Alkisah, di sebuah desa hiduplah sepasang suami-istri yang telah lama belum memiliki
anak. Karena ingin dikaruniai seorang anak, suatu ketika suami-istri ini pergi ke gua untuk
berdoa kepada Tuhan. Di gua tersebut, sang Istri berdoa, “Wahai Tuhan kami, berikanlah
hambamu ini seorang anak, walaupun itu anak yang bodoh sekali pun.” Doa tersebut benar-
benar dikabulkan Tuhan. Beberapa minggu kemudian, Sang Istri mengandung dan melahirkan
seorang bayi laki-laki. Namun, bayi ini tidak pernah menangis.
Setelah anak itu tumbuh besar, barulah kedua suami-istri ini mengetahui bahwa anaknya
adalah anak yang bodoh. Oleh orang tuanya, anak ini diberi nama I Pucangngo yang berarti anak
yang bodoh.
Suatu ketika, ibunya menyuruh I Pucangngo mengambil air di sungai. Mendapat perintah
itu, I Pucangngo mengambil pikulan dan keranjang yang biasa digunakan ayahnya untuk
membawa hasil kebun ke pasar untuk membawa air dari sungai. Tentu saja semua airnya tumpah
di jalan dan dia pun harus kembali lagi ke sungai untuk mengambil air lagi. Perbuatan ini
dilakukannya berulang-ulang hingga ia merasa kelelahan.
Di lain waktu, ketika ayahnya menyuruh I Pucangngo, mengambil api untuk menyalakan
tungku, I Pucangngo pergi ke rumah tetangganya dan mengambil api dengan kedua tangannya
hingga tangannya melepuh kepanasan.
Ketika I Pucangngo menginjak dewasa, ayahnya meninggal dunia. Ibunya meminta I
Pucangngo memanggil penghulu untuk memandikan mayat ayahnya. Karena seumur hidupnya
belum pernah mengenal penghulu maka I Pucangngo bertanya pada ibunya. Ibunya pun
menjawab “Kalau nanti kau bertemu dengan orang berjanggut yang memakai baju putih, itulah
namanya penghulu.”
I Pucangngo pun berjalan mengelilingi kampung. Ketika itu, I Pucangngo melewati sebuah
tanah lapang, di sana ada banyak sekali kambing yang sedang merumput. Di antara kambing-
kambing itu, ada yang berjanggut dan berbulu putih. I Pucangngo menganggap kambing itu
adalah seorang penghulu. Karena kambing itu tetap diam maka I Pucangngo menyeretnya
dengan memaksanya ke rumahnya. Sesampainya dirumah, ibunya marah dan kesal. “Dasar anak
bodoh!” teriak Ibunya karena kesal pada I Pucangngo, akhirnya ibunya sendiri yang pergi
memanggil Pak Penghulu.
Seminggu setelah kematian ayahnya, di rumah I Pucangngo akan diadakan acara
selamatan. Jadi, sang ibu meminta bantuan I Pucangngo umtuk mencari seekor kambing untuk
dipotong. Karena tidak tahu kambing yang dimaksud maka I Pucangngo bertanya pada ibunya.
Ibunya menjawab “Kambing itu adalah binatang bertanduk dengan jenggot panjang. Bulunya ada
yang hitam, coklat atau putih.”
I Pucangngo pun pergi mencari seekor kambing. Tak lama kemudian, ia berpapasan
dengan seorang ustaz di jalan. Kebetulan ustaz itu memakai jubah putih dan berjanggut. Tanpa
berpikir panjang, I Pucangngo mengira bahwa itu kambing.
Dia pun menarik-narik Sang Ustaz untuk dibawa ke rumahnya. Tentu saja Ustaz tersebut
keheranan. Untuk melepaskan pegangan I Pucangngo, Pak Ustaz berjanji akan memberi I
Pucangngo kambing I Pucangngo pun segera melepaskan pegangan tangannya pada Sang Ustaz.
Sesuai janjinya, Sang Ustaz pun menunjukkan pada I Pucangngo seekor kambing yang
sebenarnya. Kasihan juga I Pucangngo. Untunglah Ustaz itu baik hati.
Hikmah dari cerita ini adalah berdoa dan memintalah hal-hal yang baik pada tuhan
karena kita tidak tahu apa yang akan dikabulkan.