G41116308
I. PENDAHULUAN
Ilmu ukur tanah adalah bagian dari ilmu geodesi yang mempelajari cara-cara
pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah untuk menentukan posisi
relatif atau absolut titik-titik pada permukaan tanah, di atasnya atau di bawahnya,
dalam memenuhi kebutuhan seperti pemetaan dan penentuan posisi relatif suatu
daerah. Pemetaan situasi adalah pemetaan suatu daerah atau wilayah ukur yang
mencakup penyajian dalam dimensi horizontal dan vertikal secara bersama-sama
dalam suatu gambar peta (Suhendra, 2011).
Untuk penyajian gambar peta situasi tersebut perlu dilakukan pengukuran
titik fundamental (Xo, Yo, Ho dan ao), pengukuran kerangka horizontal (sudut
dan jarak), pengukuran kerangka tinggi (beda tinggi), dan pengukuran titik detail
(arah, beda tinggi dan jarak terhadap titik detail yang dipilih sesuai dengan
permintaan skala). Pada dasarnya prinsip kerja yang diperlukan untuk pemetaan
suatu daerah selalu dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penyelenggaraan kerangka
dasar sebagai usaha penyebaran titik ikat, dan pengambilan data titik detail yang
merupakan wakil gambaran fisik bumi yang akan muncul di petanya. Kedua
proses ini diakhiri tahapan penggambaran dan kontur (Suhendra, 2011).
Pengukuran beda tinggi dapat diperoleh dengan dua pendekatan yaitu dengan
metode sipatdatar menggunakan alat Waterpass (WP) dan metode trigonometris
menggunakan alat Total Station (TS) atau Theodolit. Kedua metode ini masing-
masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Metode sipatdatar menghasilkan
ketelitian lebih tinggi namun kurang praktis dan kurang ekonomis digunakan pada
area yang tidak datar, dibandingkan dengan pengukuran beda tinggi secara
trigonometris. Prinsip trigonometris menghasilkan ketelitian yang lebih rendah
namun memiliki kelebihan karena alat TS sangat praktis digunakan di lapangan
baik pada kondisi daerah pengukuran yang datar maupun yang bervariasi sehingga
waktu dan biaya yang dibutuhkan lebih efisien dan ekonomis (Parseno, 2010).
Berbagai penelitian untuk mengevaluasi dan membandingkan beda tinggi
dengan kedua metode tersebut telah dilakukan, diantaranya oleh Parseno dan
Yulaikhah (2008) yang telah mencoba menerapkan pengukuran beda tinggi
secara trigonometris dengan alat TS NIKON DTM 352. Hasil kajian
menunjukkan beda tinggi metode trigonometris setelah dilakukan koreksi selisih
beda tinggi ketelitiannya mendekati ketelitian metode sipat datar. Meskipun
demikian pemberian koreksi terhadap beda tinggi trigonometris belum mampu
meningkatkan ketelitian secara signifikan. Pada penelitian tersebut ditemukan
fenomena di lapangan bahwa penggunaan sudut vertikal yang berbeda ternyata
menghasilkan beda tinggi yang berbeda pula untuk posisi titik yang sama. Hal ini
sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat bahwa ketelitian jarak
maupun beda tinggi metode trigonometris sangat dipengaruhi oleh ketelitian sudut
vertikal. Hasil penelitian yang dilakukan Xiau Fuhe dan Zan Dezheng (1996)
menyatakan bahwa pada pengukuran trigonometric leveling dengan jarak pendek,
(∆hAB) = a-b..................................................(3)
keterangan:
∆hAB = beda tinggi titik A dan B (m),
a = tinggi titik A (m) dan
b = tinggi titik B (m).
apabila a–b hasilnya positif, maka dari A ke B berarti naik, atau titik B lebih
tinggi daripada titik A. Sebaliknya, apabila a–b negatif, maka dari A ke B turun
atau B lebih rendah daripada A (Safrel, 2010).
Karena interval skala rambu umumnya 1 cm, maka agar kita dapat menaksir
bacaan skala dalam 1 cm dengan teliti, jarak antara alat sipat datar dengan rambu
tidak lebih dari 60 meter. Artinya jarak antara dua titik yang akan diukur beda
tingginya tidak boleh lebih dari 120 meter dengan alat sipat datar ditempatkan di
tengah antar dua titik tersebut dan paling dekat 3,00 m. Beberapa istilah yang
digunakan dalam pengukuran alat sipat datar, diantaranya (Safrel, 2010):
2.2.1. Stasion adalah titik dimana rambu ukur ditegakan; bukan tempat alat sipat
datar ditempatkan. Tetapi pada pengukuran horizontal, stasion adalah titik
tempat berdiri alat.
2.2.2. Tinggi alat adalah tinggi garis bidik di atas tanah dimana alat sipat datar
didirikan.
2.2.3. Tinggi garis bidik adalah tinggi garis bidik di atas bidang referensi
ketinggian atau permukaan air laut rata-rata.
2.2.4. Pengukuran ke belakang adalah pengukuran ke rambu yang ditegakan di
stasion yang diketahui ketinggiannya, maksudnya untuk mengetahui
tingginya garis bidik. Rambunya disebut rambu belakang.
2.2.5. Pengukuran ke muka adalah pengukuran ke rambu yang ditegakan di
stasion yang diketahui ketinggiannya, maksudnya untuk mengetahui
tingginya garis bidik. Rambunya disebut rambu muka.
2.2.6. Titik putar (turning point) adalah stasion dimana pengukuran ke belakang
dan ke muka dilakukan pada rambu yang ditegakan di stasion tersebut.
2.2.7. Stasion antara (intermediate stasion) adalah titik antara dua titik putar, di
mana hanya dilakukan pengukuran ke muka untuk menentukan ketinggian
stasion tersebut.
2.2.8. Seksi adalah jarak antara dua stasion yang berdekatan, yang sering pula
disebut slag.
Selama ini dalam pekerjaan mendirikan sebuah bangunan digunakan unting-
unting sebagai indikator ketegakan suatu tiang. Unting-unting yang digunakan
dalam proses pekerjaan bangunan gedung umumnya cara manual yaitu dengan
mengukur jarak benang atas ke tiang dan membandingkan jarak benang (atas)
unting-unting ke tembok. Jika ukuran jarak atas dan bawah sudah sama maka
tiang sudah benar benar tegak. Karena alat ini kecil, tentu mudah hilang atau
tertimbun benda atau peralatannya lainnya. Para pengguna alat ini perlu
menyimpan dengan rapi, agar tidak bersinggunggan dengan peralatan besi lainnya
dan di simpan dalam kotak perkakas (Isnianto, 2013).
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah waterpass, statif, meteran, patok, bak
ukur, bandul, dan payung.
BA + BB..................................................(4)
2 x BT....................................................(5)
(BA + BB) x 100............................................(6)
Δh = BTb – BTm..............................................(7)
Δh = BTm – BTb..............................................(8)
∆h pergi+ ∆h pulang
Δh rata-rata = | |................................(9)
2
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, D., Muhammad, A., dan Bandi, S. 2015. Analisis pengukuran penampang
memanjang dan penampang melintang dengan GNSS metode RTK-
NTRIP. Universitas Diponegoro: Semarang.
Isnianto, HN., dan Ali, R. 2013. Rancang Bangun Alat Ukur Unting-unting
Digital dan Waterpass Digital dengan Accelero Sensor Berbasis
Mikrokontroler ATmega8. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Parseno., dan Yulaikhah. 2010. Pengaruh Sudut Vertikal Terhadap Hasil Ukuran
Jarak dan Beda Tinggi Metode Trigonometris Menggunakan Total
Station Nikon DTM 352. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Safrel, I. 2010. Peran Informasi Geo-spasial untuk Menunjang Konsep Kampus
Konservasi di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Universitas
Negeri Semarang: Semarang.
Suhendra, A. 2011. Studi Perbandingan Hasil Pengukuran Alat Teodolit Digital
dan Manual: Studi Kasus Pemetaan Situasi Kampus Kijang.
Universitas Binus: Jakarta Barat.