Anda di halaman 1dari 5

Nama : Shofia fatma

Nim : 70200115075

Peminatan Gizi

HUBUNGAN IMT DAN KADAR ALBUMIN BERHUBUNGAN DENGAN


PENYEMBUHAN LUKA

A. Pendahuluan
Malnutrisi merupakan masalah yang banyak terjadi pada pasien yang
menjalani perawatan inap di rumah sakit. Tingginya prevalensi gizi kurang
pada pasien rawat inap telah ditemukan pada beberapa studi sebelumnya,
yakni pada rentang 30-40%, tergantung parameter dan kriteria malnutrisi yang
digunakan.
Studi menemukan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) yang lebih baik
dan kadar albumin yang lebih tinggi berhubungan dengan lebih cepatnya
terjadi penyembuhan luka pasca pembedahan.
Pasien dengan kasus pembedahan gastrointestinal lebih tinggi
risikonya mengalami masalah gizi, dikarenakan selain katabolisme yang
meningkat seperti pada kasus pembedahan lainnya, pembedahan
gastrointestinal secara langsung memengaruhi meningkatnya masalah
pencernaan, absorpsi, dan proses asimilasi.
B. Metodelogi Penelitian
Bersifat observasional dengan pendekatan cross-sectional. Variabel
independen adalah status gizi yang yang diukur menggunakan parameter berat
badan, tebal lipatan kulit (TLK), lingkar lengan atas (LLA), IMT, albumin,
dan hemoglobin dan asupan makanan. Adapun variabel dependen terdiri dari
penyembuhan luka dan lama rawat inap.
Populasi adalah pasien yang dijadwalkan/elektif menjalani
pembedahan gastrointestinal di sepanjang Mei sampai Agustus 2013. Subjek
dipilih secara purposif, yakni dengan kriteria pasien yang dapat diukur
parameter antropometrinya (berat badan, tinggi badan, tebal lipatan kulit, dan
lingkar lengan atas), dirawat di ruang perawatan reguler, dan tidak menderita
Diabetes Mellitus.
Asupan makanan diukur dengan menggunakan metode Food Recall 24
jam. Pengukuran antropometri menggunakan Timbangan Digital Seca, alat
ukur tinggi badan Seca, kaliper dan pita LLA. Pengukuran kadar albumin and
hemoglobin dilakukan oleh petugas laboratorium klinik rumah sakit. Untuk
menghindari bias dalam hal teknik perawatan luka, maka subjek yang menjadi
sampel pada penelitian ini lukanya dirawat oleh perawat yang sama sejak hari
pertama perawatan luka sampai pasien keluar dari rumah sakit.
Pengukuran antropometri, asupan makanan, albumin, dan hemoglobin
dilakukan di hari pertama pasien masuk rumah sakit sebelum pembedahan.
Pengukuran ke dua dilakukan pada hari ke-3 setelah pembedahan yang
meliputi pengukuran penyembuhan luka, kadar albumin dan hemoglobin.
Pengukuran berikutnya adalah hari ke-7 setelah pembedahan, meliputi
antropometri, asupan makanan dan penyembuhan luka.
Adapun total kebutuhan energi subjek dihitung menggunakan formula;
total kebutuhan energi pasien = basal metabolism rate (BMR) x faktor stres x
faktor aktivitas. BMR dihitung berdasarkan formula HarrisBenedict, faktor
stres adalah 1,5 untuk pasien bedah mayor dan 1,2 untuk pasien bedah minor,
faktor aktivitas untuk seluruh subjek diasumsikan 1,2 karena umumnya
berbaring di tempat tidur.
C. Hasil
Ditemukan persentase gizi kurang pada penelitian ini sebanyak 33,3%
dari subjek yang berpartisipasi pada penelitian ini hingga selesai sebanyak 21
subjek, 15 orang laki-laki dan 6 orang perempuan.
1. Menunjukkan adanya perbedaan bermakna sebelum dan setelah
pembedahan pada berat badan.
2. Subjek bergizi kurang setelah pembedahan ditemukan terjadi
penambahan sebesar 60%, dan peningkatan jumlah subjek yang
mengalami hipoalbuminemia ditemukan sebesar 200%.
3. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara penyembuhan luka dengan parameterparameter gizi,
termasuk status gizi berdasarkan IMT (p = 0,012) dan level.
Sebanyak 54,5% subjek bergizi kurang berdasarkan IMT
mengalami penyembuhan luka yang tidak baik. Demikian juga
pada pasien hipoalbuminemia, sebanyak 55,6% di antaranya
mengalami penyembuhan luka yang tidak baik
D. Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan terjadinya malnutrisi pada sekitar 30%
pasien yang berindikasi bedah gastrointestinal saat masuk rumah sakit, dan
prevalensi malnutrisi semakin meningkat setelah operasi berdasarkan IMT
dan kadar albumin.
Asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan zat gizi mikro
(vitamin A, vitamin C, Fe, Zn) pada pasien bedah tidak mencukupi
kebutuhan, baik sebelum maupun sesudah operasi. Meskipun demikian,
pasien dengan asupan makanan lebih mendekati kebutuhan mengalami
penyembuhan luka yang lebih baik dan lama rawat inap lebih singkat. Pasien
dengan status nutrisi normal mengalami penyembuhan luka operasi yang lebih
baik dan lama rawat inap yang lebih singkat disbanding pasien dengan
malnutrisi.
BODY MASS INDEKS AND MEASURES OF BODY FAT FOR
DEFINING OBESITY AND UNDERWEIGHT

Background

In Australia, the prevalence of obesity among adults has increased from


11.1% in 1995 to 16.4% in 2004–05 and this upward trend is predicted to
continue over coming decades. Global and local prevalence estimates are
based on the body mass index (BMI) which provide a guide to obesity levels
as recognised by BMI values greater than or equal to 30. Yet the BMI is a
ratio of body weight-for-height thereby limiting its usefulness as an indicator
for adiposity because no account is made of variations in body composition.
Clear shortcomings are evident when the BMI overestimates adiposity in
muscular body builds and underestimates adiposity in the elderly.
The simplicity and ease of measurement have entrenched the widespread
use of the BMI as a marker of adiposity, not only for epidemiological
purposes, but also in clinical practice. The aim of this study was to measure
body fat mass using whole body dual energy x-ray absorptiometry (DXA) and
BMI in a population-based sample of men and women in order to identify
sex-and-age-specific values for percentage body fat (%BF) that correspond to
internationally recognised BMI cut-points for defining underweight,
overweight and obesity.

Methods Ethics

Subjects This cross-sectional study was conducted as part of the Geelong


Osteoporosis Study (GOS), a population-based cohort study, set in the
Barwon Statistical Division in south-eastern Australia. Age-stratified samples
of men and women were selected at random from the Commonwealth
electoral roll, which provides an ideal sampling frame for epidemiological
research in Australia because registration with the Australian Electoral
Commission is compulsory for residents aged 18 years and over. In total,
1467 men were recruited 2001–2006 (67% participation, age 20–96 years) and
1494 women were recruited 1993–1997 (77% participation, age 20–93 years).
Body composition measures Body weight was measured to±0.1 kg using
electronic scales, standing height was measured to±0.001 m using a wall
mounted stadiometer and BMI was calculated as weight/height2 (kg/m2).
Based on WHO criteria, underweight was identified as BMI<18.5 kg/m2,
overweight as BMI 25.0-29.9 kg/m2, and obese as BMI≥30.0 kg/m2.
Measures of body fat mass, lean mass and bone mineral content were
provided by whole body DXA using a Lunar DPX-L densitometer (software
version 1.31; Lunar, Madison, WI, USA); however, 923 of the men were
scanned on a GE-Lunar Prodigy (Prodigy; GE Lunar, Madison, WI, USA)
when the DPX-L was decommissioned.

Results

Values for %BF cut-points for underweight, overweight and obesity were
predicted from sex, age and BMI. Using these cut-points, the age-standardised
prevalence among men for underweight was 3.1% (95% CI 2.1, 4.1),
overweight 40.4% (95% CI 37.7, 43.1) and obesity 24.7% (95% CI 22.2,
27.1); among women, prevalence for underweight was 3.8% (95% CI 2.6,
5.0), overweight 32.3% (95% CI 29.5, 35.2) and obesity 29.5% (95% CI 26.7,
32.3). Prevalence estimates using BMI criteria for men were: underweight
0.6% (95% CI 0.2, 1.1), overweight 45.5% (95% CI 42.7, 48.2) and obesity
19.7% (95% CI 17.5, 21.9); and for women, underweight 1.4% (95% CI 0.7,
2.0), overweight 30.3% (95% CI 27.5, 33.1) and obesity 28.2% (95% CI 25.4,
31.0).

Conclusions

Utilising a single BMI threshold may underestimate the true extent of


obesity in the white population, particularly among men. Similarly, the BMI
underestimates the prevalence of underweight, suggesting that this body build
is apparent in the population, albeit at a low prevalence. Optimal thresholds
for defining underweight and obesity will ultimately depend on risk
assessment for impaired health and early mortality.

Anda mungkin juga menyukai