Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan kesehjateraan penduduk telah mendorong terjadinya perubahan pola makan


yang ternyata berdampak negatif pada meningkatnya penyakit degeneratif. Kesadaran akan
besarnya hubungan antara makanan dan kemungkinan timbulnya penyakit, telah merubah
pandangan bahwa bukan sekedar untuk mengenyangkan, tetapi juga untuk kesehatan.

Seiring dengan kemajuan dibidang budidaya pertanian, penanganan pascapanen dan


teknologi pengolahan pangan, disatu sisi, dipasaran saat ini cukup tersedia bahan pangan dan
hasil olahannya yang beragam baik jenis maupun mutunya. Di sisi lainnya, aspek keamanan
bahan pangan dan hasil olahannya sangat mengkhawatirkan masyarakat konsumen. Hal ini
disebabkan karena masih intensifnya penggunaan pestisida dalam mengendalikan hama dan
penyakit tanaman pangan dan penggunaan bahan kimia yang terlarang serta penggunaan dosis
bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi ambang batas yang diijinkan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat proses pengolahan pangan. Masalah kurang
terjaminnya keamanan pangan inilah menjadi salah satu penyebab yang mendorong masyarakat
konsumen lebih memilih makanan alamiah (natural food) untuk dikonsumsi agar memperoleh
kesehatan yang lebih baik dimasa mendatang. Namun, perlu diingat menurut Raghuver dan
Tandon (2009) bahwa diet adalah hanya salah satu aspek dari pendekatan pola hidup yang
komprehensip untuk memperoleh kesehatan yang baik, termasuk didalamnya yaitu latihan-
latihan secara regular, mengurangi rasa stress, menjaga berat badan dan praktek lainnya yang
positif terhadap kesehatan. Bila semua hal-hal tersebut dilakukan maka pangan fungsional baru
dapat memperbaiki kesehatan dan menguragi resiko penyakit.

Dalam kehidupan modern ini, filosofi makan telah mengalami pergeseran, di mana
makan bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah untuk mencapai tingkat
kesehatan dan kebugaran yang optimal. Menurut Winarno dkk.(1995) dan Astawan (2011)
fungsi pangan dikelompokkan menjadi tiga fungsi yaitu fungsi primer (primary function), fungsi
sekunder (secondary function) dan fungsi tertier (tertiary function). Fungsi primer adalah fungsi
pangan yang utama bagi manusia yaitu untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai

1
dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh. Selain memiliki fungsi primer, bahan
pangan sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder yaitu memiliki penampakan dan cita rasa
yang baik. Sebab, bagaimanapun tingginya kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh
konsumen bila penampakan dan cita rasanya tidak menarik dan memenuhi selera konsumennya.
Itulah sebabnya kemasan dan cita rasa menjadi faktor penting dalam menentukan apakah suatu
bahan pangan akan diterima atau tidak oleh masyarakat konsumen. Dengan makin meningkatnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan
pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja
yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi
juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh.
Semakin tinggi tingkat kemakmuran dan kesadaran seseorang terhadap kesehatan, maka
tuntutan terhadap ketiga fungsi bahan pangan tersebut akan semakin tinggi pula. Fungsi yang
demikian dikenal sebagai fungsi tertier.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pangan funsional?
2. Apa yang dimaksud dengan obesitas?
3. Zat apa dalam pangan fungsional yang dapat mengontrol obesitas?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu pangan funsional
2. Untuk mengetahui apa itu obesitas
3. Untuk mengetahui zat apa dalam pangan fungsional yang dapat mengontrol obesitas

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pangan Fungsional
1. Pengertian Pangan Fungsional
Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan,
bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap
kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Kenyataan tersebut menuntut suatu bahan pangan tidak
lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar tubuh (yaitu bergizi dan lezat), tetapi juga dapat bersifat
fungsional. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (fungtional foods), yang akhir-akhir ini
sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Konsep pangan fungsional sebenarnya sudah ada
sejak lama. Menurut Subroto (2008) sekitar 2.500 tahun yang lalu Hippocrates pernah berkata
”Let your food be your medicine and let your medicine be your food” (gunakanlah makanan
sebagai obatmu dan obatmu sebagai makanan). Dalam filosofi Hippocrates tersebut, pada
konsentrasi tertentu, makanan bisa menjadi obat dan obat bisa menjadi makanan. Namun, pada
konsentrasi tinggi (berlebih atau overdosis), makanan dan obat justru dapat menjadi racun bagi
tubuh kita.
Ada beberapa istilah untuk makanan yang berpengaruh baik terhadap.kesehatan yaitu :
:Functional food, Nutraceutical, Pharma food, Designer food, Vita food, Phytochemical, Food
aceutical, Health food, Natural food dan Real food
Sampai saat ini belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal.
Berikut disajikan beberapa definisi atau pengertian tentang pangan fungsional. Di Jepang
tahun.1991 makanan fungsional didefinisikan sebagai FOSHU (Foods for Spesified Health
Used) yaitu makanan yang memiliki efek spesifik terhadap kesehatan karena ada kandungan
senyawa kimia tertentu pada bahan makanan. Menurut Goldberg (1994) pangan fungsional
adalah makanan (bukan kapsul, pil atau tepung) berasal dari ingredient alami. Dapat dan harus
dikonsumsi sebagai bagian dari diet harian dan memiliki fungsi tertentu bila dicerna, membantu
mempercepat proses tertentu dalam tubuh seperti : meningkatkan mekanisme pertahanan secara
biologis, mencegah penyakit tertentu, penyembuhan dari penyakit spesifik, mengendalikan
kondisi fisik dan mental, dan menghambat proses penuaan. The International Food Information
mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat kesehatan di luar

3
zat-zat dasar. Menurut konsensus pada The First International Conference on East-West
Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena
kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang
diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Astawan, 2011).
Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-
kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi
kesehatan. Serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai
karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh
konsumen. Selain tidak memberikan kontra indikasi dan tidak memberi efek samping pada
jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya.

Dari beberapa definisi yang telah diuraikan di atas dapatlah dikatakan bahwa pada
dasarnya pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya diluar
kandungan zat gizinya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, merupakan bagian dari diet
sehari-hari dan memiliki sifat sensoris yang dapat diterima. Secara mudah dapat dikatakan
bahwa pangan fungsional adalah bahan pangan yang berpengaruh positif terhadap kesehatan
seseorang, penampilan jasmani dan rohani selain kandungan gizi dan cita rasa yang dimilikinya.
Jadi pangan fungsional dikonsumsi bukan berupa obat (serbuk) tetapi dikonsumsi berbentuk
makanan. Contoh makanan fungsional yaitu makanan yang mengandung bakteri yang berguna
untuk tubuh: yoghurt, yakult, makanan yang mengandung serat, misalkan bekatul, tempe,
gandum utuh, makanan yang mengandung senyawa bioaktif seperti teh (polifenol) untuk
mencegah kanker, komponen sulfur (bawang) untuk menurunkan kolesterol, daidzein pada
tempe untuk mencegah kanker, serat pangan (sayuran, buah, kacang-kacangan) untuk mencegah
penyakit yang berkaitan dengan pencernaan.

2. Klasifikasi Pangan Fungsional


Jenis-jenis pangan fungsional secara umum dibagi berdasarkan dua hal, yaitu
berdasarkan sumber pangan dan cara pengolahannya (Subroto,2008):

a. Berdasarkan Sumber Pangan


Pangan fungsional digolongkan menjadi dua, yaitu pangan fungsional nabati merupakan
pangan fungsional bersumber dari bahan tumbuhan (contohnya mengkudu, kedelai, beras merah,

4
tomat, anggur dan bawang putih) dan pangan fungsional hewani merupakan pangan fungsional
bersumber dari bahan hewan (contohnya ikan, daging dan susu).
b. Berdasarkan cara Pengolahannya
Adapun pangan fungsional yang berdasarkan cara pengolahannya digolongkan menjadi
tiga kelompok yaitu :

1) Pangan fungsional alami merupakan pangan fungsional yang sudah tersedia di alam
tanpa perlu pengolahan sama sekali. Contohnya buah-buahan dan sayur-sayuran segar
yang bisa langsung dimakan.
2) Pangan fungsional tradisional merupakan pangan fungsional yang diolah secara
tradisional mengikuti cara pengolahan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Menurut Astawan (2011) beberapa contoh pangan tradisional Indonesia
yang memenuhi persyaratan pangan fungsional adalah: minuman beras kencur,
temulawak, kunyit-asam, dadih (fermentasi susu khas Sumatera Barat), dali (fermentasi
susu kerbau khas Sumatera Utara), sekoteng atau bandrek, tempe, tape dan jamu.
3) Pangan fungsional modern merupakan pangan fungsional yang dibuat khusus
menggunakan resep-resep baru. Beberapa contoh pangan fungsional modern menurut
Astawan (2011) adalah:
a) Pangan tanpa lemak, rendah kolesterol dan rendah trigliserida.
b) Breakfast cereals dan biskuit yang diperkaya serat pangan.
c) Mi instan yang diperkaya dengan berbagai vitamin dan mineral.
d) Permen yang mengandung zat besi, vitamin, dan fruktooligosakarida.
e) Pasta yang diperkaya serat pangan.
f) Sosis yang diperkaya dengan oligosakarida, serat atau kalsium kulit telur.
g) Minuman yang mengandung suplemen serat pangan, mineral dan vitamin.
h) Cola rendah kalori dan cola tanpa kafein.
i) Sport drink yang diperkaya protein.
j) Minuman isotonik dengan keseimbangan mineral.
k) Minuman untuk pencernaan.
l) Minuman pemulih energi secara kilat.
m) Teh yang diperkaya dengan kalsium.

5
Selanjutnya menurut Subroto (2008) beberapa contoh kelompok pangan fungsional
modern yang dijual di pasar modern (minimarket, supermarket dan hypermarket) sebagai
berikut:

1) Margarin dan minyak rendah kolesterol.


2) Minuman fermentasi yang mengandung bakteri baik seperti lactobacilli.
3) Yoghurt yang mengandung kultur Acidophillus.
4) Air minum dengan penambahan mineral seperti magnesium dan kalsium.
5) Air dengan penambahan oksigen.
6) Air heksagonal.
7) Susu kedelai.
8) Susu dengan penambahan suplemen/vitamin.
9) Susu rendah lemak.
10) Roti dengan penambahan suplemen/vitamin.
11) Biji-bijian utuh dan produk-produk tinggi serat.
12) Serealia dengan penambahan folat.
13) Jus buah dengan penambahan suplemen/vitamin.
14) Garam dapur dengan penambahan yodium.
15) Garam dapur dengan pengurangan natrium dan penambahan kalium dan magnesium.
16) Nutrisi untuk makanan bagi diabetes.
17) Bumbu masak dari herbal pengganti MSG (Monosodium glutamat).
Pangan fungsional modern yang sengaja dibuat dengan tujuan khusus umumnya
diproduksi melalui salah satu atau lebih pendekatan sebagai berikut:
1) Menghilangkan komponen yang diketahui menyebabkan efek buruk jika dikonsumsi,
misalnya protein alergan (protein penyebab alergi).
2) Meningkatkan konsentrasi komponen yang memiliki efek baik terhadap kesehatan, baik
berupa komponen nutrisi maupun komponen non-nutrisi (phytochemicals) yang secara
alami sudah terdapat dalam makanan tersebut.
3) Menambahkan suatu komponen yang memiliki efek baik terhadap kesehatan yang
sebelumnya tidak terdapat pada makanan tersebut.
4) Mengganti suatu komponen dalam makanan yang diketahui memiliki efek buruk
terhadap kesehatan dengan komponen lain yang memiliki efek menguntungkan.

6
5) Meningkatkan ketersediaan atau stabilitas komponen suatu makanan yang diketahui
mempunyai efek baik terhadap kesehatan (Subroto, 2008).

3. Kriteria Pangan Fungsional


Mary K. Schmild dalam salah satu paparannya menyampaikan ada satu hal utama yang
membedakan pangan dengan obat. Obat bersifat treatment (perlakuan penyembuhan), sedangkan
pangan fungsional lebih bersifat mengurangi risiko. Pada obat, efek harus dirasakan segera,
sedang pada pangan fungsional lebih pada keuntungan di masa mendatang. Pemberian obat lebih
ditujukan pada populasi tertentu (orang dengan penyakit tertentu. Sedang makanan fungsional
berpeluang dimanfaatkan oleh siapa saja dengan kemungkinan cakupan konsumen yang lebih
luas.
Hal ini akan menjadi semakin jelas bila kita mengikuti “pakem” yang diberikan oleh
ilmuwan Jepang pencetus ide pangan fungsional ini. Suatu produk dapat disebut sebagai
kelompok pangan fungsional bila:
a. Harus berupa suatu produk pangan (bukan kapsul, tablet atau bubuk) yang berasal dari
bahan atau ingridien alami.
b. Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu setiap hari.
c. Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna. Memberikan peran khusus dalam proses
metabolisme tubuh seperti meningkatkan imunitas tubuh, mencegah penyakit tertentu,
membantu pemulihan tubuh setelah menderita sakit, menjaga kondisi fisik dan mental serta
memperlambat proses penuaan.
Dari konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah bahwa pangan
fungsional tidak sama dengan food supplement atau obat. Pangan fungsional dapat dikonsumsi
tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan
bergizi (Winarti, 2010).

7
4. Prospek Pengembangan Pangan Fungsional
Di banyak negara pangan fungsional telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut
dilandasi oleh beberapa alasan yaitu:
1) Meningkatnya kesadaran akan pentingnya makanan dalam pencegahan atau
penyembuhan penyakit
2) Tuntutan konsumen akan adanya makanan yang memiliki sifat lebih, yaitu memiliki
kandungan ingridien fungsional
3) Pengalaman masyarakat mengenai alternative medicine
4) Studi epidemiologi mengenai prevalensi penyakit tertentu yang ternyata dipengaruhi
oleh kebiasaan makan dan bahan yang dimakan oleh suatu populasi (Marsono, 2007).
Di Indonesia belum ada data tentang besarnya produksi dan perdagangan pangan
fungsional. Tetapi, di pasar banyak terlihat minuman fungsional telah banyak ditawarkan.
Produk-produk tersebut umumnya mengandung taurin, kholin, madu, kafein ginseng dan
sebagainya yang diharapkan memberi efek fisiologis pada tubuh. Minuman isotonik yang
memiliki kandungan elektrolit lebih komplit dari pada air biasa juga menjadi trend akhir-akhir
ini. Produk makanan/susu bayi telah banyak yang diperkaya dengan prebiotik sedangan susu
untuk lansia diperkaya dengan Ca.
Berdasarkan jenis-jenis penyakit degeneratif (obesitas, diabetes, jantung koroner,
hypertensi dan kanker) yang prevalensinya meningkat saat ini dan keinginan masyarakat untuk
hidup lebih sehat dan bugar melalui pengaturan pola makan, maka permintaan terhadap pangan
fungsional diprediksi akan meningkat. Dengan demikian peranan pangan fungsional menjadi
sangat penting. Pangan fungsional yang akan berkembang pesat dimasa mendatang adalah yang
erat kaitannya dengan pangan yang mampu menghambat proses penuaan, meningkatkan daya
immunitas tubuh, meningkatkan kebugaran, kecantikan wajah dan penampilan, mendukung
relaxasi tidur dan istirahat, serta “good for mood” (Suter, 2011).
Pengembangan pangan fungsional di suatu negara tidak saja menguntungkan bagi
konsumen karena manfaat yang dapat diambil, tetapi juga merupakan peluang bagi industri
pangan dan menguntungkan pemerintah. Keuntungan dari konsumen bisa dilihat dari manfaat
pangan fungsional bagi kesehatan. Pangan fungsional dapat digunakan sebagai pangan untuk
mencegah berbagai penyakit misalnya obesitas, diabetes, hipertensi, jantung koroner dan kanker.
Dampak lain yang tidak langsung antara lain dapat meningkatkan imunitas, memperlambat

8
penuaan dan meningkatkan penampilan fisik (“awet muda”). Bagi industri pangan, permintaan
yang tinggi akan pangan fungsional berarti sebuah peluang untuk meningkatkan keuntungan
dengan melakukan inovasi pengembangan produk dan formulasi makanan sesuai dengan
permintaan pasar. Beragamnya masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat juga berarti
semakin luas segmen pasar dengan kebutuhan pangan fungsional tertentu. Pemerintah juga
diuntungkan oleh perkembangan pangan fungsional.
Paling tidak ada tiga komponen yang memungkinkan timbulnya keuntungan bagi
pemerintah menurut Marsono (2007) yaitu:
1) Kesempatan kerja dengan berkembangnya industri pangan fungsional.
2) Pengurangan biaya pemeliharaan kesehatan masyarakat.
3) Peningkatan pendapatan (lepajak) dari industri pangan fungsional.

B. Obesitas
1. Definisi obesitas
Obesitas di defenisikan sebagai akumulasi lemak tubuh secara berlebihan. Akumulasi
lemak dapat melebihi 50% berat badan total dan menyebabkan konsekuensi patologis yang berat
(Barasi, 2009). Obesitas pada anak merupakan akibat dari asupan kalori (energi) yang melebihi
jumlah kalori yang dilepaskan atau dibakar melalui proses metabolisme didalam tubuh(Wahyu,
2009)
Faktor penyebab obesitas pada remaja bersifat multifaktorial. Peningkatan konsumsi
makanan cepat saji (fast food), rendahnya aktivitas fisik, faktor genetik, pengaruh iklan, faktor
psikologis, status sosial ekonomi, program diet, usia, dan jenis kelamin merupakan faktor-faktor
yang berkontribusi pada perubahan keseimbangan energi dan berujung pada kejadian obesitas
(Weni. 2015 : 179)
Basiotis (2002), yang juga menyatakan bahwa obesitas dapat diperantarai oleh makanan
padat energi yang memiliki biaya rendah.11 Konsumen dengan penghasilan rendah memilih
makanan padat energi yang tinggi gula dan lemak yang memiliki harga lebih murah sebagai jalan
untuk menghemat uang dan tetap mempertahankan energi tubuhnya
2. Cara Penentuan Obesitas
Kegemukan dan obesitas pada anak dapat dinilai dengan berbgai metode atau teknik
pemeriksaan. Salah satunya adalah pengukuran Body Mass Index (BMI)atau sering juga

9
disebutIndeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran IMT dilakukan denga cara membagi nilai berat
badan (kg) dengan nilai kuadrat tinggi badan (m)2 . IMT merupakan metode yang paling mudah
dan paling banyak digunakan diseluruh dunia untuk menilai timbunan lemak yang berlebihan
didalam tubuh secara tidak langsung (Wahyu, 2009).

Berat Badan (kg)


IMT =
Tinggi Badan 2(m)

Perhitungan IMT pada orang dewasa berbeda tidak sama dengan IMT anak dan remaja
dikarenakan kriteria IMTpada anak maupun remaja spesifik terhadap umur dan jenis kelamin.
Jenis kelamin dan umur pada 16 anak dan remaja dipertimbangkan karena jumlah lemak tubuh
yang berubah sesuai dengan umur dan jumlah lemak tubuh yang berbeda antara perempuan dan
laki-laki (CDC, 2011). Pada anak-anak dan remaja hasil perhitungan IMT juga dapat
diinterpretasikan pada grafik IMT menurut umur baik pada laki-laki atau perempuan (Kemenkes
RI, 2010)
3. Penyebab Obesitas
Berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa penyebab obesitas pada anak bersifat
multifaktor. Ada tiga faktor yang diketahui berperan besar meningkatkan risiko terjadinya
obesitas pada anak (Wahyu, 2009) :
a. Faktor genetik
Keterlibatan genetik dalam meningkatkan faktor risiko kegemukan dan obesitas
diketahui berdasarkan fakta adanya perbedaan kecepatan metabolisme tubuh antara satu individu
dan individu yang lainnya. Individu yang memiliki kecepatan metabolisme lebih lambat
memiliki resiko lebih besar menderita kegemukan dan obesitas.

10
b. Pola makan
Pola makan berperan besar dalam peningkatan risiko terjadinya obesitas pada anak.
Makanan yang harusnya dihindari untuk mencegah obesitas pada anak adalah makanan yang
tinggi kadar kalorinya, rendah serat dan minim kandungan gizinya.
Badjeber, et.al, (2012) mengatakan bahwa beberapa faktor penyebab obesitas pada anak
antara lain asupan makanan yang berlebih yang berasal dari jenis makanan olahan serba instan,
minum soft drink, makanan dan jajanan cepat saji dan lainnya. Penelitian ini menunjukkan
bahwa anak anak yang sering mengkonsumsi fast food lebih dari tiga kali perminggu mengalami
obesitas sebesar 3,28%. Kebiasaan lain adalah mengkonsumsi makanan camilan yang banyak
mengandung gula sambil menonton televisi (Wilkinson, 2008).
c. Pola aktivitas
Pola aktivitas yang minim berperan besar dalam peningkatan risiko obesitas pada anak.
Kegemukan dan obesitas lebih mudah diderita oleh anak yang kurang beraktivitas fisik maupun
olahraga. Obesitas terjadi akibat kurang beraktivitas fisik maupun berolahraga disebabkan oleh
jumlah kalori yang dibakar lebih sedikit dibandingkan jumlah kalori yang diperoleh dari
makanan yang dikonsumsi sehingga berpotensi menimbulkan penimbunan lemak berlebihan
dalam tubuh. 18 Sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan bermain. Bermain bagi anak
semestinya bukan sekedar aktivitas fisik biasa, melainkan dapat menjadi sarana belajar yang
menyenangkan dan berolahraga secara tidak langsung bagi anak. Permainan tradisional
umumnya dimainkan secara berkelompok, banyak bergerak dan membutuhkan lahan yang luas
seperti : berlari, sepak bola, bermain petak umpet dan lainnya. Permainan semacam ini sangat
bermanfaat untuk melatih kekuatan otot dan fisik secara keseluruhan, kemampuan komunikasi,
sosialisasi serta menyehatkan bagi anak. Namun kini permainan tradisional telah banyak
ditinggalkan salah satu alasannya ialah lahan yang digunakan untuk bermain semakin berkurang,
terutama di kota kota besar (Wahyu, 2009).

11
C. Pangan Fungsional dalam Mengontrol Obesitas
Pengembangan pangan fungsional di suatu negara tidak saja menguntungkan bagi
konsumen karena manfaat yang dapat diambil, tetapi juga merupakan peluang bagi industri
pangan dan menguntungkan pemerintah. Keuntungan dari konsumen bisa dilihat dari manfaat
pangan fungsional bagi kesehatan. Pangan fungsional dapat digunakan sebagai pangan untuk
mencegah berbagai penyakit misalnya obesitas, diabetes, hipertensi, jantung koroner dan kanker.
Selama dasawarsa terakhir ini, jumlah timbunan lemak dalam tubuh orang-orang dewasa telah
meningkat sebesar 10 persen. Perubahan pada gaya kehidupan seseorang telah turut
menimbulkan peningkatan lemak tubuh. Banyak pernyataan dikemukakan tentang nilai serat
makanan sebagai penolong untuk menurunkan berat badan.
1. Pengertian Serat Pangan (Dietary Fiber)
Serat pangan dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, adalah bagian tak
tercerna dari bahan pangan (biasanya nabati) yang melalui sistem pencernaan, menyerap air
sehingga memudahkan defekasi. Serat pangan tersusun dari polisakarida non-pati seperti
selulosa dan berbagai komponen tumbuhan seperti dekstrin, inulin, lignin, malam, kitin, pektin,
beta-glukan dan oligosakarida.
Serat pangan (dietary fiber) berbeda dengan serat kasar (crude fiber). Serat pangan
adalah karbohidrat kompleks yang banyak terdapat pada dinding sel tanaman, yang terdiri dari
lignin, selulosa, hemiselulosa, yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan dan tidak
dapat diserap oleh system pencernaan manusia. Sedangkan serat kasar adalah bagian dari pangan
yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia seperti H2SO4 dan NaOH (Winarti, 2010).
Serat merupakan jenis polisakarida non pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim
pencernaan manusia. Serat dapat menurunkan berat badan melalui beberapa mekanisme, yaitu
makanan yang kaya serat membutuhkan waktu pengunyahan yang lebih lama, sehingga
meningkatkan produksi air liur (saliva) dan asam lambung. Jumlah air liur dan asam lambung
yang meningkat menjadikan distensi lambung/perut terasa penuh. Selain itu, pada serat yang
bersifat larut air, juga berfungsi untuk menunda waktu pengosongan lambung sehingga rasa
kenyang yang diperoleh pun lebih lama. Setelah makan, serat larut air ini akan membantu respon
insulin dan glukosa yang berujung pada penurunan rasa kembali lapar setelah makan (Fitrah &
Achadi, 2013)

12
Menurut karakteristik fisik dan pengaruhnya terhadap tubuh, serat pangan dibagi atas
dua golongan yaitu serat pangan larut air (soluble dietary fiber, SDF) dan serat pangan tidak larut
air (insoluble dietary fiber, IDF). Serat yang tidak larut dalam air ada tiga macam yaitu selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Serat tersebut banyak terdapat pada sayuran, buah-buahan dan kacang-
kacangan. Sedangkan serat yang larut dalam air adalah pektin, mucilage (getah) dan gum,
karagenan, alginate dan agar-agar. Serat ini juga banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran,
sereal, akasia dan rumput laut (Winarti, 2010).
2. Sifat-sifat Serat Makanan
Komponen- komponen serat makanan mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda-
beda yang menentukan reaksi fisiologis yang dihasilkan dari sumber serat tersebut di dalam
makanan. Empat sifat fisik yang dihubungkan dengan reaksi biologis dari berbagai jenis sumber
serat makanan meliputi sifat fisik dapat didegradasi oleh bakteri usus, sifat mengikat bahan
organik lain, kapasitas pertukaran ion dan kapasitas pengikat air yang dihubungkan dengan
viskositas dan kelarutan berbagai jenis hemiselulosa digolongkan sebagai serat yang larut dalam
air dan disebut soluble fiber.
Sifat- sifat senyawa serat makanan yang lainnya yaitu molekulnya berbentuk polimer
dengan ukuran besar, strukturnya kompleks, banyak mengandung gugus hidroksil dan kapasitas
pengikat airnya besar. Senyawa pektin, musilase dan beberapa mengandung residu gula dengan
gugus hidroksil bebas.
Gugus hidroksil bebas banyak yang bersifat polar serta struktur matriks yang berlipat-
lipat memberi peluang bagi terjadinya pengiktan air melalui ikatan hydrogen. Sifat mengikat air
dari serat makanan ini penting dalam usus kecil dan berhubungan dengan peranan serat makanan
dalam gizi dan metabolism tubuh (Winarti, 2010).
3. Efek Fungsional Serat Pangan Untuk Kesehatan
Menurut Sechneeman (1986), serat makanan menghasilkan sejumlah reaksi fisiologis
yang tergantung pada sifat-sifat fisik dan kimia dari masing-masing sumber serat tersebut.
Reaksi-reaksi ini meliputi: meningkatkan massa feses, menurunkan kadar kolestrol plasma dan
menurunkan respon organic glisemik dari makanan.
Bebrapa ahli pangan telah mengungkapkan manfaat makanan fungsional dan nutrisional
dan yang diperoleh dengan menggunakan serat makanan. Serat makanan yang larut (soluble
fiber) cocok untuk digunakan dalam makanan-makanan cair seperti minuman, sup dan pudding,

13
sedangkan serat makanan yang tidak larut (insoble fiber) biasanya digunakan dalam makanan-
makanan yang padat dan produk panggangan.
Menurut Andon (1987), serat larut telah banyak digunakan sebagai bahan tambahan dan
sebagai bahan senyawa pengental seperti pati, tepung, gula, lemak dan minyak, terutama sebagai
pengganti pati. Substitusi pati dengan serat larut ini tidak hanya meningkatkan kadar serat
produk akhir tetapi juga menurunkan kandungan kalori makanan, misalnya: produk-produk
minuman diet saat ini yang menggunakan serat larut untuk menggantikan kekentalan yang hilang
akibat penggantian gula pasir dalam formula (Winarti, 2010).
4. Kebutuhan Serat Pangan
Pada saat ini informasi tentang konsumsi serat di Indonesia masih sangat terbatas antara
lain karena daftar komposisi bahan makanan Indonesia belum mencantumkan kandunan serat.
Dalam upaya memperoleh informasi tingkat konsumsi serat di Indonesia, telah dilakukan analisis
tingkat konsumsi serat dengan data survey Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) yang
dikumpulkan Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes RI. Rata-rata tingkat konsumsi serat penduduk
Indonesia secara umum yaitu sebesar 10,5 gram/orang/hari, baru mencapai sekitar separuh dari
kecukupan serat yang dianjurkan. Kecukupan serat untuk orang dewasa berkisar antara 20-35
gram/hari atau 10-13 gram serat setiap 1000 kalori (Winarti, 2010).
5. Serat Makanan dan Kontrol Berat Badan
Serat larut air (soluble fiber) mis: pectin, beta-glucans dan gum serta beberapa
hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan daoat membentuk cairan kental dalam
saluran pencernaan. Dengan kemampuan ini serat larut dapat menunda pengoongan makanan
dari lambung, menghambat pencampuran isi saluran cerna dengan enzim-enzim pencernaan,
sehingga trjadi pengurangan penyerapan zat-zat makanan dibagian proksimal. Mekanisme inilah
yang menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan asam amino dan asam lemak oleh serat
larut air. Cairan kental ini mengurangi keberadaan asam amino dalam tubuh melalui
penghambatan peptide usus.
Makanan dengan serat kasar yang tinggi dilaporkan juga dapat menurunkan bobot
badan. Makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu yang relative singkat
sehingga absorpsi zat makanan akan berkurang. Selain itu makanan yang mengandung serat
relatif tinggi akan memberikan rasa kenyang sehingga menurunkan konsumsi makanan.

14
Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar
gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi obesitas (Winarti, 2010).
Salah satu makanan yang dapat dikonsumsi sebagai makanan yang sehat dan tinggi serat
adalah makanan olahan dari rumput laut. Rumput laut merupakan makanan yang kaya akan serat
alami, makanan rendah kalori yang baik untuk diet. Rumput laut sangat baik untuk dikonsumsi
karena memiliki banyak manfaat bagi tubuh manusia. Serat yang terkandung dalam rumput laut
merupakan senyawa penting yang bermanfaat dapat mencegah konstipasi, obesitas, ambeien
bahkan kanker saluran pencernaan. Serat bersifat mengenyangkan dan memperlancar proses
metabolisme tubuh, mengurangi trigliserida (lemak darah) dan menurunkan kadar gula darah
(Rahma, 2014)

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan mengenai pangan fungsional dalam
mengontrol obesitas yaitu :
1. Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan
kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang
bermanfaat bagi kesehatan. Serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau
minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan
cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontra
indikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan
terhadap metabolisme zat gizi lainnya.
Contoh makanan fungsional yaitu makanan yang mengandung bakteri yang
berguna untuk tubuh: yoghurt, yakult, makanan yang mengandung serat, misalkan
bekatul, tempe, gandum utuh, makanan yang mengandung senyawa bioaktif seperti
teh (polifenol) untuk mencegah kanker, komponen sulfur (bawang) untuk
menurunkan kolesterol, daidzein pada tempe untuk mencegah kanker, serat pangan
(sayuran, buah, kacang-kacangan) untuk mencegah penyakit yang berkaitan dengan
pencernaan.
2. Obesitas di defenisikan sebagai akumulasi lemak tubuh secara berlebihan. Akumulasi
lemak dapat melebihi 50% berat badan total dan menyebabkan konsekuensi patologis
yang berat (Barasi, 2009). Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih
banyak kilokalori yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk
menunjang kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan
sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2012).

16
3. Adapun zat pangan yang dapat mengontrol obesitas salah satunya adalah Serat yang
merupakan jenis polisakarida non pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim
pencernaan manusia. Serat dapat menurunkan berat badan melalui beberapa
mekanisme, yaitu makanan yang kaya serat membutuhkan waktu pengunyahan yang
lebih lama, sehingga meningkatkan produksi air liur (saliva) dan asam lambung.
Jumlah air liur dan asam lambung yang meningkat menjadikan distensi
lambung/perut terasa penuh. Selain itu, pada serat yang bersifat larut air, juga
berfungsi untuk menunda waktu pengosongan lambung sehingga rasa kenyang yang
diperoleh pun lebih lama. Setelah makan, serat larut air ini akan membantu respon
insulin dan glukosa yang berujung pada penurunan rasa kembali lapar setelah makan
(Fitrah & Achadi, 2013)
B. Saran
Dalam rangka peningkatan status gizi khususnya ditingkat rumah tangga, keluarga
disarankan untuk mengkonsumsi pangan yang beraneka ragam dan bergizi seimbang. Dan untuk
peneliti lainnya penyusun berharap makalah ini bermanfaat dan dapat di kembangkan untuk
kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Astawan M. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Fakultas Teknologi


Pertanian IPB : Bogor.2011

Marsono Y. Prospek Pengembangan Makanan Fungsional. Makalah disampaikan pada


Seminar Nasional dalam rangkan “National Food Technology Competation
(NFTC)”. 2007

Subroto MA. Real Food, True Health. Makanan Sehat Untuk Hidup Lebih Sehat.PT
AgroMedia Pustaka : Jakarta. 2008

Suter IK. Pangan Fungsional dalam Kesehatan Ayurveda. Makalah disajikan pada Seminar
Sehari dalam rangka Hari Ibu di Universitas Hindu Indonesia.2011

Winarti, Sri. Makanan Fungsional. Graha Ilmu : Yogyakarta. 2010

Rahma. Rumput laut sebagai bahan makanan kaya serat untuk penderita obesitas pada
remaja. 2014

Fitrah, A., & Achadi, E. L. Hubungan asupan zat gizi makro dan serat dengan kejadian
obesitas pada penduduk usia > 18 tahun di provinsi Sumatra barat, jawa barat,
jawa tengah, dan Sulawesi selatan tahun 2010

Kurdanti weni. Dkk. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja.
Jurnal Gizi Klinik . politeknik kesehatan Kemenkes : Yogyakarta .2015

Sthepanie. Ch.dkk. hubungan antara asupan zat gizi makro dengan obesitas pada wanita
usia subur kecamatan singgul manado. Fakultas kedokteran universitas sam
ratulangi : manado. 2013

Barasi. M. at. Aglace. Ilmu gizi. Erlangga : Jakarta. 2009

Wahyu G.G. Obesitas pada anak, bentang pustaka : Jakarta. 2009

Kemenkes RI , 2010

Badjeber, F. Nova, H. Mauren, P. Komunikasi fast food sebagai factor resiko terjadinya gizi
lebih . jurnal fakultas kesehatan masyarakat universitas samratulangi : manado.
2012

Anda mungkin juga menyukai