Faktor yang mempengaruhi gangguan tidur yang kedua adalah gaya hidup. Gaya
hidup seseorang dapat mempengaruhi pola tidur seperti melakukan pekerjaan berat yang
tidak biasa, terlibat dalam kegiatan sosial larut malam, mengubah waktu makan malam, dan
banyak begadang karena pekerjaan (Potter & Perry, 2013). Setelah beberapa minggu
begadang, jam biologis seseorang biasanya menyesuaikan. Individu dapat tidur hanya 3
atau 4 jam karena jam tubuhnya merasakan bahwa sudah waktunya untuk bangun dan aktif
(Potter & Perry, 2013). Faktor ketiga adalah pola tidur sehari-hari yang tidak baik. Kurang
tidur kronis jauh lebih serius dan menyebabkan perubahan serius pada kemampuan untuk
melakukan fungsi sehari-hari. Kantuk cenderung paling sulit untuk diatasi selama tugas-
tugas yang tidak aktif seperti mengemudi (Potter & Perry, 2013). Ada peningkatan risiko
kecelakaan kendaraan bermotor jika seseorang berkendara setelah tidur kurang dari 7 jam
(Potter & Perry, 2013). Faktor keempat adalah stress emosional. Individu dari segala usia
yang mengalami stres, kecemasan, dan depresi cenderung merasa lebih sulit untuk tertidur,
dan ketika mereka melakukannya, tidur cenderung ringan dan mencakup lebih banyak tidur
REM dan kurang tidur nyenyak (Harvard Medical School, 2007). Ini mungkin karena tubuh
kita diprogram untuk merespons situasi yang penuh tekanan dan berpotensi bahaya dengan
bangun (Harvard Medical School, 2007).
Faktor kelima adalah lingkungan sekitar individu saat ingin tidur. Hal lingkungan
sekitar individu seperti kasur, suara, terbiasa tidur dengan orang, suhu, dan cahaya.
Meskipun suara latar belakang dapat membuat orang rileks, tingkat volume harus rendah
(Harvard Medical School, 2007). Jika tidak, peningkatan frekuensi terbangun dapat
mencegah transisi ke tahap tidur yang lebih dalam. Penelitian menunjukkan bahwa rentang
suhu ideal untuk tidur sangat bervariasi di antara individu, begitu banyak sehingga tidak
ada suhu kamar terbaik yang ditentukan untuk menghasilkan pola tidur yang optimal
(Harvard Medical School, 2007). Tidur REM umumnya lebih sensitif terhadap gangguan
terkait suhu. Misalnya, dalam suhu yang sangat dingin, kita mungkin sepenuhnya
kekurangan tidur REM. Tingkat cahaya mempengaruhi kemampuan untuk tertidur (Harvard
Medical School, 2007). Cahaya memengaruhi jam internal kita melalui sel khusus di retina
mata, Sel-sel ini, yang menempati ruang yang sama seperti batang dan kerucut yang
memungkinkan penglihatan, memberi tahu otak apakah itu siang hari atau malam hari, dan
pola tidur diatur dengan tepat (Harvard Medical School, 2007). Faktor yang keenam adalah
latihan dan kelelahan. Seseorang yang cukup lelah biasanya tidur nyenyak. Berolahraga 2
jam atau lebih sebelum tidur memungkinkan tubuh untuk mendinginkan dan
mempertahankan kondisi kelelahan yang mendorong relaksasi (Potter & Perry, 2013).
Namun, kelelahan berlebih akibat kerja yang melelahkan atau membuat stres menjadi lebih
sulit untuk tidur (Potter & Perry, 2013). Faktor yang terakhir mempengaruhi tidur adalah
makanan. Makan makanan yang besar, berat, dan / atau pedas di malam hari sering
menyebabkan gangguan pencernaan yang mengganggu tidur (Potter & Perry, 2013).
Beberapa alergi makanan menyebabkan insomnia (Potter & Perry, 2013). Alergi susu
terkadang menyebabkan bangun malam dan menangis atau kolik pada bayi (Potter & Perry,
2013). Selain itu kelebihan berat badan berkontribusi pada OSA karena peningkatan ukuran
struktur jaringan lunak di saluran napas bagian atas (Potter & Perry, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Harvard Medical School. (2007). External Factors that Influence Sleep. Retrieved from:
http://healthysleep.med.harvard.edu/healthy/science/how/external-factors
Potter & Perry. (2013). Fundamental of Nursing. (8th ed). Canada: Elsevier.