Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT IV

Oleh:
Anusha G Perkas, S.Ked 04084821719243
Dani Gemilang Kusuma, S.Ked 04054821820113

Pembimbing:
Prof.dr. Zarkasih Anwar, Sp.A(K)

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Diskusi Kasus

DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT IV

Oleh:
Anusha G Perkas, S.Ked
Dani Gemilang Kusuma, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Mohammad Hoesin
Palembang periode 30 April 2018 – 9 Juli 2018.

Palembang, Mei 2018

Pembimbing

Prof.dr. Zarkasih Anwar, Sp.A(K)


BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi


klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) dan demam berdarah
dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis
yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, DBD dan DSS
sebagai kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es yang
kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue
infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.
Dengue shock syndrome (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. DSS adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Syok dapat berulang dan/atau
berkepanjangan karena resusitasi yang kurang adekuat, kebocoran plasma (plasma
leakage) berat, hipoksemia, dan asidosis metabolik atau perdarahan, yang selanjutnya
dapat menyebabkan disfungsi atau gagal organ.
Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan
kesehatan masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga
merupakan suatu permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah
dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak
ditangani secara dini dan adekuat. Pada dasarnya, tatalaksana bersifat suportif, yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Pertolongan yang cepat dan tepat sangat membantu
penyelamatan hidup pada kasus kegawatan demam berdarah dengue. Disfungsi
sirkulasi atau syok pada DBD, dengue shock syndrome (DSS), disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas vaskular yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya
perfusi organ. Pemberian cairan resusitasi yang tepat dan adekuat pada fase awal syok
merupakan dasar utama pengobatan DSS. Prognosis kegawatan DBD tergantung pada
pengenalan, pengobatan yang tepat segera dan pemantauan ketat syok. Oleh karena
itu peran dokter sangat membantu untuk menurunkan angka kematian.
BAB II
STATUS PEDIATRIK

I. IDENTIFIKASI
Nama : An. HA
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : Lelaki
Berat badan : 18kg
Panjang badan : 140cm
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jalan Sultan Mansyur No 06, Palembang.
No. Rekam Medik : 1061613
MRS : 8 Mei 2018 (02:00 WIB)

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 9 Mei 2018 pukul 14.00 WIB, diberikan oleh
ibu kandung pasien)

Keluhan utama : Kaki dan tangan dingin


Keluhan tambahan : Gelisah
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sekitar 5 hari SMRS anak demam tinggi terus menerus secara mendadak,
demam tidak disertai mengigil dan kejang, sakit kepala (-), batuk (+), dahak (-),
nyeri sendi (-), muntah (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), pilek (-), mual (-), nyeri
perut (-), bintik-bintik merah di kulit (-), BAB dan BAK biasa. Penderita dibawa
ke dokter dan diberi dua macam sirup tapi ibu lupa namanya. Pasien masih mau
makan dan minum.
Sekitar 12 jam SMRS demam (+), kaki dan tangan anak teraba dingin,
nyeri perut (-), mual (+), muntah (+), frekuensi 1x isi apa yang dimakan dan
diminum, tidak menyemprot. Bintik-bintik merah (+) di kedua lengan dan
tungkai, mimisan (-), pendarahan gusi (-), BAK bewarna kuning pekat, jumlahnya
sedikit. Pasien dibawa ke RS Hermina. Dilakukan pemasangan IVFD RL 100 cc
selama 30 menit dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Didapatkan hasil Hb
17,2 g/dL, leukosit 18x 10³/mm³, Ht 34% dan trombosit 11x 103/mm3. Pasien
dirujuk ke RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat penyakit DBDsebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


o Riwayat penyakit DBD di dalam lingkungan sekitar ada, yaitu
tetangga penderita 1 minggu yang lalu

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan : Aterm
Partus : Spontan
Ditolong Oleh : Sp0G
Tanggal : 8 Maret 2012
Berat badan : 3000 g
Panjang Badan : 48 cm

Riwayat Makanan
ASI : Sejak lahir hingga usia 2 tahun (10-12x/hari)
Susu Formula : Sejak usia 2 tahun
Kesan : Asupan makanan cukup
Riwayat Vaksinasi
BCG :BCG sudah dilakukan, Skar (+)
Polio : (Polio 1, Polio 2, Polio 3)
DPT-HB : (DPT-HB 1,DPT-HB 2,DPT-HB 3)
Campak : (+)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik


Pertumbuhan
BB/U : P50
PB/U : P75-P90
BB/PB : 20/22 x 100% = 91%
Kesan : Status gizi baik

Perkembangan
Usia 4 bulan : Pasien dapat tengkurap sendiri
Usia 7 bulan : Pasien dapat duduk
Usia 9 bulan : Pasien dapat berdiri
Usia 12 bulan : Pasien dapat berjalan sendiri
Usia 5 tahun : Pasien sekarang sekolah di Taman Kanak-Kanak. Pasien
mempunyai banyak teman di sekolah dan di rumah. Pasien
dapat berinteraksi baik dengan teman-temannya.
Kesan : Perkembangan sesuai usia

III. PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan tanggal 9 Mei 2018 pukul 14.25 WIB)
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E4M5V3
Tekanan Darah : Tidak Terukur
Nadi : Tidak Teraba
Pernapasan : 36 kali/menit
Suhu : 37,8oC
Berat badan : 18kg
Tinggi badan : 140 cm

Keadaan Spesifik
Kepala
Mata : Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, ø 3 mm/3
mm
Hidung : Epistaksis(-), napas cuping hidung(-)
Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mulut : Sianosis sirkumoral tidak ada
Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, T1-T1, tenang, tidak
hiperemis
Leher : Pembesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat, kaku
kuduk tidak ada, Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR=150 kali/menit, irama irreguler, murmur dan gallop tidak
ada,bunyi jantung I dan II normal

Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba,
turgor kulit kembali lambat
Perkusi : Timpani

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas
Superior : Akral dingin (+), pucat (+), sianosis (-), edema (-), petechie (+), CRT
5s. rumple leed test (+)
Inferior : Akral dingin (+), pucat (+), sianosis (-), edema (-), petechie (+), CRT
5s

Status neurologis
Pemeriksaan Superior Inferior
motorik Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - Tidak ada Tidak ada
Refleks fisiologi Normal Normal Normal Normal
Refleks patologi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tanda rangsang meningeal tidak ada
Sensorik : uji sentuhan (+), uji rasa nyeri (+). Otonom : disfungsi
sfingter urine dan retensio alvi tidak ada
Kesan: pemeriksaan neurologis dalam batas normal.

IV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


(8 Mei 2018 pukul 03:20 di RSMH)
Hb : 15,6 g/dl* AST/SGOT : 891 U/L*
Eritrosit : 6,62 x 106/mm³* ALT/SGPT : 157 U/L*
Leukosit : 15,9x 10³/mm³* GDS : 29 mg/dl*
Ht : 45%* Kalsium (Ca) : 5.0 mg/dL#
Trombosit : 11 x 103/mm3# Natrium (Na) : 136 mEq/L
Dengue IgG :positif
Dengue IgM : positif
Dengue NS I Ag: positif
Hitung Jenis : 0/0*/71*/17*/12*

(8 Mei 2017 pukul 10:50 di RSMH)


Hb : 14,3 g/dl*
Eritrosit : 6,04 x 106/mm³*
Leukosit : 15,6x 10³/mm³*
Ht : 41%*
Trombosit : 15 x 103/mm3#
Hitung Jenis : 0/0*/71*/17*/12*
(8 Mei 2017 pukul 20:45 di RSMH)
Hb : 8,9 g/dl*
Eritrosit : 3,74 x 106/mm³*
Leukosit : 13,6x 10³/mm³
Ht : 25%*
Trombosit : 16 x 103/mm3#
Hitung Jenis : 0/0*/71*/17*/12*

(9 Mei 2017 pukul 02:20 di RSMH)


Hb : 7,7 g/dl* SGOT : > 4202 U/L*
Eritrosit : 3,25 x 106/mm³* SGPT: 1752 U/L*
Leukosit : 13,8x 10³/mm³ Ureum : 98 mg/dL*
Ht : 22%* Creatinin : 14.7 mg/dL*
Trombosit : 34 x 103/mm3# Asam Urat : 1.37 mg/dL#
Hitung Jenis : 0/0*/72*/20/8 Kalsium : 5.0 mg/dL#
Bilirubin Total : 2.70 mg/dL* Natrium : 136 mEq/L
Bilirubin Direk : 1.80 mg/dL * Kalium : 7.0 mEq/L#
Bilirubin Indirek : 0.90 mg/dL * Klorida : 110 mmol/L*

(9 Mei 2017 pukul 06:20 di RSMH)


Hb : 6,5 g/dl#
Eritrosit : 2,76 x 106/mm³*
Leukosit : 14,0x 10³/mm³
Ht : 19%#
Trombosit : 34 x 103/mm3#
Hitung Jenis : 0/0*/75*/17*/8
V. DAFTAR MASALAH
1. Kaki dan tangan dingin
2. Demam hari ke VI
3. Rumple leed test (+)
4. Tekanan darah tidak terukur
5. Nadi tidak terukur
6. Petekie di lengan dan tungkai

VI. DIAGNOSIS BANDING


- DBD derajat III
- DBD derajat IV

VII. DIAGNOSIS KERJA


DBD derajat IV

VIII. RENCANA PEMERIKSAAN


Pemeriksaan darah (Hb, Ht, Trombosit serial/6 jam)
USG Thorax

IX. PENATALAKSANAAN
 O2 kanul nasal 2L/menit
 IVFD RL 10cc/kgbb dalam 15 menit
 IVFD D20% bolus
 Paracetamol 200 mg po tiap 8 jam bila suhu ≥ 38,5oC
 Observasi tanda vital dan diuresis/jam
 Observasi manifestasi perdarahan
 Cek Hb, Ht, Trombosit, Leukosit/6jam
 Komunikasi, informasi, dan edukasi

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

XI. RESUME
Pasien An. HA, lelaki usia 6 tahun dibawa ke IGD RSMH dengan keluhan
kaki dan tangan dingin disertai gelisah. Sekitar 5 hari SMRS anak demam tinggi
terus menerus, sakit kepala (-), batuk (+), dahak (-), nyeri sendi (-), muntah (-),
mimisan (-), gusi berdarah (-), pilek (-), mual (-), nyeri perut (-), bintik-bintik
merah di kulit (-), BAB hitam (-), BAK biasa. Penderita dibawa ke dokter dan
diberi 2 macam sirup yang ibu lupa namanya. Pasien masih mau makan dan
minum. Sekitar 12 jam SMRS demam tidak ada, kaki dan tangan anak teraba
dingin, nyeri perut (-), mual (+), muntah (-). Bintik-bintik merah (+) di kedua
lengan dan tungkai, mimisan (-), pendarahan gusi (-), BAK bewarna kuning
pekat, jumlahnya sedikit. Pasien dibawa ke RS Hermina. Dilakukan pemasangan
IVFD RL 100 cc selama 30 menit dan dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Didapatkan hasil Hb 17,2 g/dL, leukosit 18x 10³/mm³, Ht 34% dan trombosit 11x
103/mm3. Pasien dirujuk ke RSMH.
Riwayat DBD sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit DBD di dalam
lingkungan sekitar ada. Riwayat kehamilan ibu normal dan riwayat kelahiran
anak normal, ditolong SpOG. Riwayat makanan mendapat ASI sampai usia 2
tahun. MP ASI mulai usia 6 bulan. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
normal. Riwayat imunisasi dasar lengkap. Status gizi baik. Hasil laboratorium
tanggal 8 Mei 2018 pukul 02:20 Hb: 15,6 g/dL, Ht: 45%, Plt: 11 x 103/mm3.
XII. FOLLOW UP
Tanggal 9 Mei 2018(pukul 08:00) hari sakit ke 6, bebas demam hari ke 2,
hari rawat ke 1.
S : demam (+)mual (-) muntah (-) mimisan (-)
O : Hasil Lab
Hb : 7.7 gr/dl trombosit : 34.000 Ht : 22%
Sensorium : Somnolen
TD : 70/40 mmHg
N : 153 x/menit (isi/tegangan kurang)
RR : 56 x/menit
T : 36,3oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium (-), BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (-), CRT 4 s, edema pretibial (-)

A : DBD derajat IV
P : IVFD RL 7 cc/kgBB/jam 140 cc/jam
IVFD NS 3% 25cc/jam
Observasi tanda-tanda perdarahan
Follow up dan diuresis per jam
PCT 200 mg (po) jika T ≥ 38,5
Periksa Hb, Ht, Trombosit tiap 6 jam

Tanggal 10 Mei 2018(pukul 08:00)

Pasien telah meninggal tanggal 9 Mei 2018 jam 19.00 WIB


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. DEFINISI

Demam Dengue (dengue fever, selanjutnya disingkat DF) adalah penyakit


yang terutama terdapat pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda - tanda
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa
ruam (rash) dan limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada
pergerakan bola mata, rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan
bintik-bintik perdarahan (petekie) spontan (Mansjoer, 2005).
Demam Berdarah Dengue (dengue haemorrhagic fever, selanjutnya disingkat
DHF), ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama
demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji
tourniquet akan positif dengan ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan
seperti petekie spontan yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epitaksis.
hematemesis, melena, trombositopenia, masa perdarahan dan masa protrombin
memanjang, hematokrit meningkat dan gangguan maturasi megakariosit (Mansjoer,
2005).
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, selanjutnya disingkat
DSS) ialah penyakit DHF yang disertai renjatan (Mansjoer, 2005).

3.2 ETIOLOGI
Virus dengue penyebab DBD termasuk famili Flaviviridae, yang berukuran
kecil sekali, yaitu 35-45 nm. Virus dengue serotipe 1,2,3,4 ditularkan melalui vektor
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan beberapa
spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan
tetapi tidak memberi perlindungan terhadap serotipe lain.

3.3 PATOFISIOLOGI
Virus hanya dapat hidup dalam sel hidup sehingga harus bersaing dengan sel
manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat bergantung
pada daya tahan tubuh manusia. Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi
sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular; (2) agregasi trombosit menurun, apabila
kelainan ini berlanjut akan mengakibatkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat
mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang; (3) kerusakan sel endotel
pembuluh darah akan merangsang/ mengaktivasi faktor pembekuan. Ketiga faktor
diatas menyebabkan (1) peningkatan permeabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis
yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati.
Dari sudut patofisiologi, infeksi virus dengue bergerak sesuai alur berikut :

Gambar 1. Patofisiologi
Infeksi Dengue
3.4 MANIFESTASI KLINIK
Infeksi virus dengue mengakibatkan menifestasi klinik yang bervariasi mulai
dari asimptomatik, penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
dengue fever, dengue haemoragic fever, sampai dengue shock syndrom. Walaupun
secara epidemiologis infeksi ringan lebih banyak, tetapi pada awal penyakit hampir
tidak mungkin membedakan infeksi ringan atau berat.

Gambar 2. Manifestasi infeksi virus dengue


Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus memasuki
tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah itu disusul oleh
periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus melakukan replikasi secara
cepat dalam tubuh manusia. Apabila jumlah virus sudah cukup maka virus akan
memasuki sirkulasi darah (viraemia), dan pada saat ini manusia yang terinfeksi akan
mengalami gejala panas. Dengan adanya virus dengue dalam tubuh manusia, maka
tubuh akan memberi reaksi. Bentuk reaksi tubuh terhadap virus ini antara manusia
yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda, dimana perbedaan reaksi ini akan
memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis dan perjalanan penyakit. Pada
prinsipnya, bentuk reaksi tubuh manusia terhadap keberadaan virus dengue adalah
sebagai berikut :

Bentuk reaksi pertama


Terjadi netralisasi virus, dan disusul dengan mengendapkan bentuk netralisasi virus
pada pembuluh darah kecil di kulit berupa gejala ruam (rash).

Bentuk reaksi kedua


Terjadi gangguan fungsi pembekuan darah sebagai akibat dari penurunan jumlah dan
kualitas komponen-komponen beku darah yang menimbulkan manifestasi
perdarahan.

Bentuk reaksi ketiga


Terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya komponen
plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah menuju ke rongga perut berupa
gejala asites dan rongga selaput paru berupa gejala efusi pleura. Apabila tubuh
manusia hanya memberi reaksi bentuk 1 dan 2 saja maka orang tersebut akan
menderita demam dengue, sedangkan apabila ketiga bentuk reaksi terjadi maka orang
tersebut akan mengalami
demam berdarah dengue.

Martina B E E et al. Clin.


Microbiol. Rev.
2009;22:564-581
Dengue Fever
Manifestasi klinis infeksi dengue fever ditandai gejala-gejala klinik berupa
demam, nyeri pada seluruh tubuh, ruam dan perdarahan. Demam yang terjadi pada
infeksi virus dengue ini timbulnya mendadak, tinggi (dapat mencapai 39-40 ºC) dan
dapat disertai dengan menggigil. Begitu mendadaknya, sering kali dalam praktik
sehari-hari kita mendengar cerita ibu bahwa pada saat melepas putranya berangkat
sekolah dalam keadaan sehat walafiat, tetapi pada saat pulang putranya sudah
mengeluh panas dan ternyata panasnya langsung tinggi. Pada saat anak mulai panas
ini biasanya sudah tidak mau bermain. Demam ini hanya berlangsung sekitar lima
hari. Pada saat demamnya berakhir, sering kali dalam bentuk turun mendadak (lysis),
dan disertai dengan berkeringat banyak. Saat itu anak tampak agak loyo. Kadang-
kadang dikenal istilah demam biphasik, yaitu demam yang berlangsung selama
beberapa hari itu sempat turun di tengahnya menjadi normal kemudian naik lagi dan
baru turun lagi saat penderita sembuh (gambaran kurva panas sebagai punggung
unta).
Gejala panas pada penderita infeksi virus dengue akan segera disusul dengan
timbulnya keluhan nyeri pada seluruh tubuh. Pada umumnya yang dikeluhkan adalah
nyeri otot, nyeri sendi, nyeri punggung, dan nyeri pada bola mata yang semakin
meningkat apabila digerakkan. Karena adanya gejala nyeri ini, di kalangan
masyarakat awam ada istilah flu tulang. Dengan sembuhnya penderita gejala-gejala
nyeri pada seluruh tubuh ini juga akan hilang.
Ruam yang terjadi pada infeksi virus dengue ini dapat timbul pada saat awal
panas yang berupa flushing, yaitu berupa kemerahan pada daerah muka, leher, dan
dada. Ruam juga dapat timbul pada hari ke-4 sakit berupa bercak-bercak merah kecil
seperti bercak pada penyakit campak. Kadang-kadang ruam tersebut hanya timbul
pada daerah tangan atau kaki saja sehingga memberi bentuk spesifik seperti kaos
tangan dan kaki. Yang terakhir ini biasanya timbul setelah panas turun atau setelah
hari ke-5.
Pada infeksi virus dengue apalagi pada bentuk klinis DHF selalu disertai
dengan tanda perdarahan. Hanya saja tanda perdarahan ini tidak selalu didapat secara
spontan oleh penderita, bahkan pada sebagian besar penderita tanda perdarahan ini
muncul setelah dilakukan tes tourniquet. Bentuk-bentuk perdarahan spontan yang
dapat terjadi pada penderita demam dengue dapat berupa perdarahan kecil-kecil di
kulit (petechiae), perdarahan agak besar di kulit (echimosis), perdarahan gusi,
perdarahan hidung dan kadang-kadang dapat terjadi perdarahan yang masif yang
dapat berakhir pada kematian.
Berkaitan dengan tanda perdarahan ini, pada anak-anak tertentu diketahui oleh
orangtua mereka bahwa apabila anaknya menderita panas selalu disertai dengan
perdarahan hidung (epistaksis). Dalam istilah medis dikenal sebagai habitual
epistaksis, sebagai akibat kelainan yang bersifat sementara dari gangguan berbagai
infeksi (tidak hanya oleh virus dengue). Pada keadaan lain ada penderita anak yang
apabila mengalami sakit panas kemudian minum obat-obat panas tertentu akan
disusul dengan terjadinya perdarahan hidung. Untuk penderita dengan kondisi seperti
ini, pemberian obat-obat panas jenis tertentu tersebut sebaiknya dihindari.

Dengue Haemoragic Fever


Secara umum empat gejala yang terjadi pada demam dengue sebagai
manifestasi gejala klinis dari bentuk reaksi 1 dan 2 tubuh manusia atas keberadaan
virus dengue juga didapatkan pada DHF. Yang membedakan DHF dengan dengue
fever adalah adanya manifestasi gejala klinis sebagai akibat adanya bentuk reaksi 3
pada tubuh manusia terhadap virus dengue, yaitu berupa keluarnya plasma (cairan)
darah dari dalam pembuluh darah keluar dan masuk ke dalam rongga perut dan
rongga selaput paru. Fenomena ini apabila tidak segera ditanggulangi dapat
mempengaruhi manifestasi gejala perdarahan menjadi sangat masif. Yang dalam
praktik kedokteran sering kali membuat seorang dokter terpaksa memberikan
transfusi darah dalam jumlah yang tidak terbayangkan.
Yang penting bagi masyarakat awam adalah dapat mengetahui atau
mendeteksi kapan seorang penderita DHF mulai mengalami keluarnya plasma darah
dari dalam pembuluh darah. Keluarnya plasma darah ini apabila ada biasanya terjadi
pada hari sakit ke-3 sampai dengan hari ke-6. Biasanya didahului oleh penurunan
panas badan penderita, yang sering kali terjadi secara mendadak (lysis) dan diikuti
oleh keadaan anak yang tampak loyo, dan pada perabaan akan didapatkan ujung-
ujung tangan/kaki dingin serta nadi yang kecil dan cepat. Banyak ditemui kasus
dengan kondisi demikian, tampak suhu tubuh penderita dirasakan normal mengira
kalau putranya sembuh dari sakit. Kondisi tersebut mengakibatkan orangtua tidak
segera membawa putra mereka ke fasilitas kesehatan terdekat. Pada keadaan ini
penderita sudah dalam keadaan terlambat sehingga kurang optimal untuk
diselamatkan dari penyakitnya.

Sindrom Syok Dengue(SSD/DSS)


Sindrom syok dengue adalah demam berdarah dengue dengan manifestasi
kegagalan sirkulasi berupa nadi lemah, lembut atau tak teraba, tekanan nadi ≤ 20
mmHg, hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembab, pasien tampak gelisah.
Dengan kata lain demam berdarah dengue yang telah memasuki keadaan syok (sesuai
DBD derajat III dan IV menurut WHO)(Dorland Medical Dictionary, 2005)

Pemeriksaan Penunjang
1. Lab darah rutin
Lekosit: dapat normal tapi biasanya lekopeni dengan dominasi sel neutrofil, pada
akhir fase demam, terjadi lekopeni dan neutropeni serta limfositosis relatif
(peningkatan sel limfosit atipikal atau limfosit plasma biru>15% dapat dijumpai
pada hari ketiga, sebelum suhu tubuh turun atau sebelum syok terjadi)
Trombosit
Trombositopeni <100.000/mm3 atau kurang dari 1-2 trombosit/lapangan
pandangan besar. Biasa ditemukan antara hari sakit ketiga-ketujuh. Biasanya
terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum suhu turun.
Hemokonsentrasi dengan tanda:
- Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur, jenis
kelamin
- Penurunan hematokrit ≥ 20% setelah mendapat pengobatan cairan
- Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia
Pemeriksaan laboratoris lain:
- Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara
- Eritrosit pada tinja hamper selalu ditemukan
- Pada sebagian besar kasus, disertai penurunan faktor koagulasi dan
fibrinolitik, yaitu fibrinogen, protrombin, factor VII, factor XII dan
antitrombin III
- Pada kasus berat ada disfungsi hati, penurunan kelompok vitamin K-
dependent, protrombin seperti factor V, VII, IX dan X, fibrinogen mungkin
subnormal
- Waktu perdarahan memanjang (PT dan PTT memanjang)
- Penurunan α-antiplasmin (α-antiplasmin inhibitor) jarang ditemukan
- Serum komplemen menurun, hipoproteinemia, kadang-kadang hipokloremia
- Hiponatremia
- Serum aspartat aminotransferase sedikit meningkat
- Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen pada syok
berkepanjangan
2. Radiologis
Pada foto thoraks didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan,
tetapi bila terjadi pembesaran plasma hebat, foto roentgen dada sebaiknya
dilakukan lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat dideteksi
dengan USG

3. Diagnosis serologi
- Hemaglutination Inhibition Test (HI test)
Uji ini sensitif tapi tidak spesifik (tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi. Antibody HI bertahan >48 tahun, maka cocok untuk uji
seroepidemiologi. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari
titer serum akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau
konvalesen dianggap diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi
(presumtif +)

- Complement Fixation test


Antibodinya hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja. Cara pemeriksaannya
ruwet dan membutuhkan tenaga pemeriksa berpengalaman.

- Neutralization Test
Paling spesifik dan paling sensitif untuk virus dengue, berdasarkan reduksi
dari plaque yang terjadi, dideteksi bersamaaan dengan antibodi HI tapi lebih
cepat dari antibodi komplemen, bertahan >48 tahun tapi lama dan ruwet

- IgM dan IgG Elisa Mac Elisa (IgM captured Elisa)

Akhir-akhir ini sering dipakai. IgM muncul pada perjalanan penyakit hari 4-5
yang kemudian diikuti dengan IgG. Dengan mendeteksi IgM pada serum
pasien, dapat ditentukan diagnosis yang tepat (diambil >hari ke5 dan <6
minggu) bila masih negatif, harus diulang, apabila pada hari sakit ke-6 masih
tetap (-), msks dilaporkan sebagai (-). IgM hanya dapat bertahan dalam darah
2-3 bulan setelah infeksi sehingga tidak boleh dijadikan satu-satunya uji
diagnostik pengelolaan kasus. Sensitivitasnya sedikit di bawah uji HI,
spesifitas sama dengan uji HI dan hanya memerlukan 1 serum akut saja. Saat
ini sudah beredar uji Elisa yang sebanding dengan uji HI hanya lebih spesifik
(IgM/IgG dengue blot, dengue rapid, dll). Pada infeksi sekunder, IgG lebih
banyak didapatkan.
- Isolasi virus
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCMK2) dan nyamuk A
albopictus
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva

- Identifikasi virus
Dengan Fluorescence antibody technique test secata langsung atau tidak
langsung. Untuk identifikasi dipakai yang indirek dengan antibodi
monoclonal

- NS1 antigen test ( Platelia Dengue NS1 Ag assay ) pemeriksaan untuk DHF
dapat mendeteksi dihari pertama panas sebelum antibody dapat terdeteksi 5
hari kemudian.

1.5 DIAGNOSIS
Dasar diagnosis DHF (WHO, 2011):
Klinis
1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji bendung positif dan
bentuk lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
hematemesis atau melena.
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai oleh takikardia, nadi yang lemah, Hipotensi (tekanan
sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien jadi
gelisah.

Laboratorium
- Trombositopenia (< 100.000/ul) dan hemokonsentrasi (nilai hematokrit lebih
20% dari normal/baseline dari pasien atau populasi dengan usia yang sama).

- Dua gejala klinis pertama ditambah satu gejala laboratorium cukup untuk
menegakkan diagnosis kerja DHF

- Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia


Indikator Fase Syok :
- Hari sakit ke 4-5
- Suhu turun
- Jarak tekanan darah sistol diastol memendek < 20 mmHg
- Nadi cepat tanpa demam
- Tekanan nadi turun/ hipotensi
- Leukopenia < 5.000/ul

Derajat (WHO,1997) :
I. Demam dengan uji bendung positif.
II. Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
III. Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (<20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab, dan
pasien jadi gelisah.

IV. Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

3.6 DIAGNOSIS BANDING


Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau
protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam cikungunya,
leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi membedakan DHF dari penyakit lain. Diagnosis banding lain adalah
sepsis, meningitis meningokok, Idiophatic Trombositopenic Purpura (ITP),
leukemia, dan anemia aplastik.
Demam cikungunya (DC) sangat menular dan biasanya seluruh keluarga
terkena dengan gejala demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tingi,
hampir selalu diikuti dengan ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih
sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji bendung positif, petekie, epistaksis hampir
sama dengan DHF. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
Pada hari-hari pertama, ITP dibedakan dengan DHF dengan demam yang
cepat menghilang dan tidak dijumpai hemokonsentrasi, sedangkan pada fase
penyembuhan jumlah trombosit pada DHF lebih cepat kembali.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia dan anemia aplastik. Pada
leukemia, demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis.
Pada anemia aplastik anak sangat anemis dan demam timbul karena infeksi sekunder.

3.7 PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DF dapat berobat jalan sedangkan pasien DHF dirawat diruang perawatan
biasa, tetapi pada kasus DHF dengan komplikasi diperlukan perawatn intensif. Fase
kritis umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Pasien perlu diberi banyak minum, 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama
berupa air teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan
dehidrasi dapat diatasi, beri cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya.
Hiperpireksia diatasi dengan antipiretik dan bila perlu surface cooling dengan
kompres es. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi demam dengan dosis
10-15 mg/kgBB/kali.
Pemberian cairan intravena pada pasien DHF tanpa renjatan dilakukan bila
pasien terus-menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau
didapatkan nilai hematokrit yang bertendensi terus meningkat (> 40 vol%). Jumlah
cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis,
1/4 dari jumlah larutan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan yang berisi 0,167
mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0.9% + glukosa ditambah
1/4 natrium bikarbonat).
Prinsip terapi DHF/DSS
Pengobatan bersifat suportif, mengatasi peningkatan permeabilitas kapiler
dan perdarahan. Keberhasilan tatalaksana DHF terletak keberhasilan mendeteksi dini
fase kritis yaitu pada fase defervescence (biasanya pada hari sakit 3-5 di mana terjadi
perembesan plasma). Pada DD saat ini merupakan tanda penyembuhan sementara
pada DHF merupakan saat kritis karena dapat merupakan awal fase syok.
Penggantian volume plasma dengan cairan kristaloid isotonik.
Terapinya bersifat simtomatik dan suportif sesuai bagan di atas dengan urutan:
1. Penimbangan berat badan
Perkiraan Berat badan normal dapat dihitung dengan rumus. Untuk anak umur 3-
12 bulan: BB (kg)= 2x umur (tahun) +4
2. Tunjangan hidup dasar (pemberian oksigen) dan akses vena
Pada semua pasien syok harus diberikan oksigen 2l/menit (disarankan masker
dengan saturasi 95-100% dan kadar hemoglobin cukup. Akses vena untuk darah
3. Kateter urin
Urin ditampung untuk urinanalisa dan jumlah diuresis urine (normal: 2-3
ml/kgBB/jam). Oliguria sering muncul sebelum penurunan tekanan darah dan
nadi
4. Pemasangan pipa oro/nasogastrik
Untuk dekompresi, memantau pendarahan saluran cerna dan bilasan lambung.
5. Resusitasi cairan
Jenis cairan (rekomendasi WHO)
Kristaloid (efektif mengisi ruang interstitial, mudah disediakan, tidak mahal,
tidak alergik, namun hanya ¼ bolus yang tetap di intravascular )
 Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL)
 Larutan ringer asetat(RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat
(D5/RA)
 Larutan NaCl 0,9%(garam faali=GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan garam
faali (D5/GF)

Koloid (berada lebih lama di ruang intravascular, mampu mempertahankan


tekanan onkotik, mahal dapat menyebabkan hipersensitivitas, lebih cepat
meningkatkan kadar hematokrit daripada kristaloid (ringer laktat) dan komplikasi
lain
 Dekstran 40
 Albumin 5%
 Gelatin
 Plasma
 Hetastarch
Darah, fresh frozen plasma, dan komponen darah diberikan untuk
mempertahankan Hb, menaikkan daya angkut oksigen, memberikan faktor
pembekuan atau mengoreksi koagulopati. Produk darah perlu dihangatkan
sebelum diberikan. Risiko penggunaan darah dalam jumlah besar adalah infeksi
blood-borne, hipotermia, hipokalsemia. Cairan yang mengandung glukosa jarang
diberikan bolus karena dapat menyebabkan hiperglikemia, diuresis osmotik dan
memperburuk cedera serebral iskemik.
Cairan intravena diperlukan saat (1) terjadinya syok (terapi yang utama) (2)
nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala (3) anak terus
menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tak mungkin
diberikan minum per oral, ditakutkan terjadi dehidrasi sehingga mempercepat
syok. Jumlah cairan tergantung derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan yang berisi 0,167 mol/liter
biknat. Bila hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma, volume dan komposisi cairan yang
diperlukan sama dengan cairan untuk dehidrasi pada diare ringan dan sedang
yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5%-8%)
Tabel 1. Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit 5%-8%)
Berat waktu masuk(kg) Jumlah cairan (ml/kg BB per hari)
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88

Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan


Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10-20 1000+50x kg BB(di atas 10 kg)
>20 1500+20xkg BB(diatas 20 kg)

6. Kadar hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma

- Bila tanda vital membaik dan Hematokrit turun: tetesan diturunkan menjadi
10 ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung kehilangan plasma
yang terjadi selama 24-48 jam.

- Cairan intravena dapat dihentikan bila Ht telah turun sekitar 40%, jumlah
urin 2 ml/kgBB/jam atau lebih.

- Fase reabsorpsi plasma dari ekstravaskular ditandai dengan penurunan kadar


Ht setelah pemberian cairan rumatan, tekanan darah normal, nadi kuat,
diuresis cukup, tanda vital baik. Pada fase ini penurunan Ht merupakan tanda
hemodilusi

7. Rawat di PICU

Untuk memantau dan mengantisipasi perubahan sirkulasi metabolic dengan


intensif
8. Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit

Dilakukan pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit. Apabila asidosis


tidak dikoreksi, memacu terjadinya DIC. Koreksi dilakukan dengan
memberikan natrium bikarbonat dengan dosis: IV lambat (1) <5kg: BE(base
excess) x kgBB/4 (2)anak-anak: BEx kgBB/6 (3)dewasa: BE x kgBB/10. Dosis
ini mengoreksi ½ defisit basa. Sodium bikarbonat hanya diberikan pada henti
jantung lama dan keadaan hemodinamik tidak stabil yang menyebabkan asidosis
berat dan hiperkalemia. Pada bayi premature dan <3bulan digunakan cairan
sodium bikarbonat 4,2% (0,5mEq/ml). bila pemeriksaan analisa gas darah tidak
dapat dilakukan diberikan sodium bikarbonat 0,5 mEq/kgBB tiap 10 menit infuse
pelan 1-2 menit. Infus obat-obatan untuk resusitasi dipersiapkan dengan
dekstrosa 5%, garam fisiologik atau Ringer laktat menurut rule of 6 yaitu 6 mg
obat x BB (kg) dilarutkan dalam 100 ml bila diinfuskan dengan kecepatan 1
ml/jam=1.0 µg/kgBB/menit.
9. Epinefrin

Bolus epinefrin diberikan pada henti jantung, bradikardi, hipotensi yang non
responsif terhadap resusitasi jantung paru dan cairan. Dosis bolus epinefrin IV
dan IO inisial adalah 0,01 mg/kgBB (0,1 ml/kgBB epinefrin 1:10000). Bila perlu
dosis IV dan IO dinaikkan menjadi 0,1-0,2 mg/kgBB (0,1-0,2 ml epinefrin
1:1000), yang diulang tiap 3-5 menit. Dosis infus epinefrin adalah 0,1-1,0
µg/kgBB/menit. Untuk mencegah ekstravasasi, infuse epinefrin diberikan
melalui kateter vena atau kateter vena sentralis. Epinefrin tidak aktif pada cairan
alkali. Tersedia dalam vial 1 mg/ml. larutan epinefrin 1:10.000 disiapkan untuk
IV dan IO dosis rendah, larutan epinefrin 1:1000 disiapkan untuk IO dan IV
dosis tinggi dan endotrakeal.
10. Atropin

Curah jantung anak adalah rate dependent, karena itu bradikardia simtomatik
(<60 kali/menit) akibat perfusi buruk, hipotensi dan hipoksemia harus diobati
dengan resusitasi jantung paru, pemberian epinefrin atau atropin. Atropin adalah
obat parasimpatolitik yang mempercepat sinus atau pacemaker atrial dan
konduksi atrioventrikular. Digunakan juga untuk mencegah bradikarsi karena
refleks vagal pada intubasi endotrakeal. Dosisnya 0,02 mg/kgBB dengan dosis
minimal 0,1 mg, dosis atropin tunggal maksimal adalah 0,5-1mg/x yang dapat
diulang tiap 5 menit dengan total maksimal 1 mg untuk anak dan 2 mg untuk
remaja. Atropin tersedia dalam kemasan 0,4 mg/ml dapat diberikan IV/IO.
11. Glukosa

Hanya diberikan bila terdapat hipooglikemia dan pasien tak memberi respons
terhadap tindakan resusitasi standar. Glukosa diberikan dengan dosis 0,5-1,0 g/kg
secara IV atau IO. Bolus D10W 5-10 ml/kgbb atau D5W atau D5 NaCl 0,9% atau
RL 10-20 ml/kgBB, dapat diberikan dalam 20 menit. Konsentrasi maksimum
glukosa neonatus adalah 12,5% ( secara IV)
12. Kalsium klorida

Untuk pengobatan hipokalsemia, hiperkalemia dan hipermagnesemia.


Kandungan kalsium pada kalsium glukonat 10% adalah 9 mg/ml dan pada
kalsium klorida 10% adalah 27,2 mg/ml. dosis kalsium klorida 10% adalah 0,2-
0,5 ml/kgBB atau 5-7 mg/kgbb elemen kalsium sama dengan 20-25 mg/kgbb
garam kalsium yang diberikan secara infus dengan pelan (100 mg/menit) untuk
mencegah bradikardi dan asistole. Dosis ini dapat diulangi 1 kali lagi sesudah 10
menit. Dosis selanjutnya hanya dilakukan bila dilakukan pengukuran kadar
kalsium. Kalsium tidak dicamput dengan sodium bikarbonat karena terjadi
pengendapan.
13. Dopamin

Dopamin diberikan untuk mengobati hipotensi atau perfusi perifer buruk pada
anak dengan volume intravaskular cukup dan irama jantung stabil. Dopamin
disiapkan menurut Rule of six (6xBB) mg dopamin dalam cairan 100 ml, bila
diinfuskan dengan kecepatan 1 ml/jam akan memberikan dopamin 1
µg/kgbb/menit. Diberikan infus kontinu dengan bantuan pompa infus melalui
kateter vena yang besar atau kateter vena sentralis. Ekstravasasi dopamin dapat
menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan lokal. Dimulai dari 10 ml/jam atau
10µg/kgbb/ menit yang selanjutnya disesuaikan dengan penilaian diuresis,
perfusi sistemik dan tekanan darah. Pada dosis rendah (2-5µg/kgbb/menit), efek
langsung dopamin pada reseptor β adrenergic jantung sedikit namun pada
vascular bed dopamin merangsang reseptor dopaminergik dengan efek
vasodilatasi yang meningkatkan aliran darah renal, splanknik, koroner dan
serebral. Pada dosis tinggi (>5µg/kgbb/menit) dopamin memberi efek melalui
pelepasan norepinefrin saraf simpatis jantung pada reseptor β adrenergic
jantungdan efek αadrenergic. Infus dopamin 5-10µg/kgbb/menit meningkatkan
kontraktilitas jantung tanpa efek pada tekanan darah dan denyut jantung. Infus
dopamin10-20µg/kgbb/menit terjadi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan
darah namun timbul masalah takikardia. Infus dopamin >20µg/kgbb/menit
menyebabkan vasokonstriksi perifer hebat dan iskemia tanpa tambahan efek
inotropik.
14. Dobutamin

Diberikan pada pengobatan hipoperfusi yang berhubungan dengan peninggian


resistensi vaskular sistemik. Paling efektif untuk mengobati gagal jantung
kongestif atau syok kardiogenik, dobutamin kurang efektif dibandingkan
epinefrin pada syok septik dan hipotensi karena memperburuk vasodilatasi
sistemik yang sudah terjadi. Dobutamin diberikan secara infus kontinu melalui
kateter vena dengan bantuan pompa infus. Dobutamin tersedia dalam vial 25 mg
dan 12,5 mg/ml. Infus dobutamin disiapkan sesuai Rule of six. Infus dimulai
dengan 5-10µg/kgbb/menit (5-10 ml/jam). Kecepatan infus tergantung tekanan
darah dan perfusi pasien.
15. Sedatif

Bilapasien gelisah (biasa karena gangguan perfusi jaringan) dapat diberikan


Kloral Hidrat per oral atau per rectal dengan dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak lebih
dari 1 gram). Diusahakan tidak memberi obat yang hepatotoksik. Gelisah akan
hilang segera setelah pemberian cairan adekuat.
16. Transfusi darah

Pemeriksaan golongan darah dan cross matching harus dilakukan pada pasien
syok. Untuk pasien DIC dengan pendarahan masif dapat diberikan plasma segar
dan suspensi trombosit. Untuk menentukan prognosis, berat perdarahan dan
deteksi terjadinya DIC perlu dilakukan pemeriksaan PT, PTT dan FDP
17. Kelainan ginjal

Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang


diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya dapat diberikan furoseemid
1 mg/kgBB, perlu dipasang CVP untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
Tetap dilakukan pemantauan diuresis, kadar ureum dan kreatinin.
18. Pemantauan

- Tanda-tanda vital dicatat tiap 15-30 ‘ atau lebih sering sampai syok dapat
teratasi

- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan pasien stabil

- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,


jumlah dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
cukup

- Jumlah dan frekuensi diuresis harus dicatat. Kadar elektrolit harus dipantau.

19. Kortikostroid tidak memperpendek masa sakit atau memperbaiki prognosis


pada anak yang mendapat terapi suportif

Hipervolemia selama masa reabsorpsi dapat berbahaya. Ditandai dengan


penurunan hematokrit dan tekanan nadi yang besar / lebar. Dapat diberikan
diuretic dan digitalis
20. Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan bila:


- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipieretik
- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit >50000/ul
- Tidak dijumpai distress pernafasan akibat asites atau efusi pleura

3.8 PENCEGAHAN
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
yang paling memadai saat ini. Ada 2 cara pemberantasan vektor :
a. Menggunakan insektisida.
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah adalah
malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultsida) dan temephos
(abate) untuk membunuh jentik (larvasida).
b. Tanpa insektisida
- Menguras bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air minimal
sekali seminggu.
- Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
- Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas dan benda lain
yang memungkinkan nyamuk bersarang.
- Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai kelambu atau lotion.

3.9 PROGNOSIS
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DHF/DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang,
dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya
lebih ringan daripada anak-anak.
Dari penelitian tahun 1993, dijumpai keadaan penyakit yang terbukti bersama-
sama muncul dengan DHF yaitu demam tifoid, bronkopneumonia, dan anemia.
TERAPI CAIRAN
Dalam tubuh, faal sel tergantung pada keseimbangan cairan danelektrolit.
Jumlah air dalam tubuh harus di pertahankan dalam batas – batastertentu untuk
berlangsungnya metabolisme tubuh dengan baik.Tubuh manusia terdiri atas :
1. Lean body mass (tubuh tanpa lemak), yaitu air (73%), tulang, jaringan bukan
lemak.
2. Jaringan lemak

Cairan tubuh (60%) terdiri atas:


1. Cairan intraseluler 40%
2. Cairan ekstra seluler 20% :
a. cairan interstisial 15%
b. plasma darah 5%

Air masuk ke dalam tubuh terutama melalui penyerapan dari


saluranpencernaan. air meninggalkan tubuh terutama sebagai air kemih
yangdikeluarkan dari ginjal. ginjal bisa mengeluarkan sampai beberapa liter airkemih
dalam sehari atau dapat menahannya dengan membuang kurang dari0,5 l air kemih
dalam sehari.Sekitar 1 liter air juga dibuang setiap harinya melalui penguapan
darikulit dan paru-paru. keringat yang berlebihan (misalnya karena latihan beratatau
cuaca panas), bisa meningkatkan jumlah air yang hilang melaluipenguapan.
Dalam keadaan normal, sedikit air dibuang melalui saluran pencernaan. Pada
muntah yang berkepanjangan atau diare yang berat, sebanyak 3,84 l airbisa hilang
melalui saluran pencernaan.Bila asupan cairan sesuai dengan cairan yang hilang,
cairan tubuh akantetap seimbang. Untuk menjaga keseimbangan cairan, orang sehat
denganfungsi ginjal yang normal dan tidak berkeringat berlebihan, harus
minumsedikitnya 1 l cairan/hari. Untuk mencegah dehidrasi dan pembentukan
batuginjal, dianjurkan untuk minum cairan sebanyak 1,5-2 l/hari.Bila otak dan ginjal
berfungsi dengan baik, tubuh dapat mengatasiperubahan yang ekstrim dalam asupan
cairan. Seseorang biasanya dapatminum cairan yang cukup untuk menggantikan
kehilangan air yang berlebihandan mempertahankan volume darah dan konsentrasi
dari garam-garam mineralyang terlarut (elektrolit) dalam darah. Jika seseorang tidak
dapat minum airyang cukup untuk menggantikan kehilangan air yang berlebihan
(seperti yangterjadi pada muntah berkelanjutan atau diare hebat), maka bisa
mengalamidehidrasi.
Jumlah air dalam tubuh berkaitan erat dengan jumlah elektrolit
tubuh.konsentrasi natrium darah merupakan indikator yang baik dari jumlah
cairandalam tubuh. Tubuh berusaha untuk mempertahankan jumlah total cairan
tubuhsehingga kadar natrium darah tetap stabil. Jika kadar natrium terlalu
tinggi,tubuh akan menahan air untuk melarutkan kelebihan natrium, sehingga
akantimbul rasa haus dan lebih sedikit mengeluarkan air kemih. Sedangkan jikakadar
natrium terlalu rendah, ginjal mengeluarkan lebih banyak air untukmengembalikan
kadar natrium kembali ke normal.

PEMBERIAN CAIRAN
Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid yang di gunakan biasanya NaCl 0,9% dan ringer
laktat.Cairan kristaloid akan menyebar cepat ke ekstraseluler. Menurut
Dillonkehilangan 1cc darah harus di gantikan 3cc kristaloid. Akan tetapi
menaiknyapermeabilitas kapiler pada syok juga dapat menyebabkan cairan
kristaloidkeluar dari pembuluh darah. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar
inimempunyai maksud :
1. Larutan kristaloid dapat mengurangi gagal ginjal
2. Larutan kristaloid dapat mengurangi menurunnya fungsi paru secara progresif
secara cepat dari intravaskuler dan interstitial volume dari kristaloid 2-4 kali
lebih tinggi dari koloid yang di butuhkan untuk mempertahankan
hemodinamik, namun CVP (central venous pressure) menjadi berkurang dan
cairan berkumpuldi interstitial sehinggamenghambat oksigenasi
jaringan,memperlambat penyembuhan luka, mengurangi gerakan
gastrointestinal dan daya obstruksi. Pada syok hipovolemik cairan berkumpul,
intra vascular, dan pemberian cairan kristaloid dapat mengatasi defisit cairan,
karena itu lebih banyak di gunakan kristaloid daripada koloid karena di
perlukan cairan terus – menerus.

Cairan Na+ K+ Cl- Ca++ HCO3 Tekanan


(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) osmotik
(mOsm/L)
RingerLaktat 130 4 109 3 28* 273

RingerAsetat 130 4 109 3 28: 273


NaCl0.9% 154 - 154 - - 308

CairanKoloid
Cairan koloid yang dapat di gunakan pada syok adalah hemasel,gelofusin,
dekstran 70, hespan, albumin 4,5% dan albumin 20%. Penggunaancairan koloid yang
lebih besar di butuhkan untuk mempertahankan volumeplasma untuk meningkatkan
fungsi kardiovaskuler dan oksigen konsumsi,begitu pula dengan cairan koloid dapat
di kurangi pengumpulan cairaninterstitial dan cairan intravaskular.
Apabila permeabilitas cairan bertambah zat ini keluar dari intravaskulardan
menyebabkan meningginya tekanan onkotik interstitialdan menyebabkanterjadinya
udem. Di samping itu koloid juga menghambat diuresis oleh karenaitu masih menjadi
pertanyaan penggunaan cairan koloid karena bahayanyaterutama bila permeabilitas
kapiler bertambah.Dalam keadaan kritis cairan koloid harus di berikan sebanyak
kristaloid,yang dapat merupakan cairan:
1. Albumin
2. Dekstran
3. Hemasel
4. HAS (Human Albumin Sollution)
1. Albumin
Albumin terdapat sebagai donor plasma. Albumin sama dengan
osmotic koloidplasma dengan masa tengah 10 – 15 hari. Dapat terjadi reaksi
anafilaktoidwalaupun jarang dan tidak rutin di gunakan. Keadaan
hipoalbuminemi dapatbersamaan dengan hipovolemi, edema, dan ascites di
berikan albumin 20%.
2. Dekstran
Dekstran merupakan polimer polisakarida dalam dekstrosea 5% atau
NaCl0,9% dengan berat molekul 40.000. dekstran dengan cepat di keluarkan
olehginjaldan dapat membentuk kompleks dengan fibrinogen
sehinggamenyebabkan koagulopati. Dua bentuk dekstran : dekstran 40 dan
dekstran 70. Dekstran 40 lebih sering di gunakan dan terdapat kemungkinan
alergi.
3. Hemasel
Hemasel mengandung kalsium 10kali lebih banyak 6,3 mmol/l, dan
kalium5,1mmol/l. pemberian dalam jumlah banyak tidak di anjurkan
karenamenyebabkan defek koagulasi dan tidak mempengaruhi fungsi
ginjal.Pemberian dalam jumlah besar dalam bentuk gelatin kompleks
dapatmenyebabkan kebocoran pada kapiler dan menyebabkan edema paru.
4. HAS ( Human Albumin Solution )
HAS di bebaskan melalui ginjal melalui hidrolisis dengan
amylase.HAS jugatersimpan dalam RES.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien An. HA, lelaki usia 6 tahun dibawa ke IGD RSMH dengan keluhan
kaki dan tangan dingin disertai gelisah. Sekitar 5 hari SMRS anak demam tinggi
terus menerus, sakit kepala (-), batuk (+), dahak (-), nyeri sendi (-), muntah (-),
mimisan (-), gusi berdarah (-), pilek (-), mual (-), nyeri perut (-), bintik-bintik
merah di kulit (-), BAB hitam (-), BAK biasa. Penderita dibawa ke dokter dan
diberi 2 macam sirup yang ibu lupa namanya. Pasien masih mau makan dan
minum. Sekitar 12 jam SMRS demam tidak ada, kaki dan tangan anak teraba
dingin, nyeri perut (-), mual (+), muntah (-). Bintik-bintik merah (+) di kedua
lengan dan tungkai, mimisan (-), pendarahan gusi (-), BAK bewarna kuning
pekat, jumlahnya sedikit. Pasien dibawa ke RS Hermina. Dilakukan pemasangan
IVFD RL 100 cc selama 30 menit dan dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Didapatkan hasil Hb 17,2 g/dL, leukosit 18x 10³/mm³, Ht 34% dan trombosit 11x
103/mm3. Pasien dirujuk ke RSMH.
Riwayat DBD sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit DBD di dalam
lingkungan sekitar ada. Riwayat kehamilan ibu normal dan riwayat kelahiran
anak normal, ditolong SpOG. Riwayat makanan mendapat ASI sampai usia 2
tahun. MP ASI mulai usia 6 bulan. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
normal. Riwayat imunisasi dasar lengkap. Status gizi baik. Hasil laboratorium
tanggal 8 Mei 2018 pukul 02:20 Hb: 15,6 g/dL, Ht: 45%, Plt: 11 x 103/mm3.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil deman terus menerus, Rumple
leed test (+) dan syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi (≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan
pasien tampak gelisah. sehingga diagnosis mengarah pada DHF derajat IV.
Berdasarkan klasifikasi WHO anak didiagnosis menderita DHF derajat IV :
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari
2. Manifestasi perdarahan tidak spontan (positif uji tourniquet)
3. Pembesaran hati
4. Nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri perut
5. Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
(≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien
tampak gelisah
- Hasil laboratorium menunjukkan Trombositopenia (<100.000/ul) dan
peningkatan Hematokrit>20%

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi


atau peningkatan hematokrit >20%, dijumpai hepatomegali sebelum terjadi
perembesan plasma,dijumpai tanda perembesan plasma, efusi pleura (foto
toraks/ultrasonografi) hipoalbuminemiacukup untuk menegakkan diagnosis
kerja DBD. Anak didiagnosis menderita denguehemorragik derajat IV. Pada
pasien dilakukan tatalaksana penanganan DHF derajat IV.
Prognosa pada pasien ini tergantung dari beberapa faktor, berdasarkan
pemantauan yang dilakukan pada pasien ini, prognosisnya dubia ad bonam.
Edukasi yang diberikan kepada pasien dan orang tua adalah (1) penderita harus
banyak minum, dapat diberikan sedikit demi sedikit namun sering, (2)
menghindari aktivitas berat, terutama yang mengakibatkan perdarahan, (3)
menghindari dari gigitan nyamuk (menggunakan lotion anti nyamuk atau
memakai baju dan celana panjang), (4) melakukan 3M plus (menguras,
menutup, mengubur dan memantau), serta (5) mengenali tanda-tanda gawat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Noisakran, S and Perng, G.C. 2008. Alternate hypothesis on the pathogenesis


of dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue
virus infection. Exp Biol Med,.233(4):401-8.
2. Tantracheewathorn, T and Tantracheewathorn, S. 2007. Risk factors of dengue
shock syndrome in children. J Med Assoc Thai.,90(2):272-7.
3. WHO. 2013. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock
Syndrome in The Context of Integrated Management of childhood Illness.
WHO/FCH/CAH/05.13.
4. Wahono TD., dkk. Demam Berdarah Dengue. Available at ; http://www.dkk-
bpp.com
5. Rampengan T.H., Laurentz I.R. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p.136-157
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.
7. Behrman RE., et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.Saunders,
Philadelphia.2004
8. Diktat Penyakit Infeksi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar. 2003. p. 39-57.
9. Sumarno S., Herry G., Sri Rezeki H.H. 2002. Buku Ajar Kesehatan Anak
Infeksi dan Penyakit Tropik. Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman
176-208.
10. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.
11. Panitia Lulusan Dokter 2002-2003 FKUI. 2002. Updates in Pediatrics
Emergences. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Halaman 95-108.

Anda mungkin juga menyukai