Disusun oleh :
Raden Nida Yudiastri Muthia
220112170529
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
2
Terapi latihan adalah salah satu cara untuk mempercepat pemulihan pasien
dari cedera dan penyakit yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerakan
aktif dan pasif. Gerakan aktif adalah gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi
otot itu sendiri. Gerakan pasif adalah latihan yang bersngkuta dengan
melawan gravitasi. Pada makalah ini penulis akan membahas secara khusus
mengenai terapi latihan Range Of Motion (ROM).
1.4 Tujuan
1.5 Manfaat
1. Bagi Penulis
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan dapat menngkatkan
pngetahuan dan wawasan mengenai masalah penyakit stroke
2. Bagi Pembaca
Diharapkan pembaca dapat mengetahui tentang penyakit stroke lebih
dalam, sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari
masalah tersebut.
3. Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam
penanganan pada pasien dengan stroke sehingga dapat meningkatkan
pelayanan kepeawatan yang baik.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah informasi tentang masalah penyakit stroke.
BAB II
ISI
A. Definisi
Stroke adalah suatu kondisi yang digunakan untuk menjelaskan perubahan
neurologik yang disebabkan oleh gangguan dalam sirkulasi darah ke bagian
otak. Sehingga, mengakibatkan penghentian suplai darah ke otak, kehilangan
sementara atau permanen gerakan, berfikir, memori, bicara atau sensasi dan
mobilisasi (Black & Hawks, 2009). Stroke atau cedera serebrovaskular
adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplay
darah ke bagian otak. Seringkali ini adalah kulminasi penyakit
serebrobaskuler selama berthaun-tahun (Smeltzer & Bare, 2008).
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah
suatu kelainan otak dimana terjadi gangguan fungsi otak yang disebabkan
terhentinya suplay darah ke otak yang disebabkan oleh berbagai hal yang
mengakibatkan defisit neurologis.
B. Etiologi
Stroke biasanya diakibatkan oleh salah satu dari empat kejadian: (1)
trombosis (bekuan darah otak atau leher), (2) embolisme serebral (bekuan
darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh lain), (3)
iskemia (penurunan aliran darah ke area otak), (4) hemoragik serebral
(pecahnya pembuuh darah serebral dengan perdarahan ke jaringan otak atau
ruang sekitar otak). Akibatnya adala penghentian suplai darah ke otak, yang
menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berfikir,
memori, bicara atau sensasi.
C. Faktor Resiko
4
5
D. Klasifikasi
Menurut Pudiastuti (2011) stroke dibagi menjadi 2 kategori yaitu stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik/iskemik.
a. Stroke hemoragik adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah
sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke
dalam suatu daerah otak dan merusaknya. Hampir 70% kasus stroke
hemoragik diderita oleh penderita hipertensi.
Stroke hemoragik digolongkan menjadi 2 jenis, yatu: (1) hemoragik
intraserebral (perdarahan yang terjdai di dalam jarngan otak), (2)
hemoragik subaraknoid (perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid
atau ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan yang menutupi otak.
b. Stroke non-hemoragik atau stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya
pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau
keseluruhab terhenti. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis yaitu
penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah atau bekuan darah
yang menyumbat suatu pembuluh darah ke otak.
Stroke iskemik dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: (1) stroke trobolitik (proses
terbentuknya trombus hingga menjadi gumpalan), (2) stroke embolik
(tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah), (3) hipoperfusion
6
Menurut Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke adalah
kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
hilangnya sebagian penglihatanatau pendengaran, penglihatan ganda atau
kesulitan melihat pada satu atau kedua mata,pusing dan pingsan, nyeri kepala
mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo),sulit memikirkan
atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagia dari
tubuh ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian terhadap
kandung kemih.
Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan
sebagai Transient Ischemic Attack (TIA), dimana merupakan serangan kecil
atau serangan awal Stroke. Adapun tanda dan gejala stroke lainnya, yaitu:
F. Komplikasi
Menurut Pudiastuti (2011) pada pasien stroke yang berbaring lama dapat
terjadi masalah fisik dan emosional diantaranya:
8
G. Patofisiologi
1) Stroke hemoragik
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan
perdarahan subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20
% adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah
perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2009).
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini
paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak.
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 –
400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh
darah tersebut berupa degenerasi lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta
9
d. Kelainan jantung
Kelainan jantung berupa atrial fibrilasi, blok jantung menyebabkan
menurunnya curah jantung. Selain itu lepasnya embolus juga
menimbulkan iskemia di otak akibat okulsi lumen pembuluh darah.
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada
penyakit stroke adalah:
1. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/
ruptur.
2. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya
infark.
3. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
thrombosis emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau
serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau
perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus
thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang
mengalami infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
5. Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.
11
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan stroke secara umum yaitu:
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan.
b. Stabilisasi hemodinamik dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid
intravena.
c. Reperfusi dan neuroproteksi, yaitu membuka sumbatan dengan pemberian
obat trombolitik dan pemberian neuroprotektor untuk melindungi bagian
otak.
d. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
e. Pemberian nutrisi yang adekuat baik enteral maupun praenteral.
f. Pencegahan dan penanganan komplikasi.
Latihan yang dilakukan berupa latihan rentang gerak atau Range Of Motion
12
Tujuan latihan ROM menurut Smeltze & Bare (2008) adalah sebagai berikut:
a. Mempertahankan fleksibilitas dan mobilitas sendi
b. Mengembalikan kontrol motorik
c. Meningkatkan/mempertahankan integritas ROM sendi dan jaringan lunak
d. Membantu sirkulasi dan nutrisi sinovial
e. Menurunkan pembentukan kontraktur terutama pada ekstremitas yang
mengalami paralisis.
f. Memaksimalkan fungsi ADL
g. Mencegah bertambah buruknya sistem neuromusculasr
h. Mengurangi gejala depresi dan kecemasan
i. Mengingkatkan harga diri
j. Meningkatkan citra tubuh dan memberikan kesenangan.
Prosedur latihan ROM menurut Rhoad & Mekeer (2008), Kozier, et al.,
(2008) menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat pada
saat melakukan latihan ROM sebagai berikut:
h. Tekankan pada klien bahwa gerakan sendi yang adekuat adalah gerakan
sampai dengan mengalami tahanan bukan nyeri.
i. Tidak melakukan latihan pada sendi yang mengalami nyeri
j. Amati respons non verbal klien
Latihan harus segera dihentikan dan berikan kesempatan pada klien untuk
beristirahat apabila terjadi spasme otot yang dimanifestasikan dengan
kontraksi otot yang tiba-tiba dan terus menerus.
Stroke
Dosis dan intensitas latihan ROM yang dianjurkan menunjukkan hasil cukup
bervariasi. Secara teori tidak disebutkan secara spesifik mengenai dosis dan
intensitas latihan ROM tersebut, namun dari berbagai literature dan hasil
penelitian tentang manfaat latihan ROM dapat dijadikan sebagai rujukan
dalam menerapkan latihan ROM sebagai salah satu intervensi, Smeltzer &
Bare (2008) menyebutkan bahwa latihan ROM dapat dilakukan 4 sampai 5
kali sehari, dengan waktu 10 menit untuk setiap latihan, sedangkan Perry &
Poter (2006) menganjurkan untuk melakukan latihan ROM minimal 2
kali/hari. Tseng, et al., (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dosis
latihan yang dipergunakan yaitu 2 kali/hari, 6 hari dalam seminggu dalam 4
minggu dengan intensitas masing-masing 5 gerakan untuk setiap sendi. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden penelitian yang melakukan
latihan tersebut mengalami perbaikan pada fungsi aktivitas, persepsi nyeri,
rentang gerakan sendi dan gejala depresi.
Pada penelitian yang dilakukan Kim, Lee & Sohing (2014), tentang “Effect of
Bilateral Passive Range of Motion Exercise on the Funcion of Upper
Extremities and Activities of Daily Living in Patients with Acute Stroke”.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi efek rangkaian gerak pasif
pada fungsi ekstremitas dan ADL pada penderita stroke akut. Penelitian ini
menggunakan desain Experimental dengan jenis desain dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Jumlah responden sebanya 37
14
pasien dengan pasien stroke akut di unit perwatan intensif. Pada kelompok
eksperimen (n=19) dan kelompok kontrol (n=18).
Prosedur penelitian yang dilakukan Kim, Lee & Sohing (2014), adalah
dengan membagi dua kelompok tersebut, dimana kelompok eksperimen
dilakukan latihan ROM 2 kali/hari di pagi hari dan malam hari selama 5 hari
semnggi dalam 4 minggu, untuk setiap sesi berdurasi 15 menit ini, setiap
gerakan diulang sebanyak 10 kali. Sedangkan kelompok kontrol hanya
dilakukan latihan ROM 2 kali/hari selama 2 minggu. Sebelumnya dua
kelompok tersebut melakukan pretest terlebih dahulu dengan mengkaji edema
ekstremitas atas, fungsi ekstremitas atas, rentang gerak, dan ADL. Rentang
gerak untuk latihan ROM pada pasien yang tidak sadar terbatas pada titik
resistensi sendi, dan utuk pasien yang sadar tergantung jangkauan
kenyamanan bagi pasien.
Hasil dari penelitian Kim, Lee & Sohing (2014) kelompok eksperimen
menunjukkan penurunan yang signifikan pada edema ekstremitas atas
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dan kelompok eksperimen juga
menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam rentang gerak, fungsi
ekstremitas atas, dan ADL dibandingkan dengan kelompok kontrol.
dan bawah sendi yang besar pada pasien pasca stroke di Rejang Lebong
sebelum dan sesudah latihan Range Of Motion (ROM) pasif.
3.1 Kesimpulan
Latihan Range Of Motion (ROM) pada tahap awal bisa membaik fungsi
ekstremitas dan ADL pada penderita stroke. Dan jika latihan ROM dilakukan
secara rutin akan merangsang mengaktifkan gerakan volunter. Dimana
gerakan volunter terjadi karena adanya transfer impuls saraf dari garis
presentalis ke korda spinalis melalui neurotransmiter yang mencapai ke otot
dan menstimulasi otot sehingga menyebabkan gerakan. Sehingga, pasien
dengan stroke, jika melakukan gerakan teratur dan terus menerus, makan
akan mengurangi kelemahan otot.
3.2 Saran
Latihan ROM hendaknya sedini mungkin dilakukan pada pasien stroke agar
terhidar dari depresi dan menjadi komplikasi lebih lanjut, seingga pasien
dapat meningkat kualitas hidupnya. Terutama pada pasien yang berada di
perawatan intensif, sebaiknya dilakukan dalam satu hari minimal 2 kali pagi
dan malam/sore. Karena sudah dibuktikan oleh para peneliti bahwa latihan
ROM yang dilakukan pasien dengan sering maka kekuatan otot lebih cepat
peningkatannya dibandingkan dengan latihan ROM yang lebih sedikit.
17
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. (2014). Heart Disease and Stroke Statistics. AHA
Statistical Update.
Kim, Hyun Ju., Lee, Yaelim., Sohing, Kyeong-Yae. (2014). Effect of Bilateral
Passive Range of Motion Exercise on the Funcion of Upper Extremities
and Activities of Daily Living in Patients with Acute Stroke. Journal of
Phys. Ther. Sci, 26, 149-156.
Kozier, B., et al. (2008). Kozier and Erb’s Fundamentals of nursing, concept,
process and practic, eighth edtion. New Jersey : Pearson Education.
18
19
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006) Patofisiologi konsep klinis proses penyakit
Edisi 6. EGC. Jakarta.
Rahayu, Kun Ika. (2014). Pengaruh Pemberian Latihan Range Of Motion (ROM)
Terhadap Kemampuan Motorik Pada Pasien Post Stroke di RSUD
Gambiran. Journal of Jurnal Keperawatan,6(2), 102-107
Robbins. (2007). Buku Ajar Patologi Robbins. Ed.7. Volume 2. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L. & Cheever, K.H. (2008) Brunner &
Suddarth’s Textbook of medical-surgical nursing. 11th Edition.
Philadelphia Lippincott William & Wilkins.
Tseng, C.-N., Chen, C. C.-H., Wu, S.-C., & Lin, L.-C. (2007). Effects of a
rangeof- motion exercise programme. Journal of Advanced Nursing,
57(2), 181-191.