Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara


menyuntikan obat anastetik lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio
tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat
temporer. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya akan tetapi
pasien tetap sadar. Tekhnik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.1
Urolitiasis atau dikenal dengan penyakit batu saluran kemih yang
selanjutnya disingkat BSK adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh
pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan
atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi.2
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir
balik sehingga tekanan di ginjal meningkat. BSK pada ginjal (nefrolithiasis)
merupakan faktor pencetus awal terjadinya hidronefrosis. Dimana nefrolithiasis
dapat menimbulkan obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung kemih
yang dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal dan
ureter sehingga mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal.3
Percutaneous Nefrolithotomy (PCNL) merupakan metode yang umum
untuk mengangkat batu ginjal dan saluran kemih, dan merupakan prosedur pilihan
utama untuk batu ginjal besar, multipel, atau batu cetak merupakan salah satu
tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal
dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises. PCNL
yaitu mengeluarkan batu yang berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan
alat endoskopi ke sistem kaliks melalui insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu.4

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 14 September 2018
Nama : Ny. K
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 155 cm/52 kg
Alamat : Kabupaten Merangin
No. RM : 893289
Ruangan : Kelas III (Bangsal Bedah)
Diagnosa : Hidronefrosis grade III ec batu cetak ginjal sinistra
Tindakan : PCNL sinistra

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
Nyeri pinggang kiri

b. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke Poli Bedah RS Raden Mattaher dengan keluhan nyeri
pinggang kiri yang dialami sejak ± 1 minggu SMRS, disertai dengan
kesulitan buang air kecil dan mual. Awalnya ± 1 tahun yang lalu pasien
sering mengalami nyeri pinggang yang dirasakan hilang timbul, nyeri
timbul bila terlalu lelah beraktivitas lalu nyeri menghilang dengan
sendirinya dan dirasakan menjalar ke perut bagian depan. Pasien juga
mengeluhkan kesulitan saat BAK, dimana os merasakan BAK nya
terputus-putus. ± 3 bulan SMRS nyeri pinggang sering kambuh bahkan
saat pasien sedang tidur dan disertai dengan keluhan saat BAK yang
semakin memberat BAK terputus putus- dan mulai tidak lampias.

2
Pasien mengaku jarang minum air putih, dalam sehari pasien hanya
minum air putih sebanyak 2-3 gelas, dan pasien mengaku lebih suka
minum air the serta kopi.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Hipertensi : (+)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Batuk Lama : (-)
 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat Penyakit lain : (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama
Riwayat sosial ekonomi : cukup

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,68̊C
b. Kepala : Normochepal, CA(-), SI(-), Pupil Isokor, RC (+/+),
c. THT : Nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-)
d. Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Kel. Tiroid (-)
e. Thoraks
Inspeksi : Bentuk dbn, Gerak dinding dada simetris, sikatrik
(-)
Palpasi : Vokal Fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+/+)

3
Auskultasi : Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur
(-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-,
Rhonki -/-
f. Abdomen
Inspeksi : Kontur datar, bekas operasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), hati & lien tidak

teraba
Perkusi : Timpani (+), nyeri ketok CVA -/+
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
g. Genital : tidak diperiksa
h. Ekstremitas : Akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (01-09-2018 )
Darah Rutin
 WBC : 7.72 x103/mm3
 RBC : 4.54 x106/mm3
 HGB : 11.8 gr/dL
 HCT : 35.4 %
 PLT : 333x103/mm3
 GDS : 96 mg/dl
 Masa Pendarahan : 2’ (1-3 menit )
 Masa Pembekuan : 4’ ( 2 – 6 menit )
Kimia Darah
 SGOT/PT : 19/11
 Ur/Kr : 21/1,7
 Asam Urat : 8,2

4
b. Pencitraan (04-09-2018)

- CT scan abdomen:
Batu ginjal kiri dengan hidronefrosis grade 2-3
Tampak batu ukuran 2,2cm di ginjal kiri

- X-Ray Thoraks:
Cor dan Pulmo dalam batas normal.
c. Lain-lain
EKG: Sinus Rythm

4. STATUS FISIK ASA


1/2/3/4/E

5. RENCANA TINDAKAN ANESTESI


1. Diagnosa pra bedah : Hidronefrosis grade III ec batu cetak ginjal
sinistra
2. Tindakan bedah : PCNL sinistra
3. Status fisik ASA :2

5
4. Jenis / tindakan anestesi : Anastesi Regional

Pramedikasi
 Ondansentron 4 mg (IV)
 Ranitidin 50 mg (IV)
Induksi
 Bupivacaine 20mg
 Klonidin 45mcg
 Morphin 0,1mg

6
BAB III
LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 14 September 2018


Nama : Ny. K
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 155cm/52 kg
Alamat : Kabupaten Merangin
No. RM : 893289
Ruangan : Kelas III (Bangsal Bedah)
Diagnosa : Hidronefrosis grade III ec batu cetak ginjal sinistra
Tindakan : PCNL sinistra
Operator : dr. Hendra Herman, Sp.U
Ahli Anestesi : dr. Sulistyowati, Sp.An

1. Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Tanda vital : Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit

RR : 20 x/menit
Suhu : 36,8 ºC
Berat Badan : 56 Kg
b. Laboratorium
Darah Rutin
 WBC : 7.72 x103/mm3
 RBC : 4.54 x106/mm3
 HGB : 11.8 gr/dL

7
 HCT : 35.4 %
 PLT : 333x103/mm3
 GDS : 96 mg/dl
 Masa Pendarahan : 2’ (1-3 menit )
 Masa Pembekuan : 4’ ( 2 – 6 menit )
Kimia Darah
 SGOT/PT : 19/11
 Ur/Kr : 21/1,7
 Asam Urat : 8,2
c. Status Fisik : ASA II
d. Puasa mulai jam 02.00 WIB

2. Tindakan Anestesi
a. Metode : Anastesi Regional
b. Premedikasi : Ondansentron 4 mg (IV); Ranitidin 50 mg (IV)

3. Anestesi Regional
a. Teknik Anestesi : Spinal (intrathecal)
b. Lokasi Tusukan : L3-4
c. Obat Anestesi Lokal : Bupivacaine 0,5% Hiperbarik
d. Jumlah : 4cc
e. Adjuvant :
1. Klonidin 45mcg
2. Morphin 0,1mg
f. Tindakan Anestesi Tambahan : (-)
g. Cairan/Transfusi :
1. Ringer Laktat 500 mL
2. Ringer Laktat 500 mL
3. Ringer Laktat 500 mL + Ketorolac 30 mg + Tramadol 100 mg

8
4. Keadaan Selama Operasi
a. Letak Penderita : Litotomi
b. Intubasi (LMA) : Tidak Dilakukan
c. Penyulit Waktu Anestesi/Operasi :-
d. Lama Anestesi : 150 menit (2.5 jam)

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 52 Kg
 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB
= 2 cc x 52
= 104 cc
 Pengganti Puasa (P)
P = 6 x M Pasien puasa dari jam 02.00, operasi pukul 10.00 WIB
= 6 x 104 cc
= 624 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 52x6 cc
= 312cc
 EBV : 65 x BB
EBV : 65 x 52  3.380 cc
 EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 3.380 cc  676 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (624) + 104 + 312
= 728 cc
Jam II = ¼(P) + M + O
= ¼(624) + 104 + 312
= 572 cc

9
5. Pra Anestesi
 Penentuan status fisik ASA : 1 / 2 /3/4/5/E
 Mallampati :1
 Persiapan:
a. Pemberian Informed Consent
b. Puasa 6 jam sebelum operasi

6. Monitoring
TD awal : 130/80 mmHg, Nadi = 90 x/menit, RR = 20x/menit
Jam TD Nadi RR
WIB (mmHg) (x/mnt (x/mnt
) )

09.15  Pasien masuk ke kamar operasi, dan 130/80 88 20


dipindahkan ke meja operasi
 Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2 dan urin bag
dikosongkan
 Diberikan cairan RL(1 kolf)
09.30 Diberikan cairan RL 120/80 80 22
(1 kolf) & obat premedikasi

09.45  Obat spinal dimasukkan setinggi L3- 120/70 77 18


L4 (Bupivacaine 4cc)

 Pasien diposisikan litotomi

10.00  Operasi dimulai 110/70 76 20


 Kondisi terkontrol

10.15 110/70 78 18

10
10.30 100/70 80 20

10.45 100/70 80 20

11.00 98/60 78 18

11.15 Diberikan RL 500ml (1 kolf) 97/60 77 20

11.30 100/60 80 20

11.45 100/60 76 18

12.00 100/70 84 20

12.15 90/70 84 22

12.30 100/70 84 22

12.45 100/70 80 20
 Operasi selesai
 Pelepasan alat monitoring
 Pasien dipindahkan ke RR

7. Ruang Pemulihan
 Masuk Jam : 12.45 WIB
 Keadaan Umum : Kesadaran: CM, GCS: 15
 Tanda vital : TD : 109/57 mmHg
Nadi : 78 x/menit
RR : 18x/menit
 Pernafasan : Baik

11
 Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit : 2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Instruksi Post Operasi:


 Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit selama 1 x 24 jam
 Tidur pakai bantal, 24 jam tidak duduk
 Boleh makan dan minum bertahap
 Instruksi lain dan terapi mengikuti dr. Hendra Herman, Sp.U

12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Anastesi Regional
4.1.1 Definisi
Anastesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) ialah
pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesia spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal kedalam ruang subaraknoid.
Anestesi spinal diperkenalkan oleh August Bier pada tahun 1898, teknik ini telah
digunakan untuk anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilikus.
Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang
minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari
analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan napas, serta
membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal. Spinal
anestesi dilakukan di bawah lumbal 1 pada orang dewasa dan lumbal 3 pada anak-
anak dengan menghindari trauma pada medula spinalis.1

4.1.2 Pembagian Anestesi regional1


1. Blok Sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf), yaitu meliputi blok pleksus bracialis, aksiler,
analgesia regional intravena dan lain-lain

4.1.3 Indikasi dan Kontra Indikasi


Indikasi pada anastesi :1
 Bedah ekstremitas bawah
 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rektum-perineum
 Bedah Obgyn
 Bedah Urologi
 Bedah Abdomen bawah

13
 Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasikan
dengan anestesia umum ringan

Kontra Indikasi Absolut :1


 Pasien Menolak
 Infeksi pada tempat suntikan
 Hipovolemia berat, syok
 Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
 Tekanan intrakranial meninggi
 Fasilitas resusitasi minim
 Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesia

Kontraindikasi Relatif : 4
 Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
 Infeksi sekitar tempat suntikan
 Kelainan neurologis
 Kelainan psikis
 Bedah lama
 Penyakit jantung
 Hipovolemia ringan
 Nyeri punggung kronis

4.1.4 Persiapan pra anestesi1,5


Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik. Kunjungan
pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada
bedah darurat sesingkat mungkin. Tujuan dari kunjungan pra anestesi ini yakni
mempersiapkan baik fisik maupun mental pasien, serta merencanakan teknik dan
obat-obatan apa saja yang digunakan.

14
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca
bedah, sehingga kita dapat merancang anestesia selanjutnya.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya utnuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa
hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi
produksi sputum. Kebiasaan minum jamu-jamuan juga patut dicurigai akan adanya
penyakit hepar.2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem
organ tubuh pasien.

Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang
dicurigai. Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto
thoraks.

Kebugaran untuk Anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
spasien dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak
perlu harus dihindari.

4.1.5 Klasifikasi Status Fisik

Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of


Anesthesiologists (ASA) yaitu:5
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

15
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa pembatasan
aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

4.1.6 Masukan Oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada
pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.5
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-
4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi. 5

4.1.7 Premedikasi

Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya: 5
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah

16
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan

4.2 Batu Saluran Kemih


4.2.1 Definisi
Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit dimana didapatkan masa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih, baik saluran kemih atas
(ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra), yang
dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih, dan infeksi.
Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung
kemih (batu kandung kemih).2

4.2.2 Faktor Resiko


Faktor resiko batu saluran kemih adalah:2,3
1. Volume urin yang rendah
2. Hiperkalsiuria, hiperoksalaturia
3. Faktor diet: asupan cairan kurang, sering konsumsi soda, asupan tinggi
natrium klorida, rendah kalsium, tinggi protein.
4. Riwayat batu saluran kemih sebelumnya
5. Renal tubular asidosis tipe 1

4.2.3 Patofisiologi
Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan supersaturasi dalam
pembentukan batu. Inhibitor pembentuk batu dijumpai dalam air kemih normal.
batu kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein. Beberapa promoter
(reaktan) dapat memacu pembentukan batu seperti asam urat, memacu batu kalsium
oksalat. Aksi reaktan dan inhibitor belum dikenali sepenuhnya. Ada dugaan proses
ini berperan pada pembentukan awal atau atau nukleasi kristal, progresi kristal atau
agregatasi kristal. Misalnya pennambahan sitrat dalam kompleks kalsium dapat

17
mencegah agregatasi kristal kalsium oksalat dan mungkin dapat mengurangi risiko
agregatasi kristal dalam saluran kemih.6
Batu ginjal dapat terbentuk bila dijumpai satu atau beberapa faktor
pembentuk kristal kalsium dan menimbulkan agregatasi pembentukan batu. Subyek
normal dapat mengekskresikan nukleus kristal kecil. Proses pembentukan batu
dimungkinkan dengan kecenderungan ekskresi agregat kristal yang lebih besar dan
kemungkinan sebagai kristal kalsium oksalat dalam air kemih.6
Proses perubahan kristal yang terbentuk pada tubulus menjadi batu masih
belum sejelas proses pembuangan kristal kristal melalui air kemih yang banyak.
Diperkirakan bahwa agregasi kristal menjadi cukup besar sehingga tertinggal dan
biasanya ditimbun pada duktus kolektikus akhir. Selanjutnya secara perlahan
timbunan akan membesar. Pengendapan ini diperkirakan timbul pada bagian sel
epitel yang mengalami lesi. Kelainan ini kemungkinan disebabkan oleh kristal
sendiri.6
Sekitar 80% pasien batu ginjal merupakan batu kalsium, dan kebanyakan
terdiri dari kalsium oksalat atau agak jarang sebagai kalsium fosfat. Jenis batu
lainnya terdiri dari batu sistin, batu asam urat, dan batu struvit.

- Usia - Profesi - Konstitusi Nutrisi - Musim - Keturunan


- Jenis Kelamin - Mentalitas - Ras

Kelaian Morfologi Ganngguan aliran air Infeksi saluran kemih Kelainan Metabolik Faktor Genetik
kemih

Ekskresi bahan pembentuk Ekskresi inhibitor kristal


batu meningkat menurun

Perubahan fisiko-kimia
Supersaturasi

- kelainan kristaluria
- agregatasi kristal
- pertumbuhan kristal
18
Batu Saluran Kemih
4.2.4 Diagnosis2,4,6
Anamnesis
Gejala klinis pada penderita BSK bervariasi bergantung kepada adanya
obstruksi, infeksi, dan edema. Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung
kepada : posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit yang telah terjadi. Nyeri ini
mungkin bisa berupa nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena
adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat
dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik
itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi
perenggangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik
terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi
pada ginjal. Batu saluran kemih dibagian atas biasanya menyebabkan rasa nyeri.
Karakteristik nyerinya tergantung kepada lokasi. Batu yang cukup kecil yang turun
kedalam ureter biasanya akan mengalami kesulitan dan rasa nyeri saat batu
melewati persimpangan ureteropelvik.

Gejala klinis yang bisa dirasakan oleh pasien BSK adalah :


a. Rasa Nyeri
Rasa nyeri dapat dirasakan oleh setiap pasien penderita BSK. Rasa nyeri
yang dialami dapat bervariasi tergantuk lokasi nyeri dan letak batu. Rasa nyeri yang
berulang (kolik) tergantung lokasi batu. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai
rasa nyeri tekan diseluruh area kostovertebral, tidak jarang disertai mual dan
muntah, maka pasien tersebut sedang mengalami kolik ginjal. Batu yang berada di
ureter dapat menyebabkan nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke
paha dan daerah genitalia.
b. Hematuria
Pasien sering mengeluhkan ingin selalu berkemih, namun hanya sedikit air
kemih yang keluar, dan biasanya air kemih disertai dengan darah, maka pasien
tersebut mengalami kolik ureter.
c. Mual dan muntah

19
Obstruksi saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter) seringkali
menyebabkan mual dan muntah.
Pemeriksaan Fisik
Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat
tanda-tanda balotemen, demam yang disertai takikardi.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
 Darah rutin
 Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine)
Untuk menentukan hematuria, leukosituria, dan kristaluria.
 Kultur urine
Untuk menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
 Faal ginjal (Ureum, Creatinin)
Bertujuan untuk mencari kemungkinan penurunan fungsi ginjal dan untuk
mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto IVP.
 Kadar elektrolit
Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih (antara lain
kadar : kalsium, oksalat, fosfat maupun urat didalam darah maupun urine).

2. Pemeriksaan Radiologi
o BNO
Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran
kemih. Batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radioopak dan
paling sering dijumpai, sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen. Pada
foto polos abdomen dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi batu.
Keterbatasan pemeriksaan foto sinar tembus abdomen adalah tidak dapat
untuk menentukan batu radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup
bayangan struktur tulang. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan batu
dalam ginjal dan luar ginjal.

20
Tabel Urutan Radio-opasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih

Jenis Batu Radioopasitas


Kalsium Opak
MAP Semiopak
Urat/sistin Non-opak

Gambaran nefrolitiasis pada Foto polos abdomen

b. Ultrasonografi (USG)
Dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu pada
keadaan alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada
wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya
batu di ginjal atau di buli-buli ( yang ditunjukkan sebagai echoic shadow ),
hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat
menunjukkan ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu
radiolusen dan dilatasi sistem ductus kolektivus. Keterbatasan pemeriksaan
ini adalah kesulitan untuk menunjukkan batu ureter, dan tidak dapat
membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen.

21
Gambaran nefrolitiasis pada USG Ginjal

c. Intra-Venous Pielografi (IVP)


Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain
itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semiopak ataupun batu non opak yang
tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika IVP belum dapat
menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi
ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.

Gambaran vesikolitiasis pada pemeriksaan IVP

22
3. CT Scan
CT-Scan merupakan teknik imaging yang paling baik untuk melihat
gambaran semua jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya
obstruksi.

Gambaran CT-Scan Nefrolitiasis dan ureterolitiasis


4. Pemeriksaan Renografi
Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan menggunakan teknologi
nuklir. Renograf bekerja berdasarkan pancaran sinar radioaktif yang dapat
ditangkap oleh detektor. Sedangkan perunut yang dimasukkan adalah I131 pemancar
gamma secara intravena, yang akan masuk kedalam ginjal dengan demikian maka
ginjal dianggap sebagai sumber radiaktif yang dipantau dengan detektor NaI (T1).
Hasil deteksi diproses oleh unit spektrometri gamma, yang kemudian disajikan
dalam bentuk grafik antara cacah persatuan waktu dengan lama pengamatan disebut
renogram.
Berdasarkan renogram akan memberikan informasi tentang keadaan fungsi
ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas uptake dan kemampuan mengeluarkan
perunut. Ada beberapa pola bentuk renogram yang berkaitan dengan kelainan
fungsi ginjal yang dipergunakan sebagai acuan dalam diagnosa.

23
4.2.4 Penatalaksanaan2,8
Konservatif
Batu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan
intervensi. Pengeluaran secara spontan tergantung pada bentuk, ukuran dan lokasi
batu serta hubungannya dengan edema pada ureter. 40-50 % batu dengan ukuran 4-
5mm keluar spontan. Sedangkan batu ukuran >6mm hanya memiliki kemingkinan
5% keluar spontan.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum
dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu keluar. Untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor sintesis
prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi konservatif hanya
diberikan selama 6 minggu.

Dissolution agents
Efektivitas Dissolution agents tergantung pada area permukaan batu, tipe
batu, volume irrigant dan model pengeluaran. Agen alkaline oral seperti sodium
atau potassium bicarbonate dan potassium sitrat. Perawatan yang sangat ketat pada
pasien dengan gagal jantung congestive dan gagal ginjal.
Alkalinisasi intrarenal dapat berhasil dibawah system tekanan rendah
(<25cm tekanan air). Hal ini kemudian membutuhkan nefrostomi percutaneus atau
kateter eksternal retrograde. Efektif dilakukan untuk batu yang sensitive terhadap
perubahan pH seperti batu asam urat dan batu sistin. Seangkan batu struvit
membutuhkan kondisi acidifikasi yang dapat berhasil dilakukan dengan Suby’s G
solution dan hemiacidrin (renacidine) untuk mencapai pH <4.

Relief of Obstruction
Pasien dengan batu obstruksi disertai demam dan infeksi merupakan kondisi
emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde ditujukan

24
untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan pemasangan retrograde
double J ureteral stent.

ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)


Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal atau batu buli-
buli tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah dengan
gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan
melalui saluran kemih. Betapapun disebutkan bahwa dengan ESWL batu dapat
dipecahkan menjadi bagian yang lebih kecil dari 2 mm, belum tentu pasca tindakan
semua batu akan pecah hingga ukuran yang dikehendaki. Walaupun dinyatakan
bahwa gelombang kejut yang dipergunakan tidak akan merusak jaringan ginjal
secara permanent, kerusakan yang ada perlu diawasi baik dari segi kemungkinan
terjadinya infeksi atau kerusakan yang dapat menimbulkan gejala sisa.
Kontra indikasi absolute untuk dilakukan ESWL antara lain :
- Infeksi akut traktus urinarius/ urosepsis
- Koagulopati
- Pregnancy
- Obstruksi traktus urinarius bagian distal oleh batu yang belum dikoreksi
Kontra indikasi relative untuk dilakukan ESWL antara lain :
- Malformasi ginjal seperti pada ginjal tapal kuda
- Complex intrarenal drainage seperti infundibular stenosis
- Hipertensi yang tidak terkontrol
- Gangguan Gastrointestinal
- Renal insuffisiency
- Body habitus seperti obesitas, deformitas tulang dan spinal.

Endourologi
Tindakan endourologi merupakan tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke
dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil

25
pada kulit (perkutan). Sedangkan pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik,
dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi
laser. Beberapa tindakan endourologi itu antara lain 6,10:
b. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy)
Yaitu mengeluarkan batu yang berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan
alat endoskopi ke sistem kaliks melalui insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu.
Indications of PNL
Urinary diversion
- Supravesikal urinary tractus obstruction (neoplasm, stones, other
benign causes).
- Management of a urinary leak of fistula.
Nephrolithiasis
- Symptomatic stone disease (pain, bleeding, infection related).
- Adjunct therapy to ESWL
- Primary treatment of recurrent stone formation in the setting of
metabolic disease.
Therapy for complex urinary tractus infections.
Ureteral intervension.
Nephroscopy and ureteroscopy (diagnostic or therapeutic).

c. Litotripsi
Yaitu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat
pemecah batu (Litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan
evakuator Ellik.
d. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi
Yaitu memasukkan alat ureteroskopi per-uretram guna melihat keadaan ureter
atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada
didalam ureter maupun di dalam pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan
ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.
e. Ekstraksi Dormia

26
Yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat keranjang
Dormia

Operatif
Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotripsor, ESWL, atau cara
non bedah tidak berhasil. Walaupun demikian, sudah tentu untuk menentukan
tindak bedah pada suatu penyakit batu saluran kemih perlu seperangkat indikasi.
Batu ginjal yang terletak di kaliks selain oleh indikasi umum, perlu
dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan
melalui nefrolitotomi yang tidak gampang karena batu biasanya tersembunyi di
dalam kaliks. Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis,
infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih
lagi yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk
bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas.
Bila batu ureter ukuran 0,4 cm terdapat pada bagian sepertiga proksimal
ureter, 80% batu akan keluar secara spontan, sedangkan bila batu terdapat pada
bagian sepertiga distal, kemungkina keluar spontan 90%. Patokan ini hanya dipakai
bila batu tidak menyebabkan gangguan dan komplikasi. Tidak jarang batu dengan
ukuran 0,4 cm dapat juga menyebabkan gangguan yang mengancam fungsi ginjal
atau sebaliknya, batu dengan ukuran lebih dari 1 cm tidak menyebabkan gangguan
sama sekali dan bahkan keluar secara spontan. Oleh karena itu, ureterolitotomi
selalu didasarkan atas gangguan fungsi ginjal, nyeri yang sangat yang tidak
tertahankan oleh penderita, dan penanganan medis yang tidak berhasil.
Batu kandung kemih selalu menyebabkan gangguan miksi yang hebat
sehingga perlu dilakukan tindakan pengeluarannya. Litotriptor hanya dapat
memecahkan batu dalam batas ukuran 3 cm ke bawah. Batu diatas ukuran ini dapat
ditangani dengan ESWL atau sistolitotomi melalui sayatan Pfannestiel.
Tidak jarang batu uretra yang ukurannya < 1 cm dapat keluar sendiri atau dengan
bantuan pemasangan kateter uretra selama 3 hari, batu akan terbawa keluar dengan
aliran air kemih yang pertama. Batu uretra harus dikeluarkan dengan tindakan

27
uretratomi externa. Komplikasi yang dapat terjadi sebagai akibat operasi ini adalah
striktur uretra.

4.2.5 Prognosis
Batu saluran kemih adalah penyakit seumur hidup. Rata-rata kekambuhan
pada pertama kali batu terbentuk adalah 50% dalam 5 tahun dan 80% dalam 10
tahun. Pasien yang memiliki risiko tinggi kambuh adalah yang tidak patuh dengan
pengobatan, tidak modifikasi gaya hidup, atau ada penyakit lain yang mendaasari.
Fragmen batu yang tersisa pada pembedahan biasanya keluar dengan sendirinya
jika ukuran batu tersebut <4mm.7

4.3 Hidronefrosis
4.3.1 Definisi dan Klasifikasi2,7
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau
kedua ginjal akibat obstruksi. Obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin
mengalir balik, sehingga tekanan di ginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra
atau kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika
obstruksi terjadi di salah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya
satu ginjal saja yang rusak. Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal
terhadap kandung kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan
dalam pelviks ginjal dan uretra yang dapatmengakibatkan absorbsi hebat pada
parenkim ginjal.
Klasifikasi dari hidronefrosis berdasarkan tingkat keparahannya antara lain:
Grade 1 : Dilatasi pelvis tanpa dilatasi kaliks
Grade 2 : Dilatasi pelvis dengan dilatasi kaliks
Grade 3 : Dilatasi pelvis dengan dilatasi kaliks dengan bentuk yang rata
atau membulat (blunting).
Grade 4 : Dilatasi pelvis dengan dilatassi kaliks yang tumpul serta
penipisan korteks

28
Gambar 3.10 Klasifikasi hidronefrosis
4.3.2 Etiologi
Obstruksi dapat disebabkan oleh batu renal yang terbentuk di piala ginjal
tetapi masuk ke ureter dan menghambatnya. Obstruksi juga dapat diakibatkan oleh
tumor yang menekan ureter dan berkas jaringan parut akibat abses atau inflamasi
dekat ureter dan mempersempit saluran tersebut. Dapat juga disebabkan sebagai
akibat dari bentuk sudut abnormal dipangkal ureter atau posisi ginjal yang
salah yang menyebabkan ureter berpilin dan kaku. Pada lansia terjadi karena
adanya pembesaran prostat yang menyebabkan obstruksi pada pintu kandung
kemih, juga disebabkan karena pembesaran uterus pada wanita hamil.2

4.3.3 Patofisiologi
Apapun penyebab dari hidronefrosis, disebabkan adanya obstruksi baik
parsial ataupun intermitten mengakibatkan terjadinya akumulasi urin di piala
ginjal. Sehingga menyebabkan disertasi piala dan kolik ginjal. Pada saat ini atrofi
ginjal terjadi ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap maka
ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofikompensatori),
akibatnya fungsi renal terganggu.2,7

4.3.4 Diagnosis
Gejalanya tergantung pada penyebab penyumbatan, lokasi penyumbatan
serta lamanya penyumbatan.2,7
a. Pasien mungkin asimptomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut
dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika terjadi infeksi maka

29
disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematuri
dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda dan gejala gagal
ginjal kronik akan muncul, seperti:
1. Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium).
2. Gagal jantung kongestif.
3. Perikarditis (akibat iritasi oleh toksik uremi
4. Pruritis (gatal kulit).
5. Butiran uremik (kristal urea pada kulit).
6. Anoreksia, mual, muntah, cegukan.
7. Penurunan konsentrasi, kedutan otot dan kejang.
8. Amenore, atrofi testikuler
b. Jika penyumbatan timbul dengan cepat (hidronefrosis akut), biasanya akan
menyebabkan kolik renalis ( nyeri yang luar biasa di daerah antara tulang rusuk
dan tulang panggul) pada sisi ginjal yang terkena.
c. Jika penyumbatan berkembang secara perlahan (hidronefrosis kronis), bisa tidak
menimbulkan gejala atau nyeri tumpul di daerah antara tulang rusuk dan tulang
pinggul).
d. Nyeri yang hilang timbul terjadi karena pengisian sementara pelvis renalis atau
karena penyumbatan sementara ureter akibat ginjal bergeser ke bawah.
e. Air kemih dari 10% penderita mengandung darah
f. Sering ditemukan infeksi saluran kemih (terdapat nanah di dalam air kemih),
demam dan rasa nyeri di daerah kandung kemih atau ginjal
g. Jika aliran air kemih tersumbat, bisa terbentuk batu (kalkulus).
h. Hidronefrosis bisa menimbulkan gejala saluran pencernaan yang samar-samar,
seperti mual, muntah dan nyeri perut.
i. Gejala ini kadang terjadi pada penderita anak-anak akibat cacat bawaan, dimana
sambungan ureteropelvik terlalu sempit.
j. Jika tidak diobati, pada akhirnya hidronefrosis akan menyebabkan kerusakan
ginjal dan bisa terjadi gagal ginjal.

30
4.3.5 Penatalaksanaan
Untuk pengobatan terhadap hidronefrosis, perlu dicari penyebab dari
penyakit ini sehingga dapat dilakukan diagnosis yang tepat dan terapi yang sesuai
untuk menghilangkan penyebab tersebut. Selain itu, pengobatan juga dilakukan
berdasarkan keluhan yang muncul, misalnya apabila terjadi infeksi dari saluran
kemih dapat diberikan antibiotik untuk mengobati infeksi, apabila terjadi nyeri
dapat diberikan obat-obatan anti-nyeri. Apabila terjadi gangguan terhadap BAK
misalnya tidak dapat atau tidak bisa BAK dapat dilakukan pemasangan kateter
untuk mengurangi gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita hidronefrosis. Dapat
juga dilakukan tindakan operatif untuk memperbaiki kelainan dari struktur terutama
pada anak - anak, untuk menghancurkan batu yang menyumbat, dan melebarkan
sumbatan akibat pembesaran prostat.
Apabila penyakit ini tidak diberikan terapi yang memadai maka dapat
terjadi kerusakan dari ginjal secara progresif. Fungsi dari ginjal untuk menyaring
zat-zat yang tidak diperlukan tubuh akan menurun sehingga zat - zat akan
menumpuk di dalam tubuh dan dapat menjadi berbahaya. Fungsi ginjal yang
menurun tersebut dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal dan pada keadaan
terminal memerlukan cuci darah untuk membantu membuang racun di dalam tubuh
tersebut. Selain itu, pada kondisi gagal ginjal terminal dapat juga dilakukan
cangkok ginjal.2,7
Pengobatan dini dari gejala infeksi dan gangguan dari saluran kemih dapat
mencegah kelanjutan dari gangguan fungsi ginjal. Sumbatan yang terjadi di ureter
kiri dan kanan umumnya akan menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik,
terutama pada kasus-kasus pembesaran dari prostat. Karena komplikasi yang
mungkin terjadi berupa gagal ginjal maka perlu dilakukan pencegahan agar tidak
terjadi lebih parah. Minum air minimal 8 gelas sehari dapat membantu mencegah
terjadinya infeksi dari saluran kemih dan terbentuknya batu di saluran kemih.7

31
4.3.6 Prognosis
Pembedahan pada hidronefrosis akut biasanya berhasil jika infeksi dapat
dikendalikan dan ginjal berfungsi dengan baik, sedangkan prognosis untuk
hidronefrosis kronis belum bisa dipastikan.2

32
BAB V
ANALISIS KASUS

Pemeriksaan pra anestesi


Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum
operasi, hal ini benar dilakukan karena perkenalan dengan orang tua
penderita sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah
pembedahan dan anestesi yang dilakukan. Pada kunjungan tersebut
dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum, keadaan fisik dan
mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien secara umum baik.
Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of
Anesthesiologists (ASA) yaitu:
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang, tanpa pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA),
pasien Tn. IS merupakan ASA II, yaitu terdapat penyakit sistemik ringan
atau sedang yaitu terdapatnya riwayat hipertensi pada pasien.

Pemilihan Jenis Anestesi


Pasien ini direncanakan untuk dilakukan operasi PCNL. PCNL
merupakan salah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi yang
bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan
untuk mencapai sistem pelviokalises.

33
Pada operasi PCNL, kita membutuhkan efek analgesi setinggi T10.
Oleh karena itu maka jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi spinal.
Anestesi spinal diindikasikan untuk pembedahan daerah tubuh yang
dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah).
Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian
bawah, bedah obstetri, bedah urologi, rektum-perineum, dan ekstremitas
bawah.1
Adapun beberapa keuntungan spinal anestesi dibandingkan general
anestesi yaitu jumlah perdarahan yang lebih sedikit, angka kejadian
thrombosis vena dalam lebih kecil, menghindari efek samping general
anestesi seperti mual, tenggorokan kering, gangguan kesadaran, dan
sebagainya, serta kontrol nyeri yang lebih baik.

Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi
dilakukan, dengan tujuan melancarkan anastesia.Tujuan Premedikasi sangat
beragaman, diantaranya :
- Mengurangi kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ranitidine 50


mg (golongan antagonis reseptor H2 Histamin) tujuannya yaitu untuk
mencegah pneumonitis asam yang disebabkan oleh cairan lambung yang
bersifat asam dengan PH 2,5. Untuk meminimalkan kejadian tersebut
dipilihlah antagonis reseptor H2 Histamin.1 Pada pasien ini juga diberikan

34
ondansetron 4mg (golongan antiemetik) dan untuk mengurangi mual dan
muntah pasca pembedahan. Mekanisme kerja obat ini adalah
mengantagonisasi reseptor 5HT-2 yang terdapat pada Chemoreseptor
Trigger Zone di area postrema otak dan pada aferen vagal saluran cerna,
Ondancentron juga mempercepat pengosongan lambung, mual dan muntah
pasca pembedahan. Obat-obatan lainnya yang biasa dipakai sebagai anti
emetik adalah dexamethasone (4 mg I.V), droperidol (0.625 mg I.V),
diphenhydramine (25 mg I.V) yang dapat diberikan tunggal ataupun
kombinasi.
Dalam pemberian obat premedikasi pada pasien ini terdapat
kesalahan waktu pemberian obat. Obat premedikasi seharusnya diberikan di
ruangan rawat 1-2 jam sebelum dilakukan induksi, namun pada pasien
diberikan sekitar 15 menit sebelum induksi spinal.

Induksi Anestesi
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan
kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari
perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang
punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan
pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan
betadin. Jarum spinal nomor 27 ditusukkan dengan arah median, barbutase
positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi
obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL hiperbarik 20mg dan
dikombinasikan dengan klonidin 45 μg serta morphin 0,1 mg. Bupivacain
merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja
dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari
tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan
tubuh, bersifat reversibel. MulaI kerja lambat dibanding lidokain, tetapi
lama kerja 8 jam.

35
Tabel 1. Dosis Obat Anestesi Lokal pada Anestesi Spinal6

Klonidin merupakan suatu agonis adrenoseptor α2 diketahui dapat


menstimulasi reseptor adrenergik α2 presinaps dan menghambat
pengeluaran norepinefrin di sentral maupun perifer. Stimulasi reseptor α2 di
pusat vasomotor medulla oblongata mengakibatkan klonidin memiliki efek
antihipertensi. Penambahan klonidin dapat pula menambah durasi anestesi
epidural atau intratekal yang menggunakan obat anestesi lokal.
Opioid biasa ditambahkan pada anestesi regional. Golongan opioid
dapat memperpanjang durasi anestesi tanpa secara nyata menambah blokade
saraf motorik dan simpatis, serta menjaga efek analgesia post operasi.6 Jenis
opioid yang digunakan pada pasien adalah morphin karena efek kerja obat
yang bertahan lebih lama.
Tabel 2. Dosis dan Efek Obat Opioid Intrathecal

Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi spinal, maka perlu dilakukan
monitoring tekanan darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk
mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila

36
terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari
100 mmHg. Hipotensi dan bradikardi merupakan salah satu efek dari
pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja dari syaraf simpatis.
Untuk mencegah hipotensi yang terjadi, dapat dilakukan pemberian cairan
kristaloid secara cepat 10-15 ml/kgBB dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan spinal. Namun bila dengan cairan infus masih terjadi hipotensi,
maka dapat diberikan vasopresor berupa efedrin dengan dosis 10 mg
intravena yang dapat diulang tiap 3-4 menit sampai tekanan darah yang
dikehendaki. Sebaiknya penurunan tidak lebih dari 10-15 mmHg dari
tekanan darah awal.

Terapi cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan
tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid
maupun koloid secara intravena. Pembedahan dengan anestesia
memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan. Terapi cairan
parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan
sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,
mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang pindah ke
ruang ketiga.
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu
3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.
Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak
1500 ml (3 kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 7 jam.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 1300 cc selama operasi, terdiri
dari jumlah cairan pengganti puasa 624 cc, maintenance 104 cc, stress
operasi 312 cc. pada jam I dibutuhkan 728cc, jam II 572cc, jam III 572cc.
Cairan yang telah masuk RL sebesar 1500 cc. Kebutuhan cairan pada pasien
ini sudah terpenuhi, karena selama operasi telah diberikan 1500 cc.

37
BAB VI
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

38

Anda mungkin juga menyukai