Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS INDONESIA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


KRONIS (PPOK) DENGAN EKSASERBASI AKIBAT PNEUMONIA

MATA KULIAH: Keperawatan Medikal Bedah 1

Focus Group - 4

Desi Wulandari 1706038651


Dewi Puspitasari 1706038784
Hasna Nida 1606918742
Nadya Cahya 1706978206
Putri Fiqriyarizqi 1706978282

(Kontribusi seluruh anggota adalah sama)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA

MARET 2019
ABSTRAK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit tidak menular yang
dapat menyebabkan kematian. PPOK seringkali dialami oleh masyarakat
Indonesia. Ketika suatu saat menemukan pasien dengan diagnosis PPOK,
tentunya seorang perawat harus memahami PPOK. Dalam makalah ini akan
dijelaskan mengenai patofisiologi PPOK, faktor-faktor yang mempengaruhi
PPOK, serta asuhan keperawatannya (terdiri dari pengkajian, diagnosis,
perencanaan, implementasi dan evaluasi). Tujuan penulisan makalah ini yaitu
membantu mahasiswa untuk mengetahui dan memahami Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK) beserta asuhan keperawatan yang tepat. Metode yang digunakan
adalah menggunakan studi literatur, baik melalui jurnal, e-book ataupun melalui
proses diskusi kelompok.

Kata kunci : PPOK, Patofisiologi, Faktor, Asuhan, Keperawatan

1
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

ABSTRAK................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................2
1.4 Sistematika penulisan....................................................................................2
BAB 2......................................................................................................................4
2.1 Definisi PPOK...............................................................................................4
2.2 Etiologi PPOK...............................................................................................4
2.3 Klasifikasi/Jenis PPOK.................................................................................5
2.4 Syarat Menegakkan Diagnosis PPOK...........................................................6
2.5 Patofisiologi & Komplikasi pada PPOK.....................................................10
2.6 Tanda & Gejala PPOK................................................................................12
2.7 Web of Causation (WOC) PPOK................................................................14
2.8 Faktor Predisposisi dan Presipitasi PPOK..................................................15
2.9 Kelompok yang Rentan Mengalami PPOK................................................17
BAB 3....................................................................................................................18
3.1 Pengkajian...................................................................................................18
3.2 Diagnosis.....................................................................................................19
3.3 Penatalaksanaan Pasien PPOK....................................................................21
3.4 Perencanaan................................................................................................22
BAB 4....................................................................................................................35
4.1 Kesimpulan.................................................................................................35
4.2 Saran............................................................................................................35

2
Universitas Indonesia
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertambahan usia memengaruhi kondisi fisik dan mental seseorang.
Kegiatan yang sebelumnya dapat dilakukan dengan aktif menjadi terhambat
karena faktor usia. Kebiasaan-kebiasaan sebelumnya berperan penting terhadap
kondisi kesehatan dikemudian hari. Salah satu contoh kebiasaan buruk yaitu
merokok yang dapat merusak paru-paru, serangan jantung, bahkan kematian.
Merokok merupakan risiko utama terjadinya PPOK. Sejumlah zat iritan yang
terdapat dalam rokok menstimulasi produksi mukus berlebih, batuk, merusak
fungsi silia, menyebabkan inflamasi, serta kerusakan paru-paru. PPOK adalah
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas.
Salah satu contohnya yaitu kasus yang terjadi pada seorang pria berusia
67 tahun yang dirawat di ruang penyakit dalam dengan diagnosis medis PPOK
dengan eksaserbasi karena pneumonia. Klien masuk RS dengan keluhan sesak
napas berat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak kental dan
banyak. Klien mengeluhkan sesak bertambah saat berjalan ataupun beraktifitas.
Dari hasil pengkajian didapatkan klien adalah seorang perokok sejak remaja. Pada
pemeriksaan fisik saat ini didapatkan frekuensi napas 30 x/mnt, nadi 92x/mnt, TD
160/90 mmHg. Klien tampak lemah dan terpasang oksigen nasal kanul 2 liter
permenit. Berdasarkan kasus yang dialami oleh pasien, perawat harus memiliki
pemahaman dalam membentuk asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK
untuk dapat memberikan pelayanan keperawatan yang terbaik.
Makalah ini ditulis untuk memudahkan pembaca dalam memahami PPOK
serta asuhan keperawatan pada pasien penderita PPOK. Kasus di atas akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu seorang lelaki yang mengalami PPOK dengan
eksaserbasi karena pneumonia. Pembahasan mengenai proses keperawatan
terhadap kasus tersebut akan diuraikan pada bagian isi makalah.

1
Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah asuhan keperawatan pada pasien
dengan PPOK. Pokok permasalahan tersebut akan dijelaskan dalam pertanyaan-
pertanyaan berikut :
1. Bagaimana definisi, etiologi, jenis, dan syarat menegakkan diagnosis
PPOK?
2. Bagaimana patofisiologi PPOK, tanda dan gejala PPOK (umum &
khusus), komplikasi PPOK, dan mengapa PPOK kenapa tidak
menular?
3. Bagaimana Web of Causation (WOC) PPOK?
4. Bagaimana faktor predisposisi, presipitasi, dan kelompok rentan
PPOK?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien PPOK?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, tanda
dan gejala PPOK serta proses keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan terhadap pasien dengan PPOK.

1.4 Sistematika penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan tiga bab yang masing-masing bab
terdiri dari sub-sub bab. Secara sistematis, penulisan makalah ini disusun sebagai
berikut :

BAB I Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan makalah yang berisi gambaran


umum makalah yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Isi

Bab ini berisi uraian mengenai definisi, etiologi, tanda dan gejala
PPOK serta proses keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan PPOK. Bagian isi ditulis
menggunakan metode studi literatur.

2
Universitas Indonesia
BAB III Pembahasan

Bab ini berisi uraian mengenai proses keperawatan dalam


memberikan asuhan keperawatan terhadap klien PPOK dengan
eksaserbasi akibat pneumonia. Bagian isi ditulis menggunakan
metode studi literatur.

BAB IV Penutup

Bab ini berisi simpulan yang diperoleh dari uraian-uraian


sebelumnya dan saran yang dianggap perlu yang dikaitkan dengan
kasus mengenai PPOK serta proses keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien dengan PPOK.

3
Universitas Indonesia
BAB 2
ISI

2.1 Definisi PPOK


PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya. (PDPI, 2013).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit


atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran
pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini
berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas
yang berbahaya (Depkes, 2007).

2.2 Etiologi PPOK


Faktor risiko PPOK di seluruh dunia yang paling banyak ditemui adalah
merokok tembakau. Selain jenis tembakau, (misalnya pipa, cerutu, dan ganja) juga
merupakan faktor risiko PPOK. PPOK tidak hanya berisiko bagi perokok aktif
saja namun juga bisa berisiko bagi perokok pasif yang terkena pajanan asap
rokok.

Selain itu faktor -faktor yang berpengaruh pada perjalanan dan perburukan
PPOK antara lain:

a) Faktor genetik

b) Usia & jenis kelamin

c) Pertumbuhan dan perkembangan paru

d) Pajanan terhadap partikel, gas berbahaya

e) Faktor sosial ekonomi

f) Asma dan hipereaktivitas saluran napas

4
Universitas Indonesia
g) Bronkitis kronis

h) Infeksi berulangdi saluran napas (GOLD, 2017)


Berdasarkan penelitian Oemiati (2013) menyatakan bahwa faktor risiko
utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor, outdoor dan polutan di tempat
kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain yaitu genetik, gender, usia, konsumsi
alkohol dan kurang aktivitas fisik. Data Riskesdas 2013 berdasarkan karakteristik
terlihat prevalensi PPOK semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%)
dan mulai meningkat pada kelompok usia ≥ 25 tahun. Prevalensi PPOK lebih
tinggi di perdesaan (4,5%) dibanding perkotaan (3,0%) dan cenderung lebih tinggi
pada masyarakat dengan pendidikan rendah (7,9%) dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah (7,0%).

2.3 Klasifikasi/Jenis PPOK

Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan tahun 2011 penentuan derajat


PPOK diklasifikasikan sebagai berikut:

Derajat Klinis Faal Paru Keterangan


Derajat 1 : Sesak kadang- FEV1/FVC<70 Pasien belum
PPOK Ringan kadang tapi tidak % FEV1 ≥ 80% menyadari
selalu, batuk kronik prediksi terdapatnya
dan berdahak kelainan fungsi
paru
Derajat 2 : Perburukan dari FEV1/FVC<70 Pada kondisi ini

5
Universitas Indonesia
PPOK Sedang penyempitan jalan % 50% ≤ FEV1 pasien datang
napas, ada sesak < 80% prediksi berobat karena
napas terutama pada eksaserbasi atau
saat exercise keluhan
pernapasan kronik
Derajat 3 : Perburukan FEV1/FVC<70
PPOK Berat penyempitan jalan %
napas yang semakin 30%≤FEV1<50
berat, sesak napas %prediksi
bertambah,
kemampuan
exercise berkurang
berdampak pada
kualitas hidup
Derajat 4 : Penyempitan jalan FEV1/FVC<70 Sering disertai
PPOK Sangat napas yang berat % komplikasi. Pada
Berat FEV1<30% kondisi ini
Prediksi atau kualitas hidup
FEV1<50% rendah dan sering
Prediksi dengan disertai
gagal napas eksaserbasi
kronik berat/mengancam
jiwa

2.4 Syarat Menegakkan Diagnosis PPOK

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :

1. Gambaran Klinis

1) Anamnesis

Anamnesi yang perlu dilakukan pada pasien PPOK terdiri dari


keluhan, riwayat penyakit, dan faktor predisposisi. Hal-hal yang harus
didapatkan melalui anamnesi pasien PPOK diantaranya adalah:

6
Universitas Indonesia
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan

 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat


badan lahir rendah (BBLR), infeksi

 saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi


udara

 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2) Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisik yang umumnya perlu dilakukan pada pasien PPOK


terdiri dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. PPOK pada fase dini
umumnya tidak menunjukkan adanya kelainan.

Inspeksi

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

7
Universitas Indonesia
Palpasi

- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi

- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak


diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

Auskultasi

- Suara napas vesikuler normal, atau melemah

- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa

- Ekspirasi memanjang

- Bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer

- Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit


kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing.

Pursed - lips breathing

- Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan


ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas
kronik.

Blue bloater

- Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,


terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer.

8
Universitas Indonesia
2. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan rutin

a) Faal paru

• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau


VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) <
80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %

- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk


menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin


dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%

• Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada


gunakan APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,


15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau
APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200
ml

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

b) Darah rutin

Pemeriksaan darah rutin yang perlu dilakukan diantaranya adalah


pemeriksaan Hb, Ht, dan leukosit.

c) Radiologi

9
Universitas Indonesia
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema akan terlihat gambaran :

- Hiperinflasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar

- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop


appearance)

Sedangkan pada bronkitis kronik akan terlihat gambaran:

- Normal

- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

2) Pemeriksaan khusus

a) Faal paru

- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),


Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

- DLCO menurun pada emfisema

- Raw meningkat pada bronkitis kronik

- Sgaw meningkat

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

b) Uji latih kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

10
Universitas Indonesia
- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

c) Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil


PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.

d) Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral


(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

e) Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :

- Gagal napas kronik stabil

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

f) Radiologi

- CT - Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat


emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

- Scan ventilasi perfusi

Mengetahui fungsi respirasi paru

g) Elektrokardiografi

11
Universitas Indonesia
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.

h) Ekokardiografi

Menilai fungsi jantung kanan

i) Bakteriologi

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur


resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK
di Indonesia.

j) Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema


pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia. (PDPI, 2003).

2.5 Patofisiologi & Komplikasi pada PPOK


Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit
tidak menular yang menjadi penyebab utama kematian di dunia. PPOK bukan
termasuk jenis penyakit menular karena PPOK tidak disebabkan oleh patogen,
tetapi disebabkan oleh paparan zat iritan yang berkepanjangan. Meskipun patogen
bukan penyebab PPOK, patogen dapat menyebabkan eksaserbasi atau perparahan
manifestasi klinis PPOK.

Pemahaman mengenai patofisiologi PPOK diperlukan sebagai dasar untuk


memahami gangguan kebutuhan dasar manusia yang mungkin terjadi pada pasien
PPOK.

a. Emfisema
Emfisema merupakan fenomena hilangnya elastisitas paru dan
perbesaran abnormal pada ruang alveolar yang didampingi dengan
kerusakan dinding alveolar. Emfisema dapat disebabkan oleh kelainan

12
Universitas Indonesia
genetik atau paparan zat iritan dalam jangka waktu yang lama. Emfisema
karena kelainan genetik disebabkan oleh defisiensi enzim α 1-antitrypsin.
Enzim α1-antitrypsin berfungsi untuk mempertahankan elastin pada
dinding alveolar sehingga dinding alveolar tetap elastis serta dapat
mengembang dan mengempis dengan baik. Kerja enzim α1-antitrypsin
antagonis dengan jenis enzim protease seperti elastase yang produksinya
dipicu oleh inflamasi (Grossman & Porth, 2014). Zat iritan, seperti asap
rokok atau polutan udara, yang masuk ke dalam rongga alveolar memicu
terjadinya inflamasi sehingga terjadi peningkatan protease dalam rongga
alveolar, penningkatan protease menyebabkan penguraian elastin dan
komponen dinding alveolar sehingga dinding alveolar kehilangan
elastisitasnya. Dinding alveolar yang tidak elastis menyebabkan penurunan
ekspirasi sehingga udara terperangkap dalam rongga alveolar (Nair &
Peate, 2013). Alveolar akan menjadi semakin besar seiring dengan
peningkatan jumlah volume udara yang terperangkap dalam alveolar
namun dinding alveolar akan mengalami peluruhan sehingga jumlah
alveolar akan semakin berkurang dan terjadi emfisema.
Emfisema karena zat iritan umumnya disebabkan oleh asap rokok.
Proses yang terjadi tidak jauh berbeda dengan emfisema karena kelainan
genetik. Paparan zat iritan dalam jangka waktu yang lama memicu
inflamasi yang mengakibatkan peningkatan protease dalam rongga
alveolar. Apabila jumlah protease melebihi α1-antitrypsin, penguraian
elastin akan meningkat sehingga dinding alveolar akan kehilangan
elastisitasnya. Dinding alveolar yang tidak elastis menyebabkan ekspirasi
tidak maksimal sehingga terjadi akumulasi udara yang terperangkap dalam
alveolar (Nair & Peate, 2013). Akumulasi udara yang terperangkap dalam
alveolar mengakibatkan perbesaran alveolar dan pengurangan jumlah
alveolar.

b. Bronkhitis Kronis

Bronkhitis kronis memiliki ciri utama yaitu hipersekresi mukus


yang awalnya terjadi di saluran napas besar (Kumar, Robbins, Abbas, &
Aster, 2013). Hipersekresi mukus di saluran napas besar dipicu oleh zat

13
Universitas Indonesia
iritan seperti asap rokok. Paparan terhadap zat iritan memicu hipertropi
kelenjar mukus dalam trakea dan bronkus dan peningkatan jumlah sel
goblet pada permukaan epitelium bronkhi dan bronkhiolus. Selain itu, zat
iritan juga memicu inflamasi dengan adanya limfosit, makrofag, dan
neutrofil tanpa adanya eosinofil sehingga berbeda dengan asthma (Kumar,
Robbins, Abbas, & Aster, 2013). Inflamasi yang terjadi juga dapat
menyebabkan emfisema sehingga bronkhitis dan emfisema dapat terjadi
bersamaan. Walaupun begitu, hal yang menjadi ciri utama bronkhitis
kronis merupakan hipersekresi mukus. Hipersekresi mukus dapat
menyebabkan sumbatan pada saluran napas kecil. Apabila hipersekresi
mukus tersebut tidak dapat dikeluarkan, hal tersebut dapat menjadi media
perkembangan mikroba yang menyebabkan eksaserbasi.

PPOK yang tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan komplikasi.


Komplikasi yang biasanya terjadi pada PPOK diantaranya adalah kegagalan
fungsi pulmonar, asidosis respiratorik, hipoksia, dan cor pulmonae atau kegagalan
fungsi jantung sebelah kanan (Kumar, Robbins, Abbas, & Aster, 2013).

2.6 Tanda & Gejala PPOK


Tanda dan gejala pada PPOK bergantung pada tingkat keparahan penyakit
dan predisposisinya. Tanda dan gejala pada predisposisi emfisema diantaranya
adalah peningkatan laju pernapasan (Takipnea), sesak napas (Dispnea
eksersional), bentuk dada seperti barel, ekspirasi memanjang, clubbed fingers and
toes, taktil fremitus menurun, dan penurunan ekspansi dada (Comerford, 2012).
Tanda dan gejala pada predisposisi bronkhitis kronis diantaranya adalah batuk
dengan produksi sputum positif, dispnea, cyanosis, dan hipertensi pulmonar
(Comerford, 2012). Apabila PPOK mengalami eksaserbasi, tanda dan gejala yang
muncul diantaranya adalah bertambahnya sesak napas; peningkatan batuk dan
produksi sputum; sputum menjadi lebih purulen dan berubah warna; dan
munculnya gejala nonspesifik seperti lesu, lemas, susah tidur, mudah lelah, dan
depresi (Comerford, 2012).

14
Universitas Indonesia
2.7 Web of Causation (WOC) PPOK

15
Universitas Indonesia
2.8 Faktor Predisposisi dan Presipitasi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dipengaruhi oleh dua jenis
faktor. yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi
merupakan faktor yang telah ada pada diri individu yang meliputi genetik, usia,
dan pertumbuhan paru.

1. Genetik
Menurut Kemenkes Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008, faktor
genetik yang menyebabkan PPOK adalah defisiensi alfa 1 antitripsin, yang
merupakan suatu serin protease inhibitor. Faktor genetic ini hanya
berkontribusi sedikit pada PPOK yaitu 1 sampai 3%. Oleh karena itu,
PPOK yang disebabkan oleh genetik jarang terdapat di Indonesia
(Oemiati, 2013).
2. Usia
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Octaria (2010),
umumnya 62,9% pasien penderita PPOK usianya berada di atas 60 tahun.
Hal ini disebabkan karena sistem kardiorespirasi pada usia di atas 50 tahun
akan mengalami penurunan fungsi atau daya tahan (Muthmainnah,
Restuastuti, & Munir, 2015). Organ paru akan mengalami penurunan
fungsi seiring bertambahnya usia, disebabkan karena berkurangnya
elastisitas jaringan paru dan dinding dada, yang dapat menyebabkan sulit
bernapas.
3. Pertumbuhan dan perkembangan paru

Menurut Kemenkes Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008 dan


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), pertumbuhan paru berkaitan
dengan masa kehamilan ibu yang dimana adanya kemungkinan terpajan
oleh asap rokok dan polusi udara yang mengakibatkan bayi mengalami
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan adanya pajanan pada masa anak-
anak.

Selain faktor predisposisi, terdapat juga faktor presipitasi yang merupakan


faktor pencetus terjadinya suatu penyakit. Faktor presipitasi meliputi terpajan oleh
lingkungan seperti polusi udara, perilaku kebiasaan merokok baik aktif maupun
pasif, dan infeksi saluran pernapasan berulang.

16
Universitas Indonesia
1. Polusi udara
Polusi terbagi menjadi dua kelompok, yaitu polusi di dalam ruangan
(indoor) dan polusi di luar ruangan (outdoor). Menurut Kemenkes Nomor
1022/MENKES/SK/XI/2008, Polusi di dalam ruangan seperti asap
kompor, asap kayu bakar, asap rokok, asap obat nyamuk bakar, sedangkan
polusi di luar ruangan seperti asap kendaraan bermotor, gas buang industri,
debu jalanan dan polusi yan terjadi di tempat kerja seperti bahan kimia, zat
iritasi dan gas beracun. Polutan indoor yang berbahaya adalah SO2, NO2,
dan CO, yang merupakan hasil dari memasak dan kegiatan pemanasan,
zat-zat organic yang mudah menguap, dan lergi dari gas serta perokok
pasif (Oemiati, 2013). Polutan outdoor yang paling berbahaya adalah
Cadmium, Zinc dan debu.
2. Asap rokok
Asap rokok merupakan faktor risiko yang sering terjadi. Perokok
dibedakan menjadi perokok aktif dan pasif. Perokok aktif dapat
mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik,
sedangkan perokok pasif juga ikut menyumbang terhadap symptom
saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat
menghisap partikel dan gas-gas berbahaya (Oemiati, 2013). Gas – gas
berharga yang terdapat dalam asap rokok, antara lain terdiri dari aseton,
amonia, arsen, butane, cadmium, CO, DDT, hydrogen sianida, methanol,
naftalen, toluene, dan vinil klorida.
Menurut Kemenkes Nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008, terdapat
keterkaitan antara rokok dengan PPOK yaitu berkaitan dengan dose
response. Dose response merupakan jumlah batang rokok yang
dikonsumsi perhari oleh individu dikalikan dengan jumlah hari lamanya
merokok (tahun). Misalnya, jika terdapat seseorang yang merokok sehari
sebungkus, dia akan menderita bronchitis kronik minimal setelah 10 tahun
merokok.
3. Riwayat infeksi saluran napas berulang

Infeksi saluran napas akut biasanya banyak diderita oleh anak-anak.


Jika terjadi pada bayi dan anak-anak dapat menyebabkan kecacatan sampai
masa dewasa, yang dimana berkaitan dengan terjadinya PPOK (Oemiati,
2013).

17
Universitas Indonesia
2.9 Kelompok yang Rentan Mengalami PPOK
Kelompok yang rentan mengalami PPOK diantaranya adalah :
1. Perokok aktif atau pasif, menurut Oemiati (2013), di negara berkembang
prevalensi tertinggi terjadinya PPOK atau gangguan respirasi lainnya
adalah para perokok, baik perokok aktif maupun pasif yaitu sebesar 95%
kasus.
2. Laki-laki, berdasarkan penelitian Setyorini, ditemukan bahwa mayoritas
pasien penyakit paru obstruktif kronis adalah laki-laki yaitu sebesar 66,7%
(Rosha & Dewi, 2018). Hal ini disebabkan karena umumnya laki-laki
memiliki kebiasaan merokok dibandingkan perempuan.
3. Usia di atas 45 tahun, hal ini disebabkan karena pada usia ini telah
mengalami penurunan fungsi paru selain itu apabila pasien tersebut masih
merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya PPOK.
4. Ibu Hamil. Ibu hamil yang terkena paparan asap rokok, polusi udara dan
sebagainya, memiliki risiko tinggi untuk terjadinya PPOK. Hal ini juga
dapat mempengaruhi janin yang terdapat dalam kandungan ibu, yang
dimana akan mempengaruhi pertumbuhan paru-paru pada janin (Oemiati,
2013).
5. Pekerja yang bekerja di lingkungan yang berdebu dan berbahaya terhadap
paparan pestisida, seperti pekerja tambang emas, batu bara, industri gelas
dan keramik yang terpapar debu silika, atau asbes. Hal ini diakibatkan
karena bahan kimia dan debu yang dihirup dalam pekerjaan tersebut akan
mengendap dan dalam kurun waktu tertentu dapat menyebabkan kerusakan
jaringan paru (Muthmainah, Restuastuti, & Munir, 2015).

18
Universitas Indonesia
BAB 3

PEMBAHASAN

Kasus Pemicu 1 :

Sebuah kasus yang terjadi pada seorang pria berusia 67 tahun, dirawat di
ruang penyakit dalam dengan diagnosis medis PPOK dengan eksaserbasi karena
pneumonia. Klien masuk RS dengan keluhan sesak napas berat sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak kental dan banyak. Klien
mengeluhkan sesak bertambah saat berjalan ataupun beraktifitas. Dari hasil
pengkajian didapatkan klien adalah seorang perokok sejak remaja. Pada
pemeriksaan fisik saat ini didapatkan frekuensi napas 30 x/mnt, nadi 92x/mnt, TD
160/90 mmHg. Klien tampak lemah dan terpasang oksigen nasal kanul 2 liter
permenit.

3.1 Pengkajian

Identitas Klien Riwayat Data Subjektif Data Objektif


Kesehatan
Pria (67 tahun) Memiliki diagnosis Klien tampak lemah Frekuensi napas
medis PPOK 30x/menit (frekuensi
napas pasien tinggi
(normal 12-20 x/menit))
Pasien telah Eksaserbasi karena Klien mengalami Nadi 92x/menit (normal
merokok sejak pneumonia sesak napas berat 60-100)
remaja sejak 2 hari
sebelum masuk RS
Batuk berdahak TD 160/90 mmHg (TD
kental dan banyak pasien tinggi dan berada
pada kategori hipertensi
stadium 1 (normal
120/80))
Mengalami sesak Terpasang oksigen nasal
saat kanul 2 liter/menit

19
Universitas Indonesia
berjalan/beraktivita
s

3.2 Diagnosis

N Data Etiologi Masalah Keperawatan


o
DO : Etiologi (berhubungan Bersihan jalan napas
- Memiliki diagnosis dengan) : tidak efektif
medis PPOK peningkatan produksi Definisi :
- Frekuensi napas sekret, batuk tidak efektif, ketidakmampuan untuk
30x/menit sekresi tertahan dan membersihkan sekret
- TD 160/90 mmHg kental, penurunan atau obstruksi saluran
DS : energi/kelemahan. napas guna
- Sesak napas berat mempertahankan jalan
- Batuk berdahak kental Karakteristik (ditandai napas yang bersih.
dan banyak dengan) :
- Sesak saat Kesulitan bernapas,
1 berjalan/beraktivitas merasa sesak, bunyi napas
- Klien tampak lemah tidak normal, batuk
Pengkajian lanjutan : berdahak.
- Riwayat lingkungan
pasien
- Pengkajian fisik :
inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi
-Memeriksa derajat
dispnea
-Memeriksa warna dan
konsistensi sputum
2 DO : Etiologi (berhubungan Gangguan pertukaran
- Memiliki diagnosis dengan) : gas
medis PPOK Gangguan suplai oksigen, Definisi : kelebihan atau
- Pasien telah merokok penurunan ventilasi, kekurangan oksigenasi

20
Universitas Indonesia
sejak remaja obstruksi jalan napas oleh atau eliminasi karbon
- Frekuensi napas sekresi, kerusakan alveoli. dioksida di membran
30x/menit kapiler-alveolar.
- TD 160/90 mmHg
- Terpasang oksigen nasal Karakteristik (ditandai
kanul 2 liter/menit dengan) :
DS : Dispnea, ketidakmampuan
- Mengalami sesak napas membuang sekret,
berat sejak 2 hari perubahan tanda vital,
sebelum masuk RS penurunan toleransi
- Batuk berdahak kental terhadap aktivitas, nilai
dan banyak ABGs abnormal (hipoksia
- Mengalami sesak saat dan hiperkapnea), pH
berjalan/beraktivitas arteri tidak normal,
- Klien tampak lemah ketidaknormalan
Pengkajian lanjutan : frekuensi, irama, dan
- Pemeriksaan Arterial kedalaman pernapasan.
Blood Gasses (ABGs)
- Pemeriksaan suara paru,
kedalaman, usaha napas,
dan produksi sputum
3 DO : Etiologi (berhubungan Intoleransi aktivitas
- Frekuensi napas dengan) : Definisi : ketidakcukupan
30x/menit Ketidakseimbangan antara energi fisiologis atau
- TD 160/90 mmHg suplai dan kebutuhan psikologis untuk
- Terpasang oksigen nasal oksigen, kelemahan, melanjutkan atau
kanul 2 liter/menit ketidaknyamanan setelah menyelesaikan aktivitas
DS : beraktivitas, batuk sehari-hari yang ingin
- Mengalami sesak napas berlebihan, dispnea. atau harus dilakukan.
berat sejak 2 hari
sebelum masuk RS Karakteristik (ditandai
- Batuk berdahak kental dengan) :
dan banyak Lemah dan dispnea.

21
Universitas Indonesia
- Mengalami sesak saat
berjalan/beraktivitas
- Klien tampak lemah
Pengkajian lanjutan :
- Pemeriksaan tingkat
kemampuan pasien untuk
berpindah dari tempat
tidur dan berdiri
- Pemeriksaan respons
emosi, sosial, dan
spiritual terhadap
aktivitas

3.3 Penatalaksanaan Pasien PPOK


Ekserbasi akut pada PPOK yaitu timbulnya perburukan kondisi
bandingkan dengan keadaan sebelumnya, yang terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan
banyaknya gejala yang timbul. Gejala tersebut diantaranya adalah sesak
bertambah, produksi sputum meningkat, dan adanya perubahan warna sputum.

1. Eksaserbasi tipe satu (berat) memiliki 3 gejala


2. Eksaserbasi tipe dua (sedang) memiliki 2 gejala
3. Eksaserbasi tipe III (ringan) memiliki satu gejala yang disertai dengan
ISPA lebih dari lima hari, demam tanpa sebab, peningkatan batuk dan
mengi, serta peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline

Eksaserbasi akut disebabkan oleh penyebab primer dan sekunder.


Penyebab sekunder salah satunya adalah pneumonia (PDPI, 2003). Penanganan
eksaserbasi akut dapat dilakukan di rumah (eksaserbasi ringan) atau dirumah
sakit (eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah
sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dapat dilakukan di
poliknik rawat jalan, UGD, ruang rawat, ruang ICU. Prinsip penatalaksanaan
PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan
mencegah terjadinya gagal napas.

22
Universitas Indonesia
Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi diagnosis beratnya
eksaserbasi (derajat sesak, frekuensi napas, kesadaran, tanda vital, analisis gas
darah, pneumonia), terapi oksigen adekuat, yang bertujuan untuk memperbaiki
hipoksemi dan sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%,
evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan
(ventury mask) 24%, 28%, atau 32%, lalu perhatikan apakah sungkup rebreathing
atau nonreabreathing (tergantung kadar PaO2 dan PaCO2). Bila terapi oksigen
tidak mencapai oksigenisasi yang adekuat, maka dilakukan ventilasi mekanik
yang diusahakan penggunaannya dengan Noninvasive Positive Pressure
Ventilation (NIPPV), bila ventilasi mekanik tidak berhasil, maka digunakan
dengan intubasi. Lalu perhatikan juga pemberian obat-obatan yang diperlukan
(antibiotik, bronkodilator, dan kortikosteroid), nutrisi adekuat untuk mencegah
starvation (oleh hipoksemia berkepanjangan) dan menghindari kelelahan otot
bantu napas, lalu perhatikan juga ventilasi mekanik, kondisi lain yang
berkaitan (monitor blans cairan elektrolit, pengeluaran sputum, gagal jantung
atau aritmia), dan evaluasi ketat progesiviti penyakit karena penanganan yang
tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan dapat berujung pada kematian
(PDPI, 2003).

3.4 Perencanaan
Prioritas dalam keperawatan

1. Mempertahankan patensi jalan napas


2. Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
3. Meningkatkan masukan nutrisi
4. Mencegah komplikasi dan memperlambat memburuknya kondisi
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit atau prognosis, dan
progam pengobatan

Tujuan pemulangan

1. Ventilasi atau oksigenisasi memadai untuk memenuhi kebutuhan


perawatan diri (self care needs)
2. Masukan nutrisi memenuhi kebutuhan kalori
3. Bebas infeksi

Proses penyakit atau prognosis, dan progam pengobatan dapat dipahami

23
Universitas Indonesia
A. Diagnosa keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Asuhan Keperawatan: Intervensi pada Pasien PPOK

Kriteria Hasil Intervensi atau Tindakan Rasional


Monitoring Monitoring
- Dalam waktu empat hari
pasien akan dapat a. Auskultasi bunyi napas. Catat a. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
mempertahankan kepatenan adanya bunyi napas missal : dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak
jalan napas dari skala 2 mengi, krekels, ronki dimanifestasikan adanya bunyi napas
b. Kaji frekuensi pernapasan. Catat
(deviasi yang cukup berat dari adventisius mis; penyebaran, krekels basah
rasio inspirasi/ekspirasi
kisaran normal) ditingkatkan (bronchitis), bunyi napas redup dengan
c. Catat adanya/derajat dispnea
ke 5 (tidak ada deviasi dari ekspirasi mengi (emfisema), atau tak ada
misal keluhan “lapar udara”,
kisaran normal) dengan napas bunyi napas (asma berat)
gelisah, ansietas, distress
b. Takipnea biasanya ada pada beberapa
yang jelas atau bersih
pernapasan, penggunaan otot
- Dalam waktu tujuh hari pasien derajat dan dapat ditemukan pada
bantu
akan dapat memperagakan penerimaan selama stress/adanya infeksi
d. Kaji pasien untuk posisi
perilaku untuk meningkatkan akut. Pernapasan dapat melambat dan
nyaman, mis: peninggian kepala
pembersihan jalan napas dari frekuensi ekspirasi memanjang disbanding
tidur, duduk pada sandaran
skala 1 (tidak pernah inspirasi
tempat tidur
c. Disfungsi pernapasan adalah variabel yang
menunjukkan) ditingkatkan ke e. Pertahankan polusi lingkungan
tergantung pada tahap proses kronis selain

24
Universitas Indonesia
skala 4 (sering menujukkan) minimum, mis : debu, bulu proses akut yang menimbulkan perawatan
misal batuk efektif dan bantal yang berhubungan RS mis: infeksi/reaksi alergi
d. Peninggian kepala tempat tidur
mengeluarkan sekret dengan kondisi individu
mempermudah fungsi pernapasan dengan
menggunakan gravitasi. Sokongan
tangan/kaki dengan meja, bantal, dll
membantu menurunkan kelemahan otot dan
dapat sebagai alat ekspansi dada
e. Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang
dapat mentriger episode akut
Mandiri Mandiri

a. Observasi karakteristik batuk a. Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif,


mis: menetap, pendek, basah, khususnya bila pada lansia, sakit akut, atau
bantu tindakan untuk kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi
memperbaiki keefektifan upaya duduk tinggi atau kepala dibawah setelah
batuk (jika memungkinkan) perkusi dada
b. Tingkatkan masukan cairan b. Hidrasi membantu menurunkan kekentalan
sampai 3000 ml/hari sesuai secret, mempermudah pengeluaran.
toleransi jantung. Memberikan Penggunaan cairan hangat dapat

25
Universitas Indonesia
air hangat. Anjurkan masukan menurunkan spasme bronkus. Cairan selama
cairan antara, sebagai pengganti makan dapat meningkatkan distensi gaster
makan dan tekanan pada diafragma

Kolaborasi Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi
a. Merilekskan otot halus dan menurunkan
a. Bronkodilator, mis: epinefrin, kongesti lokal, menurunkan spasme jalan
albuterol, terbutalin, isoetarin, napas, mengi, dan produksi mukosa
b. Xiantin mis: aminofilin,
(peroral, injeksi, atau inhalasi)
oxtrifilin, teofilin b. Menurunkan edema mukosa dan spasme
c. Kromolin (Intal), flunisolida
otot polos, menurunkan kelemahan
(aerobid)
otot/kegagalan pernapasan dengan
d. Steroid oral, IV, dan inhalasi,
kontraktilitas diafragma
metilprednisolon (Medrol),
c. Menurunkan inflamasi jalan napas lokal
deksametason, antihistamin
dan edema dengan menghambat efek
e. Antimikrobial
f. Analgesik, penekan histamine dan mediator lain
d. Kortikorsteroid digunakan untuk mencegah
batuk/antitusif mis:kodein,
reaksi alergi/menghambat pengeluaran
produk dextromentrofan
g. Berikan humidifikasi tambahan histamin, menurunkan berat dan frekuensi

26
Universitas Indonesia
mis: nebulizer ultranik, spasme jalan napas, inflamasi pernapasan,
humidifier aerosol ruangan dan dispnea
h. Bantu pengobatan pernapasan, e. Banyak antimikrobial dapat diindikasikan
mis: IPPB, fisioterapi dada untuk mengontrol infeksi
i. Awasi/buat grafik seri GDA,
pernapasan/pneumonia (terapi dapat
nadi oksimetri, foto dada
meningkatkan aliran udara dan memperbaiki
hasil)
f. Batuk menetap yang melelahkan perlu
ditekan untuk menghemat energy dan
memungkinkan pasien istirahat
g. Kelembaban menurunkan kekentalan secret
mempermudah pengluaran dan dapat
membantu menurunkan atau mencegah
pembentukan mukosa tebal pada bronkus
h. drainase postural dan perkusi bagian penting
untuk membuang banyaknya sekresi/kental
dan memperbaiki ventilasi pada segmen
dasar paru. Catatan : dapat meningkatkan
spasme bronkus pada asma
i. Membuat dasar untuk pengawasan

27
Universitas Indonesia
kemajuan/kemunduran proses penyakit dan
komplikasi
Pendidikan Kesehatan Pendidikan Kesehatan

a. Jelaskan/kuatkan penjelasan a. Menurunkan ansietas dan dapat


proses penyakit individu . menimbulkan perbaikan partisipasi pada
dorong pasien atau orang rencana pengobatan
b. Pasien sering mendapat obat pernapasan
terdekat untuk menanyakan
banyak sekaligus yang mempunyai efek
pertanyaan
b. Diskusikan obat pernapasan, samping hampir sama dan potensial
efek samping, interaksi obat. Penting bagi pasien dan
orang terdekat memahami perbedaan antara
efek samping mengganggu (obat
dilanjutkan) dan efek samping merugikan
(obat mungkin dihentikan/diganti)

B. Diagnosa Keperawatan : Gangguan Pertukaran Gas

28
Universitas Indonesia
Asuhan Keperawatan: Intervensi pada Pasien PPOK

Kriteria Hasil Intervensi atau Tindakan Rasional


a. Dalam waktu empat hari Monitoring Monitoring
pasien menunjukkan a. Kaji frekuensi kedalaman a. Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan
perbaikan ventilasi dan pernapasan. Catat penggunaan dan/atau kronisnya proses penyakit
b. Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) ztau
oksigenasi jaringan otot aksesori, napas bibir,
sentral (terlihat sekitar bibir/daun telinga). Keabu-
adekuat dipertahankan ketidakmampuan
abuan dan dianosis sentral mengindikasikan beratnya
pada skala 3 (deviasi bicara/berbincang
b. Kaji/awasi secara rutin kulit dan hipoksemia
sedang dari kisaran
c. Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran
warna membrane mukosa
normal) ditingkatkan ke
c. Auskultasi bunyi napas, catat udara atau area konsolidasi. Adanya mengi
skala 5 (tidak ada deviasi
area penurunan aliran udara mengindikasikan spasme brokus/tertahannya secret.
dari kisaran normal)
dan/atau bunyi tambahan Krekels basah menyebar menunjukkan cairan pada
dengan GDA dalam d. Awasi tingkat kesadaran/status
interstisial/dekompensasi jantung
rentang normal dan bebas mental. Selidiki adanya d. Gelisah dan ansietas adalah manisfestasi umum pada
gejala distres pernapasan perubahan hipoksia. GDA memburuk disertai bingung/somnolen
b. Pasien akan turut e. Evaluasi tingkat tolenransi
menunjukkan disfungsi serebral yang berhubungan
berpartisipasi dalam aktivitas. Berikan lingkungan
dengan hipoksemia
progam pengobatan tenang. Mungkinkan pasien e. Selama distres pernapasan berat/akut/refraktori
ditingkatkan pada skala 5 melakukan aktivitas secara pasien secara total tak mampu melakukan aktivitas

29
Universitas Indonesia
(secara konsisten bertahap dan tingkatkan sesuai sehari-hari karena hipoksemia dan dyspnea. Istirahat
menunjukkan) dalam toleransi individu diselingi aktivitas perawatan masih penting dari
f. Awasi tanda vital dan irama
tingkat kemampuan/situasi progam pengobatan. Namun, progam latihan
jantung
ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan
kekuatan tanpa menyebabkan dyspnea berat, dan
dapat meningkatkan rasa sehat
f. Takikardia, disritmia, dan perubahan TD dapat
menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi
jantung
Mandiri Mandiri
a. Tinggikan kepala tempat tidur, a. Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi
bantu pasien untuk memilih duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan
posisi yang mudah untuk kolaps jalan napas, dispnes, dan kerja napas
b. Kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber
bernapas. Dorong napas dalam
utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas
perlahan atau napas bibir sesuai
kecil. Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak
kebutuhan/toleransi individu
b. Dorong mengeluarkan sputum, efektif
c. Penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan
penghisapan bila diindikasikan
c. Palpasi fremitus cairan atau udara terjebak
Kolaborasi Kolaborasi
a. Awasi/gambarkan seri GDA dan a. PaCO2 biasanya meningkat (bronchitis, efisema) dan

30
Universitas Indonesia
nadi oksimetri PaO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia
b. Berikan oksigen tambahan yang
terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
sesuai dengan indikasi hasil GDA
Catatan: PaCO2 normal/meningkat menandakan
dan toleransi pasien
kegagalan pernapasan yang akan datang selama
c. Berikan penekan SSP (mis;
asmatik
antiansietasm sedative, dll)
b. Dapat memperbaiki /mencegah memburuknya
dengan hati-hati
hipoksia. Catatan : emfisem akronis, mengatur
d. Bantu intubasi,
pernapasan pasien ditentukan oleh kadar CO2 dan
berikan/pertahankan ventilasi
mungkin dikeluarkan dengan peningkatan PaO2
mekanik, dan pindahkan ke UPI
berlebihan
sesuai instruksi untuk pasien
c. Digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang
meningkatkan konsumsi oksigen/kebutuhan,
eksaserbasi dyspnea. Dipantau ketat karena dapat
terjadi gagal napas
d. Terjadinya kegagalan napas yang akan datang
memerlukan upaya tindakan penyelamatan hidup
Pendidikan Kesehatan Pendidikan Kesehatan
a. Instruksikan/kuatkan rasional a. Napas bibir dan napas abdominal/diafragmatik
untuk latihan napas, batuk menguatkan otot pernapasan, membantu
efektif, dan kondisi umum (jika meminimalkan kolaps jalan napas kecil, dan

31
Universitas Indonesia
memungkinkan) memberikan indivisdu arti untuk mengontrol dispnea.
b. Diskusikan faktor individu yang
Latihan kondisi umum meningkatkan toleransi
meningkatkan kondisi, mis: udara
aktivitas, kekuatan otot, dan rasa sehat
terlalu kering, angina, lingkungan b. Faktor lingkungan ini dapat
dengan suhu ekstrem, serbuk, menimbulkan/menigkatkan iritasi bronkial
asap tembakau, sprei aerosol, menimbulkan peningkatan produksi secret dan
polusi udara. Dorong hambatan jalan napas.
c. Pengehntian merokok dapat
pasien/orang terdekat untuk
memperlambat/menghambat kemajuan PPOM.
mencri cara mengontrol faktor ini
Namun, meskipun pasien ingin menghentikan
dan sekitar rumah
c. Kaji efek bahaya dan nasehatkan merokok, diperlukan kelompok pendukung dan
menghentikan rokok pada pasien pengawasa medik
dana tau orang terdekat

C. Diagnosa Keperawatan : Intoleransi Aktivitas

Asuhan Keperawatan: Intervensi pada Pasien PPOK

Kriteria Hasil Intervensi atau Tindakan Rasional


- Dalam waktu tujuh hari pasien Monitoring Monitoring

32
Universitas Indonesia
enunjukkan peningkatan toleransi
a. Evaluasi respons pasien terhadap a. Menetapkan kemampuan/
terhadap aktivitas dipertahankan dari
aktivitas. Catat laporan dyspnea, kebutuhan pasien dan
skala 2 (banyak terganggu)
peningkatan kelemahan/kelelahan memudahkan pilihan intervensi
ditingkatkan ke skala 5 (tak terganggu) b. Menurunkan stress dan rangsangan
dan perubahan tanda vital selama
yang dapat diukur dengan tak adanya berlebihan, meningkatkan
dan setelah aktivitas
dyspnea, kelemahan berlebihan, dan b. Berikan lingkungan tenang dan instirahat.
tanda vital dalam rentang normal c. Tirah baring dipertahankan selama
batasi pengunjung selama fase akut
fase akut untuk menurunkan
sesuai indikasi, dorong
kebutuhan metabolik, menghemat
penggunaan manajemen stress dan
energi untuk penyembuhan.
pengalihan yang tepat
c. Jelaskan pentingnya istirahat Pembatasan aktivitas ditentukan
dalam rencana pengobatan dan dengan respons individual pasien
perlunya keseimbangan aktivitas terhadap aktivitas dan perbaikan
dan istirahat kegagalan pernapasan
Mandiri Mandiri

a. Bantu pasien memilih posisi a. Pasien mungkin nyaman dengan


nyaman untuk istirahat dana tau kepala tinggi, tidur di kursi, atau
tidur menunduk kedepan meja atau
b. Bantu aktivitas perawatan diri yang

33
Universitas Indonesia
diperlukan. Berikan kemajuan bantal
b. Meminimalkan kelelahan dan
peningkatan aktivitas selama fase
membantu keseimbangan suplai
penyembuhan
dan kebutuhan oksigen
Pendidikan Kesehatan Pendidikan Kesehatan
a. Berikan informasi tentang a. Mempunyai pengetahuan ini dapat
pembatasan aktivitas dan aktivitas menampukan pasien atau orang
pilihan dengan periode istirahat terdekat untuk membuat
untuk mencegah kelemahan, cara pilihan/keputusan infromasi untuk
menghemat energy selama menurunkan dyspnea,
aktivitas, menggunakan napas memaksimalkan tingkat aktivitas
bibirm posisi berbaring, dan yang diinginkan, dan mencegah
kemungkinan oksigen tambahan komplikasi
selama aktivitas seksual

34
Universitas Indonesia
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit
yang dapat menyebabkan kematian terbesar karena berhubungan dengan
terganggunya saluran pernapasan, khususnya pada negara-negara yang
berpendapatan rendah dan menengah termasuk Indonesia, kematian yang
disebabkan karena PPOK seringkali terjadi. Selain itu, orang yang mengalami
PPOK juga semakin meningkat setiap tahunnya. PPOK ditandai dengan adanya
suatu hambatan aliran udara di saluran napas yang terjadi secara progresif dan
bersifat nonreversibel atau reversible parsial. Ada dua jenis PPOK, yaitu bronkitis
kronik dan emfisema, yang dimana kedua jenis tersebut dapat terjadi secara
bersamaan. PPOK dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah
merokok, polutan, usia, genetik, perkembangan paru, dan infeksi saluran napas
yang berulang. PPOK dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dan
apabila tidak ditangani secara tepat dapat menyebabkan memburuknya kondisi
orang tersebut.

Adanya kemungkinan terjadinya eksaserbasi atau perburukan pada orang


yang mengalami PPOK, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Seperti
pada kasus, seorang pria berusia 67 tahun yang mengalami PPOK dengan
eksaserbasi karena pneumonia. Untuk menyembuhkannya, seorang perawat harus
memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien PPOK tersebut.
Rencana asuhan keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien tersebut yang
terkait dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah intervensi dari
diagnosis gangguan pertukaran gas, bersihan jalan napas tidak efektif dan
intoleransi aktifitas.

35
Universitas Indonesia
4.2 Saran
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang dapat
membahayakan nyawa manusia. Untuk itu, kita harus mencegahnya dengan
menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan PPOK seperti merokok, polutan
dan sebagainya. Selain itu, perawat memiliki peran yang sangat penting dalam
proses penyembuhan pasien dengan PPOK, oleh karena itu kita sebagai seorang
perawat perlu memahami PPOK, penyebabnya, serta asuhan keperawatan yang
tepat pada penyakit PPOK.

36
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Aulia, A. (2016). Kenali Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) - Direktorat


P2PTM. Retrieved from http://www.p2ptm.kemkes.go.id/artikel-
sehat/kenali-penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah: Manajemen


klinis untuk hasil yang diharapkan. (Suslia, A., Ganiajri, F., Lestari, P. P.,
& Sari, R. W. A., Eds.) (8th ed.). Singapura: Elsevier.

Comerford, K. (2012). Pathophysiology made incredibly visual! (2nd ed.).


Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins.

Departemen Kesehatan. (2007). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas.


Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Dochterman, J. M., & Bulechek, G. M. (2008). Nursing Interventions


Classification (NIC). 6th ed. America: Mosby Elseiver.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans:
Guidelines for individualizing client care across the life span (8th ed.).
Philadelphia: F. A. Davis Company.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2017). Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease.

Grossman, S., & Porth, C. (2014). Porth's pathophysiology: concepts of altered


health states (9th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams
& Wilkins.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1022/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik.

Kumar, V., Robbins, S., Abbas, A., & Aster, J. (2013). Robbins basic
pathology (9th ed.). Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders.

37
Universitas Indonesia
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2008). Nursing Outcomes
Classification (NOC). 5th ed. United States of America: Mosby Elseiver.

Muthmainah, Restuastuti, T., & Munir, S. M. (2015). Gambaran kualitas hidup


pasien PPOK stabil di Poli Paru RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
dengan menggunakan kuesioner sgr. JOM FK. 2 (2) 1-20.

Nair, M., & Peate, I. (2013). Fundamentals of applied pathophysiology - an


essential guide for nursing and health care students (2nd ed.). New York:
John Wiley & Sons.

Octaria P. (2010) Hubungan antara derajat merokok dengan kejadian PPOK.


Surakarta : Fakultas Kedokteran Sebelas Maret Surakarta.

Oemiati, R. (2013). Kajian Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK). Media Litbangkes. 23 (2) 82 – 88.

Oktavia, W. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita


Penyakit Paru Obstriksi Kronis (PPOK) di RSUD Arifin Achmad.
Pekanbaru: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2003). Pneumonia Nosokomial:


Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Retrieved from
http://pulmonologi.usu.ac.id/images/PDF/Guideline_Pneumonia_Nosoko
mial_PDPI.pdf

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit paru obstruktif kronik


(PPOK): Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di indonesia. Retrieved
from https://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf

Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
nursing (8th ed.). Missouri: Elsevier.

Rosha, P. T. & Dewi, F. S. T. (2018). Faktor-faktor yang memengaruhi kualitas


hidup pasien penyakit paru obstruktif kronis. BKM Journal of Community
Medicine and Public Health. 34 (2) 62-66.

38
Universitas Indonesia
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2011). Buku saku diagnosis keperawatan:
Diagnosis nanda, intervensi nic, kriteria hasil noc. (Widiarti, D., Eds.) (9th
ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

39
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai