Fraktur
Oleh:
Yustika Rini
1706978452
Struktur sistem muskuloskeletal penting untuk dapat berdiri tegak dan bergerak.
Sistem muskuloskeletal juga memberi bentuk tubuh manusia dan stabilitas sambil
melindungi organ vital tubuh. Sistem muskuloskeletal berperan dalam
homeostasis dan merupakan tempat untuk hematopoiesis. Sistem muskuloskeletal
terdiri dari tulang, sendi, otot, ligamen, tendon, dan jaringan ikat lainnya yang
bekerja bersama untuk mencapai fungsi-fungsinya. Jaringan ikat adalah bahan
biologis yang mendukung, mengikat jaringan dan organ-organ. Komponen utama
dari jaringan ikat termasuk serat elastis dan kolagen .
1.1 Tulang
Tulang adalah bentuk khusus dari jaringan ikat. Tulang adalah jaringan hidup
yang yang aktif secara metabolik. Jaringan ini merupakan tempat penyimpanan
lemak dan mineral (khususnya kalsium) serta hematopoiesis. Tulang terdiri dari
tiga jenis sel yaitu osteoblasts, osteoclasts dan osteocytes. Osteoblas adalah sel
pembentuk tulang berfungsi membangun atau membentuk tulang baru melalui
sintesis kolagen dan proteoglikan. Osteoclats adalah sel-sel penyerap tulang
utama yang berfungsi dalam penyerapan matriks tulang (untuk remodelling) serta
membantu pelepasan kalsium dan fosfat. Osteocytes merupakan sel matur yang
membantu mempertahankan matriks tulang dan memainkan peran utama dalam
pelepasan kalsium ke dalam darah. Tubuh manusia memiliki 206 tulang dengan
berbagai bentuk dan ukuran yang membentuk kerangka. Kerangka itu
memberikan dukungan, perlindungan untuk organ vital seperti jantung, paru-paru,
dan otak. Lima jenis tulang ditemukan di dalam kerangka yaitu tulang panjang,
pendek, pipih, tidak beraturan, dan sesamoid. Tulang panjang yang ada di tubuh
misalnya tulang paha, humerus, dan tibia. Tulang pendek yang ada di tubuh
contohnya karpal dan tarsal. Tulang pipih yang ada di tubuh contohnya tulang
belikat, tulang dada, tengkorak, panggul, dan tulang rusuk.
Tulang yang tidak beraturan karena tidak sama bentuknya. Contoh tulang tidak
beraturan adalah tulang belakang, sakrum, dan mandibula. Tulang sesamoid
biasanya pendek atau tidak beraturan, tulang tertanam di tendon, dan berfungsi
untuk melindungi tendon. Contoh tulang sesamoid termasuk patella, pisiform
(yang terkecil dari tulang karpal), dan dua tulang kecil di pangkal yang pertama
dari metatarsal.
1.2 Otot
Otot rangka terdiri dari serat otot, jaringan ikat, pembuluh darah, dan saraf. Gerak
membutuhkan kerangka dengan sendi yang bisa digerakkan serta otot-otot yang
bekerja pada tulang. Setiap otot dalam tubuh menempel pada tulang melalui
struktur seperti tendon. Tendon seperti tali atau pita kuat berupa jaringan ikat
padat. Otot berkontraksi untuk menghasilkan gerakan dari tulang di persendian.
Ketika satu otot berkontraksi untuk menghasilkan gerakan, otot-otot antagonis
(lawan) akan berileksasi .
1.3 Tendon dan Ligamen
Tendon dan ligamen adalah dua jenis jaringan ikat dengan fungsi yang serupa
namun berbeda. Ligamen menghubungkan tulang ke tulang sedangkan tendon
menghubungkan tulang ke otot. Tendon itu keras namun fleksibel, berasal dari
jaringan fibrosa yang melekat pada otot rangka yang memungkinkan gerakan
dengan bertindak sebagai perantara antara otot dan tulang. Ligamen, meskipun
mirip dengan tendon, ligamen membantu menstabilkan sendi karena ligamen
menghubungkan tulang ke tulang. Komposisi ligamen adalah kolagen kuat
dan berserat.
1.4 Sendi
Sendi, atau artikulasi, adalah tempat dua tulang bersatu, misalnya pada lutut.
Ada tiga jenis sendi utama yaitu sendi yang tidak dapat bergerak
(synarthrosis), sendi yang dapat sedikit bergerak (amphiarthrosis) dan sendi
yang dapat bergerak bebas (diarthrosis).
II. Definisi, Faktor Risiko, dan Etiologi Fraktur
Fraktur ialah gangguan kontinuitas struktur tulang yang terjadi ketika
tulang mendapatkan tekanan yang lebih besar daripada tekanan yang
mampu diterimanya (Smeltzer et al., 2010). Fraktur biasanya
menyebabkan edema dan perdarahan pada jaringan lunak disekitarnya,
serta kerusakan saraf dan tendon. Fraktur dapat disebabkan karna
trauma langsung, gerakan memutar, kontraksi otot secara ekstrim.
Selain itu, fraktur juga dapat disebabkan karena proses penyakit yang
dapat melemahkan tulang atau yang dikenal dengan fraktur patologik.
Pada kondisi ini fraktur dapat terjadi secara spontan dengan tekanan
kecil maupun tanpa adanya tekanan. Individu yang memiliki risiko
tinggi terjadinya fraktur ialah tumor tulang, osteoporosis, infeksi
tulang/osteomyelitis, koordinasi tubuh yang lemah, penurunan fungsi
pengelihatan, dan kelemahan (White & Duncan, 2013).
Fraktur diklasifikasikan sebagai berikut (Smeltzer et al., 2010) :
- Fraktur komplit : fraktur yang terjadi pada seluruh penampang tulang dan
biasanya disertai dislokasi
- Fraktur inkomplit : fraktur yang terjadi pada sebagian penampang tulang,
contohnya fraktur greenstick
- Fraktur comminuted : fraktur yang menghasilkan beberapa fragmen tulang
- Fraktur tertutup : fraktur yang tidak menembus jaringan kulit, contohnya
fraktur simple
- Fraktur terbuka : fraktur yang menembus jaringan kulit dan terjadi luka
pada area fraktur. Terdapat tiga derajat fraktur terbuka, yaitu derarajat 1
(luka bersih dan kurang dari 1 cm), derajat 2 (luka lebih luas tanpa disertai
kerusakan jaringan lunak), dan derajat 3 (terjadi kontaminasi dimana luka
disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas)
III. Manifestasi Klinis Fraktur
a. Edema dan Pembengkakkan
Edema dan pembengkakan terjadi dikarenakan penetrasi tulang melalui kulit atau
jaringan lunak, atau pendarahan ke jaringan di sekitarnya. Pendarahan yang tidak
terkendali, pembengkakkan, dan edema di ruang tertutup dapat menyumbat
sirkulasi dan merusak saraf (misalnya risiko terjadinya kompartemen sindrom)
(Lewis et al., 2013). Edema dan pembengkakkan mungkin tidak terlihat setelah
beberapa jam terjadinya cedera atau dapat terlihat dalam satu jam setelah
terjadinya cedera, tergantung pada tingkat keparahan fraktur.
b. Nyeri
Nyeri terjadi akibat terjadinya trauma jaringan, peningkatan tekanan pada saraf,
dan pergerakan bagian fraktur (Lewis et al., 2013). Nyeri terasa terus menerus dan
bertambah parah sampai fragmen tulang tidak bergerak. Kejang otot yang
menyertai fraktur dimulai dalam 20 menit setelah cedera dan menghasilkan rasa
sakit yang lebih intens daripada saat cedera terjadi.
c. Spasme Otot
Posisi ekstremitas yang tidak normal akibat terjadinya cedera atau hasil aksi otot
menarik fragmen tulang ke posisi yang abnormal. Terlihat sebagai kehilangan
kontur tulang yang normal (Lewis et al., 2013). Perpindahan, angulasi, atau rotasi
fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan kelainan bentuk yang
terdeteksi pada ekstremitas bila dibandingkan dengan ekstremitas yang tidak
cedera. Deformitas adalah tanda kardinal dari fraktur. Deformitas jika tidak
dikoreksi akan mengakibatkan masalah pada proses penyatuan tulang dan
pemulihan fungsi bagian yang terluka (Lewis et al., 2013).
e. Ekimosis
Ekimosis dan kontusio merupakan perubahan warna kulit akibat dari ekstravasasi
darah dijaringan subkutan. Ekimosis muncul segera setelah cedera dan mungkin
tampak jauh dari yang bagian cedera (Lewis et al., 2013).
f. Penurunan dan Hilangnya Fungsi
Ekimosis dan kontusio merupakan perubahan warna kulit akibat dari ekstravasasi
darah dijaringan subkutan. Ekimosis muncul segera setelah cedera dan mungkin
tampak jauh dari yang bagian cedera (Lewis et al., 2013).
g. Pemendekan
Fragmen tulang saat diraba dengan lembut akan terasa dan menghasilkan suara
berderak (krepitasi). Kerepitasi disebabkan oleh gesekan antar fragmen tulang.
Krepitasi dapat meningkatkan peluang terjadinya nonunion jika ujung tulang
bergerak berlebihan (Lewis et al., 2013).
IV. Patofisiologi
Ketika terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah pada korteks, sumsum, dan
jaringan lunak di sekitarnya menjadi terganggu. Terjadi perdarahan dari ujung
tulang yang rusak dan dari jaringan lunak. Hematoma terbentuk di dalam medula,
di antara ujung tulang yang retak, dan di bawah periosteum. Jaringan tulang
berbatasan langsung dengan bagian fraktur yang mati. Jaringan nekrotik ini dan
debris apapun di daerah fraktur merangsang respons peradangan yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, serta infiltrasi oleh inflamasi
leukosit dan sel mast. Sitokin mengubah growth factor-beta (TGF-β), platelet-
derived growth factor (PDGF), prostaglandin, dan faktor-faktor lain yang
mendukung terjadinya penyembuhan, akan dilepaskan. Dalam waktu 48 jam
setelah terjadi cedera, jaringan pembuluh darah menyerang daerah tulang yang
mengalami fraktur, jaringan lunak di sekitarnya, rongga sumsum, dan aliran darah
ke seluruh tulang meningkat. Osteoblas dan osteoklas (atau sel pembentuk tulang)
di periosteum, endosteum, dan sumsum diaktifkan untuk menghasilkan
subperiosteal procallus di sepanjang permukaan luar poros dan di atas ujung
tulang yang rusak. Penyembuhan umumnya terjadi dalam tiga fase. Fase inflamasi
awal penyembuhan berlangsung 3 hingga 4 hari. Selama beberapa hari berikutnya,
fase perbaikan dimulai, pertumbuhan kapiler bersama dengan sel mononuklear
dan fibroblas, memulai transformasi hematoma menjadi jaringan granulasi.
Berikutnya, osteoblas dalam prokalus mensintesis kolagen dan matriks, yang akan
termineralisasi untuk membentuk kalus. Saat proses perbaikan berlanjut, terjadi
renovasi, di mana kalus yang tidak perlu diserap dan trabekula terbentuk di
sepanjang garis stress. Pada akhir tahap ini, tulang dapat menahan tekanan
normal. Fase terakhir, renovasi, berlangsung selama berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun
V. Komplikasi Fraktur
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan lebih sering ditemukan pada pasien fraktur
pelvis dan pada pasien dengan fraktur femur terbuka di mana arteri femoralis
robek oleh fragmen tulang. Perawatan untuk syok terdiri dari menstabilkan fraktur
untuk mencegah perdarahan lebih lanjut, mengembalikan volume darah dan
sirkulasi, menghilangkan rasa sakit pasien, memberikan imobilisasi yang tepat,
dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut.
b. Infeksi
Infeksi dapat terjadi akibat fraktur terbuka di mana tulang yang menembus kulit
memungkinkan terjadinya kontaminasi dari bagian luar. Infeksi juga dapat terjadi
setelah tindakan pembedahan bedah dengan menggunakan perangkat fiksasi
internal. Infeksi dapat menyebabkan keterlambatan penyatuan tulang (White,
Duncan, & Baumle, 2013).
c. Sindrom Emboli Lemak
Sindrom emboli lemak dikaitkan dengan patah tulang panjang, fraktur multipel,
atau cedera remuk. Pada jenis cedera ini, banyak gumpalan lemak kecil dilepaskan
dari sumsum tulang lalu masuk ke vena pada tempat terjadinya trauma tulang
panjang. Emboli lemak ini menyebar melalui sistem vena dan menutup pembuluh
darah vena di paru-paru sehingga menyebabkan gangguan pernapasan (Kirkland,
2009; Weinhouse, 2011 dikutip dalam White, Duncan, & Baumle, 2013).
Embolus biasanya terjadi dalam 24 hingga 72 jam setelah fraktur tetapi dapat
terjadi hingga seminggu setelah cedera. Saat emboli melibatkan area kecil paru-
paru, gejalanya adalah rasa sakit, takikardia, dan dispnea. Keterlibatan area paru
yang lebih besar menghasilkan gejala yang lebih jelas, termasuk rasa sakit yang
parah, dispnea, sianosis, gelisah, dan syok. Petechiae mungkin muncul di atas
leher, lengan atas, dada, atau perut. Pengobatan terdiri dari tirah baring, bantuan
pernapasan, pemberian oksigen, dan cairan intra vena (White, Duncan, & Baumle,
2013).
d. Osteomielitis
Osteomielitis mengacu pada infeksi pada jaringan tulang. Osteomielitis
merupakan komplikasi serius karena sering tidak terdeteksi. Osteomielitis dapat
nekrosis jaringan atau tulang. Osteomielitis diobati dengan terapi antibiotik dalam
jangka panjang dan pembedahan berupa tindakan debridemen.
e. Osteonekrosis
Kolaborasi meningkatkan
11. Cek harga diri dan
adanya kemmapuan koping
keluhan
nyeri yang Kolaborasi
tidak biasa 11. Dapat
atau tidak menandakan
hilang terjadinya
dengan komplikasi 12.
analgesik Menurunkan
12. Lakukan edema/
kompres pembentukan
dingin 24-48 hematom,
jam pertama/ menurunkan
sesuai sensasi nyeri.
indikasi
Kolaborasi
8. Konsul
dengan ahli
terapi
fisik/okupa
si dan atau
rehabilitasi
medik
9. Lakukan
program
defekasi
(pelunak feses,
c. Traksi
Penerapan gaya tarik ke bagian tubuh yang terluka atau sakit atau ekstremitas.
Kontraksi menarik ke arah yang berlawanan.
d. Gips
Perangkat imobilisasi melingkar sementara. Pengecoran adalah perawatan umum
setelah pengurangan tertutup. Hal ini memungkinkan pasien untuk melakukan
banyak aktivitas normal kehidupan sehari-hari sambil memberikan imobilisasi
yang cukup untuk memastikan stabilitas.
e. Fiksasi eksternal
Perangkat logam yang terdiri dari pin logam yang dimasukkan ke dalam tulang
dan melekat pada batang eksternal untuk menstabilkan fraktur saat sembuh.
Digunakan untuk menerapkan traksi atau untuk mengkompresi fragmen fraktur
dan untuk melumpuhkan fragmen yang berkurang ketika penggunaan gips atau
traksi lainnya tidak sesuai. Fiksasi eksternal sering digunakan dalam upaya untuk
menyelamatkan ekstremitas yang mungkin memerlukan amputasi.
f. Fiksasi Internal
Alat fiksasi internal (pin, pelat, batang intramedulla, dan sekrup logam dan
bioabsorbable) dimasukkan melalui pembedahan untuk meluruskan kembali dan
mempertahankan fragmen tulang.
g. Terapi obat
Pasien dengan patah tulang mengalami berbagai tingkat rasa sakit yang terkait
dengan kejang otot. Relaksan otot sentral dan perifer, seperti carisoprodol (Soma),
cyclobenzaprine (Flexeril), atau methocarbamol (Robaxin), dapat diresepkan
untuk menghilangkan rasa sakit yang terkait dengan kejang otot. Pada fraktur
terbuka, ancaman tetanus dapat dikurangi dengan tetanus dan toksoid difteri atau
tetanus imunoglobulin untuk pasien yang belum pernah diimunisasi sebelumnya.
h. Terapi Nutrisi
Persyaratan diet pasien harus mencakup protein yang cukup, vitamin (terutama B,
C, dan D), kalsium, fosfor, dan magnesium untuk memastikan jaringan lunak dan
penyembuhan tulang yang optimal. Kadar protein serum dan defisiensi vitamin C
yang rendah mengganggu penyembuhan jaringan. Makanan yang seimbang harus
ditambah dengan asupan cairan 2000 hingga 3000 mL / hari untuk meningkatkan
fungsi kandung kemih dan usus yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Lewis, S., Bucher, L., Dirksen, S., Heitkemper, M., & Harding, M. (2014).
Medical Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical
Problems. Network (9th ed.). Missouri: Elsevier Inc.
Nachanal, J., Nayagam, S., Khan, U., Moran, C., Barrett, S., Sanderson, F., &
Pallister, I. (2015). Standard for The Management of Open Fractures of
The Lower Limb.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L. & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
Suddarth's textbook of medical-surgical nursing. Philadelphia: Wolters
Kluwer-Lippincott Williams & Wilkins.
Sop JL, Sop A. (2019). Open Fracture Management. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448083/
White, L., Duncan, G. & Baumle, W. (2013). Medical-surgical nursing: An
integrated approach, (3rd edition). USA: Delmar Cengage Learning
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., Murr, A. C. (2010). Nursing care plans:
guodelines for individualizing client care across the life span 8th Ed.
Philadelphia: Davis Company