Panitia Mahasiswa
f. Khairani Alkatiri
1 KHAIRANI ALKATIRI
2 ARIF PRAYOGO
3 MUHAMMAD RACHMAT FADHIL PRIANA
4 RETNADI DHARMASAPUTRA
Jam
06.00
06.30 – 08.00
08.00 – 09.30
09.30 – 12.00
12.00 – 13.00
13.00 – 13.30
13.30 – 14.30
14.30 – 15.00
15.00 – 16.00
16.00 – 17.30
17.30 – 18.30
18.30 – 19.30
19.30 – 21.30
21.30
Jam
07.00
07.00 – 08.00
08.00 – 09.00
09.00 – 11.00
11.00 – 12.00
12.00 – 12.30
12.30 – 13.30
13.30 – 14.30
14.30 – 15.30
15.30 – 16.30
16.30 – 17.30
17.30 – 18.30
18.30 – 19.30
19.30 – 21.30
21.30
Hari 3 (Rabu, 27 Januari 2016)
Jam
07.00
07.00 – 08.00
08.00 – 09.00
09.00 – 10.00
10.00 – 11.00
11.00 – 18.00
18.00
7
Kudus
Demak ZONA REMBANG 5 6
Semarang
Blora
Purwodadi
4 Cepu
Ungaran ZONA R AND UB L ATU NG
3
2
ZONA KENDENG
Salatiga
Sragen Ngawi
Merbabu
Merapi
Surakarta Lawu
ZONA SOLO
Klaten
Madiun
Kampus
UGM 1
Wonogiri
Ponorogo
Bantul
Wonosari
PEGUNUNGAN SELATAN
Pacitan
25 km
Semoga buku panduan ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para
peserta, baik dalam tahap persiapan maupun saat kegiatan, baik saat diskusi
maupun saat pengamatan lapangan.
Salahuddin Husein
Anastasia Dewi Titisari
SAMPUL ................................................................................................................................. i
PANITIAN DAN DOSEN PEMBIMBING EGR ......................................................... ii
PESERTA EGR ..................................................................................................................... iii
JADWAL DAN JALUR EKSKURSI ................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... x
BAB II FISIOGRAFI........................................................................................................ 6
II.1. ZONA PEGUNUNGA
II.2. ZONA SOLO ..............
II.3. ZONA PERBUKITAN
II.4. ZONA DEPRESI RA
II.5. ZONA PERBUKITAN
II.6. ZONA PESISIR UTA
Tujuan umum dari dilaksanakannya EGR 2015/2016 ini adalah agar peserta
EGR dapat mengenal, mengamati, merekam, dan memahami fenomena geologi di
lapangan. Adapun tujuan khusus dari acara EGR ini adalah agar peserta mampu:
1) Melewati enam zona fisiografi, yaitu Zona Pegunungan Selatan, Zona Solo, Zona
Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, dan Zona Pesisir Utara Jawa.
2) Melewati tiga cekungan sedimenter Tersier, yaitu Cekungan Pegunungan
Selatan, Cekungan Kendeng dan Cekungan Rembang (dua cekungan terakhir
seringpula disatukan sebagai Cekungan Jawa Timur Utara).
3) Observasi fisiografi secara umum di sepanjang lintasan ekskursi.
4) Pengamatan singkapan geologi di titik-titik tertentu, mencakup aspek
geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi.
5) Mengaitkan aspek geologi dasar dengan aspek geologi terapan seperti
eksplorasi sumberdaya geologi, hidrogeologi, geologi teknik, geologi lingkungan,
dan geologi pengembangan wilayah.
I.4. PENILAIAN
Penilaian EGR berdasarkan pada dua parameter, yaitu:
a. Tes responsi (bobot 40%), dilaksanakan pada hari Jumat, 29 Januari 2016;
pukul 09:00 - 10:00; mencakup pemahaman dan hasil observasi.
b. Tugas laporan kelompok (bobot 60%), berupa sintesis pengamatan di setiap
STA dan integrasinya dalam mencapai tujuan EGR. Tugas laporan kelompok ini
dikumpulkan pada saat tes responsi (29 Januari 2016), dalam bentuk tulisan
tangan dan sketsa (foto tidak diperbolehkan). Laporan yang baik akan
mencakup:
- Sketsa fisiografi di sepanjang lintasan dan interpretasi model geologi
regionalnya.
- Pengamatan geologi (deskripsi dan sketsa) di titik singkapan, mencakup
morfologi, petrologi, dan struktur geologi. Penambahan kolom stratigrafi
singkapan disertai deskripsinya akan sangat dihargai.
- Deduksi dan interpretasi terhadap aspek sumberdaya geologi serta bencana
geologi di sepanjang lintasan dan di titik pengamatan.
1) Sebelum keberangkatan:
Pastikan penggunaan sepatu lapangan yang aman dan nyaman.
Pastikan topi untuk perlindungan terhadap sinar matahari.
Bawalah persediaan minum yang cukup.
Bawalah obat-obatan pribadi yang sekiranya diperlukan.
Bawalah mantel / jas hujan.
Masukkan semua barang bawaan di dalam tas yang aman, kuat, dan nyaman.
Pisahkan dokumen (peta, buku, dll) dalam tempat tersendiri yang aman.
Berilah identitas pada setiap barang secara jelas.
2) Selama dalam kendaraan:
Letakkan barang bawaan di dalam bagasi atau di bawah tempat duduk
secara rapi.
Ingatkan sopir apabila mengendarai secara serampangan/ugal-ugalan.
Dilarang bersikap/berbicara yang mengakibatkan terganggunya
kenyamanan kru kendaraan dalam menjalankan tugasnya dengan baik.
Dilarang mengeluarkan anggota tubuh dari dalam kendaraan.
Periksalah letak alat pemecah kaca darurat dan gunakan sewaktu diperlukan
(kecelakaan, kebakaran, dll) dengan hati-hati.
Pada kondisi kendaraan tidak stabil (kendaraaan oleng/terbalik)
bersikaplah menunduk dan gunakan kedua tangan untuk berpegangan
secara kuat pada bahu kursi di depan anda.
Dilarang membuang sesuatu apapun keluar kendaraan selama perjalanan.
Pada saat anda merasa akan buang air kecil maupun besar segera
beritahukan kepada kru kendaraan agar dicarikan tempat pemberhentian.
Ingatlah teman yang duduk di depan anda dan pastikan tidak tertinggal
sebelum kendaraan menuju lokasi yang baru, dan segera beritahu panitia
apabila ada yang tertinggal.
3) Selama di lapangan
Apabila mengamati singkapan di pinggir jalan, pastikan posisi aman dari
kendaraan yang melaju, setidaknya 2 meter dari bahu jalan.
Perhatikan kemungkinan jatuhnya tebing di lokasi pengamatan. Cari lokasi
yang terlindung dan tidak licin.
Pada saat mengambil contoh batuan pastikan teman-teman anda pada jarak
yang aman terhadap kemungkinan terkena pecahan batuan atau terlepasnya
palu (setidaknya berjarak 2 meter) dan pada saat menggunakan palu
pastikan tidak ada teman di belakang anda.
Selama di lapangan pastikan minum yang cukup untuk menghindari
dehidrasi.
Apabila menjumpai kasus darurat segera ditangani dan berikan pertolongan
pertama, namun apabila kasus berat segera beitahukan kepada panitia agar
segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
Apabila anda tertinggal oleh rombongan segera hubungi panitia dan
sebutkan lokasi anda secara jelas.
Pastikan tidak ada peralatan yang tertinggal sebelum meninggalkan lokasi
pengamatan.
BAB II
FISIOGRAFI
Ekskursi Geologi Regional 2015/2016 kali ini akan melalui beberapa zona
fisiografi regional yang mengacu pada publikasi Pannekoek (1949) dan Van
Bemmelen (1949). Fisiografi regional yang akan dilalui adalah Zona Solo, Zona
Pegunungan Kendeng, Zona Depresi Randublatung, Zona Pegunungan Rembang,
dan Zona Pesisir Utara Jawa. Setiap zona memiliki karakteristik geomorfologi,
stratigrafi, dan tektonik tersendiri. Penjelasan mengenai tiap-tiap zona tersebut
akan diuraikan pada beberapa sub-bab di bawah ini.
Zona Rembang
Zona Kendeng Zona Randublatung
Zona Solo
5o km
Gambar 2.1. Zonasi fisiografi Pulau Jawa bagian tengah dan timur (pembagian mengikuti
Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949).
G. Lawu Madiun
Klaten
Jiwo Hills
Yogyakarta Igir Plopoh
Wonogiri
Igir Baturagung Ponorogo G. Wilis
Igir Kambengan
S. Oyo Masif
Wonosari
Panggung
Plato Wonosari
Trenggalek
Topografi kars Tulungagung
Gunung Sewu
Pacitan
25 km
Gambar 2.2. Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur. Perhatikan perbedaan derajat kekasaran
permukaan morfologi Pegunungan Selatan antara sebelah barat Pacitan (Gunung
Sewu) dan sebelah timurnya.
Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat oleh van Bemmelen (1949)
dibagi lagi menjadi tiga satuan geomorfologi (Gambar 2.2). Paling selatan yang
tersusun oleh perbukitan karst yang didominasi oleh kerucut karst (conical hills)
dan langsung berbatasan dengan Samudera Hindia disebut sebagai Perbukitan
Sewu. Sedangkan daerah yang berada di sebelah utaranya yang berupa dataran
tinggi (plato) disebut sebagai Dataran Tinggi Wonosari (Plato Wonosari). Daerah
paling utara dari Pegunungan Selatan yang tersusun oleh batuan vulkanik dengan
kelerengan terjal hingga sedang disebut sebagai Igir Baturagung. Bagian utara dari
Igir Baturagung berbatasan dengan Zona Solo. Pegunungan Selatan Jawa Timur
bagian barat merupakan suatu cekungan sedimenter gunungapi berumur Eosen -
Miosen Tengah yang ditutupi oleh berbagai fasies batugamping berumur Miosen
Tengah - Pliosen, yang kemudian mengalami pengangkatan dan penyesaran
bongkah hingga kedudukannya relatif termiringkan ke arah selatan (Husein
& Srijono, 2007).
Zona Solo (sensu latto - secara luas) merupakan suatu depresi (cekungan
antara dua lajur pegunungan) memanjang di bagian tengah (median) Pulau Jawa,
berarah TTg-BBL, terhampar dari Solo hingga Banyuwangi. Zona Solo (sensu latto)
dapat dibagi menjadi tiga subzona (van Bemmelen, 1949), mulai dari paling utara
hingga selatan (Gambar 2.3), yaitu :
G. Kelud
Malang
Wonosari G. Kawi
Trenggalek
Zona Pegunungan Selatan Zona Blitar
Tulungagung Blitar
Pacitan
40 km
Gambar 2.3. Fisiografi Zona Solo, yang terbagi menjadi 3 sub-zona. Perhatikan Zona Blitar hanya
berkembang di bagian selatan G. Kelud.
Saat ini, Zona Solo merupakan cekungan sedimenter aktif dengan sistem
fluvial yang menerima pasokan sedimen dari busur gunungapi, Zona Pegunungan
Selatan, dan Zona Perbukitan Kendeng. Beberapa sungai besar mengalir melalui
Zona Solo dan mengendapkan sedimennya di zona ini, antara lain: Sungai
Bengawan Solo, Sungai Bengawan Madiun (yang kemudian bergabung dengan
Bengawan Solo di Kota Ngawi), dan Sungai Brantas. Di ujung perjalanannya, sungai-
sungai tersebut membentuk delta-delta besar di pesisir Surabaya dan Gresik.
Kendeng Barat
Surabaya
Kendeng Timur
G. Telomoyo Mojokerto
Ngawi Sidoarjo
Sragen
G. Pandan Jombang
G. Merbabu
Nganjuk
G. Merapi Solo G. Lawu Madiun 50 km
Gambar 2.4. Fisiografi Zona Kendeng, yang terbagi menjadi 3 sub-zona, mengikuti van Bemmelen
(1949). Semakin ke arah barat derajat deformasi semakin besar.
Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan
sangat intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi
penyusun Zona Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai
kompaksitas rendah, misalnya pada Formasi Pelang, Formasi Kerek dan Formasi
Kalibeng yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter. Proses
eksogenik yang intensif juga mampu membalik topografi struktural yang ada
(inversed topography), misalkan bukit antiklin menjadi lembah antiklin dan lembah
sinklin menjadi bukit sinklin.
Karena proses pengangkatan tektonik yang terus berjalan mulai dari akhir
zaman Tersier hingga sekarang (Husein dkk., 2008a), banyak dijumpai teras-teras
sungai di Zona Kendeng yang menunjukkan adanya perubahan temporary base
level. Sungai utama yang mengalir melalui Zona Kendeng adalah Bengawan Solo
yang sebelumnya mengaliri Subzona Ngawi dengan arah aliran barat - timur. Di
Kota Ngawi Bengawan Solo berbelok ke utara, memotong sabuk antiklinorium
Kendeng yang lebarnya 15 km seraya tetap mempertahankan arah alirannya.
Fenomena bertahannya Bengawan Solo terhadap proses pengangkatan tektonik
Kendeng menyebabkannya dapat dikelompokkan sebagai sungai anteseden.
Hubungan antara Zona Kendeng dengan Zona Solo pun menarik untuk
diperhatikan lebih lanjut. Ciri khas fisiografi Jawa Timur adalah berkembangnya
dataran aluvium berarah relatif timur-barat diantara tubuh busur gunungapi
modern dengan Perbukitan Kendeng, yang dikenal sebagai Zona Ngawi. Pola
fisiografi demikian hanya berkembang hingga bagian utara G. Lawu (Gambar 2.4).
Ke arah barat dimana deretan G. Merapi – G. Ungaran memanjang berarah
baratlaut-tenggara pola ini tidak terlihat, dimana perbukitan lipatan Kendeng
muncul di kaki timur mereka tanpa adanya gap dataran aluvium. Berdasarkan
perbedaan fisiografis tersebut, diusulkan agar delineasi batas barat Zona Kendeng
ditarik berdasarkan pelamparan Zona Ngawi, yaitu pada lembah Gemolong –
Purwodadi yang merupakan bagian dari cekungan DAS Serang. Ke arah barat dari
lembah tersebut, zona perbukitan lipatan dan sesar anjak yang berkembang di kaki
G. Merapi – G. Ungaran dapat dianggap sebagai bagian dari Zona Serayu Utara.
50 km
Gambar 2.5. Fisiografi Zona Randublatung dan Zona Rembang. Bagian timur Zona Randublatung
ditandai munculnya beberapa perbukitan antiklin terisolasi.
Zona Pesisir Utara di bagian barat Jawa Timur memiliki karakter fisiografi
yang unik, ditandai dengan kehadiran gunungapi Muria dan Lasem, yang diduga
merupakan gunungapi belakang busur (back-arc volcanism). Dataran pesisir ini
dibentuk terutama oleh sedimentasi Sungai Serang dan Sungai Tuntang (Gambar
2.6). Sungai Serang mengerosi perbukitan Zona Kendeng hingga menjulur jauh
hulunya ke lereng timur G. Merbabu. Sungai Serang juga menerima pasokan
sedimen dari Sungai Lusi - keduanya bertemu di sebelah barat Purwodadi - yang
selain mengerosi Perbukitan Kendeng turut pula membiku Perbukitan Rembang.
Sungai Tuntang memiliki luasan cekungan pengaliran yang lebih kecil dibandingkan
Serang, ianya menggerus bebatuan Perbukitan Kendeng bagian barat dan berhulu
di Rawa Pening, sebuah genangan alamiah yang mengumpulkan air dari G.
Telomoyo.
Kedua sungai tersebut tercatat menutup selat laut yang besar, yang dikenal
sebagai Selat Muria. Selat Muria ini memisahkan Pulau Muria, sebagai sebuah pulau
gunungapi, dengan daratan utama Jawa. Berdasarkan dugaan atas catatan sejarah
(Soekmono, 1967), garis pantai pesisir utara Jawa Tengah dahulu pada abad ke-8
masih menjorok ke arah Purwodadi, dimana pusat Kerajaan Medang Kamulan
berada. Selanjutnya pada abad ke-16 di era keemasan Kesultanan Demak, garis
pantai diduga telah bergeser ke kota Demak saat ini (Gambar 2.7). Sehingga,
pergerakan majunya garis pantai sejauh 30 km terjadi dalam kurun waktu sekitar
800 tahun, dengan kecepatan sedimentasi rerata 40 m/tahun. Hingga saat ini
muara kedua sungai tersebut masih aktif dalam sedimentasi yang mendorong maju
garis pesisir antara Jepara dan Semarang, dicirikan tipe morfologi delta bird's foot.
Di sisi lain, jejak Selat Muria yang mendangkal dan berubah menjadi daratan aluvial
tersebut juga membentuk aliran Sungai Juwana, yang mengalir ke arah timurlaut
melintasi Pati dan membentuk delta tipe cuspate di sebelah barat Rembang.
G. Genuk
G. Muria
20 km
Jepara
G. Lasem
Rembang
Pati
G. Patiayam
Kudus
Demak
ZONA REMBANG
Semarang
S. Lusi
Gambar 2.6. Fisiografi Zona Pesisir Utara Jawa Timur bagian barat, ditandai dengan kehadiran
dua gunungapi belakang busur, G. Muria dan G. Lasem.
Gambar 2.7. Perubahan
morfologi pesisir utara Jawa
Timur bagian barat, akibat laju
sedimentasi Delta Serang dan
Delta Tuntang.
BAB III
STRATIGRAFI
Pada bagian ini akan dibahas mengenai stratigrafi dari masing-masing zona
fisiografi, yaitu Pegunungan Selatan, Kendeng, dan Rembang (Gambar 3.1). Adapun
Zona Solo dan Zona Randublatung sebagai zona depresi umumnya mengacu pada
zona perbukitan atau pegunungan di dekatnya. Stratigrafi Zona Solo umumnya
didekati dari stratigrafi Zona Kendeng. Stratigrafi Zona Randublatung didekati dari
stratigrafi Zona Rembang.
1) Batuan malihan
Batuan tertua yang tersingkap di daerah ini ad alah batu an malih
an yang diduga berumur Kapur-Paleosen Awal. Satuan ini ter diri dari
filit, sekis mika, sekis calc-silicate, dan pualam. Di bagian barat Perbukitan
Jiwo dijumpai singkapan sekis epidote-glaucophane berdekatan dengan
serpentinit. Beberapa batuan karbonat terubah menjadi batuan metamorfik
kontak berupa garnet-wollastonite skarn disebabkan adanya intrusi diabas.
2) Formasi Wungkal-Gamping
Di atas batuan malihan diendapkan secara tidak selaras Formasi
Wungkal - Gamping yang tersusun Anggota Wungkal dan Anggot a
Gamping. Anggota Wungkal tersusun oleh konglomerat kuarsa, breksi
polimik, batupasir kuarsa, batupasir karbonatan, batulanau karbonatan
dan sisipan batugamping nummulites berumur Eosen Awal-Tengah. Di
bagian atas diendapkan secara menjari Anggota Gamping berupa sandy
Numulitic limestone dengan Nummulitic rudstone – floatstone pada bagian
bawah, kemudian pada bagian atas tersusun oleh perselingan micritic
sandstone dengan quartz arenite dan Nummulitic rudstone–floatstone. Asosiasi
foraminifera besar tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah – Eosen Akhir.
Lingkungan pengendapan anggota ini berada pada daerah fore reef hingga fore
slope pada paparan karbonat.
3) Formasi Kebo-Butak
Formasi Wungkal – Gamping berubah secara gradasio nal menjadi
Formasi Kebo-Butak. Bagian bawah Formasi Kebo-Butak terdiri dari
perselingan batupasir dengan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau,
batulempung, tuf dan serpih (Surono, 2008). Bagian tengah formasi ini
terdiri dari batupasir kerikilan. Sedangkan bagian atasnya terdiri dari
perselingan breksi polimik dengan batupasir, batupasir kerikilan,
batulempung, dan batulanau / serpih. Breksi polimik memiliki ukuran fragmen
dari kerikil – bongkah, berupa andesit, basal, batuan sedimen karbonan dan
kuarsa serta beberapa fragmen yang telah mengalami alterasi berubah menjadi
klorit berwarna hijau. Lava basalt berstruktul bantal dijumpai menyisip di
beberapa tempat pada bagian bawah formasi ini (Husein & Sari, 2011).
Selain itu dijumpai intrusi batuan beku berupa diorit, dolerit, andesit
porfir dan basalt di daerah Perbukitan Jiwo yang bertarikh Oligosen Akhir
(Surono drr, 2006).
4) Formasi Semilir
Selaras (setempat menjari) di atas For masi Kebo-Butak terendapkan
Formasi Semilir yang berumur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Form asi in
i terdiri d ar i lapili tuf, batupasir tufan, breksi autoklastik dan breksi
polimik semakin keatas muncul perlapisan batupasir tufan karbonatan .
Pada bagian bawah Formasi Semilir juga dijumpai sisipan lava andesit
yang tersingkap di sekitar Wukirharjo, Prambanan. Pada j alur Kali
Ngalang Formasi Semilir secara selaras berubah menjadi Anggota
Buyutan yang berumu r Miosen Awal (Novian drr., 2012). Bagian
bawah Anggota Buyutan tersusun atas perselingan batupasir tufan
dengan batulanau dan batubara serta dibeberapa bagian disisipi oleh breksi
vulkanik. Pada bagian atas Anggota Buyutan terdiri dari perselingan batupasir
tufan dengan konglomerat serta terdapat sisipan batulanau yang kaya akan
karbon. Beberapa peneliti menunjukkan umur dan stratigrafi yang berbeda
dari Formasi Semilir (Surono,
2008). Foraminifera pada bagian tengah menunjukkan umur Oligosen Akhir –
Miosen Awal (Rahardjo dkk., 1995) Miosen Awal hingga Miosen Tengah
(Sumarso dan Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1989; Samodra dkk., 1992).
Smyth (2005) dengan menggunakan metode U-Pb mendapatkan umur 20 juta
tahun yang lalu atau sekitar Miosen Awal. Lingkungan pengendapan formasi ini
adalah lingkungan darat – laut.
5) Formasi Nglanggran
Di bagian barat Kali Ngalang Formasi Semilir tertindih sela ras oleh
Formasi Nglanggran. Di beberapa tempat Formasi Semilir dan Nglanggran in i
berhubungan menjari. Formasi Nglanggran terdiri dari konglomerat polimik,
batupasir kerikilan, batupasir tufan, breksi andesit dengan sisipan tuf dan lava
andesit basalt. Dijumpai juga intrusi mikrodiorit/andesit yang memotong
Formasi Nglanggeran pada daerah Wediombo. Umur Formasi Nglanggran
dan intrusi mikrodiorit/ andesit ad alah Miosen Aw al.
6) Formasi Sambipitu
Selaras menindih di atas Formasi Nglanggran diendapkan Formasi
Sambipitu. Formasi Sambipitu tersusun atas perselingan batupasir karbonatan
dengan batulanau, dan perulangan batupasir karbonatan pada bagian atas yang
berumur. Di daerah Ngalang Formasi Sambi pitu tersusun oleh micritic
tuff dengan tuffaceous mudrocks serta pada beberapa bagian terdapat sisipan
allochemic conglomerate, muddy allochemic limestone, rudstone dan tuff.
Kemudian semakin ke atas keberadaan sisipan batugamping semakin banyak.
Formasi ini berumur tengah Miosen Awal – awal Miosen Tengah.
7) Formasi Oyo
Di atas formasi ini secara menjari diendapkan Formasi Oyo berumur
Miosen Tengah yang terdiri dari perselingan muddy allochem limestone dengan
sisipan tuffaceous sandstone pada bagian bawah. Kemudian pada bagian atas
dijumpai perselingan foraminiferal lime packstone, algal foraminiferal lime
packstone, dan foraminiferal lime wackestone. Berdasarkan data biofacies
menurut Hidayat (2005), paleobatimetri formasi ini pada bathyal atas – bawah.
8) Formasi Wonosari
Bagian atas Formasi Oyo menjari dengan Formasi Wonosari. Formasi
Wonosari terdiri dari perselingan batugamping dengan batugamping pasiran,
batugamping berlapis, batugamping dengan sisipan batupasir karbonatan,
perselingan batugamping dengan batupasir karbonatan, serta batugamping
silangsiur yang berumur Miosen Tengah awal Pliosen.
Di Perbukitan Jiwo, Formasi Wonosari tersusun atas perselingan
packstone-wackestone dengan napal pada bagian bawah ke arah atas berubah
menjadi perselingan packstone dengan sisipan rudstone dan tuf dengan umur
Miosen Tengah – Akhir. Berdasarkan data foraminifera besar tersebut maka
umur formasi ini berkisar antara Akhir Miosen Bawah hingga Awal Miosen
Tengah (Fadhilestari, 2011). Kemudian lingkungan pengendapan Formasi ini
berada pada reef platform margin antara back reef hingga reef front.
9) Formasi Kepek
Bagian atas Formasi Wonosari menjemari dengan Formasi Kepek.
Formasi Kepek pada bagian bawah tersusun oleh perselingan tuf dengan
batulempung dengan tebal 1,5 m kemudian batupasir tufan dengan ketebalan
sekitar 1 m, ke atas diendapkan perulangan bindstone yang berseling dengan
bafflestone serta framestone dengan tebal 15 – 20 m, kemudian di bagian
tengah formasi ini tersusun oleh perselingan wackestone dengan floatstone
yang secara perlahan berubah menjadi perselingan packstone dengan
rudstone pada bagian atas, setempat ditemukan sisipan sandy micrite dan
muddy micrite kemudian bagian paling atas dari formasi ini tersusun oleh
perselingan packstone dan grainstone. Fosil foraminifera kecil yang terdapat
dalam formasi ini adalah Orbulina unuversa, sedangkan foraminifera
besarnya antara lain Lepidocyclina, Operculina, dan Amphistegina ,
berdasarkan keberadaan fosil tersebut umur formasi ini berkisar antara N9 –
N17. Kemudian foraminifera bentonik yang terkandung dalam formasi ini
antara lain Bulimina striata dan Sphaerodinella bulloides yang menunjukkan
paleobatimetri batial tengah.
1) Formasi Pelang
Formasi ini dianggap sebagai formasi tertua yang tersingkap di
Mandala Kendeng. Formasi ini tersingkap di Desa Pelang, Selatan Juwangi.
Tidak jelas keberadaan bagian atas maupun bawah dari formasi ini karena
singkapannya pada daerah upthrust, berbatasan langsung dengan formasi
Kerek yang lebih muda. Dari bagian yang tersingkap tebal terukurnya berkisar
antara 85 meter hingga 125 meter. Litologi utama penyusunnya adalah
napal, napal lempungan dengan lensa kalkarenit bioklastik yang banyak
mengandung fosil foraminifera besar.
2) Formasi Kerek
Formasi Kerek memiliki kekhasan dalam litologinya berupa
perulangan perselang-selingan batulempung, napal, batupasir tuf gampingan
dan batupasir tufan. Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas
yaitu perlapisan bersusun (graded bedding). Lokasi tipenya berada di Desa
Kerek, tepi sungai Bengawan Solo, ± 8 km ke utara Ngawi. Di daerah sekitar
lokasi tipe formasi ini terbagi menjadi tiga anggota, dari tua ke muda
masing-masing:
a. Anggota Banyuurip
Anggota Banyuurip tersusun oleh perselingan antara napal
lempungan, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan
dengan total ketebalan 270 meter. Di bagian tengahnya dijumpai sisipan
batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atasnya
ditandai dengan adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter
dengan sisipan tuf halus. Anggota ini berumur N10 – N15 (Miosen tengah
bagian atas).
b. Anggota Sentul
Anggota Sentul tersusun atas perulangan yang hampir sama dengan
anggota Banyuurip, tetapi lapisan yang bertuf menjadi lebih tebal.
Ketebalan anggota Sentul mencapai 500 meter. Anggota Sentul berumur
N16 (Miosen atas bagian bawah).
c. Anggota Batugamping Kerek
Merupakan anggota teratas dari formasi Kerek, tersusun oleh
perselingan antara batugamping tufaan dengan perlapisan lempung dan
tuf. Ketebalan anggota ini mencapai 150 meter. Umur batugamping kerek
ini adalah N17 (Miosen atas bagian tengah).
3) Formasi Banyak
Formasi Banyak hanya dijumpai di Zona Kendeng bagian barat, paling
tebal di sekitar Ungaran. Formasi ini terdiri dari perselingan antara tuf,
batupasir tuf, breksi tuf gampingan, breksi volkanik, dan napal tufan yang kaya
akan globigerina, sedangkan komposisi batuan volkaniknya adalah andesitan
(van Bemmelen, 1949). Struktur sedimen berupa lapisan bersusun (graded
bedding) dan laminasi paralel, yang menunjukkan adanya arus turbid.
Hubungannya dengan Formasi Kerek di bawahnya adalah selaras, dan
berhubungan melidah atau menyilang jari dengan Formasi Kalibeng. Sering
pula dikenal sebagai anggota dalam Formasi Kalibeng (de Genevraye & Samuel,
1972). Van Bemmelen (1949) menetapkan umur Miosen Atas untuk Formasi
Banyak berdasarkan keterdapatan Lepidocyclina. Pringgoprawiro memberikan
umur N17-N18 (Miosen Atas) berdasarkan kandungan foraminifera plankton,
dengan lingkungan sedimentasi neritik luar.
4) Formasi Kalibeng
Formasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian bawah dan bagian
atas.
a. Formasi Kalibeng bagian bawah
Bagian bawah formasi Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal
600 meter, berwarna putih kekuning-kuningan sampai abu-abu kebiru-
biruan, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Ke arah timur di
sekitar Gunung Pandan, bagian atas formasi ini berkembang sebagai
endapan vulkanik laut yang menunjukkan struktur turbidit, disebut sebagai
Anggota Atasangin.
b. Formasi Kalibeng bagian atas
Bagian atas dari formasi ini kadang disebut pula sebagai Formasi Sonde,
berumur Pliosen (N19 – N21), yang tersusun mula-mula oleh Anggota
Klitik yaitu kalkarenit putih kekuning-kuningan, lunak, mengandung
foraminifera plangtonik maupun besar, moluska, koral, algae dan bersifat
napalan atau pasiran dengan berlapis baik. Bagian paling atas tersusun atas
breksi dengan fragmen gamping berukuran kerikil dan semen karbonat.
Kemudian disusul endapan napal pasiran, semakin keatas napalnya bersifat
semakin bersifat lempungan. Bagian teratas ditempati oleh lempung
berwarna hijau kebiru-biruan. Formasi Sonde ini ditemukan sepanjang
sayap lipatan bagian selatan antiklinorium Kendeng dengan ketebalan
berkisar 27 – 589 meter dan
5) Formasi Pucangan
Formasi Pucangan ini mempunyai penyebaran yang cukup luas. Di
daerah Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik
dan fasies lempung hitam. Fasies vulkaniknya berkembang sebagai endapan
lahar yang menumpang diatas Formasi Kalibeng. Fasies lempung hitamnya
berkembang dari fasies laut, air payau hingga air tawar. Di bagian bawah dari
lempung hitam ini sering dijumpai adanya fosil diatomae dengan sisipan
lapisan tipis yang mengandung foraminifera bentonik penciri laut dangkal.
Semakin ke atas akan menunjukkan kondisi pengendapan air tawar yang
dicirikan dengan adanya fosil moluska penciri air tawar.
6) Formasi Kabuh
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Kabuh, Kec. Kabuh, Jombang.
Formasi ini tersusun oleh batupasir dengan material non vulkanik antara lain
kuarsa, berstruktur silang siur dengan sisipan konglomerat, mengandung
moluska air tawar dan fosil-fosil vertebrata. Di daerah Kendeng barat formasi
ini tersingkap di kubah Sangiran sebagai batupasir silang siur dengan sisipan
konglomerat dan tuf setebal 100 meter. Batuan ini diendapkan fluvial dimana
terdapat struktur silang siur, maupun merupakan endapan danau karena
terdapat moluska air tawar seperti yang dijumpai di Trinil.
7) Formasi Notopuro
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Notopuro, timurlaut Saradan,
Madiun yang saat ini telah dijadikan waduk. Formasi ini terdiri atas batuan tuf
berselingan dengan batupasir tufaan, breksi lahar dan konglomerat vulkanik.
Makin keatas sisipan batupasir tufaan semakin banyak. Sisipan atau lensa-lensa
breksi volkanik dengan fragmen kerakal terdiri dari andesit dan batuapung
juga ditemukan yang merupakan cirri formasi Notopuro. Formasi ini
terendapkan secara selaras diatas formasi Kabuh, tersebar sepanjang
Pegunungan Kendeng dengan ketebalan lebih dari 240 meter. Umur dari
formasi ini adalah Plistosen Akhir dan merupakan endapan lahar di daratan.
1) Formasi Kujung
Formasi Kujung merupakan satuan stratigrafi tertua yang tersingkap,
terutama tersusun oleh batulempung dengan sisipan batugamping dan
batupasir, terutama di bagian bawah. Batugamping di bagian bawah ini sering
disebut sebagai Batugamping Kranji. Formasi ini diendapkan lingkungan
paparan tengah hingga paparan luar.
2) Formasi Prupuh
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Prupuh, Kecamatan Paciran,
dengan stratotipe berupa batugamping bioklastik berlapis tebal, keras, kaya
akan fosil Orbitoid, yang berlapis dengan batugamping kapuran berwarna
putih kotor. Pada bagian bawah formasi ini ditemukan Globigerina ciperoensis,
Globigerina tripartita, Globorotalia kugleri, dan Globigerinita dissimilis,
sedangkan pada bagian atasnya muncul Globigerinoides immatures. Umur
Formasi Prupuh adalah N3-N5 (Oligosen Atas hingga Miosen Bawah). Pada
batugamping bioklastika dijumpai Spiroclypeus orbitoides, Lepidocyclina
verrucosa, dan Lepidocyclina sumatrensis. Lingkungan sedimentasinya adalah
neritik luar pada laut terbuka, dengan indikasi adanya gerakan massa gravitasi
lereng dasar laut. Formasi ini selaras terhadap Formasi Kujung di bawahnya,
juga terhadap Formasi Tuban yang ada di atasnya.
3) Formasi Tuban
Formasi Tuban terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat
monoton dengan beberapa sisipan batugamping. Formasi ini ini secara umum
tersusun oleh klastika karbonat dalam bentuk packstone-wackestone, yang
mengandung fosil foraminifera besar disertai dengan fragmen koral dan algae.
Kandungan fosil Globigerinoides primordius, Globortalia peripheronda,
Globigerinoides sicanus yang menunjukkan bahwa umur Miosen Awal dan
lingkungan laut dalam.
4) Formasi Tawun
Secara umum Formasi ini tersusun oleh perselingan antara
batulempung pasiran dengan batupasir dan batugamping yang kaya akan
foraminifera golongan orbitoid (Lepidocyclina, Cycloclypeus). Batulempung
pasiran berwarna abu-abu hingga abu-abu kecoklatan, semakin ke atas
cenderung berubah menjadi batulanau dengan konkresi oksida besi.
Batupasirnya biasanya cukup keras berwarna kemerahan, sebagian bersifat
gampingan dan sebagian tidak. Batugampingnya berwarna coklat muda hingga
abu-abu muda, berbutir halus sampai sedang. Penyusun utamanya adalah fosil
foraminifera besar dengan sedikit pencampur batupasir kuarsa. Ketebalan
batugamping ini mencapai 30 m. Formasi Tawun diendapkan pada Awal
hingga Miosen Tengah, pada lingkungan lingkungan paparan yang agak dalam
(outer shelf) dari suatu laut terbuka.
5) Formasi Ngrayong
Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada Formasi
Tawun. Bagian bawah yang tersusun oleh batugamping Orbitoid (Cycloclypeus)
dan batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir dengan
sisipan batugamping orbitoid.
Diantara perlapisan batulempung dijumpai struktur sedimen yang khas
yaitu gelembur (ripple mark) dan keping-keping gipsum. Batupasirnya
berwarna merah kekuningan, sering menunjukkan struktur soft sediment
deformation, disertai fosil jejak berupa lubang vertikal (memotong perlapisan)
dari kelompok Ophiomorpha. Dari kenampakan tersebut dapat ditafsirkan
bahwa bagian bawah dari satuan ini pada awalnya diendapkan pada dataran
pasang-surut (intertidal area) yang kemudian mengalami transgresi menjadi
gosong lepas pantai (offshore bar) atau shoreface yang tercirikan oleh
batupasir merah, yang selanjutnya semakin mendalam menjadi lingkungan
paparan tengah hingga paparan luar (middle to outer shelf) yang menghasilkan
batugamping yang kaya akan Cycloclypeus. Kenampakan stratigrafi tersebut
dapat dilihat di daerah Polaman. Batupasir Ngrayong merupakan reservoir
utama pada lapangan-lapangan minyak di daerah sekitar Cepu. Ketebalan rata-
rata mencapai 300 m tetapi menipis ke arah selatan dan juga ke arah timur,
karena terjadi perubahan fasies menjadi batulempung.
6) Formasi Bulu
Formasi Bulu terletak di atas batupasir Ngrayong, mempunyai
penyebaran yang luas di Antiklinorium Rembang Utara. Formasi ini tersusun
oleh kalkarenit berlempeng (platty sandstones) dengan sisipan napal pasiran.
Di beberapa tempat dijumpai kumpulan Cycloclypeus (Katacycloclypeus)
annulatus yang sangat melimpah. Kalkarenitnya tersusun oleh litoklas
karbonat, foraminifera kecil maupun besar, serta butir-butir kuarsa, feldspar
dan glaukonit. Ke arah barat, formasi ini menjadi semakin tebal. Di bagian
timur ketebalan hanya 80 m tetapi ke arah barat ketebalannya mencapai 300
m. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah pada lingkungan laut
dangkal yang berhubungan dengan laut terbuka.
7) Formasi Wonocolo
Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis.
Bagian bawahnya tersusun oleh batugamping pasiran dan batupasir
gampingan, yang secara umum menunjukkan gejala pengendapan transgresif.
Total ketebalan dari f ormasi ini lebih kurang 500 m,
menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan. Pengendapannya
terjadi pada Miosen Tengah – Atas, pada lingkungan paparan luar.
8) Formasi Ledok
Formasi Ledok mempunyai lokasi tipe di kawasan antiklin Ledok, 10
km di utara kota Cepu. Penyusun utamanya terdiri atas perselang-selingan
antara batupasir glaukonitik dengan kalkarenit yang berlempeng-lempeng,
dengan beberapa sisipan napal. Batupasirnya berwarna kehijauan hingga
kecoklatan, berbutir halus hingga sedang, dengan komposisi mineral kuarsa,
fragmen kalsit serta glaukonit yang secara keseluruhan terpilah sedang.
Ketebalan setiap perlapisan berkisar antara 10 hingga 60 cm. Bagian bawah
berbutir lebih halus dari bagian atas. Ketebalan Formasi Ledok secara
keseluruhan mencapai 230 m di lokasi tipenya. Ke arah utara, Formasi ini
berangsur-angsur berubah menjadi Formasi Paciran.
9) Formasi Mundu
Formasi Mundu memiliki ciri litologi yang khas, tersusun oleh napal
masif berwarna abu-abu muda hingga putih kekuning-kuningan, dengan
kandungan foraminifera plangtonik yang sangat melimpah. Disamping itu juga
didapatkan kandungan glaukonit tetapi hanya dalam jumlah sedikit. Di
beberapa tempat, bagian atas dari formasi ini secara berangsur berubah
menjadi batugamping pasiran. Ketebalan dari formasi ini cenderung
bertambah ke arah selatan hingga mencapai 700 m. Formasi Mundu terbentuk
sebagai hasil pengendapan laut dalam yang terjadi pada zona N17 – N20
(Miosen Akhir – Pleiosen).
10)Formasi Selorejo
Satuan ini tersusun oleh perselang-selingan antara foraminiferal
grainstone / packstone yang sebagian bersifat glaukonitan dengan batugamping
napalan hingga batugamping pasiran, dengan lokasi tipe di desa Selorejo dekat
Cepu. Ketebalan satuan ini mencapai 100 m. Selorejo kadang dianggap sebagai
anggota dari Formasi Mundu, dan merupakan reservoir gas yang terdapat
tepat di bawah kota Cepu (Balun reservoir). Lingkungan sedimentasi diduga
terjadi di laut dalam, dimana mekanisme arus turbid dengan penampian oleh
arus dasar (bottom current) yang membuat pemilahan test foraminiferanya
teronggok dengan tanpa matriks dalam bentuk grainstone dan packestones,
dengan porositas bisa mencapai 50%, baik dalam bentuk vugs, inter maupun
intra particles.
11)Formasi Lidah
Formasi ini tersusun oleh batulempung yang berwarna kebiruan dan
napal berlapis yang diselingi oleh batupasir dan lensa-lensa fossiliferous
grainstone/rudstone (coquina). Pada bagian bawah masih merupakan endapan
laut, tercirikan akan kandungan Pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. yang
melimpah. Kumpulan fosil ini mencirikan pengendapan di dasar laut pada
paparan tengah hingga luar. Di atas satuan ini batuannya menunjukkan
produk pengendapan dari lingkungan yang semakin mendangkal. Akhirnya
bagian teratas berupa lempung hasil pengendapan air tawar.
Zona Solo saat ini merupakan cekungan sedimentasi aktif, dimana hampir
seluruh permukaannya tertutup oleh endapan aluvium, sehingga sulit untuk
mencari jejak struktur geologi di permukaanya. Meski demikian, kelurusan
kemunculan busur gunungapi modern di zona ini, yang berarah relatif ESE
-WNW mengindikasikan adanya patahan besar dengan arah serupa yang memotong
kerak (deep-seated faults) sebagai jalur naiknya magma ke permukaan. Gunungapi-
gunungapi tersebut juga berkembang pada kompleksnya dengan arah yang relatif
tegaklurus pada ESE-WNW deep-seated faults, misal kompleks G. Lawu, G. Kawi-
G.Arjuna, G.Semeru-G.Bromo. Kondisi ini mengindikasikan keberadaan retakan
tegak-lurus sesar utama, yang biasa lazim terjadi pada kondisi tektonik
ekstensional.
IV.3. PERBUKITAN KENDENG
Gambar 4.3. Tektonik Kendeng di sekitar G. Pandan, menunjukkan pengaruh magma pada proses
perlipatan Kendeng.
Gambar 4.4. Singkapan Formasi Dander di lembah Sungai Tidu, Bojonegoro, dan implikasi tektonis
dan stratigrafisnya.
Menarik pula mencermati kehadiran Kendeng Molasse di Perbukitan Dander
yang menunjukkan sumber (provenance) dari Formasi Pucangan di Zona Kendeng
atau bahkan dari terobosan Gunungapi Pandan di selatannya. Hal ini memberikan
informasi tambahan, bahwa stratigrafi Randublatung tidak hanya dibangun oleh
Zona Rembang, namun juga mendapat pengaruh dari Zona Kendeng, setidaknya
saat Kendeng mulai terangkat semenjak pertengahan Pliosen. Tidak menutup
kemungkinan bila pengaruh serupa juga telah dialami oleh Randublatung semenjak
dahulu.
Wonocolo
N
Tawun
Ngrayong Wonocolo
Leg enda:
Ledok : batas sebaran unit formasi
: sumbu antiklin
: sesar geser sinistral
1,5 km
Gambar 4.5. Peta struktur geologi, orientasi sumbu Antiklin Braholo mengalami pelengkungan
(bending) yang diakomodir oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya.
Husein dkk. (2015) melakukan 745 pengukuran pada struktur rapuh (brittle)
pada Antiklin Braholo, mencakup struktur kekar dan patahan. Populasi data
tersebut kemudian dipisahkan secara iterasi dan dikelompokkan menjadi dua,
kelompok pertama memberikan hasil gaya tektonik transtensional dengan
kompresi dari arah NW-SE dan regangan ke arah NE-SW, sedangkan kelompok
kedua memberikan hasil gaya tektonik ekstensional dengan regangan ke arah NW-
SE (Gambar 4.6). Dengan dipandu oleh adanya data perpotongan dua striasi pada
satu bidang sesar, didapatkan bila gaya kompresi NW-SE bekerja terlebih dahulu
dan gaya regangan NW-SE terjadi setelahnya. Melihat hubungan spasial kedua gaya
tersebut, diinterpretasikan bila gaya kompresi NW-SE merupakan gaya pembentuk
lipatan Braholo, sedangkan gaya regangan NW-SE merupakan gaya rilis pasca
kompresi.
(a) (b) (c)
Gambar 4.6. (a) Hasil analisis paleostress fase tektonik pertama, dengan jumlah data 310
pengukuran. (b) Analisis paleostress fase tektonik kedua, dengan jumlah data 435
data. (c) Reaktifasi sesar di puncak Antiklin Braholo, terekam sebagai superimposed
slickenlines pada grainstone Tawun. Kedudukan bidang sesar adalah N320oE/74.
Pergeseran pertama diindikasikan oleh striasi berwarna hijau dengan rake 33oNW,
berupa patahan normal sinistral yang dipicu oleh gaya kompresi tektonis berarah
WNW-ESE. Pergeseran kedua diindikasikan oleh striasi berwarna merah dengan rake
59oSE, merupakan patahan normal dekstral yang disebabkan oleh gaya regangan
berarah NW-SE.
Lipatan konikal yang berkembang akibat sesar geser pada batuan dasar
umumnya tidak memiliki orientasi sumbu yang tegaklurus terhadap gaya tektonik
σ1 regional, karena kecenderungan lipatan konikal untuk mengorientasikan
sumbunya sejajar dengan patahan (Cramez & Letouzey, 2001). Akibatnya gaya
tektonik σ1 lokal akan mengalami modifikasi arah, berupaya tegak lurus terhadap
sesar basement. Kondisi ini terekam di Antiklin Braholo, dimana gaya kompresi
pembentuk lipatan yang berarah NW-SE memiliki orientasi relatif tegak lurus
terhadap sesar basement (Gambar 4.7).
s3
Jepara Rembang s1
Pati
Basement faults (?)
Tuban
Demak Blora
s1
Purwodadi
Lamongan
Gresik
s3
Randublatung Cepu Bojonegoro
Surabaya
Gambar 4.7. [kiri] Distribusi lipatan di Zona Rembang (garis berwarna merah) dan hubungannya
dengan patahan basement. [kanan] Model orientasi gaya tektonik, dimana gaya
kompresi σ1 regional mengalami reorientasi dari arah relatif utara-selatan menjadi
berarah relatif baratlaut-tenggara akibat kedudukan patahan yang menyudut besar
terhadap gaya tektonik utama.
Stopsite pertama berada di Desa Gunung Gajah, Bayat, Klaten. Lokasi ini di
dalam peta geologi regional lembar Surakarta-Giritontro (Surono dkk., 1992)
dimasukkan di dalam Kompleks Batuan Malihan (KTm) yang dilalui oleh patahan
berarah ENE-WSW.
Pada tebing sisi utara yang tersusun oleh batupasir karbonatan terdapat
bidang sesar yang berarah relatif barat laut-tenggara. Sedangkan di tebing sisi
timur tersusun oleh perselang-selingan batupasir dan batulempung setebal 6 m dan
di atasnya terbentuk perulangan batupasir gradasi normal. Pada susunan batuan
tersebut terdapat dua sill. Dari pengamatan petrografi dapat diidentifikasi bahwa
batuan beku tersebut berupa diabas (Setiawati, 2013).
Batugamping Nummulites
Diabas
(a) (b)
Gambar 5.1. (a) Kontak non-conformity antara filit grafit dan batugamping nummulites. (b) Kontak
intrusi sill diabas terhadap perselingan batupasir-batulanau yang tersesarkan.
Gambar 5.3. (a) Kontak erosional antara breksi andesit dan perselingan batupasir tufan – tuf;
sesar geser sinistral berjurus NNE-SSW memotong singkapan. (b) Endapan
transportasi massal (MTD – mass transport deposits) akibat gaya berat pada batuan
volkanik laut dalam (unit perselingan batupasir tufan – tuf), dimana endapan turbidit
fasies distal kadang hadir diantara endapan debris berbutir halus.
Pada lokasi ini tersingkap transisi antara napal Formasi Kalibeng yang
secara gradual berubah menjadi batugamping Klitik. Tampaknya batugamping
Klitik diendapkan pada lingkungan paparan landai, yang seringkali mengalami
ekspose ke permukaan, sehingga terbentuk banyak lapisan tanah purba (paleosol).
Bagian atas tebing sungai umumnya tersusun atas endapan sungai purba yang
membentuk teras. Melihat endapan teras tersebut tersusun atas bongkah-bongkah
batuan yang berukuran besar, tampaknya pengendapan sungai purba Kedawung
berada pada lingkungan sungai teranyam (braided channel) yang membawa
endapan-endapan orogenik (molasse) perbukitan Kendeng di sekitarnya. Saat ini
tipe Sungai Kedawung adalah kelok-toreh (incised meandering channel) yang
menunjukkan sifat superimposed terhadap struktur perlapisan batuan selama erosi
vertikalnya.
Gambar 5.5. (a) Kontak gradasi antara napal dan batugamping. (b) Kehadiran beberapa lapisan
tanah purba (paleosol), ada yang tua, ditemukan diantara batugamping; dan ada yang
muda menutupi batugamping.
V.4. BLEDUG KUWU
Gunung lumpur di lokasi ini membentuk morfologi khas berupa pie, salsa
kecil, dan pool (Burhannudinnur dkk., 2012), dimana Bledug Kuwu merupakan
suatu pie besar dengan diameter 60 m. Di dalam pie utama tersebut terdapat pie-
pie kecil yang membentuk suatu kelurusan. Selain itu di Kuwu juga nampak
beberapa gryphon dengan pool diantaranya. Hal itu dimungkinkan karena pie-
pie kecil tersebut muncul mengikuti pola rekahan yang ada. Dari hasil analisa
kimia yang dilakukan Burhannudinnur dkk. (2012) diperoleh data bahwa pH
air di Bleduk Kuwu adalah 6,5 – 7 dengan suhu mencapai 30° C - 32°C. Gunung
lumpur di kompleks ini mempunyai kandungan Na, Cl, dan Mg yang lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa gunung lumpur yang berada di selatan dari
kompleks ini. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan material sumber dari
gunung lumpurnya. Komposisi mineral penyusun gunung lumpur ini terdiri dari
smektit, kaolinit, kuarsa, dan feldspar (Burhannudinnur, dkk., 2012).
Gambar 5.6. (a) Area mud volcano Bledug Kuwu pada saat tenang (kamera menghadap barat);
walaupun tenang namun masih dapat diamati adanya uap air yang muncul di atas
lokasi semburan lumpur. (b) Gryphon dan pond yang mulai mengering membentuk
mud crack.
V.5. POLAMAN, SENDANGHARJO
Gambar 5.7. (a) Singkapan pada bekas bukaan tambang di Polaman (kamera menghadap timur),
tebing utara tersusun atas batulempung heterolitik, lantai bukaan tambang tersusun
atas batupasir kuarsa, dan tebing selatan tersusun oleh batugamping rudstones. (b)
Singkapan struktur gelembur gelombang (ripple marks) pada batulempung
heterolitik, panah menunjukkan arah arus purba (paleocurrent) bolak-balik yang ada
di lingkungan pasang-surut.
Gambar 5.8. Diagram singkapan Polaman.
Tentukan berapa siklus perubahan dalam – dangkal yang terjadi di lokasi ini.
Tentukan paleoccurrent yang ada berdasarkan data asymetric ripple yang
ada.
Rekonstruksikan lingkungan pengendapan untuk singkapan Polaman.
V.6. SUNGAI BRAHOLO, SENDANGHARJO
Gambar 5.11. Letak Waduk Panohan pada peta geologi Lembar Rembang (Kadar & Sudijono, 1993).
Gambar 5.13. (a) Endapan fluvial yang ditutupi oleh endapan lahar. (b) Struktur liesegang yang
terjadi akibat pengendapan unsur-unsur besi secara diagenetik oleh air tanah.
Stopsite terakhir dalam EGR 2016 ini adalah Hutang Mangrove Banggi,
Rembang. Di lokasi ini para peserta EGR dapat mengamati model lingkungan
sedimentasi modern pesisir utara Jawa saat ini, sebagai analog bagi rekaman
stratigrafi di Cekungan Rembang, terutama pada Formasi Ngrayong.
Gambar 5.15. Citra Google yang menunjukkan sebaran lingkungan sedimentasi modern pesisir
Banggi, Rembang.
DAFTAR PUSTAKA
Edwards, C., M. Menzies, and M. Thirlwall (1991) Evidence from Muriah, Indonesia,
for the Interplay of Supra-Subduction Zone and Intraplate Processes in the
Genesis of Potassic Alkaline Magmas. Journal of Petrology, 32(3), pp. 555-
592.
Hall, R., and C.K. Morley (2004). Sundaland Basins. In P. Clift, P. Wang, W. Kuhnt, &
H. (eds.) Continent-Ocean Interactions within the East Asian Marginal Seas.
Geophysical Monograph, American Geophysical Union, 149, pp. 55-85.
Hamilton, W. (1979) Tectonics of the Indonesian Region, USGS Professional Paper,
vol. 1078, 345 p.
Handley, H.K., S.P. Turner, C.G. Macpherson, R. Gertisser, and J.P. Davidson (2011)
Hf-Nd isotope and trace element constraints on subduction inputs at island
arcs : limitations of Hf anomalies as sediment input indicators, Earth and
planetary science letters, 304 (1-2). pp. 212-223.
Hidayat, M.I. (2005) Biostratigrafi Foraminifera Plangtonik dan Penentuan
Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foraminifera Bentonik Kecil pada
Formasi Oyo, Jalur Kali Widoro – Kali Oyo – Kali Grinsing, Desa Bunder, Playen,
DIY; Skripsi, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta.
Husein, S. (2007). Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan. Prosiding
Seminar Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah,
Pusat Survei Geologi, Yogyakarta, 8 pp.
Husein, S., J. Jyalita, dan M.A.Q. Nursecha (2013) Kendali Stratigrafi dan Struktur
Gravitasi pada Rembesan Hidrokarbon Sijenggung, Cekungan Serayu Utara.
Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, S03, pp. 474-489.
Husein, S. dan R. Sari (2011) Sedimentasi Terpicu Gaya Berat di Bagian Bawah
Formasi Kebo, Mojosari, Bayat, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional
Ilmu Kebumian ke-4 dan Pelepasan Purna Tugas Dosen Teknik Geologi FT
UGM, pp. 119-140. ISBN 978-979-17549-9-6.
Husein, S. and Srijono (2007). Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan
DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam
proses pembentukan pegunungan. Prosiding Seminar Potensi Geologi
Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah, Pusat Survei Geologi,
Yogyakarta, 10 pp.
Kadar, D. dan Sudijono (1993) Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi.
Jurusan Teknik Geologi FT UGM (1994) Geologi Daerah Pegunungan Selatan: Suatu
Kontribusi. Kumpulan Makalah Seminar Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa,
Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuater. Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 hal (extended abstract).
Lehmann, H. (1936) Morphologische Studien auf Java: Geographische Abhandlungen,
Series 3, no. 9, pp. 1–114.
Novian, M.I., D.H. Barianto, S. Husein, dan Akmaluddin (in preparation) Peta Geologi
Lembar Wonosari dan Semanu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pusat
Survei Geologi, Bandung.
Novian, M.I., P.P. Utama, dan S. Husein (2013) Penentuan Batuan Sumber
Gununglumpur di Sekitar Purwodadi Berdasarkan Kandungan Fosil
Foraminifera. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6, Jurusan Teknik
Geologi FT UGM, Yogyakarta, pp. 519-534.
Novian, M.I., P.K.D. Setiawan, S. Husein, dan W. Rahardjo (2012) Stratigrafi Formasi
Semilir bagian atas di Dusun Boyo, Desa Ngalang, Kecamatan Gedang Sari,
Kabupaten Gunung Kidul, DIY: Pertimbangan untuk penamaan Anggota
Buyutan. Geologi Pegunungan Selatan Bagian Timur, Publikasi Khusus Pusat
Survei Geologi, pp. 27-37.
Novian, M.I., S. Husein, R.N. Saputra (2014) Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional
2014, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 54
hal.
Nugraha, S., A.M., and R. Hall (2013) Cenozoic Stratigraphy of the East Java Forearc.
Berita Sedimentologi, 26, p.5-17.
Price, N.J., and J.W. Cosgrove (1990) Analysis of Geological Structures. Cambridge
University Press., 246 p.
Rahardjo, W. Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Ramsay, J. G. (1967) Folding and Fracturing of Rocks. New York: McGraw-Hill
Samodra, H., S. Gafoer, and S. Tjokrosapoetro (1992) Peta Geologi Lembar Pacitan,
Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Satyana, A.H. (2014) New Consideration on The Cretaceous Subduction Zone of
Ciletuh-Luk Ulo-Bayat-Meratus: Implications for Southeast Sundaland
Petroleum Geology. Proceedings of 38th Annual Convention and Exhibition of
Indonesian Petroleum Association, IPA14-G-129, 41 p.
Setiawati, Y. (2013) Studi Fasies Formasi Wungkal – Gamping Jalur Gunung Gajah,
Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, kabupaten Klaten, Provinsi Jawa
Tengah. Tugas Akhir Tipe Skripsi, Jurusan Teknik Geologi UGM, Yogyakarta.
(tidak dipublikasikan).
Setijadji, L.D. (2010) Segmented Volcanic Arc and its Association with Geothermal
Fields in Java Island, Indonesia. Proceedings World Geothermal Congress
2010, Bali, 12 p.
Situmorang, B., T.E. Siswoyo, and F. Paltrinieri (1976) Wrench fault tectonics and
aspects of hydrocarbon accumulation in Java. Proceeding of 5th Annual
Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 53-61.
Situmorang, R.I., R. Smit, dan E.J. van Vessem (1992) Peta Geologi Lembar Jatirogo,
Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Smyth, H. (2005) Eocene to Miocene Basin History and Volcanic Activity in East Java,
Indonesia. PhD Thesis, University of London, 470 p.
Smyth, H.R., P.J. Hamilton, R. Hall, and P.D. Kinny (2007) The deep crust beneath
island arcs: Inherited zircons reveal a Gondwana continental fragment
beneath East Java, Indonesia. Earth and Planetary Science Letters, 258, p.
269–282
Soekmono, R. (1967) A Geographical Reconstruction of Northeastern Central Java
and the Location of Medang. Indonesia, no. 4, Southeast Asia Program
Publications at Cornell University, pp. 1-7.
Soetantri, B., L. Samuel, dan G.A.S. Nayoan (1973) The Geology of the Oilfields in
North East Java. Proceeding of 2nd Annual Convention and Exhibition of
Indonesian Petroleum Association, pp. 149-175.
Soetarso, B., and P. Suyitno (1976) The diapiric structure and relation on the
occurrence of hydrocarbon in northeast Java basin. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-19.
Sukardi dan T. Budhitrisna (1992) Peta Geologi Lembar Salatiga. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sunantyo, T.A., S. Pramumijoyo, dan S. Husein (2014) Pengukuran Jaring Pemantau
Tahun 2013 dan Pemetaan Geologi di Kawasan Sekitar Sesar Opak, Propinsi
DIY. Proceeding Annual Engineering Seminar 2014 Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ISBN 978-602-98726-3-7, pp. 41-50.