Anda di halaman 1dari 38

Laporan Pendahuluan

CA Paru

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Oleh:
Yustika Rini
1706978452

Program Profesi Ners


Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2021
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Paruparu dan Sistem Pernapasan

Sumber: Sherwood. (2016). Human physiology: From cell to system .


Edisi ke-9.
Saluran pernapasan atas
 Hidung
 Faring
 Laring

Saluran Pernapasan bawah


 Trakea
 Bronkus
 Bronkiolus
 Alveolus
Hidung. Sumber: VanPutte, et al, (2015). Seeleys Essentials of Anatomy and Physiology-McGraw-Hill
Science.

Hidung bagian luar tersusun dari tulang rawan hialin, meskipun


jembatan dari hidung luar terdiri dari tulang. Tulang dan tulang rawan
ditutupi oleh jaringan ikat dan kulit. Udara memasuki rongga hidung
melalui lubang hidung. Tepat di dalam nares, lapisan rongga terdiri dari
epitel skuamosa berlapis yang mengandung rambut kasar. Bulu-bulu
menjebak beberapa partikel besar debu yang menggantung di udara. Sisa
rongga hidung dilapisi dengan sel epitel kolumnar pseudostratifikasi yang
mengandung silia dan banyak sel piala penghasil lendir. Lendir yang
diproduksi oleh sel-sel piala juga menjebak puing-puing di udara. Silia
menyapu lendir posterior ke faring, di mana ia tertelan. Ketika udara
mengalir melalui rongga hidung, udara dilembabkan dengan uap air dari
epitel mukosa dan dihangatkan oleh darah yang mengalir melalui jaringan
kapiler superfisial yang mendasari epitel mukosa.
a. Nares eksternal : “pintu masuk” udara kedalam sistem pernapasan
b. Nasal vestibule : pada bagian epitelnya terdapat bulu yang berfungsi
untuk menyaring udara dan menahan benda asing tidak masuk
kedalam hidung
c. Nasal septum : memisahkan rongga hidung kanan dan kiri
d. Apex : ujung hidung
e. Rongga hidung
f. Sinus pranasal : Menghasilkan mukus yang menjada kelembapan dan
kebersihan rongga hidung; terdiri dari sinus frontal, ethmoid, sphenoid,
dan maxilla.
g. Duktus nasolakrimal : jalur yang mengalirkan air mata (yang berfungsi
untuk melembapkan dan membersihkan rongga hidung) (VanPutte, et
al., 2015).
Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Faring

Faring. Sumber: VanPutte, et al, (2015). Seeleys Essentials of Anatomy and Physiology-McGraw-Hill
Science.
a. Nasofaring
Terdapat bukaan tuba auditori yang berfungsi untuk menyeimbangkan
tekanan udara antara telinga tengah dan atmosfir luar. Terdapat pharyngeal
tonsil.
b. Orofaring
Memiliki bukaan ke arah mulut yang disebut fauces. Tempat tonsil
palatina dan lingualis.
c. Laringofaring
Melewati posterior ke laring dan memanjang dari ujung epiglotis ke
esophagus.
Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Laring

Laring. Sumber: VanPutte, et al, (2015). Seeleys Essentials of Anatomy and Physiology-McGraw-Hill
Science.

Terdapat epiglottis sebagai katup untuk membedakan jalur pernapasan dan jalur
pencernaan (Tortora GJ, Derrickson B, 2012),
Otot laring
1. Otot laring intrinsik → saling menghubungkan kartilago laring.
 Mengatur tekanan lipatan vokal

 Mengatur terbuka dan tertutupnya Glottis

2. Otot laring ekstrinsik → menghubungkan kartilago ke struktur lainnya di


tenggorokan.
 Terletak antara vertebra C3/C4 dan berakhir di C7.
Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Trakea

Trakea. Sumber: Tortora GJ, Derrickson B.(2012). Principles of Anatomy and Physiology 13th edition.
.

Jaringan Epitel bersilia di Trakea Sumber: Sherwood. (2016). Human physiology: From cell to system .
Edisi ke-9.
Sumber: Sherwood. (2016). Human physiology: From cell to system . Edisi ke-9.

 Trakea memiliki epitel bersilia yang membantu membersihkan udara dari


patogen (juga dengan bantuan mucus).
 Memiliki 16-20 cincin kartilago berbentuk C yang menjaga dinding trakea
tidak kolaps.
Bagian-bagian:
a. Lamina propria : memisahkan epitel pernapasan dari kartilago.
b. Mukosa
c. Submukosa : mengandung kelenjar mukus
d. Kartilago trakea : melindungi jalur masuk udara
e. Ligamen annular : menghubungkan kartilago
Anatomi Paru-paru, Bronkus, Bronkiolus, dan Alveolus
Paru-paru (pulmo) menempati rongga toraks, lateral dari mediastinum.
Bentuk paru seperti kerucut dengan apeksnya yang menonjol hingga ke daerah
leher dan basisnya (permukaan inferior) berhadapan dengan diafragma.
Permukaan anterior, lateral, dan posterior paru dilindungi oleh iga. Permukaan
medialnya berhadapan dengan mediastinum (Marieb EN, Wilhelm, PB, & Mallat
J, 2012).

Pada permukaan medial terdapat hilus paru, tempat keluar dan masuknya
bronchus, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Paru-paru kanan memiliki
tiga lobus dan paru-paru kiri memiliki dua lobus, Lobus selanjutnya dibagi
menjadi lobulus, dan setiap lobulus memiliki bronkiolus terdapat banyak alveoli
(Marieb EN, Wilhelm, PB, & Mallat J, 2012).
Setiap paru-paru tertutup dalam kantung berdinding ganda yang disebut
pleura. Pleura viseral melekat pada permukaan paru-paru, sedangkan pleura
parietal melapisi rongga toraks.
Setiap lobus dibagi menjadi segmen bronkopulmonary yang dipisahkan
satu sama lain oleh septa jaringan ikat. Terdapat 9 segmen bronkopulmonary di
paru-paru kiri dan 10 segmen bronkopulmonary di paru-paru kanan. Setiap
bronkus utama terbagi menjadi bronkus lobar (bronkus sekunder), dua di paru-
paru kiri dan tiga di paru-paru kanan. Bronkus lobar selanjutnya meneruskan ke
bronkus segmental (atau bronkus tersier). Bronkus terus bercabang berkali-kali,
akhirnya menjadi bronkiolus. Bronkiolus juga membelah berkali-kali menjadi
bronkiolus terminal. Setiap bronkiolus pernapasan dibagi lagi untuk membentuk
saluran alveolar. Lalu terdapat alveoli. Ada sekitar 300 juta alveoli di paru-paru
(VanPutte, et al., 2015).

Anatomi Paru-Paru. Sumber: VanPutte, et al, (2015). Seeleys Essentials of Anatomy and Physiology-
McGraw-Hill Science.
Alveolus. Sumber: VanPutte, et al, (2015). Seeleys Essentials of Anatomy and Physiology-McGraw-Hill
Science.
Histologi Paru-paru, Bronkus, Bronkiolus, dan Alveolus
 Bronkus terdiri dari jaringan epitel kolumnar bersilia
 Bronkiolus terdiri dari jaringan epitel kolumnar sederhana bersilia
 Bronkiolus terminal terdiri dari epitel kuboid sederhana bersilia
(VanPutte, et al., 2015).
 Alveolus terdiri dari jaringan epitel skuamosa sederhana
(Sherwood., 2016).

Gambar: epitel skuamosa sederhana di alveolus. Sumber: Sherwood. (2016).( Human Physiology, From
Cells to Systems). USA: Cengange
Fisiologi Learnimg.
Paru-paru, bronkus, bronkiolus, dan alveolus

Pleura
Ruang pleura diisi dengan cairan pleura/pelumas serosa yang
melumasi membran dan mengurangi gesekan antar lapisan saat mereka
meluncur melewati satu sama lain selama bernafas. Cairan ini juga
berperan dalam mempertahankan inflasi paru-paru. Ketegangan
permukaan antara molekul-molekul fluida pleura membuat kedua
lapisan pleura saling menempel. Ketegangan permukaan menahan
kedua lapisan pleura bersamaan ketika paru-paru mundur selama
ekspirasi (Sherwood., 2016).

Bronkus
Pada bronkus terdapat:

a. Epitel silindris bersilia →Mengeluarkan benda asing


b. Epitel kubus selapis → Menghilangkan benda asing dengan makrofag

c. Membran mukosa pada carina (tempat dimulainya percabangan


bronkiolus) → Memicu refleks batuk.

Alveolus
Di paru-paru terdapat alveolus sebagai tempat. Ventilasi adalah proses
pertukaran gas masuk dan keluar paru-paru. Terdapat 2 fase ventilasi
yaitu inspirasi dan ekspirasi (VanPutte, et al., 2015). Pertukaran gas
terjadi antara udara di alveoli dan darah di kapiler Oksigen berdifusi
melintasi dinding alveolar dan kapiler untuk memasuki aliran darah,
sementara karbon dioksida berdifusi dari darah melintasi dinding-
dinding ini untuk memasuki alveoli (Sherwood., 2016).
a) Alveolus tipe I (pneumocyte type I cell)→Terdiri dari epitel
pipih selapis untuk pertukaran udara.
b) Alvolus tipe II (penumocyte type II cell) → Terdiri dari epitel
kubus yang mensekresikan cairan surfaktan (berfungsi untuk
menjaga kelembapan permukaan sel dan udara juga
mengurangi tekanan pada alveolus)
c) Sel makrofag → Berfungsi untuk “memakan” benda asing
yang terbawa sampai ke alveolus.

2. Respirasi Internal dan Eksternal


Secara umum, proses respirasi dibagi menjadi dua yaitu, respirasi
eksternal dan respirasi internal. Respirasi Internal merupakan respirasi seluler
mengacu pada proses metabolisme intrasel yang berlangsung di dalam
mitokondria, yang menggunakan O2 dan menghasilkan CO2 selama
penyerapan energi dari molekul ke nutrient (Sherwood, 2016). Respirasi
Eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat
dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
Respirasi eksternal terjadi di pru-paru. Respirasi eksternal meliputi pertama,
ventilasi atau pertukaran udara secara bergantian antara atmosfer dan alveolus.
Kecepatannya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh masing-masing. Kedua,
pertukaran O2 dan CO2 di alveolus dan darah pada pulmonalis memalui difusi.
Ketiga, O2 dan CO2 diangkut oleh darah antara paru-paru dan jaringan.
Keempat, pertukaran O2 dan CO2 antara jaringan dan darah mealui difusi yang
melintasi kapiler sistemik (jaringan) (Sherwood, 2016).

3. Mekanisme Pertukaran Gas


Faktor yang mempengaruhi pertukaran gas adalah Luas pembuluh
darah, koefisien difusi serta ketebalan membran respirasi. Luas pembuluh
darah yang besar akan mempercepat proses pertukaran gas. Hal ini dapat
terjadi ketika seseorang sering berolahraga. Ketika berolahraga tekanan darah
paru akan meningkat yang mengakibatkan bertambahnya curah jantung
sehingga berdampak pada meningkatnya Luas pembuluh darah. Selain itu,
kecepatan pertukaran gas juga bergantung pada koefisien difusi. Koefisien
difusi karbondioksida 20 kali lebih cepat dari koefisien oksigen dikarenakan
karbondioksida cepat larut dalam jaringan. Sehingga dapat dikatakan proses
pertukaran karbondioksida dalam tubuh lebih cepat dibanding proses
pertukaran oksigen. Faktor terakhir yang mempengaruhi proses pertukaran gas
adalah ketebalan (Sherwood, 2011).
Ketebalan yang dimaksud adalah ketebalan membran respirasi.
Semakin tebal sebuah membran respirasi maka semakin lambat proses
pertukaran gas yang terjadi. Membran respirasi akan menebal ketika paru-paru
mengalami gangguan seperti adanya edema paru, fibrosis paru, dan
pneumonia. Mekanisme proses pertukaran gas bergantung pada jenis
pernapasan eksternal maupun internal. Pernapasan internal adalah pernapasan
yang terjadi di dalam sel dan jaringan sedangkan pernapasan eksternal adalah
pernapasan yang terjadi di dalam paru – paru ke darah (Sherwood, 2011).

4. Transportasi Gas ke Sel


Respirasi atau pernapasan merupakan salah satu proses penting yang
dilakukan oleh tubuh. Respirasi adalah proses menghirup dan
menghembuskan udara dari dan kedalam tubuh. Udara yang dihirup adalah
O2 yang nantinya akan digunakan sebagai salah satu komponen energi yang
dibutuhkan oleh sel, sementara udara yang dihembuskan adalah CO2 sebagai
gas buangan dari pengolahan energi yang dilakukan oleh sel. Sistem respirasi
sendiri merupakan sistem yang cukup kompleks yang terdiri dari saluran
napas yang menuju ke paru, paru-paru, dan struktur thoraks yang memiliki
fungsi untuk membantu aliran udara untuk masuk dan keluar paru melalui
saluran napas (Tortora & Derrickson, 2014).
Transpor gas merupakan sebuah proses pengangkutan oksigen yang
dihirup untuk dibawa menuju jaringan dan digunakan oleh sel serta
pengangkutan karbondioksida yang di produksi di tingkat sel harus diangkut
ke paru untuk dikeluarkan (Sherwood, 2011). Proses dari sistem pernapasan
atau sistem respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu ventilasi, difusi,
transportasi gas, dan perfusi. Ventilasi merupakan proses pertukaran udara
antara atmosfer dengan alveoli. Proses ini terdiri dari inspirasi atau masuknya
udara ke paru-paru dan ekspirasi atau keluarnya udara dari paru-paru.
Ventilasi terjadi karena adanya perubahan tekanan intrapulmonal. Saat
inspirasi tekanan intrapulmonal lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga
udara dari atmosfer akan terhisap ke dalam paru-paru. Sebaliknya pada saat
ekspirasi, tekanan intrapulmonal menjadi lebih tinggi dari atmosfer sehingga
udara akan tertiup keluar dari paru-paru. Adanya perubahan tekanan
intrapulmonal tersebut disebabkan oleh perubahan volume thorax yang
terjadi akibat kerja dari otot-otot pernapasan dan diafragma. Pada saat
inspirasi terjadi kontraksi dari otot-otot inspirasi sehingga terjadi elevasi dari
tulang-tulang costae dan menyebabkan peningkatan volume thorax dan
secara bersamaaan paru-paru juga akan ikut mengembang sehingga tekanan
intrapulmonal menurun dan udara terhirup ke paru-paru. Ekspirasi
merupakan proses yang pasif dimana setelah terjadi pengembangan cavum
thorax akibat kerja otot-otot inspirasi maka setelah otot-otot tersebut relaksasi
maka terjadilah ekspirasi.
Tahap selanjutnya adalah difusi. Difusi dalam respirasi merupakan
proses pertukaran gas dengan darah pada kapiler paru. Proses difusi terjadi
karena perbedaan tekanan, gas berdifusi dari tekanan tinggi ke tekanan
rendah. Saat difusi terjadi, pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida
secara simultan. Saat inspirasi maka oksigen akan masuk ke dalam kapiler
paru dan saat ekspirasi karbondioksida akan dilepaskan kapiler paru ke
alveoli untuk dibuang ke atmosfer. Proses pertukaran gas tersebut terjadi
karena perbedaan tekanan parsial oksigen dan karbondioksida antara alveoli
dan kapiler paru.
Pada proses transportasi gas di dalam sistem pernapasan, oksigen
yang diserap oleh darah di paru harus diangkut ke jaringan untuk digunakan
oleh sel. Sebaliknya, karbondioksida yang diproduksi di tingkat sel harus
diangkut ke paru untuk dikeluarkan.
Oksigen yang terdapat dalam darah terbagi dalam dua bentuk, yaitu
larut secara fisik dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin. Oksigen
yang larut secara fisik sangat sedikit karena oksigen kurang larut dalam
cairan tubuh. Jumlah oksigen yang larut berbanding lurus dengan PO2. Pada
PO2 arteri normal sebesar 100 mmHg, hanya 3 ml O2 yang dapat larut dalam
1 liter darah yang artinya hanya 15 ml O2/menit yang dapat larut dalam 1
liter darah paru normal 5 liter/menit. Dikarenakan oksigen tidak terlalu
mudah larut dalam air dan tidak cukup mudah dibawa dalam larutan air
sederhana untuk mempertahankan kehidupan jaringan, akhirnya sekitar
98.5% oksigen dalam darah dibawah eritrosit yang telah berikatan dengan
hemoglobin (Hb (Sherwood, 2014).

PO2 merupakan faktor utama penentu persen saturasi hemoglobin,


yang merupakan suatu ukuran seberapa banyak Hb yang ada telah berikatan
dengan O2, dan presentasinya dapat bervariasi.

Sumber gambar: Tortora dan Derrickson (2014)

Hemoglobin merupakan kombinasi suatu ikatan besi-purfirin dan


globin (suatu protein). Hemoglobin berikatan dengan oksigen membentuk
oksihemoglobin (HbO2). Setiap molekul dalam keempat molekul besi dalam
hemoglobin berikatan dengan satu molekul oksigen untuk membentuk
oksihemoglobin (HbO2) yang berwarna merah tua (Silverthorn, 2010)
Hemoglobin berhubungan dengan PO2 dalam proses transpor O2
karena PO2 adalah faktor utama yang menentukan persen saturasi
hemoglobin. PO2 merupakan faktor terpenting dalam menentukan persen
saturasi Hb karena berkaitan dengan konsentrasi oksigen yang larus secara
fisik di dalam darah. Menurut hukum aksi massa, jika konsentrasi satu bahan
yang terlibat dalam suatu reaksi reversibel meningkat maka reaksi terdorong
ke arah yang berlawanan. Sebaliknya, jika konsentrasi satu bahan berkurang
maka reaksi terdorong ke arah sisi tersebut. Dengan menerapkan hukum ini
ke reaksi reversibel yang melibatkan Hb dan oksigen, ketika PO2 darah
meningkat, seperti di kapiler paru, reaksi bergerak ke arah sisi kanan
persamaan, meningkatkan pembentukan HbO2. Ketika PO2 darah turun,
seperti di kapiler sistemik, reaksi terdorong ke arah sisi kiri persamaan dan
oksigen dibebaskan dari Hb karena HbO2 berdisosiasi. Oleh karena itu,
akibat perbedaan PO2 di paru-paru, tempat ventilasi selanjutnya secara terus-
menerus menyediakan oksigen dan melepaskannya di jaringan dimana
jaringan tersebut secara terus-menerus juga menggunakan oksigen
(Sherwood, 2014).

Sumber gambar Silverthorn, 2010


Gambar tersebut merupakan pengaruh dari pH, suhu, dan PcO2
terhadap % saturasi haemoglobin yang ditunjukkan melalui kurva
saturasi. Penurunan afinitas Hb terbadap O2 yang dipengaruhi peningkatan
tingkat keasaman menambah tingkat pembebasan O2 dalam jaringan pada
tingkat PO2 tertentu. Suhu juga memiliki pola yang sama sehingga
menambah tingkat pembebasan O2 dalam jaringan pada tingkat PO2 tertentu.
CO2 dapat menurunkan afinitas Hb terhadap O2 sehingga Hb membebaskan
lebih banyak oksigen yang akan digunakan oleh jaringan (Silverthorn, 2010).
Sumber gambar Sherwood, 2014

CO2 yang diambil di jaringan diangkut darah ke paru-paru melalui


tiga cara; (1) larut secara fisik, (2) berikatan dengan hemoglobin, dan (3)
sebagai ion bikarbonat. Hemoglobin hanya berada dalam sel darah merah,
sama dengan karbonat anhidrase yang bertindak sebagai katalis dalam
pembentukan HCO3−. H+ yang dihasilkan selama pembentukan HCO3−
juga ikut berikatan dengan Hb. Bikarbonat yang ada berpindah melalui proses
difusi terfasilitasi, keluar sel darah merah dan bergerak menuju plasma, serta
klorida (Cl−) berpindah melalui pembawa pasif yang sama ke dalam sel
darah merah. Di dalam paru-paru, reaksi-reaksi di tingkat jaringan bergerak
sebaliknya, di mana CO2 berdifusi keluar darah dan masuk ke dalam alveolus
(Sherwood, 2014).
Tahap terakhir adalah Perfusi. Perfusi adalah aliran darah melalui
sirkulasi pulmonal (darah dipompa ke paru-paru oleh ventrikel kanan melalui
arteri pulmonal) atau pengisian kapiler pulmonal dengan darah (Tortora dan
Derrickson, 2014). Hubungan ventilasi dan perfusi ditunjukkan dengan
nilai V/Q dalam kapiler paru. Jika nilai V/Q = 1 maka hubungan keduanya
adalah normal. jika V/Q > 1 maka terjadi dead space, namun jika V/Q < 1
maka akan terjadi venous admixture atau shunt. Shunt terjadi jika perfusi ada
namun ventilasi tidak ada. Hal ini dapat diakibatkan karena terjadi obstruksi
dan restriksi di jalan nafas sehingga ventilasi menurun. Obstruksi dan
restriksi dapat disebabkan oleh adanya penyakit seperti COPD (Chronic
Obstuctive Pulmonary disease), pneumonia, ateletaksis, efusi pleura, edema
paru, pneumothorax, dan hematothorax. Sedangkan dead space terjadi karena
ventilasi tanpa perfusi sehingga alveolus tidak memiliki suplai darah yang
cukup untuk pertukaran gas. Tidak adanya perfusi dapat diakibatkan karena
adanya penyakit seperti emboli paru, infark paru, dan shok kardiogenik. Lihat
gambar dibawah ini :

Sumber gambar : (Media Lanecc, 2010)

1. Mekanisme Sesak
Sesak napas atau dispnea adalah sensasi tidak nyaman pada saat
bernapas karena kesulitan atau mengalami gangguan saat melakukan proses
respirasi(Guyton & John, 2011).Hal ini dapat dipengaruhi oleh aspek fisik
seperti riwayat penyakit asma, psikososial seperti kebiasaan merokok, faktor
lingkungan seperti udara yang buruk, dan psikologi seperti rasa takut tidak
mampu untuk menghirup O2dan mengeluarkan CO2sehingga membutuhkan
usaha lebih untuk memenuhi kebutuhan ventilasinya. Dispnea muncul akibat
dari mekanisme dispnea.
Mekanisme dispnea adalah proses terjadinya sensasi dispnea yang
berawal dari aktivasi sensorik ke pusat kontrol pernapasan yang memengaruhi
kognitif dan perilaku penderita (Guyton & John, 2011). Mekanisme dispnea
menghasilkan sensasi yang berbeda-beda, misalnyakekurangan udara dan
keinginan untuk bernapas lebih lega (air hunger), rasa sesak di dada, dada
terasa penuh dan berat, rasa tercekik, dan nafas yang pendek. Sensasi yang
berbeda tersebut ditimbulkan akibat daripengaruh mekanisme dispnea
terhadapmekanisme ventilasi.
Pengaruh mekanisme dispnea dapat menyebabkan gangguan pada
mekanisme ventilasi dan menghasilkan sensasi dispnea. Komponen terlibat
terdiri atas 3 reseptor, yaitu kemoreseptor, mekanoreseptor, dan afferent
mismatch. Ketiga reseptor ini akan merespon aktivasi sensorik dan
menghasilkan sensasi dispnea yang berbeda. Selanjutnya, ketiga reseptor
inijuga melibatkan regulasi pusat kontrol pernapasan dengan otot
respirasiuntuk mengatur mekanisme ventilasi yang tergangguagar menjadi
normal kembali serta menghilangkansensasi yang ada(Sherwood, 2010)
Komponen kemoreseptor dapat mengganggu mekanisme ventilasi
berkaitan dengan perubahan kadar CO2, O2, dan pH dalam darah. Salah satu
faktor yang sangat memengaruhi adalah kadar pCO2 dalam arteri sebagai
sensorik awal yang menstimulus reseptor(Potter & Perry, 2009). Berkaitan
dengan perubahan kadar tersebut,terdapat dua kondisi awal yang muncul
sebagai impuls sensoriknya, yaitu hiperkapnia dan hipoksia.
Hiperkapnia adalah kondisi darah yang kelebihan kandungan CO2
karena terjadinya hipoventilasi (ventilasi yang inadekuat untuk menghirup
oksigen dan melepas CO2). Hipoksia adalah keadaan dimana darah
kekurangan suplai O2 dalam arteri. Hiperkapnia dan hipoksia mengganggu
mekanisme ventilasi karena menyebabkan penumpukan CO2. Akhirnya, paru-
paru mendesak CO2 untuk keluar dan penderita dapat merasakan sensasi
dispnea, yaitu butuh napas (air hunger). Kedua kondisi ini dapat mengaktifkan
kemoreseptor untuk menormalkan mekanisme ventilasi.
Impuls dari hiperkapnia dan hipoksia akan direspon oleh
kemoreseptor, lalu diproses di pusat kontrol pernapasan untuk mengembalikan
mekanisme ventilasi(Potter & Perry, 2009; Sherwood, 2010). Impuls berupa
perubahan kadar pCO2 direspon oleh kemoreseptor pusat yang terletak di
medula oblongata, sedangkan pO2 direspon oleh kemoreseptor perifer yang
terletak di saraf vagus (Black & Hawks, 2014).Kemoreseptor perifer di arteri
karotis dan aorta aktifsaat pCO2meningkat dalam arteri dan secara bersamaan
menyebabkan konsentrasi O2 menurun drastis. Konsentrasi CO2 yang
meningkat di dalam arteri juga menyebabkan konsentrasi CO2dalam CES otak
meningkat dan H+ masuk. Akibatnya, saraf kemoreseptor pusat dalam medula
oblongata terangsang untuk meningkatkan ventilasi dengan caramemerintah
otot respirasiagar bergerak lebih cepat terhadap proses keluar masuk udara
dalam alveolus, sehingga penumpukan CO2 dapat dikeluarkan dan mekanisme
ventilasi kembali normal. Selain kemoreseptor, mekanisme ventilasi yang
terganggu jugaberkaitan dengan mekanoreseptor.
Mekanoreseptor adalah reseptor yang peka terhadap vibrasi, tekanan,
dan reganganyang terjadi saat mekanisme ventilasi terganggu (Sloane, 2003).
Mekanoreseptor ini terdapatdi dinding dada dan paru-paru. Terdapat 3 jenis
reseptor, yaitu (1) J-receptor/C-fibre receptorterdapat di laring, hidung, dan
dinding dada yang berfungsi untuk merespon terjadinya hipoksia dan
mengirim impuls untuk meningkatkan ventilasi melalui saraf vagus(Guyton &
John, 2011). Sebagaimana letak reseptor ini, impuls tersebut dapat
menyebabkan sensasi tercekik pada laring
(2) RAR/irritant receptoradalah reseptor yangpeka terhadap bahan
kimia yang mengganggu, misalnya rokok. Reseptor ini merepson dengan
inflasi atau deflasi pada paru-paru dan (3) SAR receptor terdapatdiotot polos
saluran pernapasan yang peka terhadap pCO 2dan tersambung dengan serabut
saraf aferen dari saraf vagus(Sloane, 2003).Sama halnya dengan RAR, SAR
juga berfungsi untuk memantauperegangan paru-paru. Keduanya
menghasilkan sensasi rasa penuh di dada dan tidak dapat menghirup udara .
Respon mekanoreseptor terhadap mekanisme ventilasi yang terganggu
diawali dengan adanya aktivasi sensoriksaat pCO2 meningkat dan pO2
menurun. J-receptor akan mendeteksi terjadinya hipoksia dan mengirim
impuls melalui saraf vagus ke pusat pernapasan untuk meningkatkan ventilasi.
Bersamaan dengan hal tersebut, paru-paru ikut mengembang karena
penumpukan CO2yang terjadi dan merangsang SAR juga RAR
agarmenyampaikan keadaan peregangan paru-paru ke pusat kontrol
penapasan, lalupusat kontrol pernapasan akan mengirim impuls ke kelompok
respiratorik ventral (KRV)untuk meningkatkan ventilasi (Sherwood, 2010).
Kelompok respiratorik ventral (KRV) adalah kelompok neuron pada
pusat kontrol pernapasan di medula yang terdiri atas neuron inspiratorik dan
neuron ekspiratorik (Sherwood, 2010). KRV akan mengaktifkan impuls
inhibitor pada neuron inspiratorik dan stimulator pada neuron ekspiratorik ke
otot ekspirasi.Hal ini menyebabkan terjadinya proses ekspirasi aktif atau
paksa, yang berbeda dengan ekspirasi pasif pada mekanisme ventilasi normal,
guna mengosongkan paru dari kandungan CO2 yang menumpuk.
Proses ekspirasi paksa melibatkan otot ekspirasi,yaitu otot dinding
abdomen dan interkostal internal yang akan menerima neuron motorik dari
medulaagar berkontraksi lebih kuat. Otot dinding abdomen yang dirangsang
oleh neuron frenikus bekerja dengan cara mendorong diafragma ke posisi
semula, sementara otot interkostal internalyang dirangsang oleh neuron
interkostalis akan berkontraksi menarik rusukke dalam dan membuat dinding
dada menjadi datar, sehingga mengurangi ukuran rongga dada. Rongga dada
yang mengecil memengaruhi pengurangan intensitas dan volume paru-paru.
Akibatnya, tekanan di dalam paru-paru lebih kecil dari tekanan atmosfer dan
intra-alveolus mendorong udara keluar paru-paru dan ekspirasi pun dapat
dilakukan, sehingga mekanisme ventilasi dapat terkontrol kembali (Sherwood,
2010). Selain dari kemoreseptor dan mekanoreseptor, gangguan pada
mekanisme ventilasi juga berkaitan dengan afferent mismatch.
Afferent mismatch dipengaruhi oleh ketidaksesuaian antara ketegangan
pada otot respirasi dengan perubahan panjang otot dan volume yang
dihasilkan. Normalnya, proses respirasi dapat menyeimbangkan kekuatan otot
respirasi dengan volume udara yang diperlukan, tetapi pada mekanisme
dispnea terjadi kelemahan otot respirasi karena tegangan yang dialami,
sehingga sinyal aferen dari otak yang memerintah paru-paru untuk
berkontraksi lebih kuat demi menghirup napas pun gagal. Akibat dari proses
kontraksi yang gagal, penderita dapat merasakan sensasimembutuhkan udara.
A. Neoplasma jinak (Benigna)
a. Kebanyakan benigna:
• Terdiri dari sel-sel yang terdiferensiasi dengan baik yang sangat
mirip dengan sel rekan normalnya.
• Ex: Leiomioma uterus menyerupai sel otot polos uterus
• Terlokalisasi: Tumbuh sebagai massa ekspansif kohesif yang tetap
dilokalkan ke situs asalnya. Selain itu, umunya tidak merusak
jaringan sekitarnya.
• Berkembang perlahan/lambat dengan atrofi komprehensif sel
parenkim yang berdekatan dan banyak memiliki kapsul fibrosa
yang terdefinisi jelas terbentuk dari stroma terkompresi.
• Gagal bermetastasis ke tempat yang jauh dan tidak tumbuh
infiltratif (menyebar).

b. Beberapa tumor jinak biasanya:


• Spontan mengalami kemunduran (pengecilan)
• Dapat perlahan berkembang menjadi keganasan
Scara morfologis, memiliki konsekuensi serius, jika tidak fatal
Klasifikasi dibagi menjadi:

1. Mesenchymal (jaringan struktural, pembululh darah, limfatik)

• Lipoma
• Fibroma
• Osteoma
2. Epithelial

• Pituitary adenoma
• Hepatocellular adenoma

Key word of Benigna: -oma (dari kata onkoma (membengkak) di akhir kata
pada Mesenchymal dan adenoma di akhir jenis epithelial

B. Neoplasma ganas (maligna)


• Bersifat agresif, dapat merusak jaringan sekitarnya, dan mengancam
nyawa

• Karakteristik:
- Anaplasia
- Laju pertumbuhan yang cepat
- Invasi lokal terhadap jaringan
- Bermetastasis dan infiltrative (penyebaran ke seluruh tubuh
melalui aliran limfe/
aliran darah sering menimbulkan kematian)
• Maligna terdiri atas:

1. Tumor padat
• Terbentuk atas massa sel maligna (parenkim), jaringan ikat,
pembuluh darah dan limfa
• Fraksi pertumbuhan rendah
• Ex: karsinoma (pada jaringan epitel), sarkoma (pada jaringan ikat)

2. Kanker hematologi
• Melibatkan sumsum tulang dan j aringan limfoid
• Fraksi pertumbuhan tinggi
• Ex: Leukemia, Limfoma, Multiple myeloma

Karakteristik Maligna :
1. Differensiasi / Anaplasia

 Anaplasia (hilangnya diferensiasi) sehingga bisa dibedakan dengan sel


normal.
 Morfologi anaplasia meliputi:
 Pleomorfisma : variasi ukuran dan bentuk baik sel (anisocytosis)
dan nuklei
(anisokaryosis)
2) Nuklei yang abnormal : kromatin besar, berkerut kasar, dan
terpinggirkan
3) Mitosis : meningkat dan angka mitosis tripolar
4) Hilangnya polaritas: tidak ada orientasi terpolarisasi
5) Nukleus tunggal besar / binukleat / multinukleat
2. laju pertumbuhan (kinetika sel tumor)

Siklus Sel
• Tingkat pertumbuhan jaringan tergantung pada 4 faktor:
1) Peningkatan jumlah sel yang membelah
2) Sel-sel tidak mati sesuai jadwal
3) Rasio yang lebih besar atau tidak seimbang anatara sel-sel
membelah dan sel-sel beristirahat (fraksi pertumbuhan)
4) Penurunan panjang waktu penggandaan massa total (menggandakan
waktu / Td)
• Perubahan dalam kontrak inhibisi (penghentian pertumbuhan
setelah sel datang dalam kontrak dengan sel lain)

3. invasi lokal jaringan


Infiltrasi ekstensif (Invasi)
Invasi merupakan tumor yang tumbuh di sekitar tumor primer atau
penyebaran dari tumor primer ke jaringan sekitarnya. Invasi terjadi secara
infiltrative (merayap dan menyusup) dari tumor primer dan merusak
jaringan sekitarnya.
Karakteristik :
d) Invasi = salah satu penanda utama tumor ganas (malignant) setelah
metastasis.
e) Sulit melakukan operasi pengangkatan, karena tidak terdapat
margin yang jelas
(tidak terdapat kapsul), Sehingga operasi pengangkatannya dengan
margin yang lebar
- Seeding (penyemaian) sel kanker dari sel tumor primer terjadi saat
sel kanker primer mulai mengikis ruang rongga tubuh (mendesak
jaringan).
- Terdapat angiosgenesis (penyuplai makanan sel tumor) sebagai
salah satu indikator pemeriksaan tumor. Dimana memungkinkan
perkembangan pembuluh darah baru dalam tumor.

4. Metastasis

• Merupakan kemampuan berkembangnya sel tumor sekunder pada


organ atau jaringan lain yang jauh dari sel tumor primer. Tumor
metastatik (sekunder) mempertahankan karakteristik tumor primer
sehingga dapat menjadi petunjuk untuk menentukan lokasi tumor primer
dari karakteristik yang dibawa tersebut.
Contoh : sel kanker payudara yang ditemukan di otak dan paru pada
tubuh penderita kanker payudara.
• Jadi, pada contoh tersebut sel kanker payudara = sel primer. Sel
kanker payudara di otak = sel tumor sekunder.
/ Biasanya tumor sekunder lebih dahulu diketahui karena jauh lebih
berkembang dan agak sulit menentukan sel kanker primernya.
Contoh: tumor ginjal benar-benar tidak terdeteksi bahkan ketika lesi
metastasis ditemukan di paru-paru. Tumor sekunder merupakan
indikasi malignant dan penyebab kematian terbesar pada penderita
kanker. Terdapat organ yang jarang/bebas dari metastasis
(selektivitas), yaitu : jantung, kulit dan otot rangka
4 Rute Utama Penyebaran Neoplasma Ganas (Metastasis) dari
Lokasi Primer Berdasarkan PPT Bu Hening
1. Invasi lokal

Rute paling umum; pertumbuhan langsung ke jaringan yang


berdekatan; mungkin juga menyebar di sepanjang jaringan (misalnya,
sepanjang saraf).
2. Penyebaran limfatik

Melalui sistem limfatik. Seringnya pembuluh limfatik ke kelenjar


getah bening lokal.

3. Penyebaran vaskular (blood-borne)

Vena menguras lesi (misalnya, GI ke portal ke hati; sistemik ke paru-


paru (paling sering), sumsum tulang, otak, dan kelenjar adrenal).
4. Penyebaran Transkoelomic

Rongga perut atau tumor thorax menyebar secara langsung melintasi


ruang coelomic dengan menyemai sel yang bermigrasi ke permukaan
organ lain.
c. Klasifikasinya dibagi menjadi:

1. Mesenchymal

• Liposarcoma
• Fibrosarcoma
• Osteosarcoma
2. Epithelial
• Pituitary carcinoma
• Hepatocellular carcinoma

Key word of Maligna: -sarcoma di akhir kata pada Mesenchymal dan


carcinoma di akhir kata pada epithelial
Tabel Ciri yang Membedakan Antara Benigna dan Maligna

Tumor Jinak (Benigna) Tumor Ganas (Maligna)


Serupa sel asal (diferensiasi baik) Tidak sama dengan sel asal
(memperlihatkan kegagalan diferensiasi
selular)
Tepian licin (bersimpai) Tepian tidak rata
Menekan Menyusup (infiltratif)
Tumbuh perlahan Tumbuh cepat
Sedikit vaskuler Vaskuler/sangat vaskuler
Jarang timbul setelah dibuang Sering residif setelah dibuang
Jarang nekrosis dan ulserasi Umumnya nekrosis dan ulserasi

Jarang mengalami efek sistemik kecuali Umumnya mengalami efek sistemik


neoplasma endokrin
Beberapa bermitosis Banyak yang bermitosis (beberapa
dengan bentuk abnormal)
Peningkatan normal atau ringan rasio Tinggi nuklear: rasio sitoplasmik

nukleus : sitoplasma
Variasi bentuk dan ukuran sel
(pleomorphism selular) dan/atau variasi
bentuk dan ukuran nukleus
(pleomorphism nuklear)

6. Karsinogenesis dan penyebab kanker


A. Definisi Karsinogenesis
• karsinogenesis / onkogenesis adalah mekanisme genetik dimana sel
normal diubah menjadi sel tumor.
• Karsinogenesis merupakan proses pembentukan neoplasma atau tumor.
Pada proses ini, sel yang sebelumnya normal berubah menjadi sel
neoplastik yang memiliki sifat tumbuh otonom. Tumor atau neoplasma
dapat terbentuk akibat perubahan genetik atau penyakit genetik
(Pringgoutomo, Himawan, & Tjarta, 2002).
Penyebab kanker tidak lah tunggal, dapat terjadi karena interaksi
beberapa faktor resiko (karsinogen dan keturunan) atau paparan
berulang terhadap agen karsinogenik tunggal.
• Dua jenis gen yang mengontrol pertumbuhan dan replikasi sel normal:

Gen penggerak peningkatan pertumbuhan protooncogens


Gen pengatur penghambat pertumbuhan anti-onkogen (gen
supresor kanker)
Beberapa perubahan yang terjadi pada gen-gen dapat mengakibatkan
transformasi sel dan menjadi gen penyebab kanker.
• Onkogen adalah mutasi dari gen pengatur pertumbuhan normal
Mutasi penyebab proto-onkogen berubah menjadi onkogen menghasilkan
proliferasi sel yang tidak diatur.
B. Mekanisme Karsinogenesis

Karsinogenesis meliputi 3 tahap yaitu:

• Tahap Inisiasi  sel yang terpapar oleh agen karsinogenik dalam


dosis yang tepat membuat sel tersebut rentan untuk bertranformasi
menjadi sel malignant-perubahan irreversible pada genom.

• Tahap Promosi  induksi sel neoplasia oleh berbagai macam


faktor kimia dan pertumbuhan-bersifat reversible jika subtansi promoter
menghilangKAN

• Tahap Progresif  proses di mana sel tumor sudah memiliki


perubahan fenotif malignant yang memungkinkan terjadinya invasi,
kompetensi metastatis, kecenderungan pertumbuhan otonom, dan
meningkatnya ketidakstabilan kariotip.

C. Gen yang Berperan dalam Karsinogenesis


Adapun gen-gen yang berperan adalah sebagai berikut
1. Protoonkogen (gen yang mendorong pengaturan gen). Gen ini
umumnya akan bermutasi atau mengalami ekspresi berlebihan pada
sel normal sehingga menjadi onkogen yang menyebabkan proliferasi
sel tidak teratur.
2. Anti-onkogen/Gen Supresor Tumor (gen penghambat pengaturan
gen). merupkan gen pencegah pertumbuhan yang tidak terkendali.
Apabila kedua alel gen rusak, akan menimbulkan transformasi.
3. Gen yang mengatur program kematian sel (contoh kematian
selnya apoptosis). Gen ini dapat bekerja sebagai protoonkogen
maupun anti-onkogen.
4. Gen pada berbaikan DNA. Sama seperti gen yang mengatur
kematian sel, gen pada perbaikan DNA juga dapat berperan sebagai
proto-onkogen maupun anti-onkogen.

D. Efek Sistemik/General

Pengaruh neoplasma dalam suatu jaringan terhadap jaringan yang lain.


1. Penurunan fungsi suatu organ
Disebabkan oleh terjadinya kerusakan dan penggantian jaringan
parenkim karena pertumbuhan neoplastik. Contohnya, pada kanker
paru akan mempengaruhi fungsi respirasi, saat tumor tumbuh dan
bermetastasi, struktur organ atau jaringan lain akan terpengaruh.
2. Terjadi penekanan pada organ vital yang berdekatan
Pertumbuhan tumor otak dapat menekan struktur vital yang ada
disekitarnya.
3. Obstruksi visera berongga dan ruptur
Pertumbuhan tumor yang meluas dan terjadi penekanan akan menyebabkan
obstruksi visera berongga dan ruptur pada organ berongga.
5. Ulserasi, nekrosis, dan infeksi pada area tumor
Berhubungan dengan iskemia disertai pertumbuhan yang cepat, kemudian
terinfeksi oleh bakteri kanker yang memproduksi enzim dan racun yang
menghancurkan jaringan sekitarnya.
6. Efusi pada rongga serosa
Terjadi karena penurunan aliran limfa atau erosi tumor ke dalam rongga.
7. Nyeri
Nyeri yang tidak sembuh adalah sinyal peringatan kedua kanker. Pembebadan
mediator nyeri oleh tumor, compression, atau iskemia dari struktur (Syahrin,
H. P, 2011). Nyeri merupakan komplikasi yang umum dan ditakuti dari proses
penyakit. Nyeri mungkin disebabkan oleh invasi sel metastasis organ-organ
atau tulang dan aktivasi reseptor nyeri dan tekanan di jaringan ini (Copstead
& Banasik, 2013).
8. Cachexia
Cachexia mengacu pada penurunan berat badan. Beberapa faktor yang
berkontribusi terhadap
kanker cachexia adalah hilangnya nafsu makan (anoreksia) dan peningkatan
laju metabolisme. Penderita kanker mungkin merasa kenyang setelah makan
beberapa gigitan. Mual dan muntah sering terjadi setelah terapi kanker dan
menyebabkan penurunan nutrisi asupan (Copstead & Banasik, 2013).
Kehilangan massa otot dan lemak merupakan akibat dari sitokin yang
diproduksi sel tumor dan TNF (Tumor Necrosis Factor) oleh makrofag.
9. Anemia
Disebabkan oleh pendarahan dan penurunan produksi eritrosit.
10. Produksi hormon yang tidak tepat
Contohnya, produksi hormon kortikosteroid yang tidak terkontrol pada tumor
konteks adrenal seperti zat yang tidak diatur oleh mekanisme umpan balik
normal.
11. Sindrom Paraneoplastik
Pada beberapa pasien kanker terdapat tanda dan gejala yang tidak dapat
dijelaskan dengan anatomi distribusi tumor yang berasal dari jaringan tumor
tersebut (Kumar, Abbas, & Aster, 2015). Manifestasi pada lokasi yang tidak
terpengaruh langsung oleh penyakit. Contoh: kanker mungkin memproduksi
faktor prokoagulasi yang berkontribusi pada peningkatan resiko trombosis
vena.
12. Kerontokan rambut dan peluruhan membrane mukosa
adalah komplikasi terapi radiasi dan kemoterapi. Perawatan ini bertujuan
untuk membunuh sel kanker yang berproliferasi cepat, tetapi sel normal
dengan tingkat pertumbuhan tinggi seperti epitel mukosa dan sel-sel folikel
rambut juga rusak (Copstead & Banasik, 2013).

B.Efek Lokal
Pengaruh neoplasma terhadap jaringan di sekitarnya atau di dekatnya.
Lokasi merupakan penentu penting dari efek klinis tumor jinak atau ganas.
Tumor dapat terjadi di jaringan vital, merusak fungsinya, dan
menyebabkan kematian jaringan yang terlibat.
1. Adenoma hipofisis kecil (1 cm). Meskipun jinak dan tidak
berfungsi, namun dapat menekan dan menghancurkan kelenjar
normal di sekitarnya dan dapat menyebabkan hipopituarisme yang
serius.
2. Kanker yang tumbuh di dalam atau bermetastasis ke kelanjar
endokrin akan menyebabkan kekurangan endokrin dengan
menghancurkan kelenjar tersebut.
3. Neoplasma pada usus, jinak maupun ganas, dapat menyebabkan
obstruksi saat membesar.
4. Jika kanker menghalangi atau terjadi di dekat empedu maka dapat
menyebabkan penyakit kuning pada penderita (Kumar, Abbas, &
Aster, 2015).
9. Staging dan Grading dari Tumor

2 metode dasar dalam klasifikasi kanker adalah:

1. Staging sesuai dengan tahap klinis penyakit


2. Grading sesuai dengan karakteristik histologis dan seluler dari tumor

Kedua metode berguna untuk menentukan jalannya penyakit dan untuk


membantu memilih perawatan yang tepat.
A. Staging

Staging adalah proses mencari tahu/ penentuan klinis dan histopatologik


berdasarkan ukuran tumor
primer, ada atau tidaknya penyebaran ke kelenjar getah bening
regional dan ada atau tidaknya penyebaran jauh (metastatis).

Stading digunakan untuk menentukan kemajuan dan penyebaran klasifikasi


tumor.

Sistem TNM berdasarkan pada:

- Penilaian ukuran dari tumor primer (T)


- Keterlibatan kelenjar getah bening regional (N)
- Ada atau tidaknya metastasis jauh (M)

B. Grading

Grading adalah Penentuan derajat keganasan secara histologik berdasarkan


derajat diferensiasi suatu tumor ganas dan jumlah mitosis yang dilihat
pada pemeriksaan mikroskopik. Penilaian grading ini dilakukan pada
jaringan tumor yang mempunyai sifat anaplastik yang paling besar.
Dikarenakan hanya secara kualitatif, grading kurang mempunyai arti
klinis.
Untuk menentukan tingkat diferensiasi dan jumlah mitosis
Melibatkan pemeriksaan mikroskopik
Kuantifikasi karakteristik tumor sebagai sarana memprediksi hasilnya:
 Derajat diferensiasi
 Ukuran nukleus
 Aktifitas mitosis
 Derajat vaskularisasi
 Ada atau tidaknya kanker nekrosis

A. DEFINISI, ETIOLOGI, DAN FAKTOR RISIKO CA PARU
Kanker paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan
paru-paru dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen, lingkungan, dan utama
asap rokok. Merokok bertanggung jawab atas 80% hingga 90% dari semua
kanker paru-paru.Asap tembakau mengandung 60 karsinogen selain zat (karbon
monoksida, nikotin) yang mengganggu perkembangan sel normal. Paparan asap
tembakau menyebabkan perubahan pada epitel bronkus, yang biasanya kembali
normal saat merokok dihentikan. Risiko kanker paru-paru secara bertahap
menurun dengan berhenti merokok, mencapai risiko yang bukan perokok dalam
10 sampai 15 tahun setelah berhenti.Penilaian risiko kanker paru-paru sekarang
dibagi menjadi tiga kategori: (1) perokok, orang yang sedang merokok;
(2) bukan perokok, orang yang pernah merokok; dan (3) tidak pernah merokok.
Pusat Kanker Memorial Sloan-Kettering telah mengembangkan alat yang
menghitung risiko pengembangan kanker paru-paru bagi perokok dan mantan
perokok yang berhenti 20 tahun lalu atau kurang.

Risiko terkena kanker paru-paru berhubungan langsung dengan paparan total asap
tembakau, diukur dengan jumlah batang rokok merokok seumur hidup, usia mulai
merokok, kedalaman inhalasi, kandungan tar dan nikotin, dan penggunaan tanpa
filter rokok. Asap sidestream (asap dari pembakaran rokok, cerutu) mengandung
karsinogen yang sama yang ditemukan di mainstream asap (asap yang dihirup dan
dihembuskan oleh perokok). Paparan asap rokok ini menciptakan risiko kesehatan
bagi orang dewasa dan anak-anak yang tidak merokok. Penyebab umum lainnya
dari kanker paru-paru termasuk tingkat polusi yang tinggi, radiasi (terutama
paparan radon), dan asbes. Paparan berat atau berkepanjangan terhadap agen
industri seperti pengion radiasi, debu batubara, nikel, uranium, kromium,
formaldehida, dan arsenik juga dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru,
terutama pada perokok. Variasi yang mencolok ada pada kecenderungan
seseorang untuk mengembangkan kanker paru-paru. Meskipun faktor genetik
belum dipahami dengan baik, mutasi pada gen reseptor faktor pertumbuhan
epidermal (EGFR) mungkin terkait dengan kanker paru-paru familial. Juga
berteori bahwa orang memiliki jalur metabolisme karsinogen genetik yang
berbeda. Ini mungkin menjelaskan mengapa beberapa perokok mengembangkan
kanker paru-paru dan yang lainnya tidak.

B. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis kanker paru biasanya tidak spesifik dan muncul terlambat
dalam proses penyakit. Gejala mungkin ditutupi oleh batuk kronis yang
dikaitkan dengan merokok atau penyakit paru-paru yang berhubungan dengan
merokok. Manifestasinya tergantung pada jenis kanker paru primer, lokasinya,
dan penyebaran metastasis. Kanker paru-paru sering bermanifestasi sebagai
pneumonia lobar yang tidak merespon pengobatan. Salah satu gejala kanker
paru-paru yang paling umum, dan sering kali dilaporkan pertama kali, adalah
batuk terus-menerus. Sputum bercampur darah dapat dihasilkan karena
perdarahan yang disebabkan oleh keganasan. Pasien mungkin mengeluh
dispnea atau mengi. Nyeri dada, jika ada, dapat terlokalisir atau unilateral,
berkisar dari ringan sampai berat. Manifestasi selanjutnya termasuk gejala
sistemik nonspesifik seperti anoreksia, kelelahan, penurunan berat badan, dan
mual dan muntah. Suara serak dapat terjadi sebagai akibat dari keterlibatan
saraf laring. Paralisis unilateral dari diafragma, disfagia, dan obstruksi vena
cava superior dapat terjadi karena penyebaran keganasan intratoraks. Kadang-
kadang ada kelenjar getah bening yang teraba di leher atau aksila. Keterlibatan
mediastinum dapat menyebabkan efusi perikardial, tamponade jantung, dan
disritmia.
C. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar tumor paru primer diyakini muncul dari sel epitel yang
bermutasi. Perkembangan mutasi yang disebabkan oleh karsinogen juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik. Setelah dimulai, perkembangan
tumor lanjutan didorong oleh faktor pertumbuhan epidermal. Sel-sel ini
tumbuh perlahan, membutuhkan waktu 8 hingga 10 tahun untuk tumor
mencapai ukuran 1 cm, lesi terkecil yang dapat dideteksi dengan sinar-x.
Kanker paru-paru terjadi terutama di bronkus segmental atau lebih dan
memiliki preferensi untuk lobus atas paru-paru. Kanker paru-paru
bermetastasis terutama dengan ekstensi langsung dan melalui darah dan sistem
getah bening. Situs umum untuk metastasis adalah hati, otak, tulang, kelenjar
getah bening, dan kelenjar adrenal. Sindrom Paraneoplastik. Sindrom
paraneoplastik disebabkan oleh faktor humoral (hormon, sitokin) yang
dikeluarkan oleh sel tumor atau oleh respon imun terhadap tumor. Terkadang
gejala sindrom paraneoplastik bermanifestasi bahkan sebelum diagnosis
keganasan. Contoh sindrom paraneoplastik termasuk hiperkalsemia, sindrom
hormon antidiuretik yang tidak tepat (SIADH), hipersekresi adrenal, gangguan
hematologi, dan sindrom neurologis. SCLC paling sering dikaitkan dengan
sindrom paraneoplastik. Kondisi ini dapat stabil dengan pengobatan
neoplasma yang mendasarinya.
D. PENGKAJIAN

1. Aktivitas/istirahat
• kelelahan, ketidakmampuan untuk mempertahankan rutinitas biasa
• dispnea dengan aktivitas
2. Sirkulasi
• Distensi vena jugularis (jvd), dengan obstruksi vena kava
• bunyi jantung: gesekan perikardial, menunjukkan efusi
• takikardia dan disritmia
• jari clubbing
3. Integritas ego
• perasaan takut, takut akan hasil operasi
• penyangkalan keparahan kondisi dan potensi keganasan
4. Eliminasi
• diare intermiten, karena ketidakseimbangan hormon, sel kecil Kanker paru-
paru (sclc)
• peningkatan frekuensi dan jumlah urin, karena ketidakseimbangan hormonal
(tumor epidermoid)
5. Makanan/cairan
• penurunan berat badan
• nafsu makan buruk, asupan makanan menurun
• kesulitan menelan
• haus, peningkatan asupan cairan
6. Nyeri / ketidaknyamanan
• nyeri dada—biasanya tidak muncul pada tahap awal dan tidak terasa dalam
stadium lanjut
• nyeri mungkin atau mungkin tidak dipengaruhi oleh posisi
• nyeri bahu atau lengan, terutama dengan karsinoma sel besar atau
adenokarsinoma
• nyeri tulang dan sendi—erosi tulang rawan sekunder akibat peningkatan
Hormon pertumbuhan (karsinoma sel besar atau adenokarsinoma)
• sakit perut intermiten
7. Pernafasan
• riwayat merokok; paparan pekerjaan terhadap polutan,
•debu industri, seperti asbes, oksida besi, debu batu bara, atau bahan radioaktif
• Dispnea, diperburuk oleh aktivitas
• Peningkatan fremitus taktil, menunjukkan konsolidasi
• Krekels singkat atau mengi saat inspirasi atau ekspirasi
•Batuk ringan atau perubahan pola batuk biasa, produksi sputum
• Sesak napas
• Suara serak atau perubahan suara, seperti kelumpuhan pita suara
8. Keamanan
•Demam mungkin ada, dengan karsinoma sel besar atau adenokarsinoma
• Memar, perubahan warna kulit, karena ketidakseimbangan hormon (SCLC)
9. Reproduksi
• Ginekomastia, akibat perubahan hormonal neoplastik (karsinoma sel besar)
• Amenore, impotensi, karena ketidakseimbangan hormon (SCLC)
10. Pendidikan Kesehatan
• Faktor risiko keluarga—kanker, terutama paru-paru, tuberkulosis
• Kegagalan untuk meningkatkan
• Penggunaan vitamin atau suplemen herbal, seperti vitamin A, C, E;
riboflavin; asam folat; ashwagandha; Birch; dok kuning; thistle susu; Kunyit;
Jahe; semanggi merah; echinacea; astragalus; jamur reishi dan shiitake; tak
kenal lelah

E. MASALAH KEPERAWATAN & DIAGNOSIS YANG


MUNCUL
1. Mempertahankan atau meningkatkan fungsi pernafasan.
2. Mengontrol atau mengurangi rasa sakit.
3. Dukung upaya untuk mengatasi diagnosis dan situasi.
4. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis,
dan rejimen terapi.
Masalah Keperawatan:
1. Gangguan Pertukaran Gas
2. Pola Napas Tidak Efektif
3. Nyeri Akut
F. RENCANA KEPERAWATAN
Dx. Gangguan Pertukaran Gas

Intervensi Rasional
Catat frekuensi pernapasan, kedalaman, Pernapasan dapat meningkat sebagai
dan kemudahan pernapasan. Observasi akibat dari nyeri atau sebagai
penggunaan otot bantu pernafasan, mekanisme kompensasi awal untuk
pernafasan dengan bibir yang mengakomodasi hilangnya jaringan
dikerutkan, atau perubahan warna kulit paru. Namun, peningkatan kerja
atau membran mukosa, seperti pucat pernapasan dan sianosis dapat
dan sianosis. mengindikasikan peningkatan konsumsi
oksigen dan pengeluaran energi atau
penurunan cadangan pernapasan,
misalnya, pada klien lanjut usia atau
PPOK ekstensif.
Berikan oksigen tambahan melalui Memaksimalkan oksigen yang tersedia,
kanula hidung, masker rebreathing terutama saat ventilasi berkurang
parsial, atau masker wajah dengan karena anestesi, depresi, atau nyeri, dan
kelembapan tinggi, sesuai indikasi. selama periode kompensasi pergeseran
fisiologis sirkulasi ke unit alveolar
fungsional yang tersisa.
Bantu dan dorong penggunaan Mencegah atau mengurangi atelektasis
spirometer insentif. dan meningkatkan reekspansi jalan
napas kecil.
Pantau dan buat grafik ABG dan Penurunan PaO2 atau peningkatan
pembacaan oksimetri nadi. Catatan PaCO2 dapat mengindikasikan
kadar hemoglobin (Hgb). kebutuhan akan dukungan ventilasi.
Kehilangan darah yang signifikan
mengakibatkan penurunan kapasitas
pembawa oksigen, mengurangi PaO2.
Dx Nyeri Akut

Intervensi Rasional
Tanyakan klien tentang nyeri. Tentukan Membantu dalam mengevaluasi gejala
lokasi dan karakteristik nyeri; misalnya, nyeri terkait kanker, yang mungkin
terus menerus, sakit, menusuk, atau melibatkan saraf atau jaringan tulang.
terbakar. Penggunaan skala penilaian membantu
klien dalam menilai tingkat nyeri dan
menyediakan alat untuk mengevaluasi
efektivitas analgesik, meningkatkan
kontrol klien terhadap nyeri.
Minta klien menilai intensitas pada Perbedaan antara isyarat verbal dan
skala 0 hingga 10. nonverbal dapat memberikan petunjuk
untuk tingkat nyeri dan kebutuhan dan
efektivitas intervensi.
Kaji isyarat nyeri verbal dan nonverbal Ketakutan, kesusahan, kecemasan, dan
klien. kesedihan atas diagnosis kanker yang
dikonfirmasi dapat mengganggu
kemampuan untuk mengatasinya.
Catat kemungkinan penyebab Persepsi nyeri dan pereda nyeri bersifat
patofisiologis dan psikologis nyeri. subjektif, sehingga manajemen nyeri
Evaluasi keefektifan kontrol nyeri. sebaiknya diserahkan kepada
Dorong pengobatan yang cukup untuk kebijaksanaan klien. Jika klien tidak
mengatasi nyeri; mengubah obat atau dapat memberikan masukan, perawat
rentang waktu yang sesuai. harus mengamati tanda-tanda fisiologis
dan nonverbal nyeri dan memberikan
obat secara teratur.
Dorong verbalisasi perasaan tentang Ketakutan dan kekhawatiran dapat
nyeri. meningkatkan ketegangan otot dan
menurunkan
ambang persepsi nyeri
Berikan tindakan kenyamanan seperti Mempromosikan relaksasi dan
sering mengubah posisi, menggosok mengarahkan perhatian. Meredakan
punggung, dan menopang dengan ketidaknyamanan dan menambah efek
bantal. Dorong penggunaan teknik terapeutik analgesia.
relaksasi termasuk visualisasi, imajinasi
terbimbing, dan aktivitas pengalihan
yang tepat.
Jadwalkan waktu istirahat; memberikan Mengurangi kelelahan dan menghemat
lingkungan yang tenang. energi, meningkatkan kemampuan
koping.
Bantu dengan analgesia yang dikontrol Mempertahankan tingkat obat yang
pasien (PCA) atau analgesia melalui konstan menghindari periode siklus
kateter epidural. Berikan analgesik nyeri, membantu penyembuhan otot,
intermiten secara rutin, sesuai indikasi, dan meningkatkan fungsi pernapasan
terutama 45 hingga 60 menit sebelum serta kenyamanan dan koping
perawatan pernapasan, dan latihan emosional
pernapasan dalam dan batuk.

G. TERAPI MEDIKASI

1. Bedah
Modalitas ini adalah terapi utama utama untuk sebagian besa KPBSK,
terutama stadion I-II dan stadion IIIA yang masih dapat direseksi setelah
kemoterapi neoadjuvan. Jenis yang yang dapat dilakukan adalah lobektomi,
segmentektomi dan reseksi sublobaris. Pilihan utama adalah lobektomi
yang menghasilkan angka kehidupan yang paling tinggi. Namun, pada
pasien dengan komorbiditas kardiovaskular atau kapasitas paru yang lebih
rendah, pembedahan segmentektomi dan reseksi sublobaris paru dilakukan.
2. Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana
kanker paru. Radioterapi dalam tatalaksana kanker paru Bukan Sel Kecil
(KPKBSK) dapat berperan di semua stadium KPKBSK sebagai terapi
kuratif definitif, kuratif neoajuvan atau ajuvan maupun paliatif. Radioterapi
kuratif definitif pada sebagai modalitas terapi dapat diberikan pada NSCLC
stadium awal (Stadion I) yang secara medis inoperabel atau yang menolak
operasi setelah evaluasi bedah thoraks dan pada stadium lokal lanjut
(Stadium II dan III) konkuren dengan kemoterapi. Pada pasien yang tidak
bisa mentoleransi kemoradiasi konkuren, dapat juga diberikan kemoterapi
sekuensial dan radiasi saja. Pada resektabel Stadium IIIA pasien,
kemoterapi pre operasi dan radiasi pasca operasi merupakan pilihan. Pada
pasien Stadium IV, radioterapi diberikan sebagai paliatif atau pencegahan
gejala (nyeri,perdarahan, obstruksi).
3. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoadjuvant pada stadium
dini, atau sebagai adjuvant pasca operasi. Terapi adjuvant dapat diberikan
pada KPKBSK stadium IIA, IIB dan IIIA. Pada stadium KPKBSK lanjut,
kemoterapi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan jika tampilan umum
pasien baik (Karnofsky >60; WHO 0-2). Namun, guna-guna terbesar
adalah sebagai terapi paliatif pada pasien dengan stadium lanjut.
4. Terapi target
Terapi target diberikan pada penderita dengan stadium IV KPKBSK EGFR
mutasi positif yang sensitif terhadap EGFR-TKI. Terapi EGFRTKI yang
tersedia yaitu Gefitinib, Erlotinib atau Afatinib.
5. Terapi kombinasi
Terapi radiasi dan kemoterapi dapat diberikan pada kasus-kasus tertentu,
terutama yang tidak memenuhi syarat untuk menjalani pembedahan. Selain
itu, terapi kombinasi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan pada pasien
dengan tampilan umum baik (Karnofsky >70%) dan penurunan berat badan
minimal, dan pasien usia lanjut yang mempunyai komorbiditas berat atau
kontraindikasi operasi
DAFTAR PUSTAKA

Aster, Jon. C et al. (2013). Buku Ajar Patologi Robbins. Singapore: Elsevier
th
Copstead, L. C., & Banasik, J. L. (2013). Pathophysiology 5 ed. Missouri:
Elsevier Saunders.
Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2015). Robbins and Cotran Pathologic
th
Basis of Disease 9 ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders.
Kuntarti. (n.d). Neoplasia: Pemantapan IDK. Depok: Universitas Indonesia.

McGraw-Hill Medical. (n.d). Chapter 4 Neoplasia. Retrieved from


https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=499&sectionid=41568287

Pita Kuning. (2016). KENALI TAHAPAN TERJADINYA KANKER


(KARSINOGENESIS) DAN RESIKO PENYEBAB KANKER SEJAK
DINI. Retrieved April 10, 2018, from
http://pitakuning.or.id/2016/08/30/kenali-tahapan-terjadinya-kanker-
karsinogenesis-dan-resiko-penyebab-kanker-sejak-dini/

Porth, C.M., Grossman, S. (2014). Porth’spathophysiology: Consepts of alteresss


th
health states 9 edition. China: Lippincot Williams & Wilkins.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. In Patofisiologi (6 Edition, p. 734). Jakarta: EGC.
Pringgoutomo, S., Himawan, S., & Tjarta, A. (2002). Buku ajar patologi I
(umum). Jakarta: Sugeng Seto.
Pujasari. (2011). Neoplasia. Basic Science and Fundamental Of
Nursing Group Faculty Of Nursing Universitas Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia.
Syahrin, H. P. (2011). Neoplasia. Depok: Universitas Indonesia.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing Care Plan:
guidelines for individualizing client care across the life span 8th ed.
Philadelphia: Davis Company.
Persatuan Dokter Paru Indonesia. (2020). Panduan Pelaksanaan Kanker Paru.
https://doi.org/10.5860/CHOICE.41-4081

Anda mungkin juga menyukai