Focus Group - 4
MARET 2019
ABSTRAK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit tidak menular yang
dapat menyebabkan kematian. PPOK seringkali dialami oleh masyarakat
Indonesia. Ketika suatu saat menemukan pasien dengan diagnosis PPOK,
tentunya seorang perawat harus memahami PPOK. Dalam makalah ini akan
dijelaskan mengenai patofisiologi PPOK, faktor-faktor yang mempengaruhi
PPOK, serta asuhan keperawatannya (terdiri dari pengkajian, diagnosis,
perencanaan, implementasi dan evaluasi). Tujuan penulisan makalah ini yaitu
membantu mahasiswa untuk mengetahui dan memahami Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK) beserta asuhan keperawatan yang tepat. Metode yang digunakan
adalah menggunakan studi literatur, baik melalui jurnal, e-book ataupun melalui
proses diskusi kelompok.
1
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................2
1.4 Sistematika penulisan....................................................................................2
BAB 2......................................................................................................................4
2.1 Definisi PPOK...............................................................................................4
2.2 Etiologi PPOK...............................................................................................4
2.3 Klasifikasi/Jenis PPOK.................................................................................5
2.4 Syarat Menegakkan Diagnosis PPOK...........................................................6
2.5 Patofisiologi & Komplikasi pada PPOK.....................................................10
2.6 Tanda & Gejala PPOK................................................................................12
2.7 Web of Causation (WOC) PPOK................................................................14
2.8 Faktor Predisposisi dan Presipitasi PPOK..................................................15
2.9 Kelompok yang Rentan Mengalami PPOK................................................17
BAB 3....................................................................................................................18
3.1 Pengkajian...................................................................................................18
3.2 Diagnosis.....................................................................................................19
3.3 Penatalaksanaan Pasien PPOK....................................................................21
3.4 Perencanaan................................................................................................22
BAB 4....................................................................................................................35
4.1 Kesimpulan.................................................................................................35
4.2 Saran............................................................................................................35
2
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah asuhan keperawatan pada pasien
dengan PPOK. Pokok permasalahan tersebut akan dijelaskan dalam pertanyaan-
pertanyaan berikut :
1. Bagaimana definisi, etiologi, jenis, dan syarat menegakkan diagnosis
PPOK?
2. Bagaimana patofisiologi PPOK, tanda dan gejala PPOK (umum &
khusus), komplikasi PPOK, dan mengapa PPOK kenapa tidak
menular?
3. Bagaimana Web of Causation (WOC) PPOK?
4. Bagaimana faktor predisposisi, presipitasi, dan kelompok rentan
PPOK?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien PPOK?
BAB I Pendahuluan
BAB II Isi
Bab ini berisi uraian mengenai definisi, etiologi, tanda dan gejala
PPOK serta proses keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan PPOK. Bagian isi ditulis
menggunakan metode studi literatur.
2
Universitas Indonesia
BAB III Pembahasan
BAB IV Penutup
3
Universitas Indonesia
BAB 2
ISI
Selain itu faktor -faktor yang berpengaruh pada perjalanan dan perburukan
PPOK antara lain:
a) Faktor genetik
4
Universitas Indonesia
g) Bronkitis kronis
5
Universitas Indonesia
PPOK Sedang penyempitan jalan % 50% ≤ FEV1 pasien datang
napas, ada sesak < 80% prediksi berobat karena
napas terutama pada eksaserbasi atau
saat exercise keluhan
pernapasan kronik
Derajat 3 : Perburukan FEV1/FVC<70
PPOK Berat penyempitan jalan %
napas yang semakin 30%≤FEV1<50
berat, sesak napas %prediksi
bertambah,
kemampuan
exercise berkurang
berdampak pada
kualitas hidup
Derajat 4 : Penyempitan jalan FEV1/FVC<70 Sering disertai
PPOK Sangat napas yang berat % komplikasi. Pada
Berat FEV1<30% kondisi ini
Prediksi atau kualitas hidup
FEV1<50% rendah dan sering
Prediksi dengan disertai
gagal napas eksaserbasi
kronik berat/mengancam
jiwa
1. Gambaran Klinis
1) Anamnesis
6
Universitas Indonesia
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
2) Pemeriksaan Fisis
Inspeksi
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
7
Universitas Indonesia
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
Pink puffer
Blue bloater
8
Universitas Indonesia
2. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan rutin
a) Faal paru
• Uji bronkodilator
b) Darah rutin
c) Radiologi
9
Universitas Indonesia
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema akan terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Diafragma mendatar
- Normal
2) Pemeriksaan khusus
a) Faal paru
- Sgaw meningkat
10
Universitas Indonesia
- Jentera (treadmill)
f) Radiologi
g) Elektrokardiografi
11
Universitas Indonesia
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
h) Ekokardiografi
i) Bakteriologi
a. Emfisema
Emfisema merupakan fenomena hilangnya elastisitas paru dan
perbesaran abnormal pada ruang alveolar yang didampingi dengan
kerusakan dinding alveolar. Emfisema dapat disebabkan oleh kelainan
12
Universitas Indonesia
genetik atau paparan zat iritan dalam jangka waktu yang lama. Emfisema
karena kelainan genetik disebabkan oleh defisiensi enzim α 1-antitrypsin.
Enzim α1-antitrypsin berfungsi untuk mempertahankan elastin pada
dinding alveolar sehingga dinding alveolar tetap elastis serta dapat
mengembang dan mengempis dengan baik. Kerja enzim α1-antitrypsin
antagonis dengan jenis enzim protease seperti elastase yang produksinya
dipicu oleh inflamasi (Grossman & Porth, 2014). Zat iritan, seperti asap
rokok atau polutan udara, yang masuk ke dalam rongga alveolar memicu
terjadinya inflamasi sehingga terjadi peningkatan protease dalam rongga
alveolar, penningkatan protease menyebabkan penguraian elastin dan
komponen dinding alveolar sehingga dinding alveolar kehilangan
elastisitasnya. Dinding alveolar yang tidak elastis menyebabkan penurunan
ekspirasi sehingga udara terperangkap dalam rongga alveolar (Nair &
Peate, 2013). Alveolar akan menjadi semakin besar seiring dengan
peningkatan jumlah volume udara yang terperangkap dalam alveolar
namun dinding alveolar akan mengalami peluruhan sehingga jumlah
alveolar akan semakin berkurang dan terjadi emfisema.
Emfisema karena zat iritan umumnya disebabkan oleh asap rokok.
Proses yang terjadi tidak jauh berbeda dengan emfisema karena kelainan
genetik. Paparan zat iritan dalam jangka waktu yang lama memicu
inflamasi yang mengakibatkan peningkatan protease dalam rongga
alveolar. Apabila jumlah protease melebihi α1-antitrypsin, penguraian
elastin akan meningkat sehingga dinding alveolar akan kehilangan
elastisitasnya. Dinding alveolar yang tidak elastis menyebabkan ekspirasi
tidak maksimal sehingga terjadi akumulasi udara yang terperangkap dalam
alveolar (Nair & Peate, 2013). Akumulasi udara yang terperangkap dalam
alveolar mengakibatkan perbesaran alveolar dan pengurangan jumlah
alveolar.
b. Bronkhitis Kronis
13
Universitas Indonesia
iritan seperti asap rokok. Paparan terhadap zat iritan memicu hipertropi
kelenjar mukus dalam trakea dan bronkus dan peningkatan jumlah sel
goblet pada permukaan epitelium bronkhi dan bronkhiolus. Selain itu, zat
iritan juga memicu inflamasi dengan adanya limfosit, makrofag, dan
neutrofil tanpa adanya eosinofil sehingga berbeda dengan asthma (Kumar,
Robbins, Abbas, & Aster, 2013). Inflamasi yang terjadi juga dapat
menyebabkan emfisema sehingga bronkhitis dan emfisema dapat terjadi
bersamaan. Walaupun begitu, hal yang menjadi ciri utama bronkhitis
kronis merupakan hipersekresi mukus. Hipersekresi mukus dapat
menyebabkan sumbatan pada saluran napas kecil. Apabila hipersekresi
mukus tersebut tidak dapat dikeluarkan, hal tersebut dapat menjadi media
perkembangan mikroba yang menyebabkan eksaserbasi.
14
Universitas Indonesia
2.7 Web of Causation (WOC) PPOK
15
Universitas Indonesia
2.8 Faktor Predisposisi dan Presipitasi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dipengaruhi oleh dua jenis
faktor. yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi
merupakan faktor yang telah ada pada diri individu yang meliputi genetik, usia,
dan pertumbuhan paru.
1. Genetik
Menurut Kemenkes Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008, faktor
genetik yang menyebabkan PPOK adalah defisiensi alfa 1 antitripsin, yang
merupakan suatu serin protease inhibitor. Faktor genetic ini hanya
berkontribusi sedikit pada PPOK yaitu 1 sampai 3%. Oleh karena itu,
PPOK yang disebabkan oleh genetik jarang terdapat di Indonesia
(Oemiati, 2013).
2. Usia
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Octaria (2010),
umumnya 62,9% pasien penderita PPOK usianya berada di atas 60 tahun.
Hal ini disebabkan karena sistem kardiorespirasi pada usia di atas 50 tahun
akan mengalami penurunan fungsi atau daya tahan (Muthmainnah,
Restuastuti, & Munir, 2015). Organ paru akan mengalami penurunan
fungsi seiring bertambahnya usia, disebabkan karena berkurangnya
elastisitas jaringan paru dan dinding dada, yang dapat menyebabkan sulit
bernapas.
3. Pertumbuhan dan perkembangan paru
16
Universitas Indonesia
1. Polusi udara
Polusi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu polusi di dalam ruangan
(indoor) dan polusi di luar ruangan (outdoor). Menurut Kemenkes Nomor
1022/MENKES/SK/XI/2008, Polusi di dalam ruangan seperti asap
kompor, asap kayu bakar, asap rokok, asap obat nyamuk bakar, sedangkan
polusi di luar ruangan seperti asap kendaraan bermotor, gas buang industri,
debu jalanan dan polusi yan terjadi di tempat kerja seperti bahan kimia, zat
iritasi dan gas beracun. Polutan indoor yang berbahaya adalah SO2, NO2,
dan CO, yang merupakan hasil dari memasak dan kegiatan pemanasan,
zat-zat organic yang mudah menguap, dan lergi dari gas serta perokok
pasif (Oemiati, 2013). Polutan outdoor yang paling berbahaya adalah
Cadmium, Zinc dan debu.
2. Asap rokok
Asap rokok merupakan faktor risiko yang sering terjadi. Perokok
dibedakan menjadi perokok aktif dan pasif. Perokok aktif dapat
mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik,
sedangkan perokok pasif juga ikut menyumbang terhadap symptom
saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya (Oemiati, 2013). Gas – gas
berharga yang terdapat dalam asap rokok, antara lain terdiri dari aseton,
amonia, arsen, butane, cadmium, CO, DDT, hydrogen sianida, methanol,
naftalen, toluene, dan vinil klorida.
Menurut Kemenkes Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008, terdapat
keterkaitan antara rokok dengan PPOK yaitu berkaitan dengan dose
response. Dose response merupakan jumlah batang rokok yang
dikonsumsi perhari oleh individu dikalikan dengan jumlah hari lamanya
merokok (tahun). Misalnya, jika terdapat seseorang yang merokok sehari
sebungkus, dia akan menderita bronchitis kronik minimal setelah 10 tahun
merokok.
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang
17
Universitas Indonesia
2.9 Kelompok yang Rentan Mengalami PPOK
Kelompok yang rentan mengalami PPOK diantaranya adalah :
1. Perokok aktif atau pasif, menurut Oemiati (2013), di negara berkembang
prevalensi tertinggi terjadinya PPOK atau gangguan respirasi lainnya
adalah para perokok, baik perokok aktif maupun pasif yaitu sebesar 95%
kasus.
2. Laki-laki, berdasarkan penelitian Setyorini, ditemukan bahwa mayoritas
pasien penyakit paru obstruktif kronis adalah laki-laki yaitu sebesar 66,7%
(Rosha & Dewi, 2018). Hal ini disebabkan karena umumnya laki-laki
memiliki kebiasaan merokok dibandingkan perempuan.
3. Usia di atas 45 tahun, hal ini disebabkan karena pada usia ini telah
mengalami penurunan fungsi paru selain itu apabila pasien tersebut masih
merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya PPOK.
4. Ibu Hamil. Ibu hamil yang terkena paparan asap rokok, polusi udara dan
sebagainya, memiliki risiko tinggi untuk terjadinya PPOK. Hal ini juga
dapat mempengaruhi janin yang terdapat dalam kandungan ibu, yang
dimana akan mempengaruhi pertumbuhan paru-paru pada janin (Oemiati,
2013).
5. Pekerja yang bekerja di lingkungan yang berdebu dan berbahaya terhadap
paparan pestisida, seperti pekerja tambang emas, batu bara, industri gelas
dan keramik yang terpapar debu silika, atau asbes. Hal ini diakibatkan
karena bahan kimia dan debu yang dihirup dalam pekerjaan tersebut akan
mengendap dan dalam kurun waktu tertentu dapat menyebabkan kerusakan
jaringan paru (Muthmainah, Restuastuti, & Munir, 2015).
18
Universitas Indonesia
BAB 3
PEMBAHASAN
Kasus Pemicu 1 :
Sebuah kasus yang terjadi pada seorang pria berusia 67 tahun, dirawat di
ruang penyakit dalam dengan diagnosis medis PPOK dengan eksaserbasi karena
pneumonia. Klien masuk RS dengan keluhan sesak napas berat sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak kental dan banyak. Klien
mengeluhkan sesak bertambah saat berjalan ataupun beraktifitas. Dari hasil
pengkajian didapatkan klien adalah seorang perokok sejak remaja. Pada
pemeriksaan fisik saat ini didapatkan frekuensi napas 30 x/mnt, nadi 92x/mnt, TD
160/90 mmHg. Klien tampak lemah dan terpasang oksigen nasal kanul 2 liter
permenit.
3.1 Pengkajian
19
Universitas Indonesia
berjalan/beraktivita
s
3.2 Diagnosis
20
Universitas Indonesia
sejak remaja obstruksi jalan napas oleh atau eliminasi karbon
- Frekuensi napas sekresi, kerusakan alveoli. dioksida di membran
30x/menit kapiler-alveolar.
- TD 160/90 mmHg
- Terpasang oksigen nasal Karakteristik (ditandai
kanul 2 liter/menit dengan) :
DS : Dispnea, ketidakmampuan
- Mengalami sesak napas membuang sekret,
berat sejak 2 hari perubahan tanda vital,
sebelum masuk RS penurunan toleransi
- Batuk berdahak kental terhadap aktivitas, nilai
dan banyak ABGs abnormal (hipoksia
- Mengalami sesak saat dan hiperkapnea), pH
berjalan/beraktivitas arteri tidak normal,
- Klien tampak lemah ketidaknormalan
Pengkajian lanjutan : frekuensi, irama, dan
- Pemeriksaan Arterial kedalaman pernapasan.
Blood Gasses (ABGs)
- Pemeriksaan suara paru,
kedalaman, usaha napas,
dan produksi sputum
3 DO : Etiologi (berhubungan Intoleransi aktivitas
- Frekuensi napas dengan) : Definisi : ketidakcukupan
30x/menit Ketidakseimbangan antara energi fisiologis atau
- TD 160/90 mmHg suplai dan kebutuhan psikologis untuk
- Terpasang oksigen nasal oksigen, kelemahan, melanjutkan atau
kanul 2 liter/menit ketidaknyamanan setelah menyelesaikan aktivitas
DS : beraktivitas, batuk sehari-hari yang ingin
- Mengalami sesak napas berlebihan, dispnea. atau harus dilakukan.
berat sejak 2 hari
sebelum masuk RS Karakteristik (ditandai
- Batuk berdahak kental dengan) :
dan banyak Lemah dan dispnea.
21
Universitas Indonesia
- Mengalami sesak saat
berjalan/beraktivitas
- Klien tampak lemah
Pengkajian lanjutan :
- Pemeriksaan tingkat
kemampuan pasien untuk
berpindah dari tempat
tidur dan berdiri
- Pemeriksaan respons
emosi, sosial, dan
spiritual terhadap
aktivitas
22
Universitas Indonesia
Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi diagnosis beratnya
eksaserbasi (derajat sesak, frekuensi napas, kesadaran, tanda vital, analisis gas
darah, pneumonia), terapi oksigen adekuat, yang bertujuan untuk memperbaiki
hipoksemi dan sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%,
evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan
(ventury mask) 24%, 28%, atau 32%, lalu perhatikan apakah sungkup rebreathing
atau nonreabreathing (tergantung kadar PaO2 dan PaCO2). Bila terapi oksigen
tidak mencapai oksigenisasi yang adekuat, maka dilakukan ventilasi mekanik
yang diusahakan penggunaannya dengan Noninvasive Positive Pressure
Ventilation (NIPPV), bila ventilasi mekanik tidak berhasil, maka digunakan
dengan intubasi. Lalu perhatikan juga pemberian obat-obatan yang diperlukan
(antibiotik, bronkodilator, dan kortikosteroid), nutrisi adekuat untuk mencegah
starvation (oleh hipoksemia berkepanjangan) dan menghindari kelelahan otot
bantu napas, lalu perhatikan juga ventilasi mekanik, kondisi lain yang
berkaitan (monitor blans cairan elektrolit, pengeluaran sputum, gagal jantung
atau aritmia), dan evaluasi ketat progesiviti penyakit karena penanganan yang
tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan dapat berujung pada kematian
(PDPI, 2003).
3.4 Perencanaan
Prioritas dalam keperawatan
Tujuan pemulangan
23
Universitas Indonesia
A. Diagnosa keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan napas
24
Universitas Indonesia
skala 4 (sering menujukkan) minimum, mis : debu, bulu proses akut yang menimbulkan perawatan
misal batuk efektif dan bantal yang berhubungan RS mis: infeksi/reaksi alergi
d. Peninggian kepala tempat tidur
mengeluarkan sekret dengan kondisi individu
mempermudah fungsi pernapasan dengan
menggunakan gravitasi. Sokongan
tangan/kaki dengan meja, bantal, dll
membantu menurunkan kelemahan otot dan
dapat sebagai alat ekspansi dada
e. Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang
dapat mentriger episode akut
Mandiri Mandiri
25
Universitas Indonesia
air hangat. Anjurkan masukan menurunkan spasme bronkus. Cairan selama
cairan antara, sebagai pengganti makan dapat meningkatkan distensi gaster
makan dan tekanan pada diafragma
Kolaborasi Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi
a. Merilekskan otot halus dan menurunkan
a. Bronkodilator, mis: epinefrin, kongesti lokal, menurunkan spasme jalan
albuterol, terbutalin, isoetarin, napas, mengi, dan produksi mukosa
b. Xiantin mis: aminofilin,
(peroral, injeksi, atau inhalasi)
oxtrifilin, teofilin b. Menurunkan edema mukosa dan spasme
c. Kromolin (Intal), flunisolida
otot polos, menurunkan kelemahan
(aerobid)
otot/kegagalan pernapasan dengan
d. Steroid oral, IV, dan inhalasi,
kontraktilitas diafragma
metilprednisolon (Medrol),
c. Menurunkan inflamasi jalan napas lokal
deksametason, antihistamin
dan edema dengan menghambat efek
e. Antimikrobial
f. Analgesik, penekan histamine dan mediator lain
d. Kortikorsteroid digunakan untuk mencegah
batuk/antitusif mis:kodein,
reaksi alergi/menghambat pengeluaran
produk dextromentrofan
g. Berikan humidifikasi tambahan histamin, menurunkan berat dan frekuensi
26
Universitas Indonesia
mis: nebulizer ultranik, spasme jalan napas, inflamasi pernapasan,
humidifier aerosol ruangan dan dispnea
h. Bantu pengobatan pernapasan, e. Banyak antimikrobial dapat diindikasikan
mis: IPPB, fisioterapi dada untuk mengontrol infeksi
i. Awasi/buat grafik seri GDA,
pernapasan/pneumonia (terapi dapat
nadi oksimetri, foto dada
meningkatkan aliran udara dan memperbaiki
hasil)
f. Batuk menetap yang melelahkan perlu
ditekan untuk menghemat energy dan
memungkinkan pasien istirahat
g. Kelembaban menurunkan kekentalan secret
mempermudah pengluaran dan dapat
membantu menurunkan atau mencegah
pembentukan mukosa tebal pada bronkus
h. drainase postural dan perkusi bagian penting
untuk membuang banyaknya sekresi/kental
dan memperbaiki ventilasi pada segmen
dasar paru. Catatan : dapat meningkatkan
spasme bronkus pada asma
i. Membuat dasar untuk pengawasan
27
Universitas Indonesia
kemajuan/kemunduran proses penyakit dan
komplikasi
Pendidikan Kesehatan Pendidikan Kesehatan
28
Universitas Indonesia
Asuhan Keperawatan: Intervensi pada Pasien PPOK
29
Universitas Indonesia
(secara konsisten bertahap dan tingkatkan sesuai sehari-hari karena hipoksemia dan dyspnea. Istirahat
menunjukkan) dalam toleransi individu diselingi aktivitas perawatan masih penting dari
f. Awasi tanda vital dan irama
tingkat kemampuan/situasi progam pengobatan. Namun, progam latihan
jantung
ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan
kekuatan tanpa menyebabkan dyspnea berat, dan
dapat meningkatkan rasa sehat
f. Takikardia, disritmia, dan perubahan TD dapat
menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi
jantung
Mandiri Mandiri
a. Tinggikan kepala tempat tidur, a. Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi
bantu pasien untuk memilih duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan
posisi yang mudah untuk kolaps jalan napas, dispnes, dan kerja napas
b. Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber
bernapas. Dorong napas dalam
utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas
perlahan atau napas bibir sesuai
kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak
kebutuhan/toleransi individu
b. Dorong mengeluarkan sputum, efektif
c. Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan
penghisapan bila diindikasikan
c. Palpasi fremitus cairan atau udara terjebak
Kolaborasi Kolaborasi
a. Awasi/gambarkan seri GDA dan a. PaCO2 biasanya meningkat (bronchitis, efisema) dan
30
Universitas Indonesia
nadi oksimetri PaO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia
b. Berikan oksigen tambahan yang
terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
sesuai dengan indikasi hasil GDA
Catatan: PaCO2 normal/meningkat menandakan
dan toleransi pasien
kegagalan pernapasan yang akan datang selama
c. Berikan penekan SSP (mis;
asmatik
antiansietasm sedative, dll)
b. Dapat memperbaiki /mencegah memburuknya
dengan hati-hati
hipoksia. Catatan : emfisem akronis, mengatur
d. Bantu intubasi,
pernapasan pasien ditentukan oleh kadar CO2 dan
berikan/pertahankan ventilasi
mungkin dikeluarkan dengan peningkatan PaO2
mekanik, dan pindahkan ke UPI
berlebihan
sesuai instruksi untuk pasien
c. Digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang
meningkatkan konsumsi oksigen/kebutuhan,
eksaserbasi dyspnea. Dipantau ketat karena dapat
terjadi gagal napas
d. Terjadinya kegagalan napas yang akan datang
memerlukan upaya tindakan penyelamatan hidup
Pendidikan Kesehatan Pendidikan Kesehatan
a. Instruksikan/kuatkan rasional a. Napas bibir dan napas abdominal/diafragmatik
untuk latihan napas, batuk menguatkan otot pernapasan, membantu
efektif, dan kondisi umum (jika meminimalkan kolaps jalan napas kecil, dan
31
Universitas Indonesia
memungkinkan) memberikan indivisdu arti untuk mengontrol dispnea.
b. Diskusikan faktor individu yang
Latihan kondisi umum meningkatkan toleransi
meningkatkan kondisi, mis: udara
aktivitas, kekuatan otot, dan rasa sehat
terlalu kering, angina, lingkungan b. Faktor lingkungan ini dapat
dengan suhu ekstrem, serbuk, menimbulkan/menigkatkan iritasi bronkial
asap tembakau, sprei aerosol, menimbulkan peningkatan produksi secret dan
polusi udara. Dorong hambatan jalan napas.
c. Pengehntian merokok dapat
pasien/orang terdekat untuk
memperlambat/menghambat kemajuan PPOM.
mencri cara mengontrol faktor ini
Namun, meskipun pasien ingin menghentikan
dan sekitar rumah
c. Kaji efek bahaya dan nasehatkan merokok, diperlukan kelompok pendukung dan
menghentikan rokok pada pasien pengawasa medik
dana tau orang terdekat
32
Universitas Indonesia
enunjukkan peningkatan toleransi
a. Evaluasi respons pasien terhadap a. Menetapkan kemampuan/
terhadap aktivitas dipertahankan dari
aktivitas. Catat laporan dyspnea, kebutuhan pasien dan
skala 2 (banyak terganggu)
peningkatan kelemahan/kelelahan memudahkan pilihan intervensi
ditingkatkan ke skala 5 (tak terganggu) b. Menurunkan stress dan rangsangan
dan perubahan tanda vital selama
yang dapat diukur dengan tak adanya berlebihan, meningkatkan
dan setelah aktivitas
dyspnea, kelemahan berlebihan, dan b. Berikan lingkungan tenang dan instirahat.
tanda vital dalam rentang normal c. Tirah baring dipertahankan selama
batasi pengunjung selama fase akut
fase akut untuk menurunkan
sesuai indikasi, dorong
kebutuhan metabolik, menghemat
penggunaan manajemen stress dan
energi untuk penyembuhan.
pengalihan yang tepat
c. Jelaskan pentingnya istirahat Pembatasan aktivitas ditentukan
dalam rencana pengobatan dan dengan respons individual pasien
perlunya keseimbangan aktivitas terhadap aktivitas dan perbaikan
dan istirahat kegagalan pernapasan
Mandiri Mandiri
33
Universitas Indonesia
diperlukan. Berikan kemajuan bantal
b. Meminimalkan kelelahan dan
peningkatan aktivitas selama fase
membantu keseimbangan suplai
penyembuhan
dan kebutuhan oksigen
Pendidikan Kesehatan Pendidikan Kesehatan
a. Berikan informasi tentang a. Mempunyai pengetahuan ini dapat
pembatasan aktivitas dan aktivitas menampukan pasien atau orang
pilihan dengan periode istirahat terdekat untuk membuat
untuk mencegah kelemahan, cara pilihan/keputusan infromasi untuk
menghemat energy selama menurunkan dyspnea,
aktivitas, menggunakan napas memaksimalkan tingkat aktivitas
bibirm posisi berbaring, dan yang diinginkan, dan mencegah
kemungkinan oksigen tambahan komplikasi
selama aktivitas seksual
34
Universitas Indonesia
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit
yang dapat menyebabkan kematian terbesar karena berhubungan dengan
terganggunya saluran pernapasan, khususnya pada negara-negara yang
berpendapatan rendah dan menengah termasuk Indonesia, kematian yang
disebabkan karena PPOK seringkali terjadi. Selain itu, orang yang mengalami
PPOK juga semakin meningkat setiap tahunnya. PPOK ditandai dengan adanya
suatu hambatan aliran udara di saluran napas yang terjadi secara progresif dan
bersifat nonreversibel atau reversible parsial. Ada dua jenis PPOK, yaitu bronkitis
kronik dan emfisema, yang dimana kedua jenis tersebut dapat terjadi secara
bersamaan. PPOK dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah
merokok, polutan, usia, genetik, perkembangan paru, dan infeksi saluran napas
yang berulang. PPOK dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dan
apabila tidak ditangani secara tepat dapat menyebabkan memburuknya kondisi
orang tersebut.
35
Universitas Indonesia
4.2 Saran
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang dapat
membahayakan nyawa manusia. Untuk itu, kita harus mencegahnya dengan
menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan PPOK seperti merokok, polutan
dan sebagainya. Selain itu, perawat memiliki peran yang sangat penting dalam
proses penyembuhan pasien dengan PPOK, oleh karena itu kita sebagai seorang
perawat perlu memahami PPOK, penyebabnya, serta asuhan keperawatan yang
tepat pada penyakit PPOK.
36
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans:
Guidelines for individualizing client care across the life span (8th ed.).
Philadelphia: F. A. Davis Company.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2017). Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease.
Kumar, V., Robbins, S., Abbas, A., & Aster, J. (2013). Robbins basic
pathology (9th ed.). Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders.
37
Universitas Indonesia
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2008). Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th ed. United States of America: Mosby Elseiver.
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
nursing (8th ed.). Missouri: Elsevier.
38
Universitas Indonesia
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2011). Buku saku diagnosis keperawatan:
Diagnosis nanda, intervensi nic, kriteria hasil noc. (Widiarti, D., Eds.) (9th
ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
39
Universitas Indonesia