golongan benzodiazepine (midazolam, diazepam,


lorazepam) dan opioid (fentanyl), Tahap hipnotik dapat digunakan propofol, ketamin,
golongan benzodiazepine, dan golongan barbiturates (thiopental, thiamylal, methohexital,
pentobarbital).

Untuk tahap analgesik golongan opioid khususnya fentanyl, alfentanyl, serta petidin
dapat diberikan. Untuk beberapa indikasi, pelemas otot (muscle relaxant) dapat diberikan
atracurium, rocuronium bromide, cisatracurium.

Obat-obatan yang Umum Digunakan2


Midazolam
Midazolam merupakan obat golongan Benzodiazepines yang berinteraksi dengan
reseptor GABA di system saraf pusat. Benzodiazepine berikatan dengan reseptor ϕ
meningkatkan konduktifitas membrane terhadap ion klorida. Ini menyebabkan perubahan
polarisasi membrane sehingga menghambat fungsi normal neuronal. Efek midazolam yang
paling penting adalah efek hypnosis dan sedative, serta efek amnesia.
Waktu paruh distribusi 7 – 15 menit, dan waktu paruh eliminasi 2 – 4 jam. Potensi
yang tinggi dan waktu aksi yang lebih pendek membuat midazolam menjadi pilihan yang baik
untuk digunakan. Midazolam ditransformasikan dan dieksresi melalui urin. Metabolisme
dilakukan di dalam hepar.

31
Dosis premedikasi dewasa 0.05 – 0.10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan
keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0.025-
0.05 mg/kgBB. Pada anak umumnya digunakan oral 0.5 mg/kg, 30 menit sebelum induksi.

Fentanyl
Fentanyl (N-(1-phenethyl-4-piperidyl) adalah salah satu golongan opioid yang sering
digunakan dalam TIVA. Opioid berikatan dengan reseptor khusus yang bertempat di sistem
saraf pusat dan jaringan lain, yaitu : mu µ (µ1 dan µ2), kappa ҡ, delta δ, dan sigma ϭ.
Fentanyl bekerja pada reseptor µ yang memiliki efek klinis pada analgesi supraspinal dan
spinal. Reseptor µ1 memerantai analgesia, euphoria, dan rasa tenang. Reseptor µ2
menyebabkan hipoventilasi, bradikardia, pruritus, penglepasan prolaktin, dan ketergantungan
fisis. Fentanyl secara tunggal ditransformasi di hepar.
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu
hanya dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.

Dosis besar 50-75 ug/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan pemeliharaan
anestesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah
jantung. Untuk dosis maintenance dapat digunakan 2-10 ug/kgBB/jam.

Ketamine
Ketamin adalah derivate penylcyclidine. Ketamin terkenal sebagai obat yang dapat
menimbulkan kataleptik atau anesthesia disosiatif, dimana setelah induksi mata pasien tetap
terbuka dengan tatapan nistagmus yang lambat. Ketamine mempunyai efek depresi
pernapasan yang minimal. Ketamin dimetabolisme di hati oleh enzim P450, lalu mengalami
hidroksilasi dan konjugasi kemudian diekskresikan melalui urin. Ketamine tidak terlalu
menekan refleks, sehingga lakrimasi dan sekresi jalan nafas meningkat. Premedikasi dengan
antikolinergik dapat diberikan untuk menghambat efek tersebut.
Induksi dengan ketamin dilakukan dengan dosis 1- 2 mg/kgBB i.v atau 4-6 mg/kgBB
i.m. Ketamin tidak umum digunakan sebagai dosis maintenance, biasanya dikombinasikan

32
dengan N2O. Namun apabila digunakan sebagai maintenance tunggal, digunakan dosis 30-90
mcg/kg/min.

Propofol
Propofol (2,6-diisopropylphenol) menjadi sangat terkenal digunakan dalam anestesi
intravena. Propofol merupakan obat yang sering digunakan diluar kamar operasi, seperti di
ruang emergency atau radiologi intervesi. Propofol digunakan untuk induksi serta rumatan
pada TIVA dan kombinasi dengan anestesi inhalasi, serta menjadi salah satu pilihan yang
tepat untuk operasi rawat jalan. Propofol memiliki mekanisme kerja yang memfasilitasi
inhibitory neurotransmitter yang dimediasi oleh reseptor ϕ GABAA. Propofol tidak larut
dalam air, dan dilarutkan dalam emulsi 10% minyak kedelai, 2.25% glycerol, dan 1.2% lesitin
telur. Larutan ini membuat sediaan propofol harus menggunakan teknik sterilisasi yang baik
karena merupakan media pertumbuhan yang baik untuk bakteri. Namun untuk sediaan yang
baru, propofol mengandung 0.005% disodium edetade atau 0.025% sodium metabisulfite
untuk mengatasi tingkat pertumbuhan mikroorganisme. Penggunaan juga harus diperhatikan
pada orang dengan alergi telur.
Propofol memiliki waktu paruh distribusi sekitar 2-8 menit dan terdistribusikan
kembali 30-60 menit. Obat ini dengan cepat dimetabolis di hati sepuluh kali lebih cepat
daripada thiopental. Propofol dieksresi di urin. Ekskresi propofol yang cepat dari plasma
membuat efek pemulihan yang cepat dibandingkan dengan barbiturat.

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi
25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi
maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa
dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bias secara suntikan bolus intravena atau secara
kontinu melalui infuse, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada pemberian
pada orang dewasa dibawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih
rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat.

33
3. LARINGEAL MASK AIRWAY
Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya
pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. LMA telah digunakan secara
luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di insersi secara
blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk
laring.
a. Desain dan Fungsi
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk
memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan
memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini
tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan
besar.9
b. Macam-macam LMA
LMA dapat dibagi menjadi 4 :
1. Clasic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA

34
Indikasi :
- Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi.
- Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
- Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri.
Kontraindikasi :
- Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada
emergency adalah pengecualian ).
- Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal
yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada
tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung.
Tekanan11inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk
meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.
- Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu
lama.
- Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat
memicu terjadinya laryngospasme.

4. INTUBASI ENDOTRACHEAL
Definisi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada pertengahan
antara pita suara dan bifurkasio trakea.8

35
Tujuan :
1. Pembebasan jalan napas
2. Pemberian napas buatan dengan bag and mask
3. Pemberian napas buatan secara mekanik (respirator)
4. Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5. Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang dikembangkan)
6. Mencegah distensi lambung.
7. Pemberian oksigen dosis tinggi.

Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat yang perlu
disiapkan yang disingkat dengan STATICS.

1. S= Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Secara
garis besar, dikenal dua macam laringoskop:4
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Gambar 3. Miller Blade & Macintosh Blade3

36
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada
laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

2. T=Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar
polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang
pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah
usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa
seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan
kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor.5 Alasan
lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea
dan postintubation croup.4
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal
tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat
menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada
pasien dengan farktur basis kranii.
Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di
bawah ini.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir


Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm

37
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Tabel 1. Pipa Trakea dan peruntukannya9

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Karakteristik Pipa Endotrakea
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi
dan pengisapan.

Gambar 4. Pipa endotrakea8

38
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas
lateks, dilengkapi dengan 15 mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan
mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang memungkinkan
perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm
untuk memastikan kedalaman pipa.8
Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada
umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat
melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong,
karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Bila intubasi secara
langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan
secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind).
Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan
balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih
baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa trakea.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuff.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil
pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
Size Size
PLAIN CUFFED
2.5 mm 4.5 mm
3.0 mm 5.0 mm
3.5 mm 5.5 mm
4.0 mm 6.0 mm
4.5 mm 6.5 mm
7.0 mm

39
7.5 mm Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari

8.0 mm hendaknya dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada

8.5 mm beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi
bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis
9.0 mm
subglotis.7

3. A=Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan napas yaitu
pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar
lidah tidak menyumbat jalan napas.7

4. T=Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.7

5. I=Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.7

6. C=Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anestesia.7

7. S=Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan lainnya.

40
Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:
1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.

Komplikasi
Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan
teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan napas yang
diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga paru-paru dari aspirasi,
membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.8,9
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal dapat
dibagi menjadi:
Faktor pasien
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena memiliki
laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat
menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung mendapatkan
trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.
4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
Faktor yang berhubungan dengan peralatan
1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan yang
maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan yang terjadi
pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi pemakaian tube
tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya trauma.

41
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan toksik
berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan
tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di bagian
yang tidak tepat.
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika dalam
keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI).

Ekstubasi
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :8,9
- intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- adanya resiko aspirasi
2. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan
catatan tidak terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret dan
cairan lainnya.

Monitoring perianestesi
Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien
gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah
menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau
kekurangan cairan).8,9

42
Terapi Cairan
M (Maintenance)
4 ml/ 10kgbb  4 ml x 10
2 ml/ 10kgbb  2 ml x 10
1 ml/ sisa kgbb  1 ml x sisa kg bb pasien
Total maintenance cairan 113 ml
O (Operasi)
4 x kgbb pasien  operasi kecil
6 x kgbb pasien  operasi sedang
8 x kgbb pasien  operasi besar
P (Puasa)
Lama puasa x M
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama  M+O+½ P
Jam kedua  M+O+¼ P
Jam ketiga  M+O+¼ P
Jam keempat  M+O

43
BAB V
ANALISA KASUS

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak 15 hari SMRS. darah
berwana merah kehitaman, berbongkah dan 1 hari bisa 4-5x ganti pembalut. Perdarahan tidak
keluar terus menerus. Keluhan tidak disertai nyeri perut bagian bawah. Sudah 3 tahun terakhir
ini pasien mengalami siklus haid yang tidak teratur. HPHT pasien adalah 20 januari 2018.
Pasien sudah menikah selama 16 tahun dengan riwayat abortus 1 kali dan persalinan 1 kali.
Pasien juga mengatakan memakai KB suntik sudah selama 4 tahun. Riwayat demam (-),
keputihan (-), trauma (-). Pasien mengatakan nafsu makan seperti biasa, tidak ada perubahan
berat badan yang bermakna.
Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak ditemukan kelainan yang bermakna,
hanya saja ditemukan penyulit berupa obesitas.

Kunjungan Pra Anestesi

Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi, untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan. Pada
kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum, keadaan fisik
dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien secara umum baik.

Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA), pasien Ny. U


merupakan ASA II, yaitu terdapat penyakit sistemik ringan atau sedang.

Pemilihan Jenis Anestesi

Anestesi untuk tindakan pada pasien ini menggunakan general anastesi dengan teknik
anastesi intubasi untuk mencegah aspirasi lambung.

44
Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan, dengan
tujuan melancarkan anastesia. Tujuan Premedikasi sangat beragama, diantaranya :

- Mengurangi kecemasan dan ketakutan


- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ranitidine 50 mg, Ondansentron
4 mg, Ketorolac 30 mg, dexamethasone 10 mg.

Induksi Anestesi

Induksi anestesi diberikan induksi inhalasi Sevoflurance : O2 : NO2= 1 : 2 : 2.


Fentanyl 125 µg , profopol 160 mg, atracorium 30 mg. Pemberian induksi inhalasi terlebih
dahulu dengan mempertimbangkan bahwa penangkapan gas anestesi pada paru orang dewasa
karena proporsi jaringan pembuluh darahnya.

Propofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso-profil fenol, berupa
cairan berwarna putih susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai obat induksi,
mulai kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan kesadaran segera terjadi
setelah pemberian obat ini secara intravena. Propofol bersifat mendepresi respirasi yang
beratnya sesuai dengan dosis yang diberikan. Selain itu, propofol juga mendepresi sistem
kardiovaskuler sehingga terjadi penurunan tekanan darah yang segera dengan kompensasi
peningkatan denyut nadi. Khasiat farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki
efek analgetik maupun relaksasi otot. Oleh karena itu, pada pasien ini diberikan tambahan

45
fentanyl sebagai analgetik. Fentanil merupakan opioid yang poten dan bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanyl bersifat
depresan terhadap saraf pusat , pernapasan, menekan respon sistem hormonal dan metabolik
akibat stress anestesia dan pembedahan, namun tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular.
Dosis fentanyl sebagai analgesia adalah 1-2μg/KgBB. Untuk mencapai trias anestesi yang
ketiga, yaitu relaksasi, digunakan atrocurium 25 mg (dosis 0,5 – 0,6 mg/KgBB) yang
merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Penggunaannya dalam klinik adalah untuk
memfasilitasi intubasi endotrakea, menghilangkan refleks laring dan refleks jalan napas,
memudahkan napas kendali, dan membuat relaksasi lapangan operasi.

Setelah induksi anestesi berhasil di lakukan intubasi oraltrakeal untuk menjaga patensi
jalan napas, mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, dan mencegah aspirasi dan
regurgitasi. Selain itu pada pasien ini intubasi berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit
berupa leher tidak pendek, gigi depan tidak menonjol, tidak ada trauma leher maupun benda
asing di jalan nafas dan pada pasien ini merupakan mallampati grade 1. Pada pasien ini
menggunakan ukuran no. Tube 8 balon.

Monitoring Intraoperatif

Pada pasien dengan anestesi umum, maka perlu dilakukan monitoring tekanan darah serta
nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna.
Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari
100 mmHg karena pemberian propofol dapat mendepresi sistem kardiovaskuler sehingga
terjadi penurunan tekanan darah yang segera dengan kompensasi peningkatan denyut nadi.

Terapi cairan

Pasien mengaku puasa sejak pukul 02.00 wib. Perlu untuk melakukan penggantian
cairan selama puasa, dikarenakan pasien datang ke ruangan operasi tanpa menggunakan jalur
intravena. Tujuan puasa pada pasien yang akan operasi karena reflex laring yang mengalami
penurunan selama operasi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan

46
nafas merupakan resiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi.

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid secara intravena.
Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan. Terapi
cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang
terjadi dan mengganti cairan yang pindah ke ruang ketiga.

Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL 500 ml, RL 500 ml, dan RL
500 ml sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang karena
pasien sudah tidak makan dan minum ± 7 jam. Karena pada pasien ini operasi memakan
waktu 90 menit, maka pemberian 1500 ml kristaloid selama operasi sudah mencukupi
kebutuhan cairan pasien.

Perhitungannya meliputi:

 Cairan maintanance: 2 x 74 = 148 ml/jam


 Jumlah cairan untuk pengganti puasa yaitu: 6 x 148 ml = 888 ml
 Jumlah cairan pengganti selama operasi : 8 ml x 74 kg = 592 ml
 Kebutuhan cairan selama 1 jam pertama operasi : ½ (888) + 148 + 592 = 1184 cc
 Kebutuhan cairan selama 1 jam kedua operasi : ¼ (888) + 148 + 592 = 962 cc
 Jumlah perdarahan selama operasi ± 20 ml
Selama operasi diberikan resusitasi cairan pertama RL 500 ml + RL 500 ml + RL 500
ml. Jumlah cairan yang diberikan sudah dapat menggantikan hilangnya cairan yang terjadi
pada pasien.

47
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Diruang inilah
pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. Pada saat di RR dilakukan
monitoring terhadap kesadaran, dan tanda-tanda vital pasien. pasien dapat keluar dari RR
apabila sudah mencapai skor alderete lebih atau sama dengan 8.

Pada orang dewasa, maka skor yang dipakai adalah alderete score, yaitu :
 Wara
 Merah muda 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
 Pernafasan
 Dapat bernafas dalam dan batuk 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
 Apneu 0
 Sirkulasi
 TD menyimpang < 20% 2
 TD menyimpang 20-50% dari normal 1
 TD menyimpang >50% dari normal 0
 Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi 2
 Bangun namun cepat kembali tidur 1
 Tidak bereaksi 0
 Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
 Tidak bergerak 0
Jika jumlah ≥ 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

48
Pada pasien ini didapatkan skor alderete 10 , sehingga pasien dapat keluar dari RR ke
ruang kelas Zaal kebidanan.

BAB VI
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
laparoskopi pada penderita wanita 36 tahun, status fisik ASA II dengan diagnosis Non
paten tuba bilateral dengan menggunakan teknik general anestesi dengan ETT no.8
respirasi terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat
ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada
hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama
di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun
ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Husnitawati tita, djuwantono tono, hanom husni. Buku Infertilitas dasar. RSHS,
POGI. Bandung: 2012.

2. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd
ed. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta; 2009. Hal : 46-47
3. GE Morgan, MS Mikail. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York.
4. Errawan. Laparoscopyc surgery. Diakses dari
https://www.mediaonline.com/Laparoscopyc surgery.asp (di akses tanggal 24 April
2018).
5. Major Classification of Anesthetic Agents. Diakses dari :
https://images.google.com.hk/blockspina (di akses tanggal 24 April 2018).
6. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal Anaesthesia in
Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and Meta – Analysis.
International Anesthesia Research Society 2006;103;3;682 – 87
7. S.M, Darto. & Thaib, R. Obat Anestetik Intravena. Dalam: Anestesiologi. Muhiman ,
M., Thaib,R. Eds. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta ; 1989. hal :
65-71
8. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 291-311
9. Mansjoer A, Suphrophaita, Wardani WI,Setiowulan W. Ilmu anestesi dalam : Kapita
Selekta Kedokteran Jilid ke-2. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. 2000.

50

Anda mungkin juga menyukai