Anda di halaman 1dari 5

PATOFISIOLOGI (bahan ajar dr warsinggih sp.

B peritonitis dan ileus)

Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen, ruptur saluran
cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang membatasi
infeksi.

Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan
obstruksi usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis lokal
dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh
dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak
terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya
perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan
elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada
keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.

Pemeriksaan Laboratorium

Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari
13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforata. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan
apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal
atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter
atau vesika (Kartono, 1995).

C. Laparatomi

Laparatomi merupakan suatu prosedur tindakan pembedahan dengan melibatkan suatu insisi pada dinding
abdomen. Kata Laparatomi terbentuk dari dua kata Yunani, “lapara” dan “tome”. Kata “lapara” berarti
bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti
pemotongan (Sjamsudidajat, 2005).

Laparatomi dilakukan dengan berbagai macam sayatan, yaitu :

1. Midline incision 27
Metode ini merupakan insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan, eksplorasi
dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak memotong ligamen dan saraf. Namun
demikian, kerugian jenis insisi ini adalah terjadinya hernia sikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi
gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis,
rektosigmoid, dan organ dalam pelvis (Anita, 2009; Anonim, 2009).
2. Paramedian incision
Insisi paramedian yaitu insisi abdomen dengan sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), dengan
panjang insisi ± 12,5 cm. Terbagi atas 2 yaitu paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada
jenis operasi lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta
plenoktomi. Insisi paramedian memiliki keuntungan antara lain : merupakan bentuk insisi anatomis
dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan
bawah (Anita, 2009; Anonim, 2009).
3. Transverse upper abdomen incision,
yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision,
yaitu; insisi melintang di bagian bawah ±4cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi
appendectomy (Anonim, 2009).
Bedah laparatomi dilakukan atas berbagai indikasi, terutama indikasi dalam bidang digestif
dan kandungan, antara lain : Trauma abdomen baik tumpul maupun tajam, peritonitis,
appendicitis, perdarahan saluran cerna, obstruksi usus, kehamilan ektopik, mioma uteri, adhesi
atau perlengketan jaringan abdomen, pancreatitis dan sebagainya (Kate, 2009; Wain,2009).
Laparotomi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: adrenalektomi, appendiktomi, gastrektomi,
histerektomi, kolektomi, nefrektomi, pankreatektomi, prostatektomi, seksio sesarea, sistektomi,
salpingo oofarektomi dan vagotomi. (Wain, 2009)

Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid,
fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer dkk.,
2000). Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal. Selanjutnya,
terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena
multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung.
semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga
meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz,
2000).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe,
ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis
pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi
vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai
peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut (Mansjoer dkk., 2000).

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium
ini disebut dengan Universitas Sumatera Utara apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu
pecah, akan terjadi apendisitis perforata (Mansjoer dkk., 2000).

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjoer dkk., 2000). Infiltrat apendikularis merupakan tahap
patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu
24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi proses radang melalui
penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa
periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi
tenang, dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005).

Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek, apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi membentuk jaringan parut
dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan
berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005).

1.5 Indikasi Laparatomy

1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)

Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang


terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau

yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Dibedakan atas 2 jenis yaitu :

Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium)

yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.

Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum)

yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau

sabuk pengaman (sit-belt).

2. Peritonitis

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga

abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis

primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat

penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi appendicitis,

perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering

kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan penyebab peritonitis

tersier.

3. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)

Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun

penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus

biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat.

Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus

halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan

pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa

perlengketan (lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara

lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen), Intusepsi


(salah satu bagian dari usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya

akibat penyempitan lumen usus), Volvulus (usus besar yang mempunyai

mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan

dengan menutupnya gelungan usus yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi

usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan

tumor (tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor

diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus).

4. Apendisitis mengacu pada radang apendiks

Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada bagian

inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi

lumen oleh fases yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa

menyebabkan inflamasi.

5. Tumor abdomen

6. Pancreatitis (inflammation of the pancreas)

7. Abscesses (a localized area of infection)

8. Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)

9. Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the

intestines)

10. Intestinal perforation

11. Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)

12. Foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim)

13. Internal bleeding.

Anda mungkin juga menyukai