Anda di halaman 1dari 4

TUGAS UJIAN PENGAYAAN

SHERLY BIRAWATI
PPDS Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RSUP Dr. M. Djamil Padang

1. Krusta adalah cairan badan yang mengering yang dapat bercampur dengan
jaringan nekrotik maupun benda asing (kotoran, obat, dan sebagainya).

2. sembarangan/sem·ba·rang·an/ a tidak dengan pilih-pilih; tidak dengan


pandang-memandang; asal ... saja: (Sumber : Kamus Besar Bahasa Indonesia)

3. Konsul bagian THT dengan diagnosa odinofagia.

4. SCORTEN bertujuan untuk menentukan tingkat kematian pada pasien.

5. Patogenesis :

Patogenesis NE belum diketahui secara jelas. Penerapan teknik


farmakogenomik dan biologi molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut
mengungkapkan bahwa disposisi genetik sebagaimana mediator imun adalah
hal yang penting dalam perkembangan SSJ dan NET. Walaupun interaksi Fas-
FasL sudah dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan
apoptosis keratinosit. Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya
reaksi sitotoksik yang diperantarai sel melawan keratinosit dan menyebabkan
apoptosis yang masif. Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+ dan CD 8+ yang
menghasilkan mediator sitotoksik yang berakibat apoptosis keratinosit.
Penelitian imunopatologis dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK)
pada epidermis dan CD4+ pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai
sel CD8+ pada epidermis. Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah
perifer penderita SSJ ataupun NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan
reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh melalui perforin dan granzyme B, tidak
melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian
akan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen (APC) ke sel naive yang akan
menghasilkan reaksi toleran atau reaksi efektor seperti gejala hipersensitivitas.
Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat, MHC (major histocompatibility
complex - restricted cytotoxic reactions) melawan keratinosit.1 Sekarang telah
diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+ bereaksi terhadap
obatobatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan jaringan sitotoksik
yang rumit dan terbatas berlawanan dengan keratinosit. Selanjutnya, regulasi
CD4+ CD 25+ sel T telah menunjukkan pentingnya pencegahan kerusakan
epidermal hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik reaktif. Sitokin penting
seperti IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas ligand (Fas-L) juga
ada pada lesi kulit SSJ/NET.2,3 Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih
kontroversial. Fas dikatakan menyebabkan kematian sel melalui ikatannya.
Tampaknya makin jelas saat ini bahwa peningkatan level FasL dapat ditemukan
pada serum pasien dengan SSJ dan NET, dan levelnya meningkat secara
konsisten ketika sebelumnya terdapat pelepasan kulit.1,2 Viard et al.
mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis keratinosit. Ketika
limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi kaskade enzim
intraseluler yang disebut kaspase yang kemudian menyebabkan kematian sel.
Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi kaskade kaspase melalui
perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi perubahan
pada Fas yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain
Protein). FADD merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8,
yang fungsinya membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8.
Cetakan ini kemudian mengalami autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang
selanjutnya mengaktifkan kaskade kaspase yang berujung pada apoptosis
keratinosit.2,3
Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T
sitotoksik mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada
membran sel target. Kemudian granzyme B melewati saluran ini dan
mengaktifkan kaskade kaspase. Obat-obatan dapat mengaktifkan sel T dengan
bertindak sebagai hapten, prohapten atau dengan interkasi farmakologi
langsung antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T.1

6. Penyakit virus yang dilaporkan termasuk virus herpes simplex (HSV), HIV,
coxsackievirus, influenza, hepatitis, lymphogranuloma venereum, dan cacar.
Agen bakteri termasuk grup A streptokokus beta-hemolitik, basil difteri,
brucellosis, demam tifoid dan tularemia, mikobakteri dan mycoplasma.
Penyebab jamur termasuk paracoccidioidomycosis, dermatophytosis dan
histoplasmosis. Protozoa parasit malaria dan trichomonas juga terkait.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chung WH, Hung SI. Genetic markers and danger signals in stevens Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Allergology International,
2010;59:325-32

2. Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11

3. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson


syndrome, toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451

Anda mungkin juga menyukai