KONSEP TEORI
A. Pengertian
Kejang merupakan perubahan fungsi anak mendadak dan sementara sebagai akibat dari
aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan.
(Betz dan Sowden, 2002)
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal lebih dari 38OC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
(Mansjoer, Arif.et.all, 2000)
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas
38OC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah
infeksi saluran pernafasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan.
(Ngastiyah, 1997)
Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan
demam.
(Walley dan Wong, 1996)
B. Etiologi
Bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu
tubuh yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas.
(Bahan kuliah keperawatan anak oleh Ns. Hermalinda, S.Kep)
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu
tinggi dapat menyebabkan kejang.
(Mansjoer, Arif.et.all, 2000)
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu terdapat
faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan
terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar natrium
rendah. Setelah demam kejang pertama kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi atau lebih dan ± 9% anak mengalami 3x rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam dan riwayat
keluarga epilepsi.
(Mansjoer, Arif.et.all, 2000)
Faktor lain yang mungkin berperan terhadap terjadinya kejang demam adalah:
Produk toksik mikroorganisme terhadap otak
Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi
Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
Gabungan dari faktor-faktor diatas
(http://kedokteran.ums.ac.id/kejang-demam.html)
C. Jenis Kejang
1. Parsial: kesadaran utuh walaupun mungkin berubah
Parsial sederhana:
Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui,
mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipneu,
kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikis (disfagia, gangguan daya ingat).
Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
Parsial kompleks: dimulai sebagai kejang parsial sederhana, berlangsung menjadi
perubahan kesadaran yang disertai oleh:
2. Generalisata: hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan simetrik, tidak
ada aura
Tonik-klonik
Spasme tonik-klonik otot, inkontinensia urin, menggigit lidah, fase pasca iktus
Absence
Sering salah didiagnosis sebagai melamun:
Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergerak atau berkedip
secara cepat, tonus postural tidak hilang
Berlangsung beberapa detik
Mioklonik: kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot atau
tungkai, cenderung singkat
Atonik: hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh
Klonik: gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat dan tunggal atau multipel
dilengan dan tungkai
Tonik: peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh
bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Mata dan kepala mungkin berputar ke
satu sisi, dapat menyebabkan henti nafas.
D. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ sel otak diperlukan energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan
ke otak melalui system kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran
ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang
datangnya mendadak (misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya),
perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1OC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion
Natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut “neurotransmitter” dan terjadi
kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya
ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada
anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38OC sedang anak
dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru terjadi bila suhu mencapai 40OC atau lebih.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering terjadi
pada anak dengan ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu
memperhatikan pada tingkat suhu berapa pasien menderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya
menyebabkan metabolism otak meningkat.
Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron
otak selama berlangsungnya kejang lama. faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah
yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema
otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
“matang” dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga
terjadi epilepsi.
(Ngastiyah, 2005)
E. Manifestasi Klinis
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun
dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.
(Ngastiyah, 2005)
Livingstone membuat kriteria kejang demam menjadi 2 golongan yaitu: kejang demam
sederhana dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam.
(Ngastiyah, 2005)
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari 7 kriteria diatas
digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang golongan kedua ini
mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam
hanya merupakan faktor pencetus saja.
(Ngastiyah, 2005)
F. Komplikasi
Aspirasi
Asfiksia
Retardasi mental
Kerusakan sel otak
Penurunan IQ pada demam kejang yang berlangsung lama, >15 menit dan bersifat
unilateral
Kelumpuhan
(Bahan kuliah keperawatan anak oleh Ns. Hermalinda, S.Kep)
G. Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari
kejang
Pemindaian CT: menggunakan kegiatan sinar X yang lebih sensitif dari biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah
yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT
Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau aliran
darah dalam otak
Uji laboratorium
Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskular
Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
Panel elektrolit
Skrining toksik dari serum dan urin
GDA
Kadar Kalsium darah
Kadar Natrium darah
Kadar Magnesium darah
(Bahan kuliah keperawatan anak oleh Ns. Hermalinda, S.Kep)
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada klien kejang demam yang pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali
gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang mempunyai nilai prognostic. EEG abnormal
tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam
berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk klien kejang
demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi.
(Mansjoer, Arif.et.all, 2000)
H. Penatalaksanaan
1. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang klien dimiringkan untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi
terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan dan
fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan IV atau
intrarektal. Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/KgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/i dengan
dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan
penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila
diazepam IV tidak tersedia atau pemberiannya sulit, gunakan diazepam intrarektal 5 mg
(BB <10 Kg) atau 10 mg (BB >10 Kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5
menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20
mg/KgBB secara IV perlahan-lahan 1 mg/KgBB/i. Setelah pemberian fenitoin, harus
dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan
menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan
langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan-1 tahun 50 mg dan umur
1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jam kemudian berikan fenobarbital
dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/KgBB/hari dibagi dalam 2
dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama
keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral.
Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200 mg/hari. Efek sampingnya adalah
hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.
Bila kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis 4-8
mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
(Mansjoer, Arif.et.all, 2000)
3. Pengobatan profilaksis
Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5
mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan
secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB <10 Kg) dan 10 mg (BB >10 Kg), setiap
klien menunjukkan suhu lebih dari 38,5OC. Efek samping diazepam adalah ataksia,
mengantuk, dan hipotonia.
Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di
kemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5
mg/KgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/KgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus
diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2
bulan.