TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada
antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata
immune yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit
hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja,
sehingga untuk terhindar dari penyakit yang lain diperlukan imunisasi
lainnya.3
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan
terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi
tidak cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara
bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit
yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.1
Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif
dengan memberikan imunoglobulin.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja
memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen
yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan
sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori.
Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun
cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan “ infeksi
ringan “ yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari
anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi
dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut.
Vaksinasi mempunyai keuntungan :
1. Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
3
4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2012, setiap tahun terjadi kematian
sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah
melalui vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus
menduduki peringkat utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak
(525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza tipe B,
pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian
5
b. Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau
virus dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak
aktif dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak
menyebabkan penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi
imun ) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik.
Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar.
Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam
sirkulasi darah.
o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya
pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi
hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun
protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda
dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip
atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin
inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak
menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen
inactivated menurun setelah beberapa waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap
penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun
vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan
menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini
disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang
sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan ( contoh antigen
pertusis dalam vaksin DPT ).
Gambar 11
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena
telah dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1
a. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)
Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh
kita tidak ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu.
Contoh bentuk kekebalan non-spesifik :
13
- Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung
yang berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke
saluran nafas bagian bawah.
- Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin -
berperan sebagai antibakteri
- Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih
akan memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.
- Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan
non-spesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan
makrofag) akan menangkap, mencerna, dan membunuh
mikroorganisme tersebut.
1. Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat
bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak
berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi
yang secara alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya.
2. Kekebalan aktif
Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi
dan berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori
terhadap antigen tertentu.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin
dapat dibuat dari2 :
Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)
Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)
Vaksin rekombinan
Virus – like particle vaccine.
Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi
dilaboratorium dengan cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab
penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki
kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan
menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Supaya
dapat menimbulkan respon imun, vaksin hidup attenuated harus
berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien.
Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian
mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai
cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun. Vaksin
hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus hidup yaitu vaksin
campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning
(yellow fever) dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan
demam tifoid.
15
2.9 PENYIMPANAN
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin
(DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12
bulan adalah :
1. Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah
gluteal.
2. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk
menyerap suntikan secara adekuat.
3. Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
4. Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat
suntikan yang menahun.
5. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian
anterior.
19
Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar
(b)
b. Intramuskular
Hal yang harus di perhatikan :
Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B,
Influenza.
Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur Tempat Ukuran Insersi jarum
jarum
Bayi Otot vastus Jarum 1. Pakai jarum yang cukup panjang
(lahir lateralis pada 7/8’’-1’’ untuk mencpai otot
s/d 12 paha daerah Spuit n0
bulan anterolateral 22-25
1-3 Otot vastus Jarum 2. Suntik dengan arah jarum 80-90o.
tahun lateralis pada 5/8’’-1 lakukan dengan cepat
paha daerah ¼’’ (5/8 1. Tekan kulit sekitar tepat
anterolateral untuk suntikan dengan ibu jari dan
sampai masa suntikan telunjuk saat jarum ditusukan
otot deltoid di
cukup besar deltoid
(pada umumnya umur
umur 3 tahun 12-15
bulan
Spuit no
22-25
Anak Otot deltoid, di Jarum2. Aspirasi spuit
> 3 bawah akromion 1’’-1 sblm vaksin
tahun ¼’’ disuntikan,
Spuit no untuk
22-25 meyakinkan
tidak masuk
ke dalam
vena.Apabilat
erdapat darah,
buang dang
ulangi dengan
suntik yang
baru.
3. Untuk
suntikan
multipel
diberikan pada
bagian
sekstremitas
berbeda
21
1. Kesalahan program.
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan teknik
pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi
dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin
membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan ketrampilan petugas
pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisasi.
23
2. Reaksi suntikan.
Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin, tetapi
lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan
kemerehan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi
bukan akibat dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing,
atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat
dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan secara benar.
3. Reaksi vaksin.
Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi terlebih
dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi
efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang
muncul umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi,
pusing, nyeri otot). Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin
dapat bersifat berat, misalnya reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah
bahwa reaksi alergi serius relatif jarang terjadi, misalnya reaksi alergi serius
akibat campak kemungkinan kejadiannya hanya 1/1000.000 dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi
efek samping atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada
petugas gejala apa saja yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan
KIPI bersifat ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau bengkak
maka dapat dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum obat
antipiretik saja. Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka
harus secepat mungkin dibawa kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan
yang melakukan pemberian vaksinasi mempunyai kewajiban untuk
melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan Tingkat Kabupaten, dengan tembusan
ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di setiap provinsi.
24
2. Vaksinasi Polio1,3
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine)
dan IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut,
sedangkan IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan
26
suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio
oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi
dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi
nasional) semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status
imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya tahan tubuh menurun
(imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan mengulang
pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai
dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes
dengan jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak
berpengaruh terhadap respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap
polio, jadi saat pemberian vaksin, anak tetap bisa minum ASI.
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan
dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua
calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes
OPV.
Reaksi KIPI
Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala
pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan
diberikan ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam
pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker,
penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV
berisi virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan
melalui tinja selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain.
Untuk bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.
3. Vaksinasi BCG
Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak
berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi
masih mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang
memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin BCG tidak mencegah
27
Reaksi KIPI
Yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul
dalam waktu 1 – 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan
menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan
untuk sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap
bersih dan kering.
28
4. Vaksinasi DTP1,3
a. Vaksinasi Difteri
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat
pemberian. Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan
dengan imunisasi tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada
beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi
yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan
untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18
tahun diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri)
atau vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular
pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada anak dengan
kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak usia
lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi
karena toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan,
melalui suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan
selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1
tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun
setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45%
setelah suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah
imunisasi dasar hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan
booster setiap 10 tahun sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td
(tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun
atau minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu
direkomendasikan untuk memberikan booster setiap 10 tahun.
Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer
dengan menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu
diantara dosis pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan
ketiga. Ikuti dengan dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.
29
b. Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari
ibu, namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena
itu, sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin
pertusis diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai
pada saat bayi berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi
dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-
6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan)
dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6
tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis
yang telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin
dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau
lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata
efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah
(75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat
mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan
tingkat keparahan pertusis.
Reaksi KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan
nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan
kejang demam (0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus
30
Kontra indikasi
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat
dan ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang
perlu mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian
pertama dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang
(hipotonik- hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus
selama 2 jam, dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.
c. Vaksinasi Tetanus
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin
DPT. DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2
bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk
sekolah (4-6 tahun). Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus
ditunda jika anak mengalami demam tinggi, memiliki kelainan saraf,
atau mengalami gangguan pertumbuhan.
Reaksi KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa
rasa nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan
demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap
Difteri, Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan
dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara
intramuskular atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur
3 bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu
tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1
31
tahun setelah DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan
pada saat usia prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap
10 tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan
setelah 10 tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan
minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan
perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka
sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang
lebih serius dari flu ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat.
Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau perkembangannya abnormal,
penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik atau
kejangnya bisa dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara
intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.
tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik > 2 bulan setelah
PCV7 terakhir.
Reaksi KIPI
Pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan mengalami
eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung kurang dari
48 jam. Reaksi lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan menurun,
mialgia (pada anak <1%). Demam ringan sering timbul. Reaksi ikutan pasca
imunisasi ini biasanya terjadi setelah pemberian dosis kedua, namun
berlangsung tidak lama dan menghilang dalam 3 hari.
Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat
diberikan, yaitu:
1) Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian
vaksin.
2) Kontraindikasi relatif:
- Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih
kurang baik
- Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.
7. Vaksinasi Rotavirus1,3
Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah
diare rotavirus. Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa
gangguan usus), maka vaksin tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini
terdapat 2 vaksin rotavirus, yaitu ;
- Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya
mengandung strain manusia P(8)G1.
- Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain
manusia-sapi P(8)G1-G4.
Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti
aman dari risiko gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila
diberikan bersama vaksin polio oral. Kejadian ikutan pasca pemberian
vaksin dilaporkan adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan demam 12,1%
34
8. Vaksinasi Influenza1,3
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated
influenza virus). Terdapat 2 macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus
vaccine.
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak
berumur > 3 tahun adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah
berusia > 9 tahun, vaksin cukup diberikan satu dosis dan diulang setiap
tahun.
Reaksi KIPI
Dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak, nyeri,
kemerahan pada tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala tersebut
dapat terjadi setelah penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.
9. Imunisasi Campak1,3
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak.
Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan
campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin
diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat
2 jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup
dan dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus
35
campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin
yang dicampur dengan garam aluminium).
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan
terbukti bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak
peningkatan insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang
memperoleh imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan
mengulangi imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka
anak SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang
memperoleh pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi,
sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan
berasal dari darah, alergi terhadap protein telur.
Reaksi KIPI
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam
dijumpai pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2 hari
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang
reaksinya diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.
36
Reaksi KIPI
Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal
tetapi umumnya ringan, kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek
samping akibat pemberian vaksinasi terbanyak 10 %-15% berupa nyeri dan
bengkak di tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada individu yang
mengalami efek samping berat sesudah pemberian dosis pertama.
39