Anda di halaman 1dari 29

Nama : Ayu Yuniar

NIM : 1420117016
Prodi/ Tingkat : Keperawatan (S1)/ IIA
Tugas Mata Kuliah : Epidemiologi

I. HIV – AIDS (PENYAKIT MENULAR)


A. PENGERTIAN
1. HIV
a. Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang
termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan
menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA
dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus
lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan
utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi
dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan
diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit
(Nursalam 2007).
b. Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1
yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak
ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan
lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi
dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel
mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
c. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4
berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai
CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (KPA, 2007).
d. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada
enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia,
termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat.
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara
evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang
paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
e. HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam
sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke
dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS
ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri,
parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik (Zein, 2006).

2. AIDS
a. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai
kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus,
dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim,
2006).
b. AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada
seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat
supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan
sebagainya (Laurentz, 2005).
c. AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV
(Brooks, 2009). Virus HIV ini akan menyerang sel-sel sistem imun
manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan dalam melawan infeksi
dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus HIV akan menginvasi sel-sel ini,
dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu menghancurkannya.
Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi mengatasi
infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis
penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem
pertahanan tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV
pada tahap lanjut (AVERT, 2011).

B. ETIOLOGI
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri
khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk
replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan
pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.
Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi
HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural
virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus.
Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat
menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).

C. PATOFISIOLOGI
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah
sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV
) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian
virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan
ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian
sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha
mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan
melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk
membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4
sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim
inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai
antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh
sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper.
Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan
limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit,
memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit.
Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak
menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan
menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin
lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat
berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar
200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster
dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya
penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi
yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh
dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker
atau dimensia AIDS.

D. TANDA DAN GEJALA


Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2
gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa
fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat
menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau
lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun
tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis
seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang
khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. Gejala Minor

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat
dibagikan mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam,
faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia,
penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal
neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous
maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan
plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang
terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada
kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang
akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita
HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV
akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit
secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan
tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase
simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

E. CARA PENULARAN
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan
air susu ibu (KPA, 2007).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak
seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama
masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi
selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral
(mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau
anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk
ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato
atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi
ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai
kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda
tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak
7. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
8. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas
laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun
defenitif, yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang
bekerja dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan
benda tajam (Fauci, 2000).
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan
infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada
pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
(Fauci, 2000). Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak
dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
a) Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS,
bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu
ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan
maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan
menyebabkan seseorang tertular.
b) Dari keringat, ludah, air mata, pakaian, telepon, kursi toilet atau melalui
hal-hal sehari-hari seperti berbagi makanan, tidak akan menyebabkan
seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun
peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien
dapat tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi
orang lain dengan mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus
dan protein yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus.
Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi sampai
sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6
minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski,
2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzyme-
linked immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan
untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi
HIV.
kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi,
maka hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu setelah infeksi.
Walaupun hasil tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko
yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan
tes Western blot sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah diagnosa definitif
dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide gel
electrophoresis, dipindahkan ke kertas nitroselulosa, dan ia bereaksi dengan
serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan berikatan dengan protein
virus terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan antibodi
yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna
mengungkapkan adanya antibodi HIV dalam serum pasien yang telah terinfeksi
(Shaw dan Mahoney, 2003) Tes OraQuick adalah tes lain yang menggunakan
sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini dapat diperoleh
dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan tes Western
blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus,
manakala polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat
mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi
terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi “proviral DNA”. HIV terdiri dari
bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah salinan DNA dari RNA
virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran HIV ketika ELISA dan Western
blot negatif; dalam beberapa minggu pertama setelah infeksi, sebelum antibodi
dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak tentu dan pada bayi baru lahir
dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain (Swierzewski, 2010).

G. KOMPLIKASI
Komplikasi primer :
1. MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder
2. Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati )
3. Infeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV
4. Leikoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)

H. PENCEGAHAN
Menurut The National Women’s Health Information Center (2009), tiga
cara untuk pencegahan HIV/AIDS secara seksual adalah abstinence (A), artinya
tidak melakukan hubungan seks, be faithful (B), artinya dalam hubungan seksual
setia pada satu pasang yang juga setia padanya, penggunaan kondom (C) pada
setiap melakukan hubungan seks. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan
ABC.
Terdapat cara-cara yang efektif untuk motivasikan masyarakat dalam
mengamalkan hubungan seks aman termasuk pemasaran sosial, pendidikan dan
konseling kelompok kecil. Pendidikan seks untuk remaja dapat mengajarkan
mereka tentang hubungan seksual yang aman, dan seks aman. Pemakaian
kondom yang konsisten dan betul dapat mencegah transmisi HIV (UNAIDS,
2000).
Bagi pengguna narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu
untuk mengurangi risiko tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang harus
disuntikkan ke yang dapat diminum secara oral, jangan gunakan atau secara
bergantian menggunakan semprit, air atau alat untuk menyiapkan NAPZA, selalu
gunakan jarum suntik atau semprit baru yang sekali pakai atau jarum yang
secara tepat disterilkan sebelum digunakan kembali, ketika mempersiapkan
NAPZA, gunakan air yang steril atau air bersih dan gunakan kapas pembersih
beralkohol untuk bersihkan tempat suntik sebelum disuntik (Watters dan
Guydish, 1994).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut
kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui.
Seorang ibu dapat mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang
dapat menghambat transmisi virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika
melahirkan, obat antiviral diberi kepada ibu dan anak untuk mengurangkan risiko
transmisi HIV yang bisa berlaku ketika proses partus. Selain itu, seorang ibu
dengan HIV akan direkomendasikan untuk memberi susu formula karena virus ini
dapat ditransmisi melalui ASI ( The Nemours Foundation, 1995).
Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal
(Universal Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan pembuangan
barang-barang tajam , mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan
sesudah dilakukannya semua prosedur, menggunakan alat pelindung seperti
sarung tangan, celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat
harus bersentuhan langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya, melakukan
desinfeksi instrumen kerja dan peralatan yang terkontaminasi dan penanganan
seprei kotor/bernoda secara tepat.Selain itu, darah dan cairan tubuh lain dari
semua orang harus dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang
apakah status orang tersebut baru diduga atau sudah diketahui status HIV-nya
(Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011).

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap
HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari
pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel
CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah.
Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV
dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang
sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam
mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya
AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse
transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat
esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel.
Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta),
efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel
tuan rumah dan dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari
intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang
mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke
anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari
14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini
menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50%
penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan
sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine
(AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa
satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut
harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa
obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang
30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah
terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational.
Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu
pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang
bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan
orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan
untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui
pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT
dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan
mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang
berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi
yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama
72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal
seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi
lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke
HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat
memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang
tidak aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula
kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang
terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti
HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset
AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak
diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara
sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005).

5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik


Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis
harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis
II. APENDISITIS (PENYAKIT TIDAK MENULAR)
A. DEFINISI
1. Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94
inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung
menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002).
2. Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang
laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
3. Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, danEnterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
4. Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul
dan multiplikasi (Chang, 2010)
5. Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa
penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat
terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

APENDISITIS

B. ETIOLOGI
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
1. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid
pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks:
a. Appendik yang terlalu panjang
b. Massa appendiks yang pendek
c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d. Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)

C. KLASIFIKASI
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses
infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding
apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah
pada dinding apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney,
defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler
dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik
antara 1-5 persen.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di
perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan.
Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya
adalah apendiktomi.
6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi
regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup
yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak
napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal.
Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak
bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan
APENDISITIS

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. ANATOMI
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang
kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak
saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung
dari protuberans sekum. Pada saatantenatal dan postnatal, pertumbuhan
dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari
medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan
menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens
Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian
proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat
tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk
mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak
appendiks. Posisi appendiks adalahretrocaecal (di belakang sekum)
65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum)
2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus
halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Appendiks pada saluran pencernaan


Anatomi appendiks Posisi Appendiks

2. FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara
normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada
patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran
cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi
bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan
dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

E. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan
apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
Pathway

Pathway APENDISITIS
F. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
Rovsing’s sign pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri
pada sisi kanan.
Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
Psoas sign atau Obraztsova’s
dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
sign
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
Obturator sign
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau
vagina.
Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
Dunphy’s sign
dengan batuk
Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
Ten Horn sign
pada korda spermatic kanan
Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
Kocher (Kosher)’s sign atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Nyeri yang semakin bertambah pada perut
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri
Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
Aure-Rozanova’s sign triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
Blumberg sign kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan
tiba-tiba
APENDISITIS

G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering
pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah
2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada
anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih
tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh
darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal
ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,
dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin
hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-
100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan
obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
APENDISITIS

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik

2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks
dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca
appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik
dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
III. PENYAKIT DEGENERATIF
A. Pengertian
Kanker indung telur adalah terjadinya pertumbuhan sel-sel yang tidak
lazim (kanker) pada satu atau dua bagian indung telur (Conectique.com, 2008,
diakses tanggal 28 Mei 2009).
Kanker indung telur atau kanker ovarium adalah tumor ganas pada
ovarium (indung telur) yang paling sering ditemukan pada wanita berusia 50 – 70
tahun. Kanker ovarium bisa menyebar ke bagian lain, panggul, dan perut melalui
sistem getah bening dan melalui sistem pembuluh darah menyebar ke hati dan
paru-paru. Kanker ovarium sangat sulit di diagnosa dan kemungkinan kanker
ovarium ini merupakan awal dari banyak kanker primer. (Wingo, 1995).

B. Klasifikasi
Jenis kanker ovarium meliputi:
1. Epithelial (65% dari semua kanker ovarium).
Tumor epiteal ovarium berkembang dari permukaan luar ovarium,
pada umumnya jenis tumor yang berasal dari epitelial adalah jinak, namun jika
terjadi keganasan maka disebut epitelial ovarium carcinomas yang merupakan
jenis tumor yang paling sering dan penyebab kematian terbesar dari jenis
kanker ovarium. Gambaran tumor epitelial secara mikrokopis tidak jelas
teridentifikasi sebagai kanker, dinamakan sebagai tumor borderline atau tumor
yang berpotensi ganas. (Ari, 2008)
Berikut adalah beberapa kanker epithelial :
a. Serosa (20%-50%, kebanyakan ganas)
b. Muscinosa (15%-25%, dapat tumbuh hingga ukuran besar, histologinya
bervariasi)
c. Endometrioid (5%, sekitar 10% berhubungan dengan endometriosisi)
d. Clear cell (5%, prognosisnya sangat buruk)
e. Brenner (2%-3%, kebanyakan jinak)
2. Germ cell (25% dari semua kanker ovarium).
Tumor sel germinal berasal dari sel yang menghasilkan ovum, umumnya
tumor germinal adalah jinak meskipun beberapa menjadi ganas, bentuk
keganasan sel germinal adalah teratoma, disgermioma dan tumor sinus
endodermal (Ari, 2008).
Germ cell terdiri atas :
a. Disgermioma
b. Mixed germ cell tumor
c. Teratoma imatur
d. Koriokarsinoma
e. Endodermal sinus tumor
f. Embrional karsinoma
3. Sex cord stromal (5% dari semua kanker ovarium) terdiri atas sel granulosa
tumor. Tipe lainnya adalah sertoli-leydig.
Tumor ovarium stromal berasal dari jaringan penyokong ovarium yang
memproduksi hormon estrogen dan progesteron, jenis tumor ini jarang
ditemukan (Ari, 2008).
Klasifikasi stadium kanker ovarium berdasarkan FIGO (International
Federation of Gynecology and Obstetrics
Stadium I terbatas pada 1 / 2 ovarium

IA Mengenai 1 ovarium, kapsul utuh, ascites (-)

IB Mengenai 2 ovarium, kapsul utuh, ascites (-)


Kriteria I A / I B disertai 1 > lebih keadaan sbb :
1. Mengenai permukaan luar ovarium
IC
2. Kapsul rupture
3. Ascites (+)

Stadium II perluasan pada rongga pelvis

II A Mengenai uterus / tuba fallopi / keduanya

II B Mengenai organ pelvis lainnya


Kriteria II A / II B disertai 1 / > keadaan sbb :
1. Mengenai permukaan ovarium
II C
2. Kapsul ruptur
3. Ascites (+)
Stadium III kanker meluas mengenai organ pelvis dan
intraperitoneal
Makroskopis : terbatas 1 / 2 ovarium
III A
Mikroskopis : mengenai intraperitoneal
Makroskopis : mengenai intraperitoneal diameter < 2 cm,
III B
KGB (-)
1. Meluas mengenai KGB
III C
2. Makroskopis mengenai intraperitoneal diameter > 2 cm
Stadium IV pertumbuhan mengenai 1 / 2 ovarium dengan
metastasis jauh.
Bila efusi pleura dan hasil sitologinya positif dalam stadium 4, begitu
juga metastasis ke permukaan liver.

Derajat keganasan kanker ovarium


a. Derajat 1 : differensiasi baik
b. Derajat 2 : differensiasi sedang
c. Derajat 3 : differensiasi buruk
Dengan derajat differensiasi semakin rendah pertumbuhan dan prognosis
akan lebih baik.
C. Etiologi
Tidak jelas apa yang menyebabkan kanker ovarium. Secara umum, kanker
dimulai ketika sel-sel sehat mengalami mutasi genetik yang mengubah sel normal
menjadi sel abnormal. Sel sehat tumbuh dan berkembang biak pada tingkat yang
ditetapkan, akhirnya mati pada waktu yang ditetapkan. Sel-sel kanker tumbuh
dan berkembang di luar kendali, dan mereka tidak mati. Adanya akumulasi sel
abnormal akan membentuk suatu massa (tumor). Sel kanker menginvasi jaringan
terdekat dan dapat pecah dari tumor awal untuk menyebar ke tempat lain dalam
tubuh (metastasis). Akan tetapi banyak teori yang menjelaskan tentang etiologi
kanker ovarium, diantaranya:
1. Hipotesis incessant ovulation
Teori menyatakan bahwa terjadi kerusakan pada sel-sel epitel ovarium untuk
penyembuhan luka pada saat terjadi ovulasi. Proses penyembuhan sel-sel
epitel yang terganggu dapat menimbulkan proses transformasi menjadi sel-sel
tumor.
2. Hipotesis androgen
Androgen mempunyai peran penting dalam terbentuknya kanker ovarium. Hal
ini didasarkan pada hasil percobaan bahwa epitel ovarium mengandung
reseptor androgen. Dalam percobaan in-vitro, androgen dapat menstimulasi
pertumbuhan epitel ovarium normal dan sel-sel kanker ovarium.

D. Tanda dan Gejala


Gejala umum bervariasi dan tidak spesifik. Pada stadium awal berupa :
a. Haid tidak teratur g. Dispepsia
b. Ketegangan menstrual yang h. Tekanan pada pelvis
terus meningkat i. Sering berkemih
c. Menoragia j. Flatulenes
d. Nyeri tekan pada payudara k. Rasa begah setelah makan
e. Menopause dini makanan kecil
f. Rasa tidak nyaman pada l. Lingkar abdomen yang terus
abdomen meningkat.
Pada stadium dini gejala-gejala kanker ovarium tidak khas, lebih dari 70%
penderita kanker ovarium sudah dalam stadium lanjut. Gejala kanker ovarium
yang sering ditemukan :
a. Nyeri perut
b. Perut buncit
c. Gangguan fungsi saluran cerna
d. Berat badan turun secara nyata
e. Perdarahan pervaginam yang tidak normal
f. Gangguan saluran kencing
g. Rasa tertekan pada rongga panggul
h. Nyeri punggung
i. Penderita bisa meraba sendiri tumor di bagian bawah perut

E. Faktor Resiko Tejadinya Kanker Ovarium


1. Obat kesuburan
2. Pernah menderita kanker payudara
3. Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara dan/atau kanker ovarium
4. Riwayat keluarga yang menderita kanker kolon, paru-paru, prostat dan rahim
(menunjukkan adanya sindroma Lynch II).
5. Wanita di atas usia 50 tahun
6. Wanita yang tidak memilki anak (nullipara)

F. Patofisiologi
Kebanyakan teori patofisiologi kanker ovarium meliputi konsep yang
dimulai dengan dedifferentiation dari sel-sel yang melapisi ovarium. Selama
ovulasi, sel-sel ini dapat dimasukkan ke dalam ovarium, di mana mereka
kemudian berkembang biak. Kanker ovarium biasanya menyebar ke permukaan
peritoneum dan omentum.
Karsinoma ovarium bisa menyebar dengan ekstensi lokal, invasi limfatik,
implantasi intraperitoneal, penyebaran hematogen, dan bagian
transdiaphragmatic. Penyebaran intraperitoneal adalah karakteristik yang paling
umum dan diakui dari kanker ovarium. Sel-sel ganas dapat implan di mana saja
dalam rongga peritoneal tetapi lebih cenderung untuk menanamkan di situs statis
sepanjang sirkulasi cairan peritoneum. Seperti dibahas selanjutnya, mekanisme
penyebaran mewakili pemikiran untuk melakukan pementasan bedah, operasi
debulking, dan administrasi kemoterapi intraperitoneal. Sebaliknya, penyebaran
hematogen secara klinis yang tidak biasa pada awal proses penyakit, meskipun
tidak jarang terjadi pada pasien dengan penyakit lanjut.
G. Pathway

H. Manifestasi Klinis
Gejala kanker ovarium tidak spesifik dan lebih mirip gejala-gejala umum
seperti gejala gangguan pencernaan atau kandung kemih. Seorang wanita
dengan kanker ovarium dapat didiagnosis dengan cara membandingkan dengan
kondisi lain sebelum akhirnya memahami dia menderita kanker.
Kunci utama untuk memahami kanker ovarium adalah tanda-tanda dan
gejala yang terus memburuk. Gejala tersebut meliputi gangguan pencernaan,
yang cenderung untuk datang dan hilang atau terjadi dalam situasi tertentu atau
setelah makan makanan tertentu. Kanker ovarium, biasanya fluktuatif, konstan,
dan secara bertahap memburuk.
Studi terbaru menunjukkan bahwa wanita dengan kanker ovarium lebih
mungkin dibandingkan perempuan lain untuk secara konsisten mengalami gejala
berikut:

1. Gejala awalnya berupa rasa 8. Kehilangan nafsu makan atau


tidak enak yang samar-samar cepat merasa kenyang
di perut bagian bawah 9. Peningkatan ketebalan perut
2. Tekanan pada perut, merasa atau pakaian ketat pas di
kenyang, bengkak atau pinggang
kembung 10. Sakit saat hubungan seksual
3. Urinary urgensi (dispareunia)
4. Rasa tidak nyaman atau sakit 11. Kekurangan energi
panggul 12. Punggung sakit
5. Mual 13. Perubahan menstruasi
6. Sembelit 14. Panggul terasa berat
7. Sering buang air kecil 15. Perdarahan pervaginam
Ovarium yang membesar pada wanita pasca menopause bisa merupakan
pertanda awal dari kanker ovarium. Di dalam perut terkumpul cairan dan perut
membesar akibat ovarium yang membesar ataupun karena penimbunan cairan.
Pada saat ini penderita mungkin akan merasakan nyeri panggul, anemia dan
berat badannya menurun. Kadang kanker ovarium melepaskan hormon yang
menyebabkan pertumbuhan berlebih pada lapisan rahim, pembesaran payudara
atau peningkatan pertumbuhan rambut.

A. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
1. Pemeriksan darah lengkap
2. Pemeriksaan kimia darah
3. Serum HCG
4. Alfa fetoprotein
5. Analisa air kemih
6. Pemeriksaan saluran pencernaan
7. Laparatomi
8. CT scan atau MRI perut.
9. Pemeriksaan panggul.
10. USG menggunakan frekuensi tinggi gelombang suara untuk menghasilkan
gambar dari bagian dalam tubuh.
11. Pembedahan untuk mengangkat contoh jaringan untuk pengujian
12. CA 125 tes darah. CA 125 adalah protein yang ditemukan pada permukaan
sel kanker ovarium dan beberapa jaringan sehat. Banyak wanita dengan
kanker ovarium memiliki tingkat abnormal tinggi CA 125 dalam darah mereka.

B. Penatalaksanaan
1. Pengobatan
Pada umumnya, pengobatan kanker ovarium dilakukan dengan tindakan
operasi, lalu dilanjutkan dengan pengobatan tambahan seperti kemoterapi,
radioterapi, dan imunoterapi.
a. Operasi
Pada umumnya dilakukan:
1) Histerektomi total yaitu mengangkat rahim dengan organ sekitarnya
2) Salpingo ooporekmitomi yaitu mengangkat kedua ovarium dan kedua
saluran tuba fallopii
3) Omentektomi yaitu mengangkat lipatan selaput pembungkus perut
yang memanjang dari lambung ke alat-alat perut
b. Radioterapi
Teleterapi pelvis dan abdomen dan penetesan isotop radioaktif pada
rongga peritoneal digunakan pada wanita dengan kanker ovarium tahap
awal (stadium I dan II). Isotop radioaktik (P32) digunakan sebagai terapi
residual kanker pada rongga peritoneum. Pasien yang memiliki residu
penyakit yang terbatas, kurang dari 2cm, merupakan kandidat utama terapi
P32 ini.
c. Kemoterapi
Penggunaan melphana, 5-FU, thiotepa dan siklosfosfamid secara
sistematik menunjukkan aktivitas yang baik. Altretamine, sisplastin,
karboplatin, doksorubisin, ifosfamid, dan etoposid juga menunjukkan hasil
yang bervariasi dari 27% sampai 78%. Secara keseluruhan, kombinasi
terapi sistematik dengan takson, sisplatin, siklofosfamid meningkatkan
respon terapi, angka kesembuhan atau kemungkinan hidup.
C. Pencegahan
Beberapa faktor muncul untuk mengurangi risiko kanker indung telur,
termasuk:
1. Kontrasepsi oral(pil KB). Dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah
menggunakan mereka, para wanita yang menggunakan kontrasepsi oral
selama lima tahun atau lebih mengurangi risiko kanker ovarium sekitar 50
persen, sesuai dengan ACS.
2. Kehamilan dan menyusui. Memiliki paling tidak satu anak menurunkan risiko
mengalami kanker ovarium. Menyusui anak-anak juga dapat mengurangi
risiko kanker ovarium.
3. Tubal ligasi atau histerektomi. Setelah tabung Anda diikat atau memiliki
histerektomi dapat mengurangi risiko kanker ovarium.
Perempuan yang berada pada risiko yang sangat tinggi mengalami
kanker ovarium dapat memilih untuk memiliki indung telur mereka diangkat
sebagai cara untuk mencegah penyakit. Operasi ini, dikenal sebagai profilaksis
ooforektomi, dianjurkan terutama bagi perempuan yang telah dites positif untuk
mutasi gen BRCA atau wanita yang mempunyai sejarah keluarga yang kuat
payudara dan kanker ovarium, bahkan jika tidak ada mutasi genetik yang telah
diidentifikasi.

D. Komplikasi
1. Penyebaran kanker ke organ lain
2. Progressive function loss of various organs Fungsi progresif hilangnya
berbagai organ
3. Ascites (fluid in the abdomen) Ascites (cairan di perut)
4. Intestinal Obstructions Usus Penghalang
Sel-sel dapat implan di lain perut (peritoneal) struktur, termasuk rahim,
kandung kemih, usus, lapisan dinding usus (omentum) dan, lebih jarang, ke paru-
paru.

Anda mungkin juga menyukai