Anda di halaman 1dari 75

PANITIA DAN DOSEN PEMBIMBING

EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 2015/2016


DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FT UGM

Panitia Pelaksana : Salahuddin Husein, S.T., M.Sc., Ph.D.

Ir. Anastasia Dewi Titisari, M.T., Ph.D.

Dosen Pendamping : Dr. Ir. Agung Harijoko, M.Eng.

Dr. Donatus Hendra Amijaya, S.T., M.Eng.

Dr. Didit Hadi Barianto, S.T., M.Sc.

Dr. Wahyu Wilopo, S.T., M.Eng.

Moch. Indra Novian, S.T., M.Eng.

Dr. Esti Handini, S.T., M.Eng.

Asisten : Yan Restu Freski, S.T.

Peter Pratistha Utama

Panitia Mahasiswa

Ketua : Riko Susetia Yuda (40677/TK)

Sekretaris : Khairani Alkatiri (40627/TK)

Nomer telepon penting:

a. Salahuddin Husein, S.T., M.Sc., Ph.D.

b. Ir. Anastasia Dewi Titisari, M.T., Ph.D.

c. Yan Restu Freski, S.T.

d. Peter Pratistha Utama

e. Riko Susetia Yuda

f. Khairani Alkatiri

Panduan EGR 2015/2016 ii


PESERTA EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 2015/2016

1 KHAIRANI ALKATIRI
2 ARIF PRAYOGO
3 MUHAMMAD RACHMAT FADHIL PRIANA
4 RETNADI DHARMASAPUTRA

1 AGNES SAPUTRI LAMA


2 ANTON PRASETYO
3 IGNATIUS DION ADI PRADANA
4 TAUFIQ BAKHTIAR RAMADHAN
5 ZULFIKAR FAUZI

1 ANGELA PRITA RATIWI


2 FRANSISKUS L B
3 LA ODE AMRI RIZAL
4 RIKO SUSETIA YUDA
5 SIGIT DWI KURNIAWAN

1 IVY NUR ARINI


2 CAHYO SEDEWO
3 HARDIAN DWI LAKSTIANTO
4 IBNU YUDI RIMAWAN
5 WAHYUDIN BEMPAH

1 IKA MAY HARTATI


2 RINI FAHMITA
3 FADHIL HENING WIBOWO
4 MUHAMMAD ARSA ISKAQ ICHSAN
5 OKTAVIAN DWI HARDIYANTO

1 CHUSNUL TYAS PAMBUDI


2 YUSTISIANA TIKA HAPSARI
3 IRSYAM WIDIYOKO
4 MUHAMMAD SIDQI

1 MAHARDIKA DIAN MAULIDINA


2 RIA NUR ANDINI
3 BAGASKARA WIDI NUGROHO
4 KUKUH GEMA BRAMASTYA
5 RADIFAN TAMJIDI

Panduan EGR 2015/2016 iii


1 ADELIDE ASRIATI SEKA
2 SHERLY YUNITA TANGASA
3 EKKY RENO PRIYAMBODO
4 MUHAMMAD HASBI BOY
5 SERULI EKA UTAMA

1 DWI PUTRI ALCRISTA GULTOM


2 BENEDICTUS GILANG PRADANA
3 NEVIO MUHAMMAD KAMEL
4 RAMA TRI SAKSONO
5 RIZKI RAMADANI

1 ISNAENI RAIS FARAHDILA


2 HENDRA MAULANA IRVAN
3 MICHAEL STEPHEN
4 MUHAMMAD SYARGA

Panduan EGR 2015/2016 iv


JADWAL DAN JALUR EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 2015/2016

Hari 1 (Senin, 25 Januari 2016)

Jalur : Yogyakarta – Bayat – Gesi – Mondokan – Purwodadi

Jam

06.00

06.30 – 08.00

08.00 – 09.30

09.30 – 12.00

12.00 – 13.00

13.00 – 13.30

13.30 – 14.30

14.30 – 15.00

15.00 – 16.00

16.00 – 17.30

17.30 – 18.30

18.30 – 19.30
19.30 – 21.30
21.30

Panduan EGR 2015/2016 5


Hari 2 (Selasa, 26 Januari 2016)

Jalur : Purwodadi – Bleduk Kuwu – Polaman dan Braholo – Panohan – Rembang

Jam
07.00
07.00 – 08.00

08.00 – 09.00

09.00 – 11.00

11.00 – 12.00

12.00 – 12.30

12.30 – 13.30

13.30 – 14.30

14.30 – 15.30

15.30 – 16.30

16.30 – 17.30

17.30 – 18.30

18.30 – 19.30
19.30 – 21.30
21.30
Hari 3 (Rabu, 27 Januari 2016)

Jalur : Rembang – Sluke – Banggi – Yogyakarta

Jam
07.00
07.00 – 08.00

08.00 – 09.00

09.00 – 10.00

10.00 – 11.00

11.00 – 18.00

18.00

Hari 4 (Kamis, 28 Januari 2016) :

istirahat dan menyelesaikan tugas kelompok

Hari 5 (Jumat, 29 Januari 2016) :

responsi (pukul 09.00 – 10.00; Ruang Kelas 3.1)

Panduan EGR 2015/2016 vii


Muria 8
9
Rembang
Lasem
Pati

7
Kudus
Demak ZONA REMBANG 5 6

Semarang
Blora

Purwodadi
4 Cepu
Ungaran ZONA R AND UB L ATU NG

3
2
ZONA KENDENG
Salatiga

Sragen Ngawi
Merbabu

Merapi
Surakarta Lawu
ZONA SOLO
Klaten
Madiun
Kampus
UGM 1

Wonogiri
Ponorogo

Bantul

Wonosari

PEGUNUNGAN SELATAN

Pacitan
25 km

Jalur Ekskursi Geologi Regional 2015/2016

Panduan EGR 2015/2016 viii


KATA PENGANTAR

Ekskursi Geologi Regional (EGR) merupakan salah satu matakuliah wajib


dalam program Sarjana strata-1 Departemen Teknik Geologi FT UGM. Pengalaman
geologi, kemampuan mengembangkan nalar keilmuan, kemampuan untuk
melakukan interpretasi dan deduksi ketika menempuh perjalanan yang melintasi
beberapa cekungan sedimenter akan menjadi salah satu harapan kami dalam
merancang pelaksanaan EGR kali ini.

Secara individual, kemampuan minimal setiap peserta EGR dapat dikatakan


tercapai bila mampu mengaitkan data-data geologi di setiap titik pengamatan dan
di sepanjang lintasan menjadi sebuah sintesis komprehensif tentang geologi suatu
cekungan. Lebih jauh, bila dia dapat mengembangkan sintesis tersebut untuk tujuan
aplikasi, baik dalam eksplorasi sumberdaya alam, pengembangan wilayah, dan
penilaian ancaman bencana geologi, maka peserta EGR telah menjangkau tujuan
utama pembelajaran.

Mengingat EGR merupakan proses pembelajaran di lapangan, maka kami


menghimbau agar setiap peserta dapat memperhatikan aspek keselamatan dan
kesehatan selama kegiatan.

Terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu


lancarnya kegiatan ini, termasuk kepada Ketua Departemen Teknik Geologi,
Sekretaris Departemen Teknik Geologi, Ketua Program Studi S1 Teknik Geologi,
Sekretaris Program Studi S1 Teknik Geologi, serta para dosen pemandu ekskursi.

Semoga buku panduan ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para
peserta, baik dalam tahap persiapan maupun saat kegiatan, baik saat diskusi
maupun saat pengamatan lapangan.

Yogyakarta, 19 Januari 2016

Salahuddin Husein
Anastasia Dewi Titisari

Panduan EGR 2014 9


DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................................. i
PANITIAN DAN DOSEN PEMBIMBING EGR ......................................................... ii
PESERTA EGR ..................................................................................................................... iii
JADWAL DAN JALUR EKSKURSI ................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

BAB II FISIOGRAFI........................................................................................................ 6
II.1. ZONA PEGUNUNGA
II.2. ZONA SOLO ..............
II.3. ZONA PERBUKITAN
II.4. ZONA DEPRESI RA
II.5. ZONA PERBUKITAN
II.6. ZONA PESISIR UTA

BAB III STRATIGRAFI .....................


III.1. STRATIGRAFI REG
III.2. STRATIGRAFI REG
III.3. STRATIGRAFI REG

BAB IV TEKTONIKDAN EVOLUS


IV.1. PEGUNUNGAN SEL
IV.2. ZONA SOLO ...............
IV.3. PERBUKITAN KEND

Panduan EGR 2015/2016 1


0
IV.4. ZONA RANDUBLATUN
IV.5. PERBUKITAN REMBAN
IV.6. GUNUNGAPI BELAKAN

BAB V LOKASI PENGAMATAN ........

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 59


BAB I
PENDAHULUAN

Mata kuliah Ekskursi Geologi Regional/EGR (TKG 3122) merupakan mata


kuliah wajib bagi mahasiswa program strata satu (S1) di Departemen Teknik
Geologi FT UGM. Mata kuliah ini bersifat kegiatan lapangan, dengan bertujuan
untuk mengenal zonasi fisiografi, urutan stratigrafi, pola struktur, kaitannya
terhadap sejarah geologi regional, potensi sumber daya geologi, dan aspek bencana
geologi. Pada tahun ajaran 2015/2016 EGR dilaksanakan pada tanggal 25 – 27
Januari 2016. Adapun jalur yang dipilih dalam EGR 2014 selama tiga hari berturut-
turut adalah :

Hari 1 (Senin, 25 Januari 2016) : Yogyakarta – Bayat – Gesi – Mondokan –


Purwodadi

Hari 2 (Selasa, 26 Januari 2016) : Purwodadi – Bleduk Kuwu – Polaman dan


Braholo – Panohan – Rembang

Hari 3 (Rabu, 27 Januari 2016) : Rembang – Sluke – Banggi – Yogyakarta

Bagi seorang geologiwan, lapangan merupakan sarana pembelajaran terbaik


karena menggambarkan secara nyata kondisi yang dihadapi dalam
mengaplikasikan ilmunya. Dalam ekskursi kali ini pemahaman geologi secara
regional digunakan untuk mempertajam pendekatan yang digunakan pada saat
mengeksplorasi kondisi geologi suatu daerah dengan baik. Pada saat ini hampir
seluruh kegiatan yang berkaitan dengan bumi seperti pembangunan fisik,
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya geologi, serta mitigasi bencana geologi
membutuhkan data geologi dan pemahaman konsep geologi yang saling
terintegrasi.

I.1. TUJUAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL

Tujuan umum dari dilaksanakannya EGR 2015/2016 ini adalah agar peserta
EGR dapat mengenal, mengamati, merekam, dan memahami fenomena geologi di
lapangan. Adapun tujuan khusus dari acara EGR ini adalah agar peserta mampu:

Panduan EGR 2015/2016 1


1) Memahami perbedaan fisiografi, urutan stratigrafi, dan pola struktur geologi
regional pada beberapa cekungan yang berbeda.
2) Memahami kondisi geologi regional suatu cekungan yang disebabkan oleh
tatanan tektonik khas cekungan tersebut.
3) Memahami cara menyusun sejarah geologi suatu daerah dari data lapangan
kemudian mengintegrasikannya sehingga dapat ditentukan potensi sumberdaya
geologi maupun potensi bencana geologi.

I.2. CAKUPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL

1) Melewati enam zona fisiografi, yaitu Zona Pegunungan Selatan, Zona Solo, Zona
Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, dan Zona Pesisir Utara Jawa.
2) Melewati tiga cekungan sedimenter Tersier, yaitu Cekungan Pegunungan
Selatan, Cekungan Kendeng dan Cekungan Rembang (dua cekungan terakhir
seringpula disatukan sebagai Cekungan Jawa Timur Utara).
3) Observasi fisiografi secara umum di sepanjang lintasan ekskursi.
4) Pengamatan singkapan geologi di titik-titik tertentu, mencakup aspek
geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi.
5) Mengaitkan aspek geologi dasar dengan aspek geologi terapan seperti
eksplorasi sumberdaya geologi, hidrogeologi, geologi teknik, geologi lingkungan,
dan geologi pengembangan wilayah.

I.3. TAHAPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL


1) Tahap persiapan
Mempersiapkan diri dengan membaca buku panduan Ekskursi Geologi Regional
dan materi geologi regional daerah lintasan yang akan dilalui.
2) Tahap lapangan
Pada saat di lapangan aktivitas yang dilakukan peserta mencakup :
 Mendengarkan, memperhatikan, dan memahami penjelasan dari dosen
pembimbing berkaitan dengan fenomena geologi di lapangan.
 Mencatat, merekam, dan mendeskripsikan hal-hal penting hasil pengamatan
di lapangan.
 Mendiskusikan hasil pengamatan dengan dosen pembimbing.
 Mengikuti diskusi kelas yang dijadwalkan oleh panitia EGR.
 Mengikuti tes sebagai bahan evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman
mahasiswa selama pelaksanaan EGR 2015/2016.
 Bertanggung jawab terhadap seluruh peralatan lapangan yang dibawa.
 Membuat catatan lapangan setiap hari.

I.4. PENILAIAN
Penilaian EGR berdasarkan pada dua parameter, yaitu:
a. Tes responsi (bobot 40%), dilaksanakan pada hari Jumat, 29 Januari 2016;
pukul 09:00 - 10:00; mencakup pemahaman dan hasil observasi.
b. Tugas laporan kelompok (bobot 60%), berupa sintesis pengamatan di setiap
STA dan integrasinya dalam mencapai tujuan EGR. Tugas laporan kelompok ini
dikumpulkan pada saat tes responsi (29 Januari 2016), dalam bentuk tulisan
tangan dan sketsa (foto tidak diperbolehkan). Laporan yang baik akan
mencakup:
- Sketsa fisiografi di sepanjang lintasan dan interpretasi model geologi
regionalnya.
- Pengamatan geologi (deskripsi dan sketsa) di titik singkapan, mencakup
morfologi, petrologi, dan struktur geologi. Penambahan kolom stratigrafi
singkapan disertai deskripsinya akan sangat dihargai.
- Deduksi dan interpretasi terhadap aspek sumberdaya geologi serta bencana
geologi di sepanjang lintasan dan di titik pengamatan.

I.5. PERALATAN LAPANGAN

a. Peralatan pribadi, mencakup:


1. Keperluan pribadi untuk dua hari
2. Sepatu lapangan
3. Topi
4. Tas lapangan
5. Obat-obatan pribadi
6. Buku catatan lapangan
7. Clipboard
8. Kertas HVS secukupnya
9. Alat tulis lengkap
b. Peralatan kelompok, yaitu:
1. Lup
2. Kompas geologi
3. Palu geologi
4. HCl 0,1 M
5. GPS
c. Peralatan umum, disediakan di setiap bus, yaitu:
- Plastik kantong sampah

I.6. PANDUAN KESELAMATAN, KEAMANAN, DAN KESEHATAN (K3) KERJA


LAPANGAN

1) Sebelum keberangkatan:
 Pastikan penggunaan sepatu lapangan yang aman dan nyaman.
 Pastikan topi untuk perlindungan terhadap sinar matahari.
 Bawalah persediaan minum yang cukup.
 Bawalah obat-obatan pribadi yang sekiranya diperlukan.
 Bawalah mantel / jas hujan.
 Masukkan semua barang bawaan di dalam tas yang aman, kuat, dan nyaman.
 Pisahkan dokumen (peta, buku, dll) dalam tempat tersendiri yang aman.
 Berilah identitas pada setiap barang secara jelas.
2) Selama dalam kendaraan:
 Letakkan barang bawaan di dalam bagasi atau di bawah tempat duduk
secara rapi.
 Ingatkan sopir apabila mengendarai secara serampangan/ugal-ugalan.
 Dilarang bersikap/berbicara yang mengakibatkan terganggunya
kenyamanan kru kendaraan dalam menjalankan tugasnya dengan baik.
 Dilarang mengeluarkan anggota tubuh dari dalam kendaraan.
 Periksalah letak alat pemecah kaca darurat dan gunakan sewaktu diperlukan
(kecelakaan, kebakaran, dll) dengan hati-hati.
 Pada kondisi kendaraan tidak stabil (kendaraaan oleng/terbalik)
bersikaplah menunduk dan gunakan kedua tangan untuk berpegangan
secara kuat pada bahu kursi di depan anda.
 Dilarang membuang sesuatu apapun keluar kendaraan selama perjalanan.
 Pada saat anda merasa akan buang air kecil maupun besar segera
beritahukan kepada kru kendaraan agar dicarikan tempat pemberhentian.
 Ingatlah teman yang duduk di depan anda dan pastikan tidak tertinggal
sebelum kendaraan menuju lokasi yang baru, dan segera beritahu panitia
apabila ada yang tertinggal.
3) Selama di lapangan
 Apabila mengamati singkapan di pinggir jalan, pastikan posisi aman dari
kendaraan yang melaju, setidaknya 2 meter dari bahu jalan.
 Perhatikan kemungkinan jatuhnya tebing di lokasi pengamatan. Cari lokasi
yang terlindung dan tidak licin.
 Pada saat mengambil contoh batuan pastikan teman-teman anda pada jarak
yang aman terhadap kemungkinan terkena pecahan batuan atau terlepasnya
palu (setidaknya berjarak 2 meter) dan pada saat menggunakan palu
pastikan tidak ada teman di belakang anda.
 Selama di lapangan pastikan minum yang cukup untuk menghindari
dehidrasi.
 Apabila menjumpai kasus darurat segera ditangani dan berikan pertolongan
pertama, namun apabila kasus berat segera beitahukan kepada panitia agar
segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
 Apabila anda tertinggal oleh rombongan segera hubungi panitia dan
sebutkan lokasi anda secara jelas.
 Pastikan tidak ada peralatan yang tertinggal sebelum meninggalkan lokasi
pengamatan.
BAB II
FISIOGRAFI

Ekskursi Geologi Regional 2015/2016 kali ini akan melalui beberapa zona
fisiografi regional yang mengacu pada publikasi Pannekoek (1949) dan Van
Bemmelen (1949). Fisiografi regional yang akan dilalui adalah Zona Solo, Zona
Pegunungan Kendeng, Zona Depresi Randublatung, Zona Pegunungan Rembang,
dan Zona Pesisir Utara Jawa. Setiap zona memiliki karakteristik geomorfologi,
stratigrafi, dan tektonik tersendiri. Penjelasan mengenai tiap-tiap zona tersebut
akan diuraikan pada beberapa sub-bab di bawah ini.

Dataran Pesisir Utara

Zona Rembang
Zona Kendeng Zona Randublatung

Zona Solo

Zona Pegunungan Selatan

5o km

Gambar 2.1. Zonasi fisiografi Pulau Jawa bagian tengah dan timur (pembagian mengikuti
Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949).

II.1. ZONA PEGUNUNGAN SELATAN (JAWA TIMUR)

Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur merupakan rangkaian pegunungan


yang berada di sisi selatan Pulau Jawa di bagian timur dan memanjang relatif
berarah timur-tenggara - barat-baratlaut (TTg - BBL), mulai dari Parangtritis hingga
Ujung Purwo dengan lebar yang tidak selalu sama. Berdasarkan pada derajat
kekasaran permukaan atau tingkat keterbikuan (dissection) morfologi Pegunungan
Selatan dapat dipisahkan menjadi dua tipe, yaitu relief halus dengan derajat
keterbikuan rendah dan relief kasar dengan derajat keterbikuan tinggi (Gambar
2.2). Permukaan dengan relief kasar dibentuk oleh batuan volkanik Tersier yang
mengalami erosi dalam jangka waktu sangat lama, semenjak Miosen Tengah.
Karena pengaruh penyesaran bongkah, sebagian kompleks volkanik Tersier
tersebut mengalami penurunan dan tertutupi oleh batugamping Neogen, yang
kemudian menjadikan permukaan daerah tersebut berelief halus.
G. Merapi Solo

G. Lawu Madiun
Klaten
Jiwo Hills
Yogyakarta Igir Plopoh
Wonogiri
Igir Baturagung Ponorogo G. Wilis
Igir Kambengan
S. Oyo Masif
Wonosari
Panggung
Plato Wonosari
Trenggalek
Topografi kars Tulungagung
Gunung Sewu

Pacitan

25 km

Gambar 2.2. Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur. Perhatikan perbedaan derajat kekasaran
permukaan morfologi Pegunungan Selatan antara sebelah barat Pacitan (Gunung
Sewu) dan sebelah timurnya.

Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat oleh van Bemmelen (1949)
dibagi lagi menjadi tiga satuan geomorfologi (Gambar 2.2). Paling selatan yang
tersusun oleh perbukitan karst yang didominasi oleh kerucut karst (conical hills)
dan langsung berbatasan dengan Samudera Hindia disebut sebagai Perbukitan
Sewu. Sedangkan daerah yang berada di sebelah utaranya yang berupa dataran
tinggi (plato) disebut sebagai Dataran Tinggi Wonosari (Plato Wonosari). Daerah
paling utara dari Pegunungan Selatan yang tersusun oleh batuan vulkanik dengan
kelerengan terjal hingga sedang disebut sebagai Igir Baturagung. Bagian utara dari
Igir Baturagung berbatasan dengan Zona Solo. Pegunungan Selatan Jawa Timur
bagian barat merupakan suatu cekungan sedimenter gunungapi berumur Eosen -
Miosen Tengah yang ditutupi oleh berbagai fasies batugamping berumur Miosen
Tengah - Pliosen, yang kemudian mengalami pengangkatan dan penyesaran
bongkah hingga kedudukannya relatif termiringkan ke arah selatan (Husein
& Srijono, 2007).

Sungai-sungai yang mengerosi Pegunungan Selatan umumnya mengalir ke


selatan dan bermuara di Samudera Hindia. Igir-igir utara Pegunungan Selatan
umumnya dierosi oleh sungai-sungai yang mengalir ke arah Zona Solo.
Pengecualian terjadi di Pegunungan Selatan bagian barat, dimana sungai-sungai
permukaan yang berhulu di Igir Baturagung dan mengalir ke selatan melalui Plato
Wonosari kemudian melanjutkan perjalanannya di bawah permukaan kawasan
kars Gunung Sewu sebagai jaringan sungai-sungai bawah tanah (sub-terranean
drainage system). Kondisi pola penyaluran Pegunungan Selatan secara umum masih
mengalir ke selatan demikian tidak mendukung hipotesis Lehmann (1936) yang
menduga Pegunungan Selatan mengalami pengangkatan lebih kuat di bagian
selatan (differential uplift) sehingga menyebabkan pembalikan arah aliran sungai
permukaan menjadi ke arah utara, dengan contoh kasus Lembah Bengawan Solo
Purba di daerah Sadeng - Giritontro. Husein dan Srijono (2007)
menginterpretasikan bahwa Lembah Bengawan Solo Purba tersebut terbentuk
akibat perompakan aliran (stream piracy) akibat penyesaran bongkah pada tepi
selatan Depresi Baturetno (Husein & Srijono, 2007).

II.2. ZONA SOLO

Zona Solo (sensu latto - secara luas) merupakan suatu depresi (cekungan
antara dua lajur pegunungan) memanjang di bagian tengah (median) Pulau Jawa,
berarah TTg-BBL, terhampar dari Solo hingga Banyuwangi. Zona Solo (sensu latto)
dapat dibagi menjadi tiga subzona (van Bemmelen, 1949), mulai dari paling utara
hingga selatan (Gambar 2.3), yaitu :

1) Subzona Ngawi, merupakan lajur depresi yang ada di antara Perbukitan


Kendeng dan busur gunungapi sekarang. Zona Ngawi ini terbentuk sebagai
dataran banjir sungai-sungai Bengawan Solo, Bengawan Madiun, dan Brantas.
2) Subzona Solo (sensu stricto), merupakan lajur depresi di antara deretan gunung
api sekarang (intermontane plains).
3) Subzona Blitar, merupakan lajur depresi yang berada di antara deretan
gunungapi sekarang hingga berbatasan dengan Pegunungan Selatan.
Pembentukan Zona Blitar ini dipengaruhi oleh tektonik Pegunungan Selatan,
dimana penyesaran bongkah Pegunungan Selatan di Tulungagung - Blitar
terbentuk cukup jauh dari posisi kemunculan busur gunungapi modern (G.
Kelud - G. Kawi), sehingga terbentuk depresi struktural yang kemudian diisi
dataran banjir S. Brantas.
Zona Kendeng Sidoarjo
G. Pandan
Ngawi
G. Merbabu

Solo Zona Ngawi Nganjuk


G. Merapi G. Lawu
Klaten Zona Solo Madiun

Wonogiri G. Wilis Kediri G. Arjuna


Ponorogo

G. Kelud
Malang
Wonosari G. Kawi

Trenggalek
Zona Pegunungan Selatan Zona Blitar
Tulungagung Blitar
Pacitan

40 km

Gambar 2.3. Fisiografi Zona Solo, yang terbagi menjadi 3 sub-zona. Perhatikan Zona Blitar hanya
berkembang di bagian selatan G. Kelud.

Saat ini, Zona Solo merupakan cekungan sedimenter aktif dengan sistem
fluvial yang menerima pasokan sedimen dari busur gunungapi, Zona Pegunungan
Selatan, dan Zona Perbukitan Kendeng. Beberapa sungai besar mengalir melalui
Zona Solo dan mengendapkan sedimennya di zona ini, antara lain: Sungai
Bengawan Solo, Sungai Bengawan Madiun (yang kemudian bergabung dengan
Bengawan Solo di Kota Ngawi), dan Sungai Brantas. Di ujung perjalanannya, sungai-
sungai tersebut membentuk delta-delta besar di pesisir Surabaya dan Gresik.

II.3. ZONA PERBUKITAN KENDENG

Zona Kendeng meliputi deretan pegunungan dengan arah memanjang


timur - barat (T-B) yang terletak langsung di sebelah utara Subzona Ngawi.
Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut yang telah mengalami
deformasi
secara intensif membentuk suatu antiklinorium (rangkaian perbukitan antiklin
kecil yang tersusun secara paralel dan membentuk struktur antiklin lebih besar).
Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km (de
Genevraye & Samuel, 1972) membentang dari Gunungapi Ungaran di bagian barat
ke timur melalui Ngawi hingga daerah Mojokerto (Gambar 2.4). Di
bawah
permukaan, kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga di Selat
Madura.
Semarang Blora
Purwodadi S. Lusi
Cepu Bojonegoro Lamongan Gresik
G. Ungaran

Kendeng Barat
Surabaya
Kendeng Timur
G. Telomoyo Mojokerto
Ngawi Sidoarjo
Sragen
G. Pandan Jombang
G. Merbabu
Nganjuk
G. Merapi Solo G. Lawu Madiun 50 km

Gambar 2.4. Fisiografi Zona Kendeng, yang terbagi menjadi 3 sub-zona, mengikuti van Bemmelen
(1949). Semakin ke arah barat derajat deformasi semakin besar.

Ciri morfologi Zona Kendeng berupa rangkaian perbukitan rendah dengan


morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200 meter.
Morfologi perbukitan yang berarah barat-timur ini mencerminkan adanya
perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula. Intensitas perlipatan
dan anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di
bagian barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan
tersebut, batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas
sesar. Lipatan dan anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat
terbentuknya retakan, sesar dan zona lemah lainnya pada arah tenggara -
baratlaut (Tg-BL), barat daya-timur laut (BD-TL) dan utara- selatan (U-S).

Di bagian tengah Zona Kendeng, yaitu di baratlaut Nganjuk, sabuk


Antiklinorium Kendeng diterobos oleh tubuh Gunungapi Pandan yang berumur
Pleistosen Awal (Lunt et al., 1998). Meski demikian, pola struktur perlipatan
Kendeng di sekitar Gunung Pandan yang mengalami pembelokan relatif simetris
terhadap tubuh gunungapi tersebut mengindikasikan bila volkanismenya terjadi
bersamaan dengan proses pengangkatan tektonis Kendeng (Pliosen Akhir).
Ditinjau dari jarak relatif terhadap deretan busur gunungapi dan palung subduksi,
Gunungapi Pandan berada satu deretan dengan Gunungapi Ungaran, yaitu
menempati posisi volkanisme belakang busur dekat (near back-arc). Gunungapi
Ungaran juga mulai aktif pada waktu bersamaan dengan Gunungapi Pandan, yaitu
Pleistosen Awal (Van Bemmelen, 1949).

Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan
sangat intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi
penyusun Zona Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai
kompaksitas rendah, misalnya pada Formasi Pelang, Formasi Kerek dan Formasi
Kalibeng yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter. Proses
eksogenik yang intensif juga mampu membalik topografi struktural yang ada
(inversed topography), misalkan bukit antiklin menjadi lembah antiklin dan lembah
sinklin menjadi bukit sinklin.

Karena proses pengangkatan tektonik yang terus berjalan mulai dari akhir
zaman Tersier hingga sekarang (Husein dkk., 2008a), banyak dijumpai teras-teras
sungai di Zona Kendeng yang menunjukkan adanya perubahan temporary base
level. Sungai utama yang mengalir melalui Zona Kendeng adalah Bengawan Solo
yang sebelumnya mengaliri Subzona Ngawi dengan arah aliran barat - timur. Di
Kota Ngawi Bengawan Solo berbelok ke utara, memotong sabuk antiklinorium
Kendeng yang lebarnya 15 km seraya tetap mempertahankan arah alirannya.
Fenomena bertahannya Bengawan Solo terhadap proses pengangkatan tektonik
Kendeng menyebabkannya dapat dikelompokkan sebagai sungai anteseden.

Hubungan antara Zona Kendeng dengan Zona Solo pun menarik untuk
diperhatikan lebih lanjut. Ciri khas fisiografi Jawa Timur adalah berkembangnya
dataran aluvium berarah relatif timur-barat diantara tubuh busur gunungapi
modern dengan Perbukitan Kendeng, yang dikenal sebagai Zona Ngawi. Pola
fisiografi demikian hanya berkembang hingga bagian utara G. Lawu (Gambar 2.4).
Ke arah barat dimana deretan G. Merapi – G. Ungaran memanjang berarah
baratlaut-tenggara pola ini tidak terlihat, dimana perbukitan lipatan Kendeng
muncul di kaki timur mereka tanpa adanya gap dataran aluvium. Berdasarkan
perbedaan fisiografis tersebut, diusulkan agar delineasi batas barat Zona Kendeng
ditarik berdasarkan pelamparan Zona Ngawi, yaitu pada lembah Gemolong –
Purwodadi yang merupakan bagian dari cekungan DAS Serang. Ke arah barat dari
lembah tersebut, zona perbukitan lipatan dan sesar anjak yang berkembang di kaki
G. Merapi – G. Ungaran dapat dianggap sebagai bagian dari Zona Serayu Utara.

Secara tektonis memang terdapat perbedaan dalam hubungan antara


gunungapi modern dengan sabuk lipatan-anjak pada Zona Kendeng dan Zona
Serayu Utara. Proses deformasi sabuk lipatan-anjak Zona Serayu Utara sangat
dipengaruhi oleh pembebanan tubuh gunungapi modern (van Bemmelen, 1949;
Husein dkk., 2013), sedangkan pembentukan sabuk lipatan-anjak Zona Kendeng
lebih disebabkan pemendekan cekungan secara regional akibat adanya rotasi
Sundaland (Husein & Nukman, 2015).

II.4. ZONA DEPRESI RANDUBLATUNG

Zona Randublatung merupakan suatu depresi atau lembah memanjang yang


berada di antara Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Zona ini mencakup
daerah Purwodadi, Cepu, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Van
Bemmelen (1949) menduga Depresi Randublatung terbentuk sebagai daerah
amblesan (subsidence), bagian dari kesetimbangan isostasi regional ketika
Perbukitan Rembang dan Perbukitan Kendeng mengalami pengangkatan tektonis di
akhir Tersier. Hipotesis van Bemmelen tersebut tampaknya hanya berlaku untuk
Zona Randublatung bagian barat saja, yang membentang dari Purwodadi hingga
Randublatung, yang secara fisiografis memang membentuk depresi sempit terapit
dua lajur perbukitan (Gambar 2.5). Adapun fisiografi Zona Randublatung bagian
timur yang membentang dari Randublatung hingga pesisir Gresik dan Surabaya,
ditandai dengan kemunculan banyak antiklin terisolir, seperti Dander, Pegat,
Ngimbang, Sekarkorong, dan Lidah. Secara struktur, pola perlipatan antiklin
- antiklin tersebut masih mengikuti pola lipatan Zona Kendeng. Hal ini
menunjukkan proses isostasi negatif bukanlah faktor utama dalam pembentukan
Zona Randublatung, dan terdapat pula faktor tektonik kompresif dalam
pembentukan zona tersebut, sebagaimana yang terjadi di Zona Kendeng.

Sebagai sebuah depresi tektonis, sedimentasi Zona Randublatung terus aktif


semenjak akhir Tersier hingga sekarang, dengan menerima pasokan sedimen dari
Perbukitan Kendeng maupun Perbukitan Rembang. Sistem pengaliran permukaan
(drainage system) di zona ini terbagi dua, yaitu Sistem Lusi di bagian barat dan
Sistem Bengawan Solo di bagian timur. Di bagian barat, sedimentasi dilakukan oleh
Sungai Lusi, yang kemudian bergabung dengan Sungai Serang, membentuk Delta
Serang yang dengan cepat menjadikan pesisir utara Pulau Jawa sebagai pantai maju.
Demikian juga di bagian timur, di mana Sungai Bengawan Solo terus mengalir ke
arah timur dan bergabung dengan pesisir utara Pulau Jawa sebagai delta di Ujung
Pangkah.
Kudus G. Butak
Ujung Pangkah
Zona Antiklinorium Rembang Utara
Blora Tuban
Randublatung
Semarang Antiklinoriu
S. Lusi m Antiklin
Antiklingan
Sekarkorong
Purwodadi Rembang Pegat
G. Ungaran Bojonegoro
Selatan
Cepu
Antiklin Antiklin AntiklinGresik
Randublatung Dander
Ngimbang Lidah
ZONA KENDENG Surabaya

50 km

Gambar 2.5. Fisiografi Zona Randublatung dan Zona Rembang. Bagian timur Zona Randublatung
ditandai munculnya beberapa perbukitan antiklin terisolasi.

II.5. ZONA PERBUKITAN REMBANG

Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang


memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi utara Pulau Jawa. Zona ini
membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-lipatan
dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari beberapa
kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara Grobogan). Zona
Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang Utara dan
Antiklinorium Rembang Selatan (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang
Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium
tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah
aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur (Gambar 2.5).

Perbukitan lipatan di Zona Rembang umumnya tersusun secara en-echelon


ke arah kiri (left-stepping), mengindikasikan kontrol patahan batuan alas (basement
faults) geser sinistral berarah timur-timurlaut - barat-baratdaya (TTL-BBD) yang
membentuk antiklinorium Rembang tersebut (Husein et al., 2015). Pola ini dapat
diamati pada rangkaian perbukitan deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan
(baratlaut Tuban) di Zona Rembang bagian utara, dan rangkaian perbukitan
deretan Antiklin Gabus (baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara
Cepu).

Sebagaimana Zona Kendeng, Perbukitan Rembang juga diterobos oleh


sebuah gunungapi tua berumur Pleistosen Bawah (Lunt et al., 1998), yaitu Gunung
Butak (tenggara Rembang). Gunungapi Butak muncul tepat pada kelurusan sumbu
Antiklin Brama yang menyingkapkan Formasi Ngrayong berusia Miosen Tengah.
Namun berbeda dengan Gunungapi Pandan di Zona Kendeng yang diduga muncul
bersamaan dengan aktifitas tektonisme pengangkatan Kendeng dan mempengaruhi
pembentukan struktur perlipatan, Gunungapi Butak diduga muncul setelah proses
tektonisme pengangkatan Rembang dan tidak mempengaruhi pembentukan
Antiklinorium Rembang. Hal ini dapat dilihat dari pola perlipatan di sekitar
gunungapi tersebut yang tidak mengalami pembelokan atau perubahan dari sumbu
antiklin regionalnya. Vulkanisme Butak diinterpretasikan bersamaan dan
berhubungan dengan vulkanisme Lasem, dimana keduanya berada dalam satu
kelurusan utara-selatan (U-S).

Proses erosi permukaan tidak seintensif Zona Kendeng, sehingga


pembalikan topografi tidak lazim dijumpai di zona ini. Hal ini disebabkan oleh
litologi penyusun Zona Rembang didominasi batugamping yang bersifat lebih
resisten terhadap erosi. Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya
dilakukan oleh sungai-sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau
Jawa, sehingga tidak terbentuk delta-delta yang cukup signifikan di kawasan
tersebut.

II.6. ZONA PESISIR UTARA

Zona Pesisir Utara di bagian barat Jawa Timur memiliki karakter fisiografi
yang unik, ditandai dengan kehadiran gunungapi Muria dan Lasem, yang diduga
merupakan gunungapi belakang busur (back-arc volcanism). Dataran pesisir ini
dibentuk terutama oleh sedimentasi Sungai Serang dan Sungai Tuntang (Gambar
2.6). Sungai Serang mengerosi perbukitan Zona Kendeng hingga menjulur jauh
hulunya ke lereng timur G. Merbabu. Sungai Serang juga menerima pasokan
sedimen dari Sungai Lusi - keduanya bertemu di sebelah barat Purwodadi - yang
selain mengerosi Perbukitan Kendeng turut pula membiku Perbukitan Rembang.
Sungai Tuntang memiliki luasan cekungan pengaliran yang lebih kecil dibandingkan
Serang, ianya menggerus bebatuan Perbukitan Kendeng bagian barat dan berhulu
di Rawa Pening, sebuah genangan alamiah yang mengumpulkan air dari G.
Telomoyo.

Kedua sungai tersebut tercatat menutup selat laut yang besar, yang dikenal
sebagai Selat Muria. Selat Muria ini memisahkan Pulau Muria, sebagai sebuah pulau
gunungapi, dengan daratan utama Jawa. Berdasarkan dugaan atas catatan sejarah
(Soekmono, 1967), garis pantai pesisir utara Jawa Tengah dahulu pada abad ke-8
masih menjorok ke arah Purwodadi, dimana pusat Kerajaan Medang Kamulan
berada. Selanjutnya pada abad ke-16 di era keemasan Kesultanan Demak, garis
pantai diduga telah bergeser ke kota Demak saat ini (Gambar 2.7). Sehingga,
pergerakan majunya garis pantai sejauh 30 km terjadi dalam kurun waktu sekitar
800 tahun, dengan kecepatan sedimentasi rerata 40 m/tahun. Hingga saat ini
muara kedua sungai tersebut masih aktif dalam sedimentasi yang mendorong maju
garis pesisir antara Jepara dan Semarang, dicirikan tipe morfologi delta bird's foot.
Di sisi lain, jejak Selat Muria yang mendangkal dan berubah menjadi daratan aluvial
tersebut juga membentuk aliran Sungai Juwana, yang mengalir ke arah timurlaut
melintasi Pati dan membentuk delta tipe cuspate di sebelah barat Rembang.

G. Genuk

G. Muria
20 km
Jepara

G. Lasem
Rembang
Pati
G. Patiayam
Kudus

Demak
ZONA REMBANG
Semarang

S. Lusi

Gambar 2.6. Fisiografi Zona Pesisir Utara Jawa Timur bagian barat, ditandai dengan kehadiran
dua gunungapi belakang busur, G. Muria dan G. Lasem.
Gambar 2.7. Perubahan
morfologi pesisir utara Jawa
Timur bagian barat, akibat laju
sedimentasi Delta Serang dan
Delta Tuntang.
BAB III
STRATIGRAFI

Pada bagian ini akan dibahas mengenai stratigrafi dari masing-masing zona
fisiografi, yaitu Pegunungan Selatan, Kendeng, dan Rembang (Gambar 3.1). Adapun
Zona Solo dan Zona Randublatung sebagai zona depresi umumnya mengacu pada
zona perbukitan atau pegunungan di dekatnya. Stratigrafi Zona Solo umumnya
didekati dari stratigrafi Zona Kendeng. Stratigrafi Zona Randublatung didekati dari
stratigrafi Zona Rembang.

Gambar 3.1. Kolom stratigrafi komposit Jawa Timur.

Panduan EGR 2015/2016 17


III.1. STRATIGRAFI REGIONAL PEGUNUNGAN SELATAN
Menurut beberapa peneliti terdahulu (van Bemmelen, 1949; Sumosusastro,
1956; Surono dkk, 1992; Jurusan Teknik Geologi FT UGM, 1994; Novian drr., in
prep.;) urutan stratigrafi daerah ini dari yang paling tua hingga yang paling muda
adalah sebagai berikut:

1) Batuan malihan
Batuan tertua yang tersingkap di daerah ini ad alah batu an malih
an yang diduga berumur Kapur-Paleosen Awal. Satuan ini ter diri dari
filit, sekis mika, sekis calc-silicate, dan pualam. Di bagian barat Perbukitan
Jiwo dijumpai singkapan sekis epidote-glaucophane berdekatan dengan
serpentinit. Beberapa batuan karbonat terubah menjadi batuan metamorfik
kontak berupa garnet-wollastonite skarn disebabkan adanya intrusi diabas.

2) Formasi Wungkal-Gamping
Di atas batuan malihan diendapkan secara tidak selaras Formasi
Wungkal - Gamping yang tersusun Anggota Wungkal dan Anggot a
Gamping. Anggota Wungkal tersusun oleh konglomerat kuarsa, breksi
polimik, batupasir kuarsa, batupasir karbonatan, batulanau karbonatan
dan sisipan batugamping nummulites berumur Eosen Awal-Tengah. Di
bagian atas diendapkan secara menjari Anggota Gamping berupa sandy
Numulitic limestone dengan Nummulitic rudstone – floatstone pada bagian
bawah, kemudian pada bagian atas tersusun oleh perselingan micritic
sandstone dengan quartz arenite dan Nummulitic rudstone–floatstone. Asosiasi
foraminifera besar tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah – Eosen Akhir.
Lingkungan pengendapan anggota ini berada pada daerah fore reef hingga fore
slope pada paparan karbonat.

3) Formasi Kebo-Butak
Formasi Wungkal – Gamping berubah secara gradasio nal menjadi
Formasi Kebo-Butak. Bagian bawah Formasi Kebo-Butak terdiri dari
perselingan batupasir dengan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau,
batulempung, tuf dan serpih (Surono, 2008). Bagian tengah formasi ini
terdiri dari batupasir kerikilan. Sedangkan bagian atasnya terdiri dari
perselingan breksi polimik dengan batupasir, batupasir kerikilan,
batulempung, dan batulanau / serpih. Breksi polimik memiliki ukuran fragmen
dari kerikil – bongkah, berupa andesit, basal, batuan sedimen karbonan dan
kuarsa serta beberapa fragmen yang telah mengalami alterasi berubah menjadi
klorit berwarna hijau. Lava basalt berstruktul bantal dijumpai menyisip di
beberapa tempat pada bagian bawah formasi ini (Husein & Sari, 2011).
Selain itu dijumpai intrusi batuan beku berupa diorit, dolerit, andesit
porfir dan basalt di daerah Perbukitan Jiwo yang bertarikh Oligosen Akhir
(Surono drr, 2006).

4) Formasi Semilir
Selaras (setempat menjari) di atas For masi Kebo-Butak terendapkan
Formasi Semilir yang berumur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Form asi in
i terdiri d ar i lapili tuf, batupasir tufan, breksi autoklastik dan breksi
polimik semakin keatas muncul perlapisan batupasir tufan karbonatan .
Pada bagian bawah Formasi Semilir juga dijumpai sisipan lava andesit
yang tersingkap di sekitar Wukirharjo, Prambanan. Pada j alur Kali
Ngalang Formasi Semilir secara selaras berubah menjadi Anggota
Buyutan yang berumu r Miosen Awal (Novian drr., 2012). Bagian
bawah Anggota Buyutan tersusun atas perselingan batupasir tufan
dengan batulanau dan batubara serta dibeberapa bagian disisipi oleh breksi
vulkanik. Pada bagian atas Anggota Buyutan terdiri dari perselingan batupasir
tufan dengan konglomerat serta terdapat sisipan batulanau yang kaya akan
karbon. Beberapa peneliti menunjukkan umur dan stratigrafi yang berbeda
dari Formasi Semilir (Surono,
2008). Foraminifera pada bagian tengah menunjukkan umur Oligosen Akhir –
Miosen Awal (Rahardjo dkk., 1995) Miosen Awal hingga Miosen Tengah
(Sumarso dan Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1989; Samodra dkk., 1992).
Smyth (2005) dengan menggunakan metode U-Pb mendapatkan umur 20 juta
tahun yang lalu atau sekitar Miosen Awal. Lingkungan pengendapan formasi ini
adalah lingkungan darat – laut.
5) Formasi Nglanggran
Di bagian barat Kali Ngalang Formasi Semilir tertindih sela ras oleh
Formasi Nglanggran. Di beberapa tempat Formasi Semilir dan Nglanggran in i
berhubungan menjari. Formasi Nglanggran terdiri dari konglomerat polimik,
batupasir kerikilan, batupasir tufan, breksi andesit dengan sisipan tuf dan lava
andesit basalt. Dijumpai juga intrusi mikrodiorit/andesit yang memotong
Formasi Nglanggeran pada daerah Wediombo. Umur Formasi Nglanggran
dan intrusi mikrodiorit/ andesit ad alah Miosen Aw al.

6) Formasi Sambipitu
Selaras menindih di atas Formasi Nglanggran diendapkan Formasi
Sambipitu. Formasi Sambipitu tersusun atas perselingan batupasir karbonatan
dengan batulanau, dan perulangan batupasir karbonatan pada bagian atas yang
berumur. Di daerah Ngalang Formasi Sambi pitu tersusun oleh micritic
tuff dengan tuffaceous mudrocks serta pada beberapa bagian terdapat sisipan
allochemic conglomerate, muddy allochemic limestone, rudstone dan tuff.
Kemudian semakin ke atas keberadaan sisipan batugamping semakin banyak.
Formasi ini berumur tengah Miosen Awal – awal Miosen Tengah.

7) Formasi Oyo
Di atas formasi ini secara menjari diendapkan Formasi Oyo berumur
Miosen Tengah yang terdiri dari perselingan muddy allochem limestone dengan
sisipan tuffaceous sandstone pada bagian bawah. Kemudian pada bagian atas
dijumpai perselingan foraminiferal lime packstone, algal foraminiferal lime
packstone, dan foraminiferal lime wackestone. Berdasarkan data biofacies
menurut Hidayat (2005), paleobatimetri formasi ini pada bathyal atas – bawah.

8) Formasi Wonosari
Bagian atas Formasi Oyo menjari dengan Formasi Wonosari. Formasi
Wonosari terdiri dari perselingan batugamping dengan batugamping pasiran,
batugamping berlapis, batugamping dengan sisipan batupasir karbonatan,
perselingan batugamping dengan batupasir karbonatan, serta batugamping
silangsiur yang berumur Miosen Tengah awal Pliosen.
Di Perbukitan Jiwo, Formasi Wonosari tersusun atas perselingan
packstone-wackestone dengan napal pada bagian bawah ke arah atas berubah
menjadi perselingan packstone dengan sisipan rudstone dan tuf dengan umur
Miosen Tengah – Akhir. Berdasarkan data foraminifera besar tersebut maka
umur formasi ini berkisar antara Akhir Miosen Bawah hingga Awal Miosen
Tengah (Fadhilestari, 2011). Kemudian lingkungan pengendapan Formasi ini
berada pada reef platform margin antara back reef hingga reef front.

9) Formasi Kepek
Bagian atas Formasi Wonosari menjemari dengan Formasi Kepek.
Formasi Kepek pada bagian bawah tersusun oleh perselingan tuf dengan
batulempung dengan tebal 1,5 m kemudian batupasir tufan dengan ketebalan
sekitar 1 m, ke atas diendapkan perulangan bindstone yang berseling dengan
bafflestone serta framestone dengan tebal 15 – 20 m, kemudian di bagian
tengah formasi ini tersusun oleh perselingan wackestone dengan floatstone
yang secara perlahan berubah menjadi perselingan packstone dengan
rudstone pada bagian atas, setempat ditemukan sisipan sandy micrite dan
muddy micrite kemudian bagian paling atas dari formasi ini tersusun oleh
perselingan packstone dan grainstone. Fosil foraminifera kecil yang terdapat
dalam formasi ini adalah Orbulina unuversa, sedangkan foraminifera
besarnya antara lain Lepidocyclina, Operculina, dan Amphistegina ,
berdasarkan keberadaan fosil tersebut umur formasi ini berkisar antara N9 –
N17. Kemudian foraminifera bentonik yang terkandung dalam formasi ini
antara lain Bulimina striata dan Sphaerodinella bulloides yang menunjukkan
paleobatimetri batial tengah.

10) Endapan Kuarter


Produk fluvio-vulkanik endapan Merapi Muda mengisi Graben
Yogyakarta dan dataran di sekitarnya. Dataran di bagian utara Gunung
Baturagung telah terisi oleh material fluvio-vulkanik yang dihasilkan sejak
Pleistosen hingga saat ini.
III.2. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN KENDENG

Acuan utama dalam menyusun stratigrafi Kendeng adalah publikasi de


Genevraye & Samuel (1972) dan Pringgoprawiro (1983). Stratigrafi penyusun
Zona Kendeng merupakan endapan laut dalam di bagian bawah yang semakin ke
atas berubah menjadi endapan laut dangkal dan akhirnya menjadi endapan
nonlaut. Endapan di Zona Kendeng merupakan endapan turbidit klastik, karbonat
dan vulkaniklastik.

1) Formasi Pelang
Formasi ini dianggap sebagai formasi tertua yang tersingkap di
Mandala Kendeng. Formasi ini tersingkap di Desa Pelang, Selatan Juwangi.
Tidak jelas keberadaan bagian atas maupun bawah dari formasi ini karena
singkapannya pada daerah upthrust, berbatasan langsung dengan formasi
Kerek yang lebih muda. Dari bagian yang tersingkap tebal terukurnya berkisar
antara 85 meter hingga 125 meter. Litologi utama penyusunnya adalah
napal, napal lempungan dengan lensa kalkarenit bioklastik yang banyak
mengandung fosil foraminifera besar.

2) Formasi Kerek
Formasi Kerek memiliki kekhasan dalam litologinya berupa
perulangan perselang-selingan batulempung, napal, batupasir tuf gampingan
dan batupasir tufan. Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas
yaitu perlapisan bersusun (graded bedding). Lokasi tipenya berada di Desa
Kerek, tepi sungai Bengawan Solo, ± 8 km ke utara Ngawi. Di daerah sekitar
lokasi tipe formasi ini terbagi menjadi tiga anggota, dari tua ke muda
masing-masing:
a. Anggota Banyuurip
Anggota Banyuurip tersusun oleh perselingan antara napal
lempungan, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan
dengan total ketebalan 270 meter. Di bagian tengahnya dijumpai sisipan
batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atasnya
ditandai dengan adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter
dengan sisipan tuf halus. Anggota ini berumur N10 – N15 (Miosen tengah
bagian atas).
b. Anggota Sentul
Anggota Sentul tersusun atas perulangan yang hampir sama dengan
anggota Banyuurip, tetapi lapisan yang bertuf menjadi lebih tebal.
Ketebalan anggota Sentul mencapai 500 meter. Anggota Sentul berumur
N16 (Miosen atas bagian bawah).
c. Anggota Batugamping Kerek
Merupakan anggota teratas dari formasi Kerek, tersusun oleh
perselingan antara batugamping tufaan dengan perlapisan lempung dan
tuf. Ketebalan anggota ini mencapai 150 meter. Umur batugamping kerek
ini adalah N17 (Miosen atas bagian tengah).

3) Formasi Banyak
Formasi Banyak hanya dijumpai di Zona Kendeng bagian barat, paling
tebal di sekitar Ungaran. Formasi ini terdiri dari perselingan antara tuf,
batupasir tuf, breksi tuf gampingan, breksi volkanik, dan napal tufan yang kaya
akan globigerina, sedangkan komposisi batuan volkaniknya adalah andesitan
(van Bemmelen, 1949). Struktur sedimen berupa lapisan bersusun (graded
bedding) dan laminasi paralel, yang menunjukkan adanya arus turbid.
Hubungannya dengan Formasi Kerek di bawahnya adalah selaras, dan
berhubungan melidah atau menyilang jari dengan Formasi Kalibeng. Sering
pula dikenal sebagai anggota dalam Formasi Kalibeng (de Genevraye & Samuel,
1972). Van Bemmelen (1949) menetapkan umur Miosen Atas untuk Formasi
Banyak berdasarkan keterdapatan Lepidocyclina. Pringgoprawiro memberikan
umur N17-N18 (Miosen Atas) berdasarkan kandungan foraminifera plankton,
dengan lingkungan sedimentasi neritik luar.

4) Formasi Kalibeng
Formasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian bawah dan bagian
atas.
a. Formasi Kalibeng bagian bawah
Bagian bawah formasi Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal
600 meter, berwarna putih kekuning-kuningan sampai abu-abu kebiru-
biruan, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Ke arah timur di
sekitar Gunung Pandan, bagian atas formasi ini berkembang sebagai
endapan vulkanik laut yang menunjukkan struktur turbidit, disebut sebagai
Anggota Atasangin.
b. Formasi Kalibeng bagian atas
Bagian atas dari formasi ini kadang disebut pula sebagai Formasi Sonde,
berumur Pliosen (N19 – N21), yang tersusun mula-mula oleh Anggota
Klitik yaitu kalkarenit putih kekuning-kuningan, lunak, mengandung
foraminifera plangtonik maupun besar, moluska, koral, algae dan bersifat
napalan atau pasiran dengan berlapis baik. Bagian paling atas tersusun atas
breksi dengan fragmen gamping berukuran kerikil dan semen karbonat.
Kemudian disusul endapan napal pasiran, semakin keatas napalnya bersifat
semakin bersifat lempungan. Bagian teratas ditempati oleh lempung
berwarna hijau kebiru-biruan. Formasi Sonde ini ditemukan sepanjang
sayap lipatan bagian selatan antiklinorium Kendeng dengan ketebalan
berkisar 27 – 589 meter dan

5) Formasi Pucangan
Formasi Pucangan ini mempunyai penyebaran yang cukup luas. Di
daerah Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik
dan fasies lempung hitam. Fasies vulkaniknya berkembang sebagai endapan
lahar yang menumpang diatas Formasi Kalibeng. Fasies lempung hitamnya
berkembang dari fasies laut, air payau hingga air tawar. Di bagian bawah dari
lempung hitam ini sering dijumpai adanya fosil diatomae dengan sisipan
lapisan tipis yang mengandung foraminifera bentonik penciri laut dangkal.
Semakin ke atas akan menunjukkan kondisi pengendapan air tawar yang
dicirikan dengan adanya fosil moluska penciri air tawar.

6) Formasi Kabuh
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Kabuh, Kec. Kabuh, Jombang.
Formasi ini tersusun oleh batupasir dengan material non vulkanik antara lain
kuarsa, berstruktur silang siur dengan sisipan konglomerat, mengandung
moluska air tawar dan fosil-fosil vertebrata. Di daerah Kendeng barat formasi
ini tersingkap di kubah Sangiran sebagai batupasir silang siur dengan sisipan
konglomerat dan tuf setebal 100 meter. Batuan ini diendapkan fluvial dimana
terdapat struktur silang siur, maupun merupakan endapan danau karena
terdapat moluska air tawar seperti yang dijumpai di Trinil.

7) Formasi Notopuro
Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Notopuro, timurlaut Saradan,
Madiun yang saat ini telah dijadikan waduk. Formasi ini terdiri atas batuan tuf
berselingan dengan batupasir tufaan, breksi lahar dan konglomerat vulkanik.
Makin keatas sisipan batupasir tufaan semakin banyak. Sisipan atau lensa-lensa
breksi volkanik dengan fragmen kerakal terdiri dari andesit dan batuapung
juga ditemukan yang merupakan cirri formasi Notopuro. Formasi ini
terendapkan secara selaras diatas formasi Kabuh, tersebar sepanjang
Pegunungan Kendeng dengan ketebalan lebih dari 240 meter. Umur dari
formasi ini adalah Plistosen Akhir dan merupakan endapan lahar di daratan.

8) Endapan Undak Bengawan Solo


Endapan ini terdiri dari konglomerat polimik dengan fragmen napal dan
andesit disamping endapan batupasir yang mengandung fosil-fosil
vertebrata. di daerah Brangkal dan Sangiran, endapan undak tersingkap baik
sebagai konglomerat dan batupasir andesit yang agak terkonsolidasi dan
menumpang di atas bidang erosi pada Formasi Kabuh maupun Notopuro.

III.3. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN REMBANG

Stratigrafi zona Rembang mengikuti skema yang disusun oleh


Pringgoprawiro (1983). Berdasarkan data bawah permukaan dari eksplorasi
hidrokarbon di kawasan ini, satuan stratigrafi yang tertua di atas batuan dasar
adalah Formasi Ngimbang. Namun formasi ini tidak tersingkap di permukaan.

1) Formasi Kujung
Formasi Kujung merupakan satuan stratigrafi tertua yang tersingkap,
terutama tersusun oleh batulempung dengan sisipan batugamping dan
batupasir, terutama di bagian bawah. Batugamping di bagian bawah ini sering
disebut sebagai Batugamping Kranji. Formasi ini diendapkan lingkungan
paparan tengah hingga paparan luar.

2) Formasi Prupuh
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Prupuh, Kecamatan Paciran,
dengan stratotipe berupa batugamping bioklastik berlapis tebal, keras, kaya
akan fosil Orbitoid, yang berlapis dengan batugamping kapuran berwarna
putih kotor. Pada bagian bawah formasi ini ditemukan Globigerina ciperoensis,
Globigerina tripartita, Globorotalia kugleri, dan Globigerinita dissimilis,
sedangkan pada bagian atasnya muncul Globigerinoides immatures. Umur
Formasi Prupuh adalah N3-N5 (Oligosen Atas hingga Miosen Bawah). Pada
batugamping bioklastika dijumpai Spiroclypeus orbitoides, Lepidocyclina
verrucosa, dan Lepidocyclina sumatrensis. Lingkungan sedimentasinya adalah
neritik luar pada laut terbuka, dengan indikasi adanya gerakan massa gravitasi
lereng dasar laut. Formasi ini selaras terhadap Formasi Kujung di bawahnya,
juga terhadap Formasi Tuban yang ada di atasnya.

3) Formasi Tuban
Formasi Tuban terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat
monoton dengan beberapa sisipan batugamping. Formasi ini ini secara umum
tersusun oleh klastika karbonat dalam bentuk packstone-wackestone, yang
mengandung fosil foraminifera besar disertai dengan fragmen koral dan algae.
Kandungan fosil Globigerinoides primordius, Globortalia peripheronda,
Globigerinoides sicanus yang menunjukkan bahwa umur Miosen Awal dan
lingkungan laut dalam.

4) Formasi Tawun
Secara umum Formasi ini tersusun oleh perselingan antara
batulempung pasiran dengan batupasir dan batugamping yang kaya akan
foraminifera golongan orbitoid (Lepidocyclina, Cycloclypeus). Batulempung
pasiran berwarna abu-abu hingga abu-abu kecoklatan, semakin ke atas
cenderung berubah menjadi batulanau dengan konkresi oksida besi.
Batupasirnya biasanya cukup keras berwarna kemerahan, sebagian bersifat
gampingan dan sebagian tidak. Batugampingnya berwarna coklat muda hingga
abu-abu muda, berbutir halus sampai sedang. Penyusun utamanya adalah fosil
foraminifera besar dengan sedikit pencampur batupasir kuarsa. Ketebalan
batugamping ini mencapai 30 m. Formasi Tawun diendapkan pada Awal
hingga Miosen Tengah, pada lingkungan lingkungan paparan yang agak dalam
(outer shelf) dari suatu laut terbuka.

5) Formasi Ngrayong
Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada Formasi
Tawun. Bagian bawah yang tersusun oleh batugamping Orbitoid (Cycloclypeus)
dan batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir dengan
sisipan batugamping orbitoid.
Diantara perlapisan batulempung dijumpai struktur sedimen yang khas
yaitu gelembur (ripple mark) dan keping-keping gipsum. Batupasirnya
berwarna merah kekuningan, sering menunjukkan struktur soft sediment
deformation, disertai fosil jejak berupa lubang vertikal (memotong perlapisan)
dari kelompok Ophiomorpha. Dari kenampakan tersebut dapat ditafsirkan
bahwa bagian bawah dari satuan ini pada awalnya diendapkan pada dataran
pasang-surut (intertidal area) yang kemudian mengalami transgresi menjadi
gosong lepas pantai (offshore bar) atau shoreface yang tercirikan oleh
batupasir merah, yang selanjutnya semakin mendalam menjadi lingkungan
paparan tengah hingga paparan luar (middle to outer shelf) yang menghasilkan
batugamping yang kaya akan Cycloclypeus. Kenampakan stratigrafi tersebut
dapat dilihat di daerah Polaman. Batupasir Ngrayong merupakan reservoir
utama pada lapangan-lapangan minyak di daerah sekitar Cepu. Ketebalan rata-
rata mencapai 300 m tetapi menipis ke arah selatan dan juga ke arah timur,
karena terjadi perubahan fasies menjadi batulempung.

6) Formasi Bulu
Formasi Bulu terletak di atas batupasir Ngrayong, mempunyai
penyebaran yang luas di Antiklinorium Rembang Utara. Formasi ini tersusun
oleh kalkarenit berlempeng (platty sandstones) dengan sisipan napal pasiran.
Di beberapa tempat dijumpai kumpulan Cycloclypeus (Katacycloclypeus)
annulatus yang sangat melimpah. Kalkarenitnya tersusun oleh litoklas
karbonat, foraminifera kecil maupun besar, serta butir-butir kuarsa, feldspar
dan glaukonit. Ke arah barat, formasi ini menjadi semakin tebal. Di bagian
timur ketebalan hanya 80 m tetapi ke arah barat ketebalannya mencapai 300
m. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah pada lingkungan laut
dangkal yang berhubungan dengan laut terbuka.

7) Formasi Wonocolo
Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis.
Bagian bawahnya tersusun oleh batugamping pasiran dan batupasir
gampingan, yang secara umum menunjukkan gejala pengendapan transgresif.
Total ketebalan dari f ormasi ini lebih kurang 500 m,
menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan. Pengendapannya
terjadi pada Miosen Tengah – Atas, pada lingkungan paparan luar.

8) Formasi Ledok
Formasi Ledok mempunyai lokasi tipe di kawasan antiklin Ledok, 10
km di utara kota Cepu. Penyusun utamanya terdiri atas perselang-selingan
antara batupasir glaukonitik dengan kalkarenit yang berlempeng-lempeng,
dengan beberapa sisipan napal. Batupasirnya berwarna kehijauan hingga
kecoklatan, berbutir halus hingga sedang, dengan komposisi mineral kuarsa,
fragmen kalsit serta glaukonit yang secara keseluruhan terpilah sedang.
Ketebalan setiap perlapisan berkisar antara 10 hingga 60 cm. Bagian bawah
berbutir lebih halus dari bagian atas. Ketebalan Formasi Ledok secara
keseluruhan mencapai 230 m di lokasi tipenya. Ke arah utara, Formasi ini
berangsur-angsur berubah menjadi Formasi Paciran.

9) Formasi Mundu
Formasi Mundu memiliki ciri litologi yang khas, tersusun oleh napal
masif berwarna abu-abu muda hingga putih kekuning-kuningan, dengan
kandungan foraminifera plangtonik yang sangat melimpah. Disamping itu juga
didapatkan kandungan glaukonit tetapi hanya dalam jumlah sedikit. Di
beberapa tempat, bagian atas dari formasi ini secara berangsur berubah
menjadi batugamping pasiran. Ketebalan dari formasi ini cenderung
bertambah ke arah selatan hingga mencapai 700 m. Formasi Mundu terbentuk
sebagai hasil pengendapan laut dalam yang terjadi pada zona N17 – N20
(Miosen Akhir – Pleiosen).

10)Formasi Selorejo
Satuan ini tersusun oleh perselang-selingan antara foraminiferal
grainstone / packstone yang sebagian bersifat glaukonitan dengan batugamping
napalan hingga batugamping pasiran, dengan lokasi tipe di desa Selorejo dekat
Cepu. Ketebalan satuan ini mencapai 100 m. Selorejo kadang dianggap sebagai
anggota dari Formasi Mundu, dan merupakan reservoir gas yang terdapat
tepat di bawah kota Cepu (Balun reservoir). Lingkungan sedimentasi diduga
terjadi di laut dalam, dimana mekanisme arus turbid dengan penampian oleh
arus dasar (bottom current) yang membuat pemilahan test foraminiferanya
teronggok dengan tanpa matriks dalam bentuk grainstone dan packestones,
dengan porositas bisa mencapai 50%, baik dalam bentuk vugs, inter maupun
intra particles.

11)Formasi Lidah
Formasi ini tersusun oleh batulempung yang berwarna kebiruan dan
napal berlapis yang diselingi oleh batupasir dan lensa-lensa fossiliferous
grainstone/rudstone (coquina). Pada bagian bawah masih merupakan endapan
laut, tercirikan akan kandungan Pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. yang
melimpah. Kumpulan fosil ini mencirikan pengendapan di dasar laut pada
paparan tengah hingga luar. Di atas satuan ini batuannya menunjukkan
produk pengendapan dari lingkungan yang semakin mendangkal. Akhirnya
bagian teratas berupa lempung hasil pengendapan air tawar.

12) Formasi Paciran


Formasi Paciran tersusun oleh batugamping masif, umumnya
merupakan batugamping terumbu yang lapuk dan membentuk permukaan
yang khas akibat pelarutan (karren surface). Gejala permukaan menunjukkan
bahwa batuan penyusunnya telah berubah menjadi kapur (chalky limestone).
Formasi ini tersebar terutama di bagian utara dari Zona Rembang, dengan
masa pembentukan dari Pliosen hingga Awal Pleistosen. Di beberapa tempat
batuan ini telah terbentuk pada umur yang lebih tua, semasa dengan
pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo di bagian utara, serta semasa
dengan Formasi Mundu dan Lidah di selatan.
BAB IV
TEKTONIK DAN EVOLUSI CEKUNGAN

Peristiwa tektonik Jawa Timur dan pengaruhnya terhadap cekungan-


cekungan sedimenter serta fisiografi yang ada disusun ulang berdasarkan pada
konsep tektonik busur gunungapi (Husein, 2013). Resume diberikan dalam Gambar
4.1 di bawah ini, serta dalam kerangka tektonostratigrafi cekungan pada Gambar
4.2. Perkembangan tektonik yang terjadi di suatu daerah akan terekam dalam
wujud perkembangan stratigrafi batuan penyusun serta jenis deformasi yang
dialami oleh batuan penyusun tersebut. Setiap mandala fisiografi penyusun Jawa
Timur memiliki jenis dan pola struktur geologi yang unik, yang mencerminkan
perkembangan tektonik yang telah terjadi.

Gambar 4.1. Unsur-unsur tektonik Jawa Timur (Husein, 2015).

IV.1. PEGUNUNGAN SELATAN

Zona Pegunungan Selatan dibentuk terutama oleh tektonika penyesaran


bongkah (Husein, 2013). Sebagai sebuah tinggian busur gunungapi Oligo
-Miosen yang berkembang diatas kerak benua dan berhadapan langsung dengan
zona subduksi (Smyth et al., 2007; Satyana, 2014; Husein & Nukman, 2015),
Pegunungan Selatan Jawa Timur lebih mudah mengalami tektonika regangan yang
menyebabkan
Panduan EGR 2015/2016 31
intensifnya penyesaran bongkah. Sesar-sesar normal dengan jurus relatif ESE-
WNW banyak berkembang di tepian utara yang berbatasan dengan Zona Solo,
sehingga membuat van Bemmelen (1949) menarik hipotesis adanya fase runtuhan
Pegunungan Selatan sebagai bagian geantiklin Jawa. Husein (2013)
menginterpretasikan bahwa terangkatnya Pegunungan Selatan lebih disebabkan
akibat keseimbangan isostatik oleh penurunan Cekungan Kendeng pada awal
Pliosen. Di sisi selatan pun, gejala penyesaran bongkah berkembang baik hingga ke
cekungan depan busur (Nugraha & Hall, 2013).

Gambar 4.2. Tektonostratigrafi Jawa Timur.

Sesar-sesar geser turut berkembang di Pegunungan Selatan, terutama


berjurus NE-SW sebagai sesar geser sinistral. Salah satu sesar geser utama yang
berperan dalam fisiografi Pegunungan Selatan adalah Sesar Opak dan Sesar Oyo
yang menjadi batas barat Pegunungan Selatan. Secara tektonik, sistem sesar Opak-
Oyo tersebut masih aktif hingga kini, ditandai dengan kejadian gempabumi 2006
(Husein, 2007; Sunantyo drr., 2014).

Sesar-sesar naik dan anjak juga berkembang di Pegunungan Selatan,


terutama di bagian tengah pada Igir Baturagung, dengan jurus berarah relatif ESE-
WNW. Clements et al. (2009) menafsirkan sesar-sesar anjak tersebut berkembang
akibat adanya pemendekan (shortening) Pulau Jawa secara frontal akibat
bergesernya Pegunungan Selatan ke arah utara yang dikontrol oleh gaya tektonik
kompresif dari zona subduksi. Interpretasi lain yang diajukan adalah adanya gaya
luncuran gravitasional ke arah utara pada pembentukan Plato Wonosari yang
mendesak Igir Baturagung (Husein drr., 2008; Husein, 2013).

Rekaman tektonostratigrafi Pegunungan Selatan menunjukkan sejarah


geologinya dimulai ketika terbentuk sebagai cekungan peregangan (rift-basin),
kemungkinan bagian dari cekungan depan busur suatu lempeng mikro benua pada
awal Eosen (Gambar 4.2). Sedimentasi paparan laut pada Formasi Wungkal-
Gamping dilanjutkan dengan volkanisme Andesit Tua yang dimulai sejak Eosen
Akhir hingga Miosen Awal, menghasilkan formasi-formasi Kebo-Butak, Semilir, dan
Nglanggran. Pada akhir Miosen Awal, sedimentasi karbonat mendominasi dengan
pengendapan formasi-formasi Sambipitu, Oyo, Wonosari, dan Kepek, hingga di awal
Pliosen Pegunungan Selatan mulai terangkat dan terinversi sebagai daratan.

IV.2. ZONA SOLO

Zona Solo saat ini merupakan cekungan sedimentasi aktif, dimana hampir
seluruh permukaannya tertutup oleh endapan aluvium, sehingga sulit untuk
mencari jejak struktur geologi di permukaanya. Meski demikian, kelurusan
kemunculan busur gunungapi modern di zona ini, yang berarah relatif ESE
-WNW mengindikasikan adanya patahan besar dengan arah serupa yang memotong
kerak (deep-seated faults) sebagai jalur naiknya magma ke permukaan. Gunungapi-
gunungapi tersebut juga berkembang pada kompleksnya dengan arah yang relatif
tegaklurus pada ESE-WNW deep-seated faults, misal kompleks G. Lawu, G. Kawi-
G.Arjuna, G.Semeru-G.Bromo. Kondisi ini mengindikasikan keberadaan retakan
tegak-lurus sesar utama, yang biasa lazim terjadi pada kondisi tektonik
ekstensional.
IV.3. PERBUKITAN KENDENG

Struktur geologi yang berkembang di Perbukitan Kendeng didominasi oleh


serangkaian perlipatan asimetris bersumbu timur-barat yang membentuk
antiklinorium, dan berbagai patahan. Intensitas lipatan dan patahan berkurang ke
arah timur. Sayap utara seringkali bersudut besar hingga terbalik (sungkup), yang
terpotong oleh sesar anjak yang bergerak ke arah utara. Sesar anjak biasanya
bersifat menerus tidak terlalu dalam (thin-skinned). Namun beberapa sesar naik
bersudut besar dengan pergeseran yang signifikan juga terjadi, yang menurut data
gaya berat mungkin berasal dari batuan alas (thick-skinned) (de Genevraye &
Samuel, 1972). Lipatan-lipatan tersebut juga seringkali bersudut kecil dan
disharmonis, mengindikasikan pengaruh karakter batuan sedimen laut berbutir
halus berumur Mio-Pliosen yang bersifat plastis serta tidak kompeten.

Struktur lipatan asimetri menunjukkan adanya pemendekan di sayap utara,


dan hal ini menjelaskan adanya gaya kompresi lateral dari arah selatan ke utara. De
Genevraye & Samuel (1972) meniadakan kemungkinan luncuran gravitasional saat
sedimentasi, karena di dasar Zona Kendeng batuan alasnya berada pada posisi
miring ke arah selatan. Mereka mengusulkan gaya kompresi tersebut berasal dari
pengangkatan regional Jawa pada Plio-Pleistosen, bertepatan dengan puncak
aktivitas volkanisme busur gunungapi modern.

Husein & Nukman (2015) mengusulkan rekonstruksi Jawa Timur


berdasarkan data-data kemagnetan purba dan tomografi, menduga Zona Kendeng
adalah potongan kerak samudera yang pernah tersubduksi dibawah Pegunungan
Selatan, yang kemudian mengalami pemendekan (shortening) cekungan saat rotasi
Sundaland hingga membentuk sabuk lipatan dan sesar anjak.

Selain sesar-sesar anjak yang sejajar dengan sumbu antiklnorium, Perbukitan


Rembang juga dipotong oleh berbagai sesar geser yang memotong sumbu
antiklinorium dengan panjang hingga puluhan kilometer dalam zona patahan yang
kompleks, diduga merupakan sesar dalam (deep-seated fault) yang berasal dari
batuan alas. De Genevraye & Samuel (1972) menduga lembah Sungai Serang dan
lembah Bengawan Solo terbentuk oleh sesar-sesar geser dalam tersebut, termasuk
pula yang dilalui oleh volkanisme G. Pandan.
Pada tanggal 25 Juni 2015 terjadi gempabumi di sebelah baratdaya G.
Pandan, mengindikasikan bahwa tektonik Zona Kendeng masih aktif. Gempabumi
tersebut berasal dari patahan yang melewati G. Pandan, yaitu Sesar Pacul yang
bersifat sinistral. Pola perlipatan Kendeng di sekitar G. Pandan tampak khas, di
mana terdapat defleksi di sisi timur dan barat gunungapi tersebut (Gambar 4.3). Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh deviasi stress kompresi yang datang dari arah
selatan secara lokal akibat kehadiran dapur magma G. Pandan yang bersifat ductile.
Sehingga dapat diduga bila proses perlipatan dan pengangkatan Kendeng terjadi
relatif bersamaan dengan volkanisme G. Pandan. Cekungan Kendeng diperkirakan
mulai mengalami pengangkatan pada saat awal deposisi batugamping Klitik, di awal
Pliosen (Gambar 4.2).

Gambar 4.3. Tektonik Kendeng di sekitar G. Pandan, menunjukkan pengaruh magma pada proses
perlipatan Kendeng.

IV.4. ZONA RANDUBLATUNG


Zona Randublatung adalah salah satu zona fisiografis Cekungan Jawa Timur
Utara yang paling sedikit dipelajari. Meskipun secara fisiografis zona ini dianggap
sebagai zona transisi antara zona sabuk lipatan dan sesar anjak Kendeng dan zona
perbukitan antiklinorium Rembang, tidak banyak peneliti yang mengkaji aspek
stratigrafi dan tektonikanya.

Geomorfologi Zona Randublatung dicirikan oleh dataran bergelombang


dengan beberapa perbukitan lipatan lemah bersumbu timur-barat mencuat
diantaranya, seperti Perbukitan Dander dan Perbukitan Ngimbang (van Bemmelen,
1949). Para geologiwan menempatkan stratigrafi Randublatung dengan melihat
klasifikasi Zona Rembang, dan beberapa lapangan migas berhasil dikembangkan di
zona ini. Meski demikian, tektonik Randublatung tidak bisa didekati dengan model
Zona Rembang, karena kemiripannya pola sumbu perlipatannya lebih mendekati
Zona Kendeng.

Di Perbukitan Dander, Kabupaten Bojonegoro, dijumpai Formasi Dander yang


tersusun atas perlapisan batugamping dan napal. Formasi ini berumur Pliosen
Akhir, sebagai bagian awal dari Formasi Lidah yang diendapkan di lingkungan laut
dangkal yang mengakhiri proses sedimentasinya pada Pleistosen Tengah, sekaligus
menempatkannya sebagai endapan sedimen laut terakhir sebelum kawasan ini
terangkat menjadi daratan. Dan di hulu Kali Tidu yang mengiris Perbukitan Dander
bagian barat, terdapat singkapan geologi menarik dari Formasi Dander, dimana
perselingan batugamping dan napal terkena deformasi kompresif sebelum dierosi
oleh endapan fluviatil rombakan pengangkatan Kendeng (Kendeng Molasse)
(Gambar 4.4).

Bila dilihat sepintas, Formasi Dander tampaknya tidak menunjukkan gejala


deformasi yang kuat. Dengan struktur sedimen silang-siur mangkok berukuran
besar (low angle mega trough-cross beds), perlapisan batuannya seolah-olah berada
pada posisi relatif horisontal atau initial (sedimentary) dip, tanpa ada pengaruh
tektonik yang jelas. Namun terdapat serangkaian sesar anjak terimbrikasi pada
lapisan grainstone, memotong lapisan tersebut menjadi fragmen-fragmen
berukuran bongkah dan menyusunnya secara en-echelon, menunjukkan adanya
tenaga tektonik kompresif berarah relatif NNE-SSW. Di bagian lain, sebuah sesar
anjak memotong beberapa lapisan sekaligus, meninggalkan offset hingga 1 m, serta
bukti striasi dari stress kompresif berarah NE-SW.

Analisis struktur di atas semakin menegaskan bila tektonik Zona


Randublatung lebih dipengaruhi oleh proses deformasi Kendeng. Hal ini dapat
dipahami karena kedekatan kedua zona tersebut, selain ketiadaan bukti reaktivasi
patahan basement berarah ENE-WSW seperti yang lazim hadir mempengaruhi
konfigurasi fisiografi Zona Rembang.

Gambar 4.4. Singkapan Formasi Dander di lembah Sungai Tidu, Bojonegoro, dan implikasi tektonis
dan stratigrafisnya.
Menarik pula mencermati kehadiran Kendeng Molasse di Perbukitan Dander
yang menunjukkan sumber (provenance) dari Formasi Pucangan di Zona Kendeng
atau bahkan dari terobosan Gunungapi Pandan di selatannya. Hal ini memberikan
informasi tambahan, bahwa stratigrafi Randublatung tidak hanya dibangun oleh
Zona Rembang, namun juga mendapat pengaruh dari Zona Kendeng, setidaknya
saat Kendeng mulai terangkat semenjak pertengahan Pliosen. Tidak menutup
kemungkinan bila pengaruh serupa juga telah dialami oleh Randublatung semenjak
dahulu.

IV.5. PERBUKITAN REMBANG

Zona Rembang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara


(Northeast Java Basin), yang berkembang di ujung tenggara Sundaland. Sundaland
merupakan massa daratan yang terbentuk oleh gabungan berbagai mikrokontinen
melalui sejarah subduksi dan kolisi yang panjang semenjak Mesozoikum (Hall &
Morley, 2004). Cekungan Jawa Timur Utara diduga terbentuk pada salah satu
lempeng mikrokontinen, yaitu Lempeng Argo, yang menyusun Jawa Timur hingga
Sulawesi Barat (Hall, 2012; Husein & Nukman, 2015). Cekungan ini terbentuk pada
Kala Eosen, sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) pada tataan tepian
benua aktif (active margin) (Hall & Morley, 2004), meskipun Husein & Nukman
(2015) menginterpretasikan bila pembentukan cekungan ini lebih kepada tipe
tepian benua pasif (passive margin). Sedimen awal pengisi cekungan adalah
bersumber dari daratan (terrigenous sediments) pada saat peregangan cekungan
(basin rifting), sebelum kemudian berubah menjadi lingkungan laut pada akhir
Eosen. Struktur pengontrol peregangan berarah timurlaut-baratdaya, yang
mencerminkan pola struktur batuan dasar (Hamilton, 1979) dan pola regangan
Selat Makassar (Hall, 2002).
Novian dkk. (2014) mengusulkan hipotesis bahwa evolusi Cekungan Jawa
Timur Utara sangat dipengaruhi oleh dinamika subduksi Lempeng Samudera
Hindia. Inisiasi penunjaman Kenozoikum di selatan Sundaland dianggap memicu
pembentukan Cekungan Jawa Timur Utara. Di akhir Miosen Awal, patahnya slab
lempeng samudera berumur Albian-Turonian dan masuknya slab berumur
Oxfordian-Albian mampu menjungkitkan Pulau Jawa, termasuk menghasilkan
peristiwa orogenesa Tuban (Tuban Event) di Cekungan Jawa Timur Utara.
Berkembangnya volkanisme Jawa Modern dari subduksi slab Oxfordian-Albian
serta gaya shearing akibat tarikan slab tersebut di sepanjang Palung Jawa, mampu
menyebabkan inversi Cekungan Jawa Timur Utara dalam peristiwa Rembang
(Rembang Event) pada Pliosen Tengah.

Antiklinorium Rembang dicirikan oleh berbagai antiklin yang bertumpang-


tindih (superimposed), mengindikasikan kompleksitas deformasi yang dialami oleh
daerah tersebut. Arah umum sumbu antiklin bervariasi dari timur – barat hingga
utara-baratlaut – selatan-tenggara. Demikian pula dengan arah sesar naiknya, yang
menerus hingga ke batuan dasar, mengindikasikan tipe struktural thick-skinned
tectonic (Musliki & Suratman, 1996). Data stratigrafi regional mengindikasikan
adanya 2 fase ketidakselarasan, pertama terjadi setelah Pliosen, dan yang kedua
terjadi pada akhir Pleistosen. Setiap ketidakselarasan diikuti oleh deformasi
struktural, dimana fase pertama membentuk perlipatan berarah baratlaut-tenggara
dan timur-barat, sedangkan fase kedua hanya membentuk antiklinorium berarah
timur-barat saja (Soetantri et al., 1973).
Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan dua jenis mekanisme struktural
pembentuk lipatan yang berkembang di Zona Rembang, yaitu penyesaran geser
(wrench faulting) dan penyesaran anjak (thrust faulting). Usulan mereka sejalan
dengan beberapa model tektonik yang pernah diterapkan pada Cekungan Jawa
Timur Utara, antara lain sistem penyesaran geser (Situmorang et al., 1976), intrusi
lempung diapirik (Soetarso & Suyitno, 1976), dan sesar anjak pada bidang
pengelupasan (Lowell, 1979).
Dalam melakukan analisis pembentukan lipatan, Soeparyono & Lennox
(1989) membagi Zona Rembang ke dalam 3 blok. Pembagian tersebut berdasarkan
pada orientasi lipatan dan sesar yang berkembang. Blok pertama disebut sebagai
Blok Plantungan, menempati Antiklinorium Rembang Utara, dimana batuan yang
lebih tua dapat terangkat ke permukaan, mengindikasikan adanya pengangkatan
batuan dasar. Blok kedua disebut sebagai Blok Nglobo-Semanggi, meliputi
Antiklinorium Rembang Selatan bagian barat, dengan ciri sumbu lipatan berarah
relatif timur-barat, dengan mekanisme pembentukannya dikontrol oleh penyesaran
geser sinistral pada batuan dasar yang berarah timurlaut-baratdaya. Blok ketiga
dinamakan Blok Kawengan, yang mencakup Antiklinorium Rembang Selatan bagian

Panduan EGR 2015/2016 39


timur, dimana sebaran lipatannya memanjang dengan sumbu berarah relatif
baratlaut-tenggara, dengan mekanisme pembentukannya dikendalikan oleh sesar
anjak yang memanjang searah sumbu lipatan. Blok Nglobo-Semanggi dan Blok
Kawengan dibatasi oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya, yang
juga dianggap sebagai pembatas jenis hidrokarbon yang berkembang di kawasan
tersebut (Soeparyono & Lennox, 1989).
Hampir semua antiklin di Zona Rembang memiliki sayap asimetris yang
relatif landai, dan penunjaman sumbu (plunge) yang juga landai (Soetantri et al.,
1973). Sebagian antiklin dibatasi oleh sesar yang sejajar (longitudinal) dengan
sumbu lipatan, yang kadang merupakan jenis sesar anjak dan naik. Sesar naik dapat
diidentifikasi di bawah permukaan dengan pengeboran dan sesimik, dimana
mereka akan menghilang di kedalaman tertentu, umumnya pada Formasi Tawun
sebagai bidang pengelupasan. Sesar anjak sekunder kadang berkembang di bawah
permukaan, namun hanya menjadi blind faults yang tidak sampai memotong
permukaan, Di permukaan, sesar naik hanya diduga berdasarkan sayap lipatan
yang bersudut besar saja. Bila ada sesar yang memotong sumbu lipatan, umumnya
adalah sesar normal, yang hanya berkembang di bagian atas lipatan.

Husein dkk. (2015) melakukan interpretasi model elevasi digital serta


pengukuran kedudukan batuan di lembah Sungai Braholo, Blora, mengindikasikan
perkembangan lipatan konikal (non-silindris, dimana sumbu lipatannya tidak linear
dan ujung dari sumbu lipatannya akan menunjam) Antiklin Braholo yang
menunjam ke arah WSW (Gambar 4.5). Formasi Tawun tersingkap sebagai inti
lipatan, yang memanjang berarah E-W hingga ke Desa Plantungan, dimana
Lapangan Plantungan berada. Kemiringan perlapisan batugamping Tawun relatif
landai, disebabkan posisinya yang menempati bagian inti antiklin. Di bagian tengah
lipatan, sumbu antiklin membelok ke arah WSW, sebelum kemudian menunjam ke
arah barat di ujung baratnya (Gambar 4.5).
Formasi Ngrayong tersebar mengikuti orientasi sumbu perlipatan. Formasi
Ngrayong menempati kemiringan yang relatif besar di bagian sayap antiklin, rerata
25o baik ke sayap utara maupun sayap selatan. Meski demikian, kemiringan
perlapisan hingga >35o juga dapat terjadi di bagian sayap lipatan, terutama pada
perlapisan batupasir dan batugamping yang menyusun fasies batupasir-grainstone.
Nilai kemiringan perlapisan yang berbeda-beda tersebut mengindikasikan

Panduan EGR 2015/2016 40


perlipatan terbentuk sebagai lipatan kelas 3 di dalam klasifikasi Ramsay (Ramsay,
1967). Hal ini lazim terjadi bila beberapa lapisan yang kompeten (batupasir dan
batugamping) diselingi oleh lapisan yang tidak kompeten (batulempung)
mengalami perlipatan aktif (buckling), dimana lapisan yang kompeten akan lebih
rapat di bagian sayap dan rengang di bagian puncak, yang selanjutnya memicu
lapisan tidak kompeten untuk berkumpul di bagian puncak antiklin (Price &
Cosgrove, 1990).

Wonocolo
N

Tawun

Ngrayong Wonocolo

Leg enda:
Ledok : batas sebaran unit formasi
: sumbu antiklin
: sesar geser sinistral
1,5 km

Gambar 4.5. Peta struktur geologi, orientasi sumbu Antiklin Braholo mengalami pelengkungan
(bending) yang diakomodir oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya.

Husein dkk. (2015) melakukan 745 pengukuran pada struktur rapuh (brittle)
pada Antiklin Braholo, mencakup struktur kekar dan patahan. Populasi data
tersebut kemudian dipisahkan secara iterasi dan dikelompokkan menjadi dua,
kelompok pertama memberikan hasil gaya tektonik transtensional dengan
kompresi dari arah NW-SE dan regangan ke arah NE-SW, sedangkan kelompok
kedua memberikan hasil gaya tektonik ekstensional dengan regangan ke arah NW-
SE (Gambar 4.6). Dengan dipandu oleh adanya data perpotongan dua striasi pada
satu bidang sesar, didapatkan bila gaya kompresi NW-SE bekerja terlebih dahulu
dan gaya regangan NW-SE terjadi setelahnya. Melihat hubungan spasial kedua gaya
tersebut, diinterpretasikan bila gaya kompresi NW-SE merupakan gaya pembentuk
lipatan Braholo, sedangkan gaya regangan NW-SE merupakan gaya rilis pasca
kompresi.
(a) (b) (c)

Gambar 4.6. (a) Hasil analisis paleostress fase tektonik pertama, dengan jumlah data 310
pengukuran. (b) Analisis paleostress fase tektonik kedua, dengan jumlah data 435
data. (c) Reaktifasi sesar di puncak Antiklin Braholo, terekam sebagai superimposed
slickenlines pada grainstone Tawun. Kedudukan bidang sesar adalah N320oE/74.
Pergeseran pertama diindikasikan oleh striasi berwarna hijau dengan rake 33oNW,
berupa patahan normal sinistral yang dipicu oleh gaya kompresi tektonis berarah
WNW-ESE. Pergeseran kedua diindikasikan oleh striasi berwarna merah dengan rake
59oSE, merupakan patahan normal dekstral yang disebabkan oleh gaya regangan
berarah NW-SE.

Kedua gaya tersebut di atas diduga bekerja setelah sedimentasi Formasi


Selorejo, yaitu pada akhir Pliosen saat sedimentasi Formasi Lidah. Indikasi ini
didukung oleh litostratigrafi Formasi Lidah yang menunjukkan telah adanya
pengangkatan seiring sedimentasi formasi tersebut (syn-sedimentary tectonic)
(Gambar 4.2) (Susilohadi, 1995).
Dari analisis regional pada model elevasi digital, diketahui pula bahwa
lipatan-lipatan yang berkembang di Zona Rembang memiliki orientasi en echelon
berarah ENE-WSW (Gambar 4.7). Terhadap gaya tektonik regional Pulau Jawa yang
relatif berarah utara-selatan, orientasi antiklinorium Rembang membentuk sudut
(α) yang besar, sekitar 70o. Kondisi ini mengindikasikan bila Antiklinorium
Rembang tersebut berkembang pada sesar batuan dasar (basement fault) berarah
ENE-WSW dengan pergeseran horisontal yang relatif kecil (< 5 km) (Cramez &
Letouzey, 2001).

Lipatan konikal yang berkembang akibat sesar geser pada batuan dasar
umumnya tidak memiliki orientasi sumbu yang tegaklurus terhadap gaya tektonik
σ1 regional, karena kecenderungan lipatan konikal untuk mengorientasikan
sumbunya sejajar dengan patahan (Cramez & Letouzey, 2001). Akibatnya gaya
tektonik σ1 lokal akan mengalami modifikasi arah, berupaya tegak lurus terhadap
sesar basement. Kondisi ini terekam di Antiklin Braholo, dimana gaya kompresi
pembentuk lipatan yang berarah NW-SE memiliki orientasi relatif tegak lurus
terhadap sesar basement (Gambar 4.7).
s3
Jepara Rembang s1
Pati
Basement faults (?)
Tuban

Demak Blora
s1
Purwodadi
Lamongan
Gresik
s3
Randublatung Cepu Bojonegoro

Surabaya

Sragen Ngawi Mojokerto s1 regional

Gambar 4.7. [kiri] Distribusi lipatan di Zona Rembang (garis berwarna merah) dan hubungannya
dengan patahan basement. [kanan] Model orientasi gaya tektonik, dimana gaya
kompresi σ1 regional mengalami reorientasi dari arah relatif utara-selatan menjadi
berarah relatif baratlaut-tenggara akibat kedudukan patahan yang menyudut besar
terhadap gaya tektonik utama.

Karena lipatan konikal memiliki kecenderungan untuk sejajar dengan


patahan basement, maka lazim pula berkembang sesar geser pada tubuh lipatan
yang orientasinya menyudut lancip terhadap patahan (Cramez & Letouzey, 2001),
dimana sesar geser tersebut berfungsi untuk mengakomodasi perpanjangan yang
dialami oleh lipatan ke arah gaya tektonik σ3 regional. Pada Antiklinorium Rembang
banyak berkembang sesar-sesar geser sinistral NE-SW yang memotong lipatan
seperti demikian, termasuk yang melewati Sungai Braholo (Gambar 4.5).
Secara regional, umumnya pembentukan Antiklinorium Rembang ini
dikaitkan dengan aktifitas sesar regional Rembang-Madura-Kangean-Sakala
(RMKS) yang merupakan sesar sinistral (Satyana et al., 2004). Namun Husein dkk.
(2015) menunjukkan hal yang berbeda, dimana patahan-patahan basement ENE-
WSW yang paling berperan, yang cenderung bersifat lokal, hanya berada di Zona
Rembang saja, karena pola perlipatan en echelon tidak berkembang ke arah timur.
Pola perlipatan di Pulau Madura hingga Sakala lebih cenderung menyerupai
Antiklinorium Kendeng, yaitu relatif paralel tanpa ada susunan en echelon.

IV.6. GUNUNGAPI BELAKANG BUSUR (G. LASEM)

Gunung Lasem merupakan sebuah gunungapi strato berdiameter sekitar 13


km dan dengan ketinggian 806 m dari permukaan laut. Di selatan G. Lasem terdapat
gunungapi yang berukuran lebih kecil dengan diameter kurang dari 2 km, yaitu G.
Senjong; keduanya dipisahkan oleh singkapan Formasi Mundu – Formasi Wonocolo
di lembah Sungai Bagoran selebar 300 m yang berarah relatif timur -barat. Ke
arah selatan 10 km dari G. Senjong, terdapat pula gunungapi yang berukuran
relatif sama, yaitu G. Butak. Kedua gunungapi kecil tersebut, G. Senjong maupun G.
Butak, menerobos bagian sumbu perlipatan yang relatif memanjang berarah timur-
barat yang tersusun oleh Formasi Bulu dan Formasi Ngrayong (Situmorang dkk.,
1992). Kelurusan ketiga gunungapi tersebut, Lasem – Senjong – Butak,
mengindikasikan adanya patahan dalam (deep-seated fault) berarah relatif
utara-selatan yang menjadi jalan naiknya magma. Zaim (1989) menduga usia
volkanisme Lasem terjadi pada rentang Pliosen Akhir - Plistosen (2 - 0,5 jtl).
Berdasarkan data mineralogi hasil analisis geokimia batuan volkanik, Zaim
(1989) mendeskripsikan penyusun Gunungapi Lasem terdiri dari abrasokit (batuan
basal alkalin dengan proporsi seimbang antara olivin, augit, labradorit, dan
sanidin), sosonitik (batuan basal tersusun atas fenokris olivin dan augit dalam
massa dasar labradorite), tefrit (batuan basal tersusun oleh plagioklas-Ca, augit,
dan nefelin/leusit) ultrapotasik, dan trakiandesit (bertekstur afanitik tersusun oleh
feldspar alkali dan plagioklas bersama mineral mafik) alkalin potasik. Batuan-
batuan seri sosonitik ultrapotasik demikian cenderung terbentuk pada busur
gunungapi dengan zona subduksi dalam dan sudut penunjaman yang besar
(Morrison, 1980).
Setijadji (2010) mengelompokkan Gunungapi Lasem dan Gunungapi Muria
sebagai volkanisme belakang busur (back-arc volcanism), dengan posisi slab
lempeng Samudera Indo-Australia pada kedalaman 330 km di bawah permukaan
(bahkan hingga 370 km, menurut Handley et al., 2011), dan sudut penunjaman
sekitar 59o (Claproth, 1989). Untuk magmatisme Gunungapi Muria sendiri,
Edwards et al. (1991) berdasarkan analisis unsur jejak dan isotop menduga berasal
dari dua sumber: magma kaya potassium yang berasal dari sumber intra-lempeng
(within-plate) akibat adanya penipisan kerak benua dan magma kalk-alkali yang
berasosiasi dengan proses subduksi lempeng kerak samudera.
BAB V
LOKASI PENGAMATAN

V.1. GUNUNG GAJAH, BAYAT

Stopsite pertama berada di Desa Gunung Gajah, Bayat, Klaten. Lokasi ini di
dalam peta geologi regional lembar Surakarta-Giritontro (Surono dkk., 1992)
dimasukkan di dalam Kompleks Batuan Malihan (KTm) yang dilalui oleh patahan
berarah ENE-WSW.

Di lokasi ini dijumpai singkapan hasil bukaan tanah untuk lahan


perkebunan, berupa tebing setinggi 1 m hingga 3 m. Singkapan ini menjadi menarik
karena dijumpai kontak batuan Paleogen di atas batuan basement berupa filit. Filit
ini tersingkap hanya sedikit di tebing sisi barat. Di atas filit ini diendapkan breksi
dan di atasnya terendapkan perselang-selingan batupasir karbonatan dan
batulanau karbonatan. Pada breksi ini terbentuk inisial dip yang menunjukkan
bahwa filit tersebut merupakan alas dari pengendapan breksi tersebut, bukan
hanya sekedar blok batuan yang lebih tua masuk ke dalam batuan yang lebih muda
seperti pada endapan meé lange sedimenter di Karangsambung. Basement ini
merupakan alas dari batuan-batuan yang menyusun Pegunungan Selatan.

Pada tebing sisi utara yang tersusun oleh batupasir karbonatan terdapat
bidang sesar yang berarah relatif barat laut-tenggara. Sedangkan di tebing sisi
timur tersusun oleh perselang-selingan batupasir dan batulempung setebal 6 m dan
di atasnya terbentuk perulangan batupasir gradasi normal. Pada susunan batuan
tersebut terdapat dua sill. Dari pengamatan petrografi dapat diidentifikasi bahwa
batuan beku tersebut berupa diabas (Setiawati, 2013).

Hal yang harus diperhatikan :


 Perhatikan kontak antara filit dan batugamping di atasnya, lihat orientasi
batugamping yang ada tepat di atas filit.
 Amati jenis batuan beku yang ada di bukaan sisi timur, lihat pula
hubungannya dengan batuan sedimen di sekitarnya.
 Pikirkan bagaimana hubungan antara batuan yang berada di ketiga tebing
(bukaan) sisi barat, utara, dan timur.
Tugas untuk dikerjakan :

 Ukur strike dan dip batuan di sekitar filit.


 Tentukan fasies yang berkembang pada batuan sedimen yang ada.
 Tentukan bagaimana hubungan antara urutan batuan di tebing barat dan
tebing timur.

Batugamping Nummulites
Diabas

Filit-grafit Batupasir halus - batulanau

(a) (b)
Gambar 5.1. (a) Kontak non-conformity antara filit grafit dan batugamping nummulites. (b) Kontak
intrusi sill diabas terhadap perselingan batupasir-batulanau yang tersesarkan.

Gambar 5.2. Diagram singkapan tebing barat dan timur.


V.2. WATUTUGEL, GESI

Stopsite kedua terletak di G. Watutugel, Gesi, Sragen. Di dalam peta geologi


lembar Ngawi (Datun dkk., 1996) termasuk ke dalam Formasi Kerek dan dipotong
oleh sesar geser sinistral berarah NNE-SSW. Singkapan ini terletak pada tebing
bukit setinggi 20 meter yang terbuka oleh aktifitas penambangan bahan galian
golongan C, untuk kepentingan konstruksi. Hingga saat pelaksanaan EGR 2016 ini,
aktifitas penambangan masih berjalan, sehingga diharapkan kehati-hatian para
peserta saat di lokasi.

Singkapan Watutugel memperlihatkan seri batuan volkanik, dari yang


berbutir pasir sedang karbonatan, berbutir pasir halus dan lan au,
hingga berukuran bongkah. Secara ringkas, terdapat dua unit litologi, yaitu
(1) perselingan batupasir tufan dan tuf, dengan sisipan batupasir tufan
karbonatan; dan (2) breksi andesit. Unit breksi andesit mengerosi unit batupasir
tufan – tuf, dimana terdapat satu blok besar tubuh unit batupasir tufan – tuf
yang masuk kedalam unit breksi andesit sebagai mega-klastika, dengan posisi
sudah terbalik kedudukan perlapisannya. Unit perselingan batupasir tufan – tuf
dapat dianggap sebagai endapan transportasi massal (MTD – mass transport
deposits) yang dikontrol oleh gaya gravitasi pada lingkungan laut dalam, dengan
banyaknya kehadiran endapan debris serta sebagian kecil endapan turbidit.

Karena seluruh material merupakan produk volkanik, dapat dikatakan


bahwa singkapan Watutugel ini mencerminkan contoh sedimentasi gaya berat
pada material erupsi gunungapi yang masuk ke lingkungan lereng dasar laut. Hasil
analisis arah arus purba (paleocurrent) menunjukkan arah sedimentasi berasal
dari utara. Tampaknya gunungapi tersebut berada di atau dekat dengan daratan,
diindikasikan temuan laminasi material organik pada bidang-bidang perlapisan
batupasir tufan karbonatan.

Berdasarkan karakteristik litologinya yang didominasi batuan volkanik


hingga berukuran breksi, singkapan Watutugel dapat dimasukkan ke dalam
Formasi Banyak (Pringgoprawiro, 1983), yang sering pula dianggap sebagai
anggota dari Formasi Kalibeng bagian bawah. Struktur geologi yang dijumpai di
singkapan ini adalah keberadaan Sesar Sinistral Watutugel yang berarah NNE-SSW.
Hal yang harus diperhatikan :
 Perhatikan kedudukan unit perlapisan batupasir tufan – tuf, serta struktur
sedimennya.
 Kontak antara unit breksi andesit dan unit perlapisan batupasir tufan - tuf.
 Perkembangan struktur di zona Sesar Watutugel.

Tugas untuk dikerjakan :

 Tentukan mekanisme sedimentasi pada kedua unit batuan.


 Kumpulkan bukti-bukti pergerakan Sesar Watutugel.
 Rekonstruksi proses erosional yang terjadi saat awal sedimentasi unit breksi
andesit.

Gambar 5.3. (a) Kontak erosional antara breksi andesit dan perselingan batupasir tufan – tuf;
sesar geser sinistral berjurus NNE-SSW memotong singkapan. (b) Endapan
transportasi massal (MTD – mass transport deposits) akibat gaya berat pada batuan
volkanik laut dalam (unit perselingan batupasir tufan – tuf), dimana endapan turbidit
fasies distal kadang hadir diantara endapan debris berbutir halus.

Gambar 5.4. Diagram singkapan tebing timur Watutugel.


V.3. KEDAWUNG, MONDOKAN

Stopsite ketiga terletak di Kedawung, Mondokan, Sragen. Di dalam peta


geologi lembar Salatiga (Sukardi & Budhitrisna, 1992) termasuk ke dalam Formasi
Kalibeng dan Anggota Klitik. Singkapan berada di tebing sungai yang mengalir
relatif ke arah timur.

Pada lokasi ini tersingkap transisi antara napal Formasi Kalibeng yang
secara gradual berubah menjadi batugamping Klitik. Tampaknya batugamping
Klitik diendapkan pada lingkungan paparan landai, yang seringkali mengalami
ekspose ke permukaan, sehingga terbentuk banyak lapisan tanah purba (paleosol).
Bagian atas tebing sungai umumnya tersusun atas endapan sungai purba yang
membentuk teras. Melihat endapan teras tersebut tersusun atas bongkah-bongkah
batuan yang berukuran besar, tampaknya pengendapan sungai purba Kedawung
berada pada lingkungan sungai teranyam (braided channel) yang membawa
endapan-endapan orogenik (molasse) perbukitan Kendeng di sekitarnya. Saat ini
tipe Sungai Kedawung adalah kelok-toreh (incised meandering channel) yang
menunjukkan sifat superimposed terhadap struktur perlapisan batuan selama erosi
vertikalnya.

Gambar 5.5. (a) Kontak gradasi antara napal dan batugamping. (b) Kehadiran beberapa lapisan
tanah purba (paleosol), ada yang tua, ditemukan diantara batugamping; dan ada yang
muda menutupi batugamping.
V.4. BLEDUG KUWU

Stopsite keempat terletak di Kuwu, Kradenan, Grobogan. Yang dikunjungi


adalah fenomena semburan lumpur alamiah, yaitu Bledug Kuwu, yang termasuk
dalam Kradenan Mud Volcano Complex (KMVK). KMVK secara fisiografis terletak di
Dataran Randublatung (Novian dkk., 2012). Lokasi ini merupakan satu dari
beberapa gunung lumpur yang ada di Zona Kendeng dan Zona Rembang. Gunung
lumpur di Bledug Kuwu masih aktif hingga saat ini, hal itu dibuktikan dengan
masih adanya semburan lumpur dan material lainnya yang dikeluarkan secara
periodik. Material yang dikeluarkan berupa lumpur, air, gas, dan batuan.
Batuan yang terbawa lumpur di lokasi ini beraneka macam, atara lain batuan
metamorf, batugamping, batupasir, dan batulanau. Gas yang muncul di sini sagat
bervariasi, mulai dari gas biogenik, gas asosiasi minyak, sampai dengan gas
kondensat kering (Burhannudinnur dkk., 2012).

Gunung lumpur di lokasi ini membentuk morfologi khas berupa pie, salsa
kecil, dan pool (Burhannudinnur dkk., 2012), dimana Bledug Kuwu merupakan
suatu pie besar dengan diameter 60 m. Di dalam pie utama tersebut terdapat pie-
pie kecil yang membentuk suatu kelurusan. Selain itu di Kuwu juga nampak
beberapa gryphon dengan pool diantaranya. Hal itu dimungkinkan karena pie-
pie kecil tersebut muncul mengikuti pola rekahan yang ada. Dari hasil analisa
kimia yang dilakukan Burhannudinnur dkk. (2012) diperoleh data bahwa pH
air di Bleduk Kuwu adalah 6,5 – 7 dengan suhu mencapai 30° C - 32°C. Gunung
lumpur di kompleks ini mempunyai kandungan Na, Cl, dan Mg yang lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa gunung lumpur yang berada di selatan dari
kompleks ini. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan material sumber dari
gunung lumpurnya. Komposisi mineral penyusun gunung lumpur ini terdiri dari
smektit, kaolinit, kuarsa, dan feldspar (Burhannudinnur, dkk., 2012).

Berdasarkan analisis foraminifera kecil dan foraminifera besar yang


dilakukan Novian dkk (2012) diketahui bahwa sumber material lumpur tertua
berada pada umur N7 – N9 (Miosen Awal – Miosen Tengah). Dari data tersebut
diperoleh kesimpulan bahwa sumber lumpur berasal dari bagian atas Formasi
Tuban. Material dari formasi ini dapat muncul ke permukaan disebabkan oleh dua
faktor, yang pertama yaitu dikarenakan tekanan dari tubuh lumpur itu sendiri
yang
muncul karena tekanan pembebanan sedimentasi (overburden pressure) yang
didapat saat pengendapan dan tekanan yang diakibatkan oleh sesar – sesar
naik yang memotong daerah ini setelah mengalami inversi. Hal itulah yang
menjelaskan mengapa batuan metamorf dapat terbawa oleh semburan gunung
lumpur di sini.

Hal yang harus diperhatikan :

 Posisi mud volcano Bledug Kuwu secara fisiografis terhadap geomorfologi


sekitarnya.
 Fluida yang dikeluarkan bersama lumpur.
 Orientasi titik semburan baru yang muncul di sekitar titik semburan utama.

Tugas yang harus dikerjakan di stopsite :

 Tentukan karakter fisik dari mud volcano Bleduk Kuwu.


 Perhatikan dan tentukan pola kelurusan gyphon yang ada.
 Amati karakter dari material yang dihasilkan oleh mud volcano.

Gambar 5.6. (a) Area mud volcano Bledug Kuwu pada saat tenang (kamera menghadap barat);
walaupun tenang namun masih dapat diamati adanya uap air yang muncul di atas
lokasi semburan lumpur. (b) Gryphon dan pond yang mulai mengering membentuk
mud crack.
V.5. POLAMAN, SENDANGHARJO

Stopsite kelima terletak di Polaman, Sendangharjo, Blora. Singkapan berupa


Formasi Ngrayong dengan bagian bawah singkapan tersusun oleh batulempung
yang berubah ke arah atas menjadi batulempung berseling dengan batupasir dan
shale. Batupasir pada perselingan menunjukkan penurunan ketebalan ke arah atas.
Batulempung mempunyai warna abu-abu kehijauan. Makin ke atas batulempung
berubah menjadi batupasir dan dijumpai gastropoda dan pelecypoda dengan
orientasi yang tidak jelas yang diinterpretasikan fosil tersebut in situ (biocoenose).
Amber dan batubara sering dijumpai pada batulempung dan batupasir. Ke arah atas
secara gradasional batuan berubah menjadi batugamping Cycloclypeus. Perubahan
batuan pada Formasi Ngrayong ini menunjukkan perubahan lingkungan dari daerah
transisi menuju laut dangkal yang terbuka.

Batupasir mempunyai porositas yang bagus sehingga baik untuk batuan


reservoar. Shale dapat bertindak sebagai source rock sementara batugamping
Cycloclypeus dapat bertindak sebagai seal.

Hal yang harus diperhatikan :

 Perubahan litologi dari batupasir menjadi batugamping.


 Jenis gelembur yang ada, gelembur arus ataukah gelembur gelombang.
 Keterdapatan gipsum dan implikasi pada kondisi sedimentasinya.

Gambar 5.7. (a) Singkapan pada bekas bukaan tambang di Polaman (kamera menghadap timur),
tebing utara tersusun atas batulempung heterolitik, lantai bukaan tambang tersusun
atas batupasir kuarsa, dan tebing selatan tersusun oleh batugamping rudstones. (b)
Singkapan struktur gelembur gelombang (ripple marks) pada batulempung
heterolitik, panah menunjukkan arah arus purba (paleocurrent) bolak-balik yang ada
di lingkungan pasang-surut.
Gambar 5.8. Diagram singkapan Polaman.

Tugas yang harus dikerjakan di stopsite :

 Tentukan berapa siklus perubahan dalam – dangkal yang terjadi di lokasi ini.
 Tentukan paleoccurrent yang ada berdasarkan data asymetric ripple yang
ada.
 Rekonstruksikan lingkungan pengendapan untuk singkapan Polaman.
V.6. SUNGAI BRAHOLO, SENDANGHARJO

Stopsite keenam terletak di lembah Sungai Braholo, Sendangharjo, Blora. Di


stopsite ini dijumpain singkapan batuan setebal kurang lebih 31 m, dari bawah ke
atas tersusun oleh perselang-selingan rudstone, kemudian berubah menjadi
batupasir yang tidak karbonatan, semakin ke atas batupasir. Dijumpai singkapan
pada bagian hulu sungai dengan urutan batuan yang tersingkap setebal 7 m
berupa foraminiferal rudstone yang berubah menjadi batupasir, batulanau dan
ditutup oleh batupasir kembali. Singkapan ini diperkirakan masuk ke dalam
Formasi Tawun.

Di atas Formasi Tawun secara gradasional terendapkan Formasi Ngrayong


yang didominasi oleh batupasir kuarsa. Akibat lingkungan pengendapan yang
sangat dangkal maka pada batas Formasi Tawun-Ngrayong ini diduga pernah
mengalami fase darat sehingga terjadi diagenesis pada batuan-batuan di batas
antara kedua formasi ini. Diagenesis terlihat jelas pada batuan karbonat yang
menghasilkan batuan karbonat berpori bagus dan yang mengalami sementasi.
Beberapa sesar juga dijumpai memotong singkapan batuan pada daerah ini.
Petroleum system yang bisa diamati berupa batuan induk, reservoir, seal, dan jalur
migrasi.

Hal yang harus diperhatikan :

 Perubahan litologi yang ada, baik secara vertikal maupun lateral.


 Kemenerusan lapisan batuan secara lateral.
 Asosiasi struktur geologi berupa lipatan, sesar, dan kekar yang berkembang
di lokasi pengamatan.

Tugas yang harus dikerjakan di stopsite :

 Tentukan jenis struktur geologi yang berkembang sepanjang lokasi


pengamatan.
 Tentukan hubungan antara Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong dari data
di lokasi pengamatan.
 Tentukan mekanisme pengendapan Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong.
Gambar 5.9. (a) Singkapan di Kali Braholo yang menunjukkan perubahan dari batugamping
menjadi batuan silisiklastik dan menjadi batuan mix-silisiklastik sampai batugamping
di bagian atasnya (kamera menghadap barat daya). (b) Sumbu antiklin berarah
relatif barat – timur di Kali Braholo (kamera menghadap barat).

Gambar 5.10. Diagram singkapan Braholo.


V.7. WADOK PANOHAN, GUNEM

Waduk Panohan terletak di selatan Rembang, dibangun pada morfologi


hogback sayap utara Antiklin Brama, yang tersusun atas batugamping Formasi
Bulu. Tipe bendungan yang dibangun adalah urugan batu dengan inti tegak, setinggi
17 m dari permukaan sungai, dan panjang 150 m, dengan volume
timbunan
mencapai 65.965 m3. Waduk Ponahan adalah bendungan fungsi tunggal, yaitu
hanya untuk irigasi saja. Sungai yang dibendung adalah Sungai Grubugan yang
berada pada zona curah hujan 1500-2000 mm per tahun, sehingga diperkirakan
dapat menampung sebanyak 1,206,000 m3 air untuk irigasi seluas 530 Ha.

Gambar 5.11. Letak Waduk Panohan pada peta geologi Lembar Rembang (Kadar & Sudijono, 1993).

Gambar 5.12. Tubuh Waduk Panohan.


V.8. PANTAI INDAH, SLUKE

Stopsite kedelapan adalah tebing Pantai Indah, Sluke, Rembang. Di sini


tersingkap endapan fluvio-volkanik Gunungapi Lasem. Pada bagian bawah tebing,
tersusun batupasir kerakalan dengan fragmen batuan beku yang sudah membola,
sebagai produk dari sungai teranyam (braided channel). Di atasnya secara erosional
diendapkan breksi hasil sedimentasi lahar. Pada tubuh batupasir berkembang
struktur liesegang dengan baik.

Gambar 5.13. (a) Endapan fluvial yang ditutupi oleh endapan lahar. (b) Struktur liesegang yang
terjadi akibat pengendapan unsur-unsur besi secara diagenetik oleh air tanah.

V.9. HUTAN MANGROVE BANGGI, REMBANG

Stopsite terakhir dalam EGR 2016 ini adalah Hutang Mangrove Banggi,
Rembang. Di lokasi ini para peserta EGR dapat mengamati model lingkungan
sedimentasi modern pesisir utara Jawa saat ini, sebagai analog bagi rekaman
stratigrafi di Cekungan Rembang, terutama pada Formasi Ngrayong.

Lingkungan estuarina dengan model sedimentasi paparan lumpur (mud flat)


berada dalam jarak yang dekat dengan lingkungan delta untuk model sedimentasi
batupasir. Tidak berapa jauh di lepas garis pantai (~800 m) terdapat terumbu
karang sebagai model sedimentasi karbonat. Sekuen batuan sebagaimana Formasi
Ngrayong di singkapan Polaman dapat diandaikan terbentuk bila ketiga lingkungan
sedimentasi tersebut (mud flat, delta, terumbu) berada dalam sistem transgresif,
dimana muka air laut mengalami kenaikan dan menggeser lingkungan-lingkungan
sedimentasi tersebut secara lateral dan gradual.
Gambar 5.14. Citra Google yang menunjukkan distribusi terumbu karang di perairan Rembang.
Lingkaran putih bergaris merah adalah lokasi stopsite 9. Garis persegi-empat
berwarna oranye adalah letak zoom-in Gambar 5.14.

Gambar 5.15. Citra Google yang menunjukkan sebaran lingkungan sedimentasi modern pesisir
Banggi, Rembang.
DAFTAR PUSTAKA

Burhannudinnur, M., D. Noeradi, B. Sapiie, dan D. Abdassah (2012) Karakter Mud


Volcano di Jawa Timur, Proceedings the 41st IAGI Annual Convention
and Exhibition, Yogyakarta, EG-49, p. 300 – 304.
Claproth, R. (1989) Petrography and Geochemistry of Volcanic Rocks from Ungaran,
Central Java, Indonesia. Ph.D. Thesis, Department of Geology, University of
Wollongong, 500 p.
Clements, B., R. Hall, H.R. Smyth, and M.A. Cottam (2009) Thrusting of a volcanic
arc: a new structural model for Java. Petroleum Geoscience, 15, pp. 159–174

Cramez, C., and J. Letouzey (2001) Basic Principles in Tectonics. Universidade


Fernando Pessoa, Portugal.
Datun, M., Sukandarrumidi, B. Hermanto, dan N. Suwarna (1996) Peta Geologi
Lembar Ngawi, Jawa. Edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi.
De Genevraye, P. and L. Samuel (1972) Geology of The Kendeng Zone (Central &
East Java). Proceedings of the Indonesian Petroleum Association 1 st Annual
Convention and Exhibition, p. 17 – 30.

Edwards, C., M. Menzies, and M. Thirlwall (1991) Evidence from Muriah, Indonesia,
for the Interplay of Supra-Subduction Zone and Intraplate Processes in the
Genesis of Potassic Alkaline Magmas. Journal of Petrology, 32(3), pp. 555-
592.

Fadhilestari, I. (2011) Rekonstruksi Lingkungan Pengendapan dan Penentuan Umur


Berdasarkan Foraminifera Besar pada Formasi Wonosari, Kecamatan
Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi,
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 148 p.
Hall, R. (2012) Late Jurassic - Cenozoic reconstruction of the Indonesian region and
the Indian Ocean. Tectonophysics, 570-571, pp. 1-41.

Hall, R., and C.K. Morley (2004). Sundaland Basins. In P. Clift, P. Wang, W. Kuhnt, &
H. (eds.) Continent-Ocean Interactions within the East Asian Marginal Seas.
Geophysical Monograph, American Geophysical Union, 149, pp. 55-85.
Hamilton, W. (1979) Tectonics of the Indonesian Region, USGS Professional Paper,
vol. 1078, 345 p.
Handley, H.K., S.P. Turner, C.G. Macpherson, R. Gertisser, and J.P. Davidson (2011)
Hf-Nd isotope and trace element constraints on subduction inputs at island
arcs : limitations of Hf anomalies as sediment input indicators, Earth and
planetary science letters, 304 (1-2). pp. 212-223.
Hidayat, M.I. (2005) Biostratigrafi Foraminifera Plangtonik dan Penentuan
Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foraminifera Bentonik Kecil pada
Formasi Oyo, Jalur Kali Widoro – Kali Oyo – Kali Grinsing, Desa Bunder, Playen,
DIY; Skripsi, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta.
Husein, S. (2007). Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan. Prosiding
Seminar Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah,
Pusat Survei Geologi, Yogyakarta, 8 pp.

Husein, S. (2013) Perkembangan Tektonik Pegunungan Selatan Yogyakarta: dari


busur volkanik hingga patahan bongkah, sebuah kontribusi pemikiran.
Presentasi pada Seminar Nasional memperingati 30 tahun Stasiun Lapangan
Geologi 'Prof. R. Soeroso Notohadiprawiro' Bayat, Jurusan Teknik Geologi FT
UGM.
Husein, S. (2015) Petroleum and Regional Geology of Northeast Java Basin, Indonesia
- Excursion Guide Book for Universiti Teknologi Petronas Malaysia.
Department of Geological Engineering Universitas Gadjah Mada, 21 p.
Husein, S., K. Kakda, dan H.F.N. Aditya (2015) Mekanisme Perlipatan En-Echelon di
Antiklinorium Rembang Utara, Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
GEO41, pp 224-234
Husein, S., A. Mustofa, A. Matikayuda, dan I. Sudarno (2008a). Kompleks Lipatan
Alaskobong: laboratorium alam geologi struktur. Prosiding Seminar Nasional
“Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional”,
Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta, 12 hal. ISBN 978-979-17549-0-
3.
Husein, S., A. Mustofa, I. Sudarno, and B. Toha (2008b). Tegalrejo Thrust Fault as an
Indication of Compressive Tectonics in Baturagung Range, Bayat, Central
Java. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 37,
Bandung, pp. 258-268.
Husein, S. and M. Nukman (2015) Rekonstruksi Tektonik Mikrokontinen
Pegunungan Selatan Jawa Timur: sebuah hipotesis berdasarkan analisis
kemagnetan purba. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8 Jurusan
Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, GEO42,
p 235-248.

Husein, S., J. Jyalita, dan M.A.Q. Nursecha (2013) Kendali Stratigrafi dan Struktur
Gravitasi pada Rembesan Hidrokarbon Sijenggung, Cekungan Serayu Utara.
Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, S03, pp. 474-489.
Husein, S. dan R. Sari (2011) Sedimentasi Terpicu Gaya Berat di Bagian Bawah
Formasi Kebo, Mojosari, Bayat, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional
Ilmu Kebumian ke-4 dan Pelepasan Purna Tugas Dosen Teknik Geologi FT
UGM, pp. 119-140. ISBN 978-979-17549-9-6.
Husein, S. and Srijono (2007). Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan
DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam
proses pembentukan pegunungan. Prosiding Seminar Potensi Geologi
Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah, Pusat Survei Geologi,
Yogyakarta, 10 pp.
Kadar, D. dan Sudijono (1993) Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi.

Jurusan Teknik Geologi FT UGM (1994) Geologi Daerah Pegunungan Selatan: Suatu
Kontribusi. Kumpulan Makalah Seminar Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa,
Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuater. Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 hal (extended abstract).
Lehmann, H. (1936) Morphologische Studien auf Java: Geographische Abhandlungen,
Series 3, no. 9, pp. 1–114.

Lowell, J.D. (1980) Wrench versus compressional structures with application to


Southeast Asia. Southeast Asia Petroleum Exploration Society Proceedings, 5,
pp. 63-70.
Lunt, P., R. Netherwood, and O.F. Huffman (1998) Guide Book of IPA Field Trip to
Central Java. Indonesian Petroleum Association, Jakarta, 65 pp.
Musliki, S., and Suratman (1996) A Late Pliocene Shallowing Upward Carbonate
Sequence and Its Reservoir Potential, Northeast Java Basin. Proceeding of
25th Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association,
pp. 43-54.
Pannekoek, A.J. (1949) Outline of the Geomorphology of Java. Reprint from
Tijdschriftvan Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, vol.
LXVI part 3, E.J. Brill, Leiden, pp. 270-325.
Pringgoprawiro, H. (1983) Biostratigrafi dan Paleogeografi Cekungan Jawa Timur
Utara, Suatu Pendekatan Baru. Desertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung.
Morrison, G. (1980) Characteristics and tectonic settings of shoshonite rock
association, Lithos, 13, pp. 97-108.

Novian, M.I., D.H. Barianto, S. Husein, dan Akmaluddin (in preparation) Peta Geologi
Lembar Wonosari dan Semanu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pusat
Survei Geologi, Bandung.
Novian, M.I., P.P. Utama, dan S. Husein (2013) Penentuan Batuan Sumber
Gununglumpur di Sekitar Purwodadi Berdasarkan Kandungan Fosil
Foraminifera. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6, Jurusan Teknik
Geologi FT UGM, Yogyakarta, pp. 519-534.
Novian, M.I., P.K.D. Setiawan, S. Husein, dan W. Rahardjo (2012) Stratigrafi Formasi
Semilir bagian atas di Dusun Boyo, Desa Ngalang, Kecamatan Gedang Sari,
Kabupaten Gunung Kidul, DIY: Pertimbangan untuk penamaan Anggota
Buyutan. Geologi Pegunungan Selatan Bagian Timur, Publikasi Khusus Pusat
Survei Geologi, pp. 27-37.
Novian, M.I., S. Husein, R.N. Saputra (2014) Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional
2014, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 54
hal.

Nugraha, S., A.M., and R. Hall (2013) Cenozoic Stratigraphy of the East Java Forearc.
Berita Sedimentologi, 26, p.5-17.
Price, N.J., and J.W. Cosgrove (1990) Analysis of Geological Structures. Cambridge
University Press., 246 p.
Rahardjo, W. Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Ramsay, J. G. (1967) Folding and Fracturing of Rocks. New York: McGraw-Hill
Samodra, H., S. Gafoer, and S. Tjokrosapoetro (1992) Peta Geologi Lembar Pacitan,
Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Satyana, A.H. (2014) New Consideration on The Cretaceous Subduction Zone of
Ciletuh-Luk Ulo-Bayat-Meratus: Implications for Southeast Sundaland
Petroleum Geology. Proceedings of 38th Annual Convention and Exhibition of
Indonesian Petroleum Association, IPA14-G-129, 41 p.

Satyana, A.H., E. Erwanto, dan C. Prasetyadi (2004) Rembang-Madura-Kangean-


Sakala (RMKS) Fault Zone, East Java Basin : the origin and nature of a
geologic border. Proceeding the 33rd Annual Convention & Exhibition of
Indonesian Association of Geologist.

Setiawati, Y. (2013) Studi Fasies Formasi Wungkal – Gamping Jalur Gunung Gajah,
Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, kabupaten Klaten, Provinsi Jawa
Tengah. Tugas Akhir Tipe Skripsi, Jurusan Teknik Geologi UGM, Yogyakarta.
(tidak dipublikasikan).
Setijadji, L.D. (2010) Segmented Volcanic Arc and its Association with Geothermal
Fields in Java Island, Indonesia. Proceedings World Geothermal Congress
2010, Bali, 12 p.
Situmorang, B., T.E. Siswoyo, and F. Paltrinieri (1976) Wrench fault tectonics and
aspects of hydrocarbon accumulation in Java. Proceeding of 5th Annual
Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 53-61.
Situmorang, R.I., R. Smit, dan E.J. van Vessem (1992) Peta Geologi Lembar Jatirogo,
Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Smyth, H. (2005) Eocene to Miocene Basin History and Volcanic Activity in East Java,
Indonesia. PhD Thesis, University of London, 470 p.

Smyth, H.R., P.J. Hamilton, R. Hall, and P.D. Kinny (2007) The deep crust beneath
island arcs: Inherited zircons reveal a Gondwana continental fragment
beneath East Java, Indonesia. Earth and Planetary Science Letters, 258, p.
269–282
Soekmono, R. (1967) A Geographical Reconstruction of Northeastern Central Java
and the Location of Medang. Indonesia, no. 4, Southeast Asia Program
Publications at Cornell University, pp. 1-7.

Soetantri, B., L. Samuel, dan G.A.S. Nayoan (1973) The Geology of the Oilfields in
North East Java. Proceeding of 2nd Annual Convention and Exhibition of
Indonesian Petroleum Association, pp. 149-175.
Soetarso, B., and P. Suyitno (1976) The diapiric structure and relation on the
occurrence of hydrocarbon in northeast Java basin. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-19.
Sukardi dan T. Budhitrisna (1992) Peta Geologi Lembar Salatiga. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sunantyo, T.A., S. Pramumijoyo, dan S. Husein (2014) Pengukuran Jaring Pemantau
Tahun 2013 dan Pemetaan Geologi di Kawasan Sekitar Sesar Opak, Propinsi
DIY. Proceeding Annual Engineering Seminar 2014 Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ISBN 978-602-98726-3-7, pp. 41-50.

Sumarso dan T. Ismoyowati (1975) Contribution to The Stratigraphy of The Jiwo


Hills and Their Southern Surroundings (Central Java). Proceedings of
Indonesian Petroelum Association 4th Annual Convention and Exhibition, p. 19
– 26.

Sumosusastro, S. (1956) A Contribution to The Geology of Eastern Djiwo Hills and


The Southern Range in Central Java. Department of Geology, Faculty of
Science, University of Indonesia.
Surono (2008) Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di
Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan. Jurnal Geologi
Indonesia, 3/4, pp. 183-193.
Surono, U. Hartono, dan S. Permanadewi (2006) Posisi stratigrafi dan petrogenesis
intrusi Pendul, Perbukitan Jiwo, Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Jurnal Sumber Daya Geologi, XVI/5, pp. 302-311.
Surono, B. Toha, dan Ign. Sudarno (1992) Peta Geologi Lembar Surakarta-
Giritontro, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology.
Martinus Nyhoff, The Hague.
Van Gorsel, J.T, D. Kadar, and P.H. Mey (1989) Geological Fieldtrip Central Java.
Indonesian Petroleum Association, 70 p.
Zaim, Y. (1989) Les formations “Volcano-sedimentaires” Quaternaires de la region de
Patiayam (Central Java, Indonesia). Theses Doktorat L’Institut de
Paleontologie Humaine, Perancis, tidak dipublikasikan, 264 h.

Anda mungkin juga menyukai