Anda di halaman 1dari 21

KONSEP MEDIS

A. Defenisi
Menurut Slusher (2013) Hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di
mana produksi bilirurin yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis
(2013), Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis tersering
ditemukan pada bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologis, atau
patologis, atau kombinasi keduanya.
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana
kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan
ditandai adanya ikterus yang bersifat patologis (Alimun,H,A : 2010). Jadi, dari
beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa hiperbilirubin
merupakan suatu kondisi di mana kadar bilirubin yang berlebihan dalam
darah yang biasa terjadi pada neonatus baik secara fisologis, patologis
maupun keduanya.
B. Diagnostik
1. Anamnesis
a. Riwayat ikterus pada anak sebelumnya.
b. Riwayat penyakit anemia dengan pembesaran hati, limpa dan atau
pengangkatan limpa dalam keluarga.
c. Riwayat penggunaan obat selama ibu hamil.
d. Riwayat infeksi maternal, ketuban pecah dini.
e. Riwayat trauma persalinan, asfiksia.
2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan klinis ikterus dapat dilakukan pada bayi baru lahir asal
dengan menggunakan pencahayaan yang memadai. Ikterus akan
terlihat lebih berat bila dilihat dengan sinar lampu dan tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang. Tekan kulit dengan ringan memakai
jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan:
1) Hari pertama tekan pada ujung hidung atau dahi.
2) Hari kedua tekan pada lengan dan tungkai.
3) Hari ketiga dan seterusnya tekan pada tangan dan kaki.
b. Ikterus muncul pertama di daerah wajah, menjalar ke arah kaudal
tubuh, dan ekstremitas. Pemeriksaan penunjang kadar bilirubin serum
total saat tanda klinis ikterus pertama ditemukan sangat berguna untuk
data dasar mengamati penjalaran ikterus ke arah kaudal tubuh.
c. Tentukan tingkat keparahan ikterus secara kasar dengan melihat
pewarnaan kuning pada tubuh metode Kremer.

Tabel Pembagian Ikterus Menurut Metode Kremer


Derajat Perkiraan Kadar
Daerah Ikterus
Ikterus Bilirubin
I Daerah kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas 9,0 mg%
Sampai badan bawah hingga
III 11,4 mg%
tungkai
Sampai daerah lengan, kaki bawah,
IV 12,4 mg%
lutut
Sampai daerah telapak tangan dan
V 16,0 mg%
kaki

Tabel Perkiraan Klinis Derajat Ikterus


Usia Ikterus Terlihat Pada Klasifikasi
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat*
Hari 2 Lengan dan tungkai**
Ikterus berat
Hari 3 dan
Tangan dan kaki
seterusnya

 Bila ikterus terlihat di bagian mana saja dari tubuh bayi pada hari
pertama, menunjukkan kondisi bayi sangat serius. Lakukan terapi
sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan
menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum.
 Bila ikterus terlihat pada lengan dan tungkai sampai ke tangan dan
kaki pada hari kedua menunjukkan kondisi bayi sangat serius.
Lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar.
Pemeriksaan tanda klinis lain seperti gangguan minum, keadaan
umum, apnea, suhu yang labil, sangat membantu menegakkan
diagnosis penyakit utama di samping keadaan hiperbilirubinemianya.
d. Tindak lanjut pada neonatus yang menderita hiperbilirubinemia harus
dilakukan setelah bayi dipulangkan terutama 7 hari pertama pasca
kelahiran.
e. Bila ikterus menetap sampai minggu kedua pasca kelahiran, dianjurkan
untuk pemeriksaan kadar bilirubin serum total dan direct serta kadar
bilirubin dalam urin.
F. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati
kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
“kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus
patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis
adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Timbul pada hari kedua - ketiga.
b) Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e) Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f) Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi
untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik,
atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg%
pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%. Ikterus yang kemungkinan menjadi
patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut
Menurut (Surasmi, 2003) bila:
- Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
- Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
- Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan
dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
- Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G6PD dan sepsis).
- Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi,
hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.

G. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena
keadaan sebagai berikut;
1. Polychetemia (Peningkatan jumlah sel darah merah)
2. Isoimmun Hemolytic Disease
3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)
5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Cephalhematoma
7. Ecchymosis
8. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu
(atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia,
hipotiroid jaundice ASI
9. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan
albumin; lahir prematur, asidosis.
H. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau
infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai
puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke
lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi
(bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh.
Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti
dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
I. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya
kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin.
Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan
diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin
dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z
dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis
atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan
ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran
empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan
jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat
indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada
keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah
otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah,
hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang
karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada
derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan
hipoglikemia.
J. Konsep Foto Terapi
1. CARA KERJA
a. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi
bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau
urin.
b. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu
isomerisasi.
c. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama
lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui
empedu.
d. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi
sinar pada manusia
e. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya
menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin
lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa
dieksreksikan melalui empedu
f. Dari empedu kemudian diekskresi ke dalam Deodenum untuk
dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan
Taeusch, 1984).
g. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
h. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan
kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan
dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
2. KRITERIA ALAT
a. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.
b. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per
nm.
c. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.
d. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri
dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight
fluorescent tubes
3. PROSEDUR PEMBERIAN FOTO TERAPI
Persiapan Unit Terapi sinar
a. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu,
sehingga suhu di bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C.
b. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi
dengan baik.
c. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip
(flickering):
d. Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung
tersebut.
e. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan,
walaupun tabung masih bisa berfungsi.
f. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai
putih di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk
memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi
4. PEMBERIAN TERAPI SINAR
- Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.
1) Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan
telanjang pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam
inkubator.
2) Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
- Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi
tidak ikut tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan
menggunakan selotip.
- Balikkan bayi setiap 3 jam
- Pastikan bayi diberi makan
- Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling
kurang setiap 3 jam
- Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan
penutup mata
- Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan
lain (contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
- Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI
perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total
per hari selama bayi masih diterapi sinar .
- Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan
pindahkan bayi dari sinar terapi sinar .
- Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa
menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak
membutuhkan terapi khusus.
- Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
- Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan
prosedur yang tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar .
- Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar
untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan
bibir biru)
- Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3
jam. Bila suhu bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau
untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu
bayi antara 36,5ºC – 37,5ºC.
- Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus
- Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
- Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar,
persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke
rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan contoh
darah ibu dan bayi.
- Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3
hari.
- Setelah terapi sinar dihentikan:
- Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum
bila memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan
metode klinis.
- Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas
nilai untuk memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah
dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar
sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui
metode klinis berada di bawah nilai untuk memulai terapi sinar.
- Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan
baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.
- Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa
kembali bayi bila bayi bertambah kun
K. Komplikasi
1. Bilirubin encephahalopathi
2. Kernikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental,
hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yang
melengking.
3. Asfiksia
4. Hipotermi
5. Hipoglikemi
L. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin
lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl
merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
b) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c) Protein serum total.
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan
hapatitis dan atresia billiari.
M. Penatalaksanaan
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan
memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil
transferase yang mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan
clereance hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering
digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin
patologis dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja
dan urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto
terapi.
N. Normogram Panduan Fototerapi
1. Foto terapi usia > 35 minggu
2. Transfusi tukar usia > 35 minggu
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang
sama, apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu
tertentu baik dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada
riwayat kontak denagn penderiata sakit kuning, adakah rwayat
operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau transfuse
darah. Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi,
hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran
pencernaan dan ASI, ibu menderita DM.
b. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh,
ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
c. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah
orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut,
apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat
pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia .
e. Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
- Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
- Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Eliminasi :
Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin lambat, Feses
lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine gelap
pekat, hitam kecoklatan ( sindrom bayi bronze )
- Makanan/cairan :
Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih mungkin disusui dari
pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat menunjukkan perbesaran
limfa, hepar.
- Neurosensori :
Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan inkompatibilitas Rh
berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung
punggung,menangislirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
- Pernafasan : Riwayat afiksia
- Keamanan :
Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik pada awalnya
di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit
hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi.
- Penyuluhan/Pembelajaran :
Faktor keluarga, misal: keturunan etnik, riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakithepar,distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat dehidrogenase
(G-6-PD). Faktor ibu, mencerna obat-obat (misal: salisilat),
inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang intrapartum, misal:
persalinan pratern.
f. Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus,
ikterus terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu
eritema palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan
termasuk pemeriksaan organ hati (tentang ukuran, tepid an
permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa (splenomegali),
pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput lender,
kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus,
reflek menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan
tangisan melengking
g. Pemeriksaan Diagnostik
- Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi
inkompatibilitas ABO.
- Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL
kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24
jam, atau tidak boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau
15 mg/dL pada bayi pratern.
- Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL)
karena hemolisis.
- Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang
memerlukan penentuan bilirubin serum.
2. Pengelompokan Data
a) Data Subjektif
- Riwayat afiksia
- Riwayat trauma lahir
b) Data Objektif
- Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh.
- Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi
- Hepatosplenomegali.
- Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang
- Urine gelap pekat
- Bilirubin total:
1) Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL
2) Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL
pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern.
- Protein serum total: < 3,0 g/dL
- Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya
intake cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi
sekunder fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,
efek fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
6. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi)
berhubungan dengan tranfusi tukar.
C. Intervensi Keperawatan
1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta
peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam
diharapkan tidak terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :
- Jumlah intake dan output seimbang
- Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
- Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-
tanda dehidrasi )
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara
36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan
kompres dingin serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi
3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,
efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
- Tidak terjadi decubitus
- Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
c. Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di
daerah tersebut ).
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah lecet )
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun
menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang
tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
b. Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi beban psikis orangtua)
5. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis,
kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah
genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan
cahaya usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya
konjungtivitis tiap 8 jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
d. Buka penutup mata setiap akan disusukan
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Hidayat A. 2010. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba


medika.
Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey.
2012.Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa : Mosby Elsavier.
Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal
/ Bayi. EGC. Jakarta
Jhonson,Marion. 2012. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St. Louis
,Missouri ; Mosby.
NANDA International. 2012. Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications 2012-
2014. Jakarta : EGC
Pedoman Praktek Klinik: Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011)
Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2010. Buku Ajar Fudamental Keperawatan :
Konsep, Proses dan Praktis Volume 2. EGC :Jakarta
Suriadi, dan Rita Y. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter
Pratama. Jakarta.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2009. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai