Anda di halaman 1dari 12

AYLA AINAYYAH M

G41116308

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cara-cara pekerjaan pengukuran di atas tanah diperlukan untuk menyatakan


kedudukan suatu titik atau penggambaran situasi atau keadaan secara fisik yang
terdapat diatas permukaan bumi, yang pada dasarnya bumi selalu bergerak sesuai
dengan porosnya. Pergerakan bumi tersebut menyebabkan dislokasi bumi dan
perubahan tempat, oleh karena itu ilmu ukur tanah diperlukan sebagai kontrol dari
pergerakan tersebut dan mengetahui seberapa besar pergeseran yang terjadi di
muka bumi. Kemudian ilmu ukur tanah juga umum digunakan sebagai dasar dari
perencanaan pembangunan. Selain itu, ilmu ukur tanah juga diperlukan untuk
mengetahui bentuk permukaan bumi.
Bentuk permukaan bumi tidak beraturan, ada yang tinggi maupun datar.
Ketidakteraturan bentuk bumi ini memerlukan determinasi untuk
mempresentasikan ukuran dan bentuknya. Penggambaran bentuk dan ukuran bumi
pada sebuah peta topografi sangat memudahkan untuk menjelaskan dan
menggambarkan keadaan suatu wilayah.
Pembuatan peta memerlukan pengukuran-pengukuran di atas permukaan
bumi yang mempunyai bentuk tidak beraturan. Salah satu parameter yang diukur
yaitu jarak dan beda tinggi suatu wilayah. Kedua parameter tersebut dibutuhkan
dalam menentukan profil memanjang dan melintang suatu wilayah. Adapun alat
yang digunakan dalam pengukuran jarak dan beda tinggi yaitu theodolite, total
station dan waterpass.
Waterpass, salah satu alat ukur tanah yang digunakan untuk menentukan
jarak dan tinggi tanah. Berbeda dengan theodolite dan total station yang bisa
mengukur sudut mendatar dan sudut tegak, waterpass memerlukan alat lain untuk
mengukur kedua parameter tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, perlunya dilakukan prakikum mengenai profil
memanjang dan melintang agar dapat mengetahui metode atau prosedur
pengukuran profil memanjang, dapat menggambarkan profil memanjang dari
suatu bentang alam dan menggambarkan potongan tegak lapangan untuk
kepentingan pembangunan.

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

1.2. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari praktikum profil memanjang yaitu mahasiswa mengetahui


metode atau prosedur pengukuran profil memanjang, dapat menggambarkan profil
memanjang dari suatu bentang alam dan menggambarkan potongan tegak
lapangan untuk kepentingan pembangunan.
Kegunaan dari praktikum profil memanjang yaitu agar mahasiswa mampu
mengetahui dan memahami metode atau prosedur pengukuran profil memanjang,
mengetahui cara menggambarkan profil memanjang dari suatu bentang alam dan
mengetahui cara menggambarkan potongan tegak lapangan untuk kepentingan
pembangunan.

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penampang Memanjang dan Melintang

Penampang memanjang adalah irisan tegak pada lapangan dengan mengukur


jarak dan beda tinggi titik-titik di atas permukaan bumi. Profil memanjang
digunakan untuk melakukan pengukuran yang jaraknya jauh, sehingga dikerjakan
secara bertahap beberapa kali. Karena panjangnya sangat besar, skala vertikal
yang digunakan dibuat berbeda dengan skala horisontalnya. Cara pengukuran
penampang memanjang sama dengan cara pengukuran secara berantai.
Penampang memanjang digunakan untuk pekerjaan membuat trace jalan kereta
api, jalan raya, saluran air, pipa air minum, dan sebagainya (Bagus dkk, 2015).
Penampang melintang yang digunakan dalam menghitung pekerjaan rekayasa
adalah sebuah penampang vertikal, tegak lurus terhadap garis sumbu pada stasiun
penuh dan stasiun plus, yang menyatakan batas-batas suatu galian atau timbunan
rencana atau yang sudah ada. Penentuan luas potongan melintang menjadi
sederhana bila potongan melintang tersebut digambar di atas kertas grafik
potongan melintang. Potongan melintang digambar dengan skala vertikal dan
horisontal yang sama, dengan praktek standar 1 inch sama dengan 10 ft. Tetapi,
bila galian atau timbunan vertikal lebih kecil dibandingkan dengan lebarnya,
perbesaran skala vertikal digunakan untuk mencapai ketelitian ekstra dalam
menggambar penampang tersebut (Bagus dkk, 2015).

2.2. Pengukuran Beda Tinggi

Ilmu ukur tanah adalah bagian dari ilmu geodesi yang mempelajari cara-cara
pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah untuk menentukan posisi
relatif atau absolut titik-titik pada permukaan tanah, di atasnya atau di bawahnya,
dalam memenuhi kebutuhan seperti pemetaan dan penentuan posisi relatif suatu
daerah. Pemetaan situasi adalah pemetaan suatu daerah atau wilayah ukur yang
mencakup penyajian dalam dimensi horizontal dan vertikal secara bersama-sama
dalam suatu gambar peta (Suhendra, 2011).
Untuk penyajian gambar peta situasi tersebut perlu dilakukan pengukuran
titik fundamental (Xo, Yo, Ho dan ao), pengukuran kerangka horizontal (sudut

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

dan jarak), pengukuran kerangka tinggi (beda tinggi), dan pengukuran titik detail
(arah, beda tinggi dan jarak terhadap titik detail yang dipilih sesuai dengan
permintaan skala). Pada dasarnya prinsip kerja yang diperlukan untuk pemetaan
suatu daerah selalu dilakukan dalam dua tahapan, yaitu penyelenggaraan kerangka
dasar sebagai usaha penyebaran titik ikat, dan pengambilan data titik detail yang
merupakan wakil gambaran fisik bumi yang akan muncul di petanya. Kedua
proses ini diakhiri tahapan penggambaran dan kontur (Suhendra, 2011).
Pengukuran beda tinggi dapat diperoleh dengan dua pendekatan yaitu dengan
metode sipatdatar menggunakan alat Waterpass (WP) dan metode trigonometris
menggunakan alat Total Station (TS) atau Theodolit. Kedua metode ini masing-
masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Metode sipatdatar menghasilkan
ketelitian lebih tinggi namun kurang praktis dan kurang ekonomis digunakan pada
area yang tidak datar, dibandingkan dengan pengukuran beda tinggi secara
trigonometris. Prinsip trigonometris menghasilkan ketelitian yang lebih rendah
namun memiliki kelebihan karena alat TS sangat praktis digunakan di lapangan
baik pada kondisi daerah pengukuran yang datar maupun yang bervariasi sehingga
waktu dan biaya yang dibutuhkan lebih efisien dan ekonomis (Parseno, 2010).
Berbagai penelitian untuk mengevaluasi dan membandingkan beda tinggi
dengan kedua metode tersebut telah dilakukan, diantaranya oleh Parseno dan
Yulaikhah (2008) yang telah mencoba menerapkan pengukuran beda tinggi
secara trigonometris dengan alat TS NIKON DTM 352. Hasil kajian
menunjukkan beda tinggi metode trigonometris setelah dilakukan koreksi selisih
beda tinggi ketelitiannya mendekati ketelitian metode sipat datar. Meskipun
demikian pemberian koreksi terhadap beda tinggi trigonometris belum mampu
meningkatkan ketelitian secara signifikan. Pada penelitian tersebut ditemukan
fenomena di lapangan bahwa penggunaan sudut vertikal yang berbeda ternyata
menghasilkan beda tinggi yang berbeda pula untuk posisi titik yang sama. Hal ini
sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat bahwa ketelitian jarak
maupun beda tinggi metode trigonometris sangat dipengaruhi oleh ketelitian sudut
vertikal. Hasil penelitian yang dilakukan Xiau Fuhe dan Zan Dezheng (1996)
menyatakan bahwa pada pengukuran trigonometric leveling dengan jarak pendek,

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

kesalahan pengukuran sudut vertikal memberi kontribusi paling dominan terhadap


ketelitian beda tinggi yang dihasilkan (Parseno, 2010).
Wibowo PW (1987), melakukan penelitian pengukuran beda tinggi secara
trigonometris dengan EDM pada jalur terbuka. Dalam penelitian tersebut
pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometris dilakukan sekali sedangkan
dengan sipat datar dilakukan pengukuran pergi pulang dikarenakan pergerakan
alat yang terbatas. Jalur pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometris
berbeda dengan jalur pengukuran sipat datar. Dari penelitian ini diperoleh
kesimpulan bahwa pengukuran beda tinggi cara trigonometris dapat menggantikan
cara sipatdatar. Bahkan dapat menggantikan pengukuran beda tinggi sipat datar
orde 1 bila pengukuran beda tinggi metode trigonometris dilakukan dalam kondisi
tertentu dan dengan ketelitian yang cukup baik (Parseno, 2010).

Gambar 1. Prinsip pengukuran beda tinggi metode trigonometrik


Sumber (Parseno, 2010)
Prinsip beda tinggi dengan metode trigonometris dapat dilihat pada Gambar 1
Berdasarkan Gambar 1, maka beda tinggi antara titik A dan B (DHAB) dapat
diperoleh dengan persamaan-persamaan berikut (Parseno, 2010):
∆HAB = hi + Δh – ht ......................................(1)
HB = HA + ΔHAB.........................................(2)
keterangan:
ΔHAB = beda tinggi titik A dan B (m),
hi = tinggi alat pada titik A(m),

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

ht = tinggi alat pada titik B (m),


HA = tinggi titik A (m),
HB = tinggi titik B (m),
α = sudut,
Δh = beda tinggi alat pada titik A dan B (m),
Berdasarkan persamaan (2) dan persamaan (3), ketelitian beda tinggi yang
ditentukan dengan metode trigonometrik tergantung pada ketelitian besaran
ukuran jarak (S), sudut vertikal (α), tinggi instrument (hi) dan tinggi target (ht).
Menurut Mikahil, 1981, ketelitian beda tinggi cara trigonometrik dapat dihitung
dengan hukum perambatan kesalahan (Parseno, 2010).
Metode sipat datar prinsipnya adalah mengukur tinggi bidik alat sipat datar
optis di lapangan menggunakan rambu ukur. Hingga saat ini, pengukuran beda
tinggi dengan menggunakan metode sipat datar optis masih merupakan cara
pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian Kerangka Dasar
Vertikal (KDV) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan tinggi hasil
pengukuran sipat datar pergi dan pulang (Safrel, 2010).
Pengukuran Trigonometris prinsipnya adalah adalah perolehan beda tinggi
melalui jarak langsung teropong terhadap beda tinggi dengan memperhitungkan
tinggi alat, sudut vertikal atau zenith atau inklinasi serta tinggi garis bidik yang
diwakili oleh benang tengah rambu ukur. Pengukuran Barometris pada prinsipnya
adalah mengukur beda tekanan atmosfer atau tekanan udara. Pengukuran tinggi
dengan menggunakan metode barometris dilakukan dengan menggunakan sebuah
barometer sebagai alat utama (Safrel, 2010).
Metode sipat datar merupakan metode yang paling teliti dibandingkan dengan
metode trigonometris dan barometris. Hal ini dapat dijelaskan dengan
menggunakan teori perambatan kesalahan yang dapat diturunkan melalui
persamaan matematis diferensial parsial. Metode sipat datar optis adalah proses
penentuan ketinggian dari sejumlah titik atau pengukuran perbedaan elevasi atau
ketinggian. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan tinggi di atas air laut ke
suatu titik tertentu sepanjang garis vertikal. Perbedaan tinggi antara titik-titik akan
dapat ditentukan dengan garis sumbu pada alat sipat datar yang ditunjukan pada
rambu yang vertikal. Pengertian dari beda tinggi antara dua titik adalah selisih

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

pengukuran ke belakan dan pengukuran ke muka. Dengan demikian akan


diperoleh beda tinggi sesuai dengan ketinggian titik yang diukur (Safrel, 2010).
Tujuan dari pengukuran penyipat datar adalah mencari beda tinggi antara dua
titik yang diukur. Misalnya bumi, bumi mempunyai permukaan ketinggian yang
tidak sama atau mempunyai selisih tinggi. Apabila selisih tinggi dari dua buah
titik dapat diketahui maka tinggi titik kedua dan seterusnya dapat dihitung setelah
titik pertama diketahui tingginya (Safrel, 2010).

Gambar 2. Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipat datar


Sumber (Safrel, 2010)
A dan B merupakan titik di atas permukaan bumi yang akan diukur beda
tingginya. a dan b merupakan bacaan rambu atau tinggi garis mendatar atau garis
bidik di titik A dan B. Sedangkan HA dan HB merupakan ketinggian titik A dan B
di atas bidang referensi. Serta ∆hAB yaitubeda tinggi antara titik A dan B. Beda
tinggi antara A dan B dirumuskan sebagai:

(∆hAB) = a-b..................................................(3)
keterangan:
∆hAB = beda tinggi titik A dan B (m),
a = tinggi titik A (m) dan
b = tinggi titik B (m).
apabila a–b hasilnya positif, maka dari A ke B berarti naik, atau titik B lebih
tinggi daripada titik A. Sebaliknya, apabila a–b negatif, maka dari A ke B turun
atau B lebih rendah daripada A (Safrel, 2010).
Karena interval skala rambu umumnya 1 cm, maka agar kita dapat menaksir
bacaan skala dalam 1 cm dengan teliti, jarak antara alat sipat datar dengan rambu

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

tidak lebih dari 60 meter. Artinya jarak antara dua titik yang akan diukur beda
tingginya tidak boleh lebih dari 120 meter dengan alat sipat datar ditempatkan di
tengah antar dua titik tersebut dan paling dekat 3,00 m. Beberapa istilah yang
digunakan dalam pengukuran alat sipat datar, diantaranya (Safrel, 2010):
2.2.1. Stasion adalah titik dimana rambu ukur ditegakan; bukan tempat alat sipat
datar ditempatkan. Tetapi pada pengukuran horizontal, stasion adalah titik
tempat berdiri alat.
2.2.2. Tinggi alat adalah tinggi garis bidik di atas tanah dimana alat sipat datar
didirikan.
2.2.3. Tinggi garis bidik adalah tinggi garis bidik di atas bidang referensi
ketinggian atau permukaan air laut rata-rata.
2.2.4. Pengukuran ke belakang adalah pengukuran ke rambu yang ditegakan di
stasion yang diketahui ketinggiannya, maksudnya untuk mengetahui
tingginya garis bidik. Rambunya disebut rambu belakang.
2.2.5. Pengukuran ke muka adalah pengukuran ke rambu yang ditegakan di
stasion yang diketahui ketinggiannya, maksudnya untuk mengetahui
tingginya garis bidik. Rambunya disebut rambu muka.
2.2.6. Titik putar (turning point) adalah stasion dimana pengukuran ke belakang
dan ke muka dilakukan pada rambu yang ditegakan di stasion tersebut.
2.2.7. Stasion antara (intermediate stasion) adalah titik antara dua titik putar, di
mana hanya dilakukan pengukuran ke muka untuk menentukan ketinggian
stasion tersebut.
2.2.8. Seksi adalah jarak antara dua stasion yang berdekatan, yang sering pula
disebut slag.
Selama ini dalam pekerjaan mendirikan sebuah bangunan digunakan unting-
unting sebagai indikator ketegakan suatu tiang. Unting-unting yang digunakan
dalam proses pekerjaan bangunan gedung umumnya cara manual yaitu dengan
mengukur jarak benang atas ke tiang dan membandingkan jarak benang (atas)
unting-unting ke tembok. Jika ukuran jarak atas dan bawah sudah sama maka
tiang sudah benar benar tegak. Karena alat ini kecil, tentu mudah hilang atau
tertimbun benda atau peralatannya lainnya. Para pengguna alat ini perlu

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

menyimpan dengan rapi, agar tidak bersinggunggan dengan peralatan besi lainnya
dan di simpan dalam kotak perkakas (Isnianto, 2013).

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

III. METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum profil memanjang dilakukan pada hari Rabu, 4 Oktober 2017,


pukul 07.30 WITA sampai selesai. Bertempat di belakang Laboratorium Teknik
Tanah dan Air, Program Sudi Keteknikan Pertanian, Departemen Teknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah waterpass, statif, meteran, patok, bak
ukur, bandul, dan payung.

3.3. Prosedur Kerja

1. Menyiapkan alat-alat yang akan digunakan.


2. Menentukan wilayah tempat pengukuran.
3. Mengukur jarak antar titik yang satu dengan titik yang lain sepanjang 30 m.
4. Memasang patok pada setiap jarak 5 m.
5. Menempatkan statif dan waterpass di patok kedua atau slag 1.
6. Memasang bandul pada statif dan mengaturnya agar sejajar dengan patok.
7. Menempatkan bak ukur pada titik B (muka) sebagai pengukuran awal.
8. Mengkalibrasi waterpass dan bak ukur dengan menempatkan gelembung nivo
di tengah.
9. Membaca benang atas, benang tengah dan benang bawah pada bak ukur di
titik B menggunakan waterpass.
10. Selanjutnya bak ukur dipindahkan ke titik A (belakang) untuk pembacaan
benang atas, benang tengah dan benang bawah.
11. Mencatat hasil pengukuran pada tabel.
12. Mengulangi langkah 5-11 pada slag 2 dan slag 3.

3.3. Rumus yang Digunakan

BA + BB..................................................(4)
2 x BT....................................................(5)
(BA + BB) x 100............................................(6)

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

Δh = BTb – BTm..............................................(7)
Δh = BTm – BTb..............................................(8)
∆h pergi+ ∆h pulang
Δh rata-rata = | |................................(9)
2

ERR = |∑ Δh pergi − ∑ Δh pulang|...........................(10)


ERR
Koreksi = n−1..............................................(11)

Setelah koreksi = (Δh rata-rata) - (koreksi)......................(12)


keterangan:
BA = benang atas (dm)
BB = benang bawah (dm)
BT = benang tengah (dm)
Δh = beda tinggi (m)
BTb = benang tengah belakang (dm)
BTm = benang tengah muka (dm)
ERR = error (m)
n = jumlah titik

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR


AYLA AINAYYAH M
G41116308

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, D., Muhammad, A., dan Bandi, S. 2015. Analisis pengukuran penampang
memanjang dan penampang melintang dengan GNSS metode RTK-
NTRIP. Universitas Diponegoro: Semarang.
Isnianto, HN., dan Ali, R. 2013. Rancang Bangun Alat Ukur Unting-unting
Digital dan Waterpass Digital dengan Accelero Sensor Berbasis
Mikrokontroler ATmega8. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Parseno., dan Yulaikhah. 2010. Pengaruh Sudut Vertikal Terhadap Hasil Ukuran
Jarak dan Beda Tinggi Metode Trigonometris Menggunakan Total
Station Nikon DTM 352. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Safrel, I. 2010. Peran Informasi Geo-spasial untuk Menunjang Konsep Kampus
Konservasi di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Universitas
Negeri Semarang: Semarang.
Suhendra, A. 2011. Studi Perbandingan Hasil Pengukuran Alat Teodolit Digital
dan Manual: Studi Kasus Pemetaan Situasi Kampus Kijang.
Universitas Binus: Jakarta Barat.

LABORATORIUM TEKNIK TANAH DAN AIR

Anda mungkin juga menyukai