Anda di halaman 1dari 6

LATAR BELAKANG

Gangguan jiwa adalah kondisi gangguan dalam pikiran, perilaku dan suasana perasaan yang
termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna dan dapat
menimbulkan penderitaan atau hambatan dalam menjalankan fungsi orang tersebut sebagai
manusia (UU kesehatan no. 36 tahun 2009).

Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang


signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35
juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,
serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis,
psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus
gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara
dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang.

Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang


ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan
prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau
sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.

1. Pengertian
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi
seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada
pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan
bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang
lain (Riyadi dan Purwanto, 2009).
Terapi okupasi yaitu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan suatu tugas terpilih yang telah ditentukan dengan maksud mempermudah belajar
fungsi dan keahlian yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan
(Kusumawati & Hartono, 2010, hlm. 147).

2. Tujuan terapi okupasi


Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto (2009), adalah:
a. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental.
1) Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat mengembangkan kemampuannya untuk
dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
2) Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
3) Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
4) Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan terapi.
b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot dan
koordinasi gerakan.
c. Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAK, BAB dan sebagainya.
d. Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah.
e. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki.
f. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk mengetahui kemampuan
mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan bersosialisasi, bakat, minat dan potensinya.
g. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali di lingkungan
masyarakat.

3. Aktivitas
Muhaj (2009), mengungkapkan aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi, sangat
dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan
juga oleh kemampuan si terapi sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat dan kreativitasnya).
a. Jenis
Jenis kegiatan yang dapat dilakukan meliputi: latihan gerak badan, olahraga, permainan
tangan, kesehatan, kebersihan, dan kerapian pribadi, pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan
sehari-hari, seperti dengan mengajarkan merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel),
praktik pre-vokasional, seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain), rekreasi (tamasya, nonton
bioskop atau drama), diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio
atau keadaan lingkungan) (Muhaj, 2009).
b. Aktivitas
Aktivitas adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan seseorang secara
produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber
kepuasan emosional maupun fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan harus
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1) Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi, bukan hanya
sekedar menyibukkan klien.
2) Mempunyai arti tertentu bagi klien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya dengan klien.
3) Klien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaanya terhadap
upaya penyembuhan penyakitnya.
4) Harus dapat melibatkan klien secara aktif walaupun minimal.
5) Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi klien, bahkan harus dapat
meningkatkan atau setidaknya memelihara kondisinya.
6) Harus dapat memberi dorongan agar klien mau berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.
7) Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
8) Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan kemampuan
klien.

4. Indikasi terapi okupasi


Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa indikasi dari terapi okupasi sebagai
berikut:
a. Klien dengan kelainan tingkah laku, seperti klien harga diri rendah yang disertai dengan
kesulitan berkomunikasi.
b. Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga reaksi terhadap rangsang tidak
wajar.
c. Klien yang mengalami kemunduran.
d. Klien dengan cacat tubuh disertai gangguan kepribadian.
e. Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas.
f. Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung daripada membayangkan.

5. Karakteristik aktivitas terapi


Riyadi dan Purwanto, (2009), mengemukakan bahwa karateristik dari aktivitas terapi
okupasi, yaitu: mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti tertentu bagi klien, harus mampu
melibatkan klien walaupun minimal, dapat mencegah bertambah buruknya kondisi, dapat
memberi dorongan hidup, dapat dimodifikasi, dan dapat disesuaikan dengan minat klien.

6. Analisa aktivitas
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa analisa dari kegiatan terapi okupasi,
meliputi: jenis kegiatan yang dilakukan seperti latihan gerak badan atau pekerjaan sehari-hari,
maksud dan tujuan dari kegiatan dilakukan dan manfaatnya bagi klien, sarana atau alat atau
aktivitas dilakukan disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan, persiapan terhadap
sarana pendukung dan klien maupun perawat, pelaksanaan dari kegiatan yang telah
direncanakan, kontra indikasi dan disukai klien atau tidak disukai yang disesuaikan dengan
kemampuan yang dimiliki oleh klien.

7. Proses terapi okupasi


Adapun proses dari terapi okupasi, sebagai berikut:
a. Pengumpulan data, meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis, perilaku dan
kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah.
b. Analisa data dan identifikasi masalah dari data yang telah dikaji ditegakkan diagnosa
sementara tentang masalah klien maupun keluarga.
c. Penentuan tujuan dan sasaran dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat sasaran dan tujuan
yang ingin dicapai.
d. Penentuan aktivitas jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan tujuan terapi.
e. Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab, kerjasama, emosi dan tingkah laku
selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali kegiatan yang sesuai dan
akan dilakukan. Evaluasi dilakukan secara periodik, misalnya 1 minggu sekali dan setiap
selesai melaksanakan kegiatan.

8. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung dari
kondisi klien dan tujuan terapi.
a. Metode
1) Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi dengan
kelompok dan klien lain yang sedang menjalani persiapan aktivitas.
2) Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang memiliki tujuan kegiatan
yang sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya
berkisar antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2005). Jumlah anggota kelompok kecil menurut
Stuart dan Laraia (2001, dalam Keliat dan Akemat, 2005) adalah 7-10 orang, Rawlins,
Williams, dan Beck (1993, dalam Keliat dan Akemat, 2005) menyatakan jumlah anggota
kelompok adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua
anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika
terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi. Johnson (dalam Yosep,
2009) menyatakan terapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan
reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila
keanggotaanya lebih dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota
sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali bertingkah
laku irrasional.
b. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun kelompok dengan
frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi 2
bagian, pertama: ½-1 jam yang terdiri dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-1/2
jam yang terdiri dari tahap kerja dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009).
9. Kasus
Terapi oksipasi pada klien skizofernia
Klien dirawat dipuskesmas dengan gangguan jiwa harga diri rendah kronik, awal klien
mengalami gangguan jiwa ditahun1997 yang kedua pada tahun 1999 dan yang ketiga klien
tidak mengingatnya,yang keempat tahun 2010 dan yang terakhir ditahun 2015 saat klien
bekerja dibogor dan klien dibully oleh teman-temannya sehingga klien mengalami depresi dan
pulang .
Untuk dirawat diRSJ Megelang, klien dirawat diRSJ Magelang selama 1 bulan selama
klien sembuh, klien kembali ke bogor untuk bekerja tetapi klien tidak diterima lagi bekerja
karena ijin sakit klien sudah terlalu lama, klien bingung karena uang yang dibawanya sudah
habis, klien meminjam ketemannya tapi tidak dikasih dan klien akhirnya berinisiatif pergi
kekantor polisi agar klien bisa pulang tetapi dari pihak polisi kembali meminjam ketemen-
temannya dan akhirnya klien dipinjam uang dari temannya. Sejak saat itu klien takut untuk
bekerja lagi dan memilih tinggal dirumah.

Solusi dari Mahasiswa :

Keliat, B.A. dan Akemat. 2005. Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok. Jakarta: EGC.

Muhaj, K. 2009. Terapi Okupasi dan Rehabilitasi.


Available: http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/01/terapi-okupasi-dan-rehabilitasi.html.

Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai