Anda di halaman 1dari 5

FARMASI KESEHATAN MASYARAKAT

OLEH:

NAMA : CHRYSXENA KIRANA HALIM

NIM : 154111078

KELAS : FARMASI C

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
CITRA HUSADA MANDIRI
KUPANG
2018/2019
MENGENAL LEBIH LANJUT PENYAKIT SKIZOFRENIA

Setelah gangguan bipolar dan depresi, gangguan jiwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa
terbanyak yang dialami oleh orang dewasa di Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia menyebutkan bahwa sekitar 400.000 orang menderita skizofrenia, atau setara
dengan 1,7 kasus per 1.000 penduduk.

Apa Itu Skizofrenia?

Orang dengan skizofrenia (ODS) seringkali didiagnosis skizofrenia karena menderita gejala-
gejala mengganggu seperti mendengar bisikan-bisikan atau merasa dikejar-kejar oleh agen
tertentu, misalnya Badan Intelijen Negara (BIN). Diagnosis skizofrenia dapat diberikan oleh
dokter dengan spesialis kesehatan jiwa (psikiater) atau psikolog klinis dewasa.

Skizofrenia adalah gangguan psikologis berat yang diderita sekitar 0,4% dari populasi. Setiap
tahunnya, diperkirakan ada sekitar 15 kasus baru per 100.000 orang. Di Indonesia menurut
hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan, gangguan
psikologis berat diderita oleh 1,7 per 1.000 orang atau ada sekitar 400.000 warga Indonesia
saat ini yang menderita gangguan psikologis berat seperti skizofrenia.

Konsep gangguan psikologis bernama skizofrenia ini sudah memiliki sejarah yang panjang.
Skizofrenia secara konseptual dapat diusut ke terminologi dementia praecox yang dicetuskan
oleh Emil Kraepelin pada 1880-an berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pasien-pasien di
Eropa dan Hindia Belanda.
Gejala awal skizofrenia dapat muncul pada masa remaja sekitar usia 15-17 tahun, tapi baru
dapat didiagnosis skizofrenia pada usia dewasa. Umumnya skizofrenia muncul pada masa
usia dewasa muda, yaitu sekitar usia 18-25 tahun, dan kasus skizofrenia yang baru muncul
pada usia di atas 40 tahun itu jarang.

Siapa Yang Lebih Rentan Terhadap Skizofrenia?

Orang-orang berikut memiliki faktor risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit ini:

1. Mereka yang memiliki riwayat turunan skizofrenia dalam keluarga

2. Mereka yang terjangkit virus saat berada dalam kandungan

3. Penyalahguna/Pemakai narkoba

Apa Penyebabnya?

Skizofrenia disebabkan oleh berbagai macam faktor. Hingga saat ini bukti-bukti ilmiah
merujuk pada faktor genetik sebagai penyebab utamanya. Penelitian-penelitian yang
menggunakan anak kembar menunjukkan bahwa risiko seseorang mengalami skizofrenia bila
saudara kembarnya mengalami skizofrenia adalah sekitar 50 kali lipat.

Tapi penelitian yang lebih mendalam dapat melihat beragam ekspresi gen setiap individu dan
menghitung hubungannya dengan diagnosis skizofrenia, tetapi ekspresi gen terkuat hanya
berkontribusi sekitar 1% untuk skizofrenia. Selain itu, sebuah penelitian yang melibatkan
seluruh populasi sebanyak 1,75 juta orang di Kota Kopenhagen Denmark menunjukkan
bahwa lebih dari 80% penderita skizofrenia tidak memiliki saudara yang menderita
skizofrenia. Maka dari itu, faktor lingkungan juga penting.

Hubungan antara faktor lingkungan dan skizofrenia belum banyak diteliti. Bukti-bukti ilmiah
yang sudah banyak direplikasi baru mengenai perbedaan urban-rural, yaitu orang yang
tinggal dan tumbuh besar di kota besar itu lebih tinggi 2-3 kali risikonya mengalami
skizofrenia dibandingkan dengan orang yang tinggal di desa. Bukti-bukti lain masih belum
banyak direplikasi. Misalnya, ada banyak penelitian menunjukkan kalau pengalaman
traumatik masa kecil (seperti pernah mengalami kekerasan seksual) meningkatkan risiko
skizofrenia.
Ada juga penelitian yang menunjukkan kalau mengalami perundungan (bully) pada masa
kecil dapat meningkatkan risiko skizofrenia. Akan tetapi, bukti-bukti ilmiah untuk
perundungan masih belum sekuat pengalaman traumatik.

Bagaimana Gejalanya?

1. Gejala positif

“Gejala positif”, juga disebut sebagai “gejala akut”, merupakan pikiran dan indera
yang tidak biasa, bersifat surreal, yang mengarah ke perilaku pasien yang tidak
normal. Gejala-gejala ini bisa kambuh, termasuk:

 Delusi: memiliki keyakinan yang kuat terhadap suatu hal tanpa dasar yang
jelas, tetap teguh walaupun bukti menyatakan sebaliknya dan tidak bisa
dikoreksi dengan logika dan akal sehat, misalnya berpikir bahwa dirinya
dianiaya, seseorang sedang mengendalikan pikiran dan perilakunya, atau
berpikir bahwa orang lain sedang membicarakannya.

 Halusinasi: pasien merasakan sesuatu yang sangat nyata, yang sebenarnya


tidak ada, misalnya melihat beberapa gambar yang tidak bisa dilihat oleh
orang lain, mendengar suara atau sentuhan yang tidak ada.

 Gangguan pikiran: pikiran tidak jelas, kurangnya kontinuitas dan logika,


bicara dengan tidak teratur, berbicara dengan dirinya sendiri atau berhenti
berbicara secara tiba-tiba.

 Perilaku aneh: berbicara dengan dirinya sendiri, menangis atau tertawa secara
tidak terduga atau bahkan berpakaian dengan cara yang aneh.

2. Gejala negatif

“Gejala negatif”, juga disebut sebagai “gejala kronis”, lebih sulit untuk dikenali dari
pada “gejala positif” dan biasanya menjadi lebih jelas setelah berkembang menjadi
gejala positif. Jika kondisinya memburuk, kemampuan kerja dan perawatan diri
pasien akan terpengaruh. Gejala-gejala ini antara lain:

 Penarikan sosial: menjadi tertutup, dingin, egois, terasing dari orang lain, dll.
 Kurangnya motivasi: hilangnya minat terhadap hal-hal di sekitarnya, bahkan
kebersihan pribadi dan perawatan diri.

 Berpikir dan bergerak secara lambat.

 Ekspresi wajah yang datar.

Bagaimana Cara Penanganan Skizofrenia?

Cara menangani skizofrenia di setiap negara berbeda-beda tergantung sistem kesehatan di


negara itu. Walau demikian, ada juga banyak kesamaannya. Contohnya, baik di Indonesia,
Inggris, atau Jerman, penanganan utama untuk skizofrenia adalah terapi obat dengan obat-
obatan antipsikotik.

Obat yang sering digunakan di Indonesia adalah antipsikotik generasi pertama seperti
chlorpromazine, sedangkan di Inggris dan Jerman antipsikotik yang sering digunakan adalah
antipsikotik generasi kedua. Berdasarkan hasil gabungan analisis berbagai penelitian,
ditemukan bahwa efektivitas kedua jenis obat untuk menghilangkan gejala skizofrenia itu
tidak jauh berbeda, tapi ada perbedaan yang besar di efek samping. Efek samping antipsikotik
generasi pertama umumnya lebih banyak daripada antipsikotik generasi kedua,
seperti tremor dan penambahan berat badan.

Satu lagi perbedaan adalah kesediaan psikoterapi. Di Inggris, terapi kognitif-perilaku untuk
skizofrenia rutin ditawarkan bersamaan dengan antipsikotik. Di Jerman, terapi kognitif-
perilaku untuk skizofrenia juga sudah tersedia, terutama di klinik di Hamburg. Di Indonesia,
terapi ini masih sedang dalam proses pengembangan dan belum sampai ke tahap pengujian,
maka dari itu terapi ini masih belum dapat ditawarkan.

Anda mungkin juga menyukai