Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KLINIS

ANTIOKSIDAN, OKSIDASI BIOLOGI DAN PEMERIKSAAN URIN

Dosen pembimbing : Lina Elfita, M. Si, Apt.


Endah W., M.Biomed
Chris Adyanto, M.Biomed, Ph.D

Kelompok 1A
Farmasi AC 2014

Ridho Faiqyl Layaly 11141020000002


M. Sunnihaq Alfaaz 11141020000004
Zakiyyah Hamida Hasibuan 11141020000006
St. Ramdiyah Akil 11141020000007
Putri Nuzulia Matany 11141020000010
Ayu Rahmawati 11141020000014
Risyda Afdhilati 11141020000016
Deki Yanto 11141020000019
Anis Khoirun Nisa 11141020000021

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
OKTOBER / 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
a. Memeperlihatkan proses oksidasi senyawa fenol dan folifenol oksidasi (PPO) kentang.
b. Memeperlihatkan efek antioksidan vitamin C terhadap oksidasi oleh PPO kentang.
c. Menghitung secara kasar kadar glukosa dalam urin.
d. Memeriksa adanya indikasi dalam urin.
e. Memeriksa adanya zat keton dalam urin.
f. Mengetahui kadar kreatinin dalam urin
g. Mengetahui keberadaan protein dalam urin.

1.2 Teori dasar


1.2.1 Antioksidan dan Oksidasi Biologi
a. Uji oksidasi dalam kentang dan pengaruh pemberian vitamin C
Enzim polifenol oksidase memiliki kode Enzym Commision (EC)
1.14.18.1, nama trivial monophenol monooxygenase dan nama IUPAC
monophenol, L-dopa:oxygen oxidoreductase. Selain itu, enzim ini juga
memiliki nama lain, yaitu tyrosinase, phenolase, monophenol oxidase,
cresolase, catechol oxidase, polyphenolase, pyrocatechol oxidase, dopa
oxidase, chlorogenic oxidase, catecholase, monophenolase, o-diphenol
oxidase, chlorogenic acid oxidase, diphenol oxidase, o-diphenolase, tyrosine-
dopa oxidase, o-diphenol:oxygen oxidoreductase, polyaromatic oxidase,
monophenol monooxidase, o-diphenol oxidoreductase, monophenol
dihydroxyphenylalanine:oxygen oxidoreductase, N-acetyl-6-
hydroxytryptophan oxidase, monophenol, dihydroxy-L-phenylalanine oxygen
oxidoreductase, o-diphenol:O2 oxidoreductase, dan phenol oxidase (NC-
IUBMB 2010). Enzim polifenol oksidase dihasilkan dari reaksi antara L-
tyrosine, L-dopa, dan O2 menjadi L-dopa, dopaquinone, dan H2O.

Pencoklatan enzimatis dapat terjadi karena adanya jaringan tanaman yang


terluka, misalnya pemotongan, penyikatan, dan perlakuan lain yang dapat
mengakibatkan kerusakan integritas jaringan tanaman (Cheng & Crisosto
1995). Adanya kerusakan jaringan sering kali mengakibatkan enzim kontak
dengan substrat. Enzim yang bertanggung jawab dalam reaksi pencoklatan
enzimatis adalah oksidase yang disebut fenolase, fenoloksidase, tirosinase,
polifenolase, atau katekolase. Dalam tanaman, enzim ini lebih sering dikenal
dengan polifenol oksidase (PPO). Substrat untuk PPO dalam tanaman biasanya
asam amino tirosin dan komponen polifenolik seperti katekin, asam kafeat,
pirokatekol/katekol dan asam klorogenat . Tirosin yang merupakan monofenol,
pertama kali dihidroksilasi menjadi 3,4-dihidroksifenilalanin dan kemudian
dioksidasi menjadi quinon yang akan membentuk warna coklat.

Penggunaan asam sebagai penghambat pencoklatan enzimatis sering


digunakan. Asam yang digunakan adalah asam yang banyak terdapat dalam
jaringan tumbuhan, dalam hal ini asam askorbat, asam sitrat dan asam malat.
Metode penggunaan asam sebagai penghambat pencoklatan enzimatis ini
didasarkan pada pengaruh pH terhadap enzim polifenolase. pH optimum enzim
ini berkisar antara 4,0-7,0 dan aktivitas terkecil pada pH dibawah 3 (Eskin et
al., 1990).
Perubahan warna yang tidak diinginkan akibat browning dapat diatasi dengan
perlakuan perendaman dalam asam askorbat. Menurut Winarno (1997), asam
askorbat merupakan reduktor yang kuat dan mampu bertindak sebagai
oksigen scavenger, sehingga akan mencegah terjadinya oksidasi enzimatis
senyawa-senyawa fenol yang terkandung dalam kentang. Penggunaan asam
mampu menginaktivasi enzim, karena pH bahan akan diturunkan hingga
dibawah (Eskin, 1990).
Winarno (1997) juga menyatakan bahwa penambahan asam askorbat dengan
tujuan untuk menurunkan pH sampai 3,0 atau dibawahnya akan dapat
mempertahankan perubahan warna sebab pH optimal enzim fenolase adalah
6,5. Logam seperti besi dan tembaga dapat diikat oleh asam askorbat, logam-
logam ini merupakan katalisator oksidasi yang dapat menyebabkan perubahan
warna yang tidak diinginkan. Asam bersifat sinergis terhadap antioksidan
dalam mencegah ketengikan dan pencoklatan (Winarno, 1997). Asam askorbat
merupakan senyawa yang mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam dan
mempunyai sifat pereduksi yang kuat. Sifat-sifat tersebut terutama disebabkan
adanya struktur enediol yang berkonjugasi dengan gugus karbonil dalam cincin
lakton.
Asam askorbat dalam bentuk murninya merupakan kristal putih, tidak
berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190-192 ºC. Asam askorbat
sangat mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol absolut dan tidak larut
dalam benzene, eter, khloroform, minyak dan sejenisnya. Walaupun asam
askorbat stabil dalam bentuk kristal, tetapi mudah rusak atau terdegradasi jika
berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti
Cu dan Fe serta cahaya. Sifat yang paling utama dari asam askorbat adalah
kemampuan mereduksinya yang sangat kuat dan mudah teroksidasi yang
dikatalis oleh beberapa logam (Andarwulan dan Koswara, 1992 dalam Auliya,
2008). Menurut Heddy et al. (1994) dalam Auliya (2008), asam yang
dikombinasikan dengan panas akan menyebabkan panas tersebut lebih efektif
terhadap mikroba. Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-
pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan
garam, pH, oksigen, enzim dan katalisator logam. Menurut Eddy
(1941) dalam Auliya (2008), asam askorbat mudah sekali teroksidasi terutama
bila zat dipanaskan dalam larutan alkali atau netral. Adanya oksigen dalam
sistem menyebabkan asam askorbat segera teroksidasi menjadi asam
dehidroaskorbat.
Menurut Eskin et al. (1990) penghambat reaksi pencoklatan yang efektif adalah
asam askorbat. Asam askorbat tidak memberikan flavor yang tidak diinginkan
dan penambahnnya akan menguntungkan karena asam askorbat merupakan
suatu vitamin. Asam askorbat juga sebagai antioksidan dan mampu mereduksi
o-quinon menjadi o-dihidroksi fenol alami.
b. Uji ketengikan lemak
Asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) dapat mengalami proses
peroksidasi menjadi peroksida lipid. PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acids)
pada manusia disintesis dari MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid ), melalui
penambahan ikatan rangkap antara ikatan rangkap yang sudah ada ((9) dan
gugus karboksil ² menghasilkan asam lemak [-9. Peroksidasi lipid adalah reaksi
penyerangan radikal bebas terhadap asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA)
yang mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap. Reaksi ini dapat terjadi
secara alami di dalam tubuh yang diakibatkan oleh pembentukan radikal bebas
secara endogen dari proses metabolisme di dalam tubuh.
c. Uji peroksida lipid dalam cairan biologis
Peroksidasi lipid diinisiasi oleh radikal bebas seperti radikal anion
superoksida, radikal hidroksil dan radikal peroksil. Radikal bebas secara
berkesinambungan dapat dibuat oleh tubuh kita. Setiap radikal bebas yang
terbentuk oleh tubuh dapat memulai suatu reaksi berantai yang akan terus
berlanjut sampai radikal bebas ini dihilangkan oleh radikal bebas lain dan oleh
sistem antioksidan tubuh (Halliwell & Gutteridge 1999). Peroksida lipid
selanjutnya mengalami dekomposisi menjadi malondialdehid (MDA). MDA
produk akhir proses peroksidasi lipid dan yang paling sering digunakan untuk
mengukur proses peroksidasi lipid. Pengujian MDA dilakukan dengan TBA
(Asam tiobarbiturat) yaitu akan membentuk senyawa warna merah muda dan
diukur serapan pada panjang gelombang 532 nm, juga dapat diukur dengan
HPLC (High Performance Liqiud Chromatography).

1.2.2 Pemeriksaan Urin


Urin merupakan keluaran akhir yang dihasilkan ginjal sebagai akibat kelebihan
urine dari penyaringan unsur-unsur plasma (Frandson, 1992). Urine atau urin merupakan
cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
proses urinasi. Eksreksi urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam
darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan
tubuh. Urine disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih,
akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra. Proses pembentukan urin di dalam ginjal
melalui tiga tahapan yaitu filtrasi (penyaringan), reabsorpsi (penyerapan kembali), dan
augmentasi (penambahan).
Pada filtrasi terjadi proses sebagai berikut. Filtrasi darah terjadi di glomerulus, yai
tu kapiler darah yang bergelung-gelung di dalam kapsul Bowman. Pada glomerulus terdap
at sel-sel endotelium sehingga memudahkan proses penyaringan. Selain itu, di glomerulus
juga terjadi pengikatan sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma aga
r tidak ikut dikeluarkan. Hasil proses infiltrasi ini berupa urine primer (filtrate glomerulus
) yang komposisinya mirip dengan darah, tetapi tidak mengandung protein. Di dalam urin
e primer dapat ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium, ion-ion, dan garam-gara
m lainnya.
Proses reabsorpsi terjadi di dalam pembuluh (tubulus) proksimal. Proses ini terjadi
setelah urine primer hasil proses infiltrasi mengalir dalam pembuluh (tubulus) proksimal.
Bahan-bahan yang diserap dalam proses reabsorpsi ini adalah bahan-bahan yang masih be
rguna, antara lain glukosa, asam amino, dan sejumlah besar ion-ion anorganik. Selain itu,
air yang terdapat dalam urine primer juga mengalami reabsorpsi melalui proses osmosis, s
edangkan reabsorpsi bahan-bahan lainnya berlangsung secara transpor aktif. Proses penye
rapan air juga terjadi di dalam tubulus distal. Kemudian, bahan-bahan yang telah diserap k
embali oleh tubulus proksimal dikembalikan ke dalam darah melalui pembuluh kapiler ya
ng ada di sekeliling tubulus. Proses reabsorpsi ini juga terjadi di lengkung Henle, khususn
ya ion natrium. Hasil proses reabsorpsi adalah urine sekunder yang memiliki komposisi z
at-zat penyusun yang sangat berbeda dengan urine primer. Dalam urine sekunder tidak dit
emukan zat-zat yang masih dibutuhkan tubuh dan kadar urine meningkat dibandingkan di
dalam urine primer.
Pada augmentasi, terjadi proses sebagai berikut. Urine sekunder selanjutnya masu
k ke tubulus kontortus distal dan saluran pengumpul. Di dalam saluran ini terjadi proses p
enambahan zat-zat sisa yang tidak bermanfaat bagi tubuh. Kemudian, urine yang sesungg
uhnya masuk ke kandung kemih (vesika urinaria) melalui ureter. Selanjutnya, urine terseb
ut akan dikeluarkan dari tubuh melalui uretra. Urine mengandung urea, asam urine, amoni
a, dan sisa-sisa pembongkaran protein. Selain itu, mengandung zat-zat yang berlebihan da
lam darah, seperti vitamin C, obat-obatan, dan hormon serta garam-garam.
a. Karakteristik Urin
Secara umum urin berwarna kuning. Urin yang didiamkan agak lama akan berwarna kun
ing keruh. Urin berbau khas yaitu berbau ammonia. Ph urin berkisar antara 4,8 – 7,5 da
n akan menjadi lebih asam jika mengkonsumsi banyak protein serta urin akan menjadi le
bih basa jika mengkonsumsi banyak sayuran. Berat jenis urin yakni 1,002 – 1,035 g/ml
(Uliyah, 2008). Komposisi urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut. Di dala
m urin terkandung bermacam – macam zat, antara lain (1) zat sisa pembongkaran prot
ein seperti urea, asam ureat, dan amoniak, (2) zat warna empedu yang memberikan war
na kuning pada urin, (3) garam, terutama NaCl, dan (4) zat – zat yang berlebihan dikom
sumsi, misalnya vitamin C, dan obat – obatan serta juga kelebihan zat yang yang diprod
uksi sendiri oleh tubuh misalnya hormon (Ethel, 2003).

Urin yang normal tidak mengandung protein dan glukosa. Jika urin mengandung protein
, berarti telah terjadi kerusakan ginjal pada bagian glomerulus. Jika urin mengandung gu
la, berarti tubulus ginjal tidak menyerap kembali gula dengan sempurna. Hal ini dapat di
akibatkan oleh kerusakan tubulus ginjal. Dapat pula karena kadar gula dalam darah terla
lu tinggi atau melebihi batas normal sehingga tubulus ginjal tidak dapat menyerap kemb
ali semua gula yang ada pada filtrat glomerulus. Kadar gula yang tinggi diakibatkan oleh
proses pengubahan gula menjadi glikogen terlambat, kerena produksi hormon insulin ter
hambat. Orang yang demikian menderita penyakit kencing manis (diabetes melitus). Zat
warna makanan juga dikeluarkan melalui ginjal dan sering memberi warna pada urin. Ba
han pengawet atau pewarna membuat ginjal bekerja keras sehingga dapat merusak ginjal
. Adanya insektisida pada makanan karena pencemaran atau terlalu banyak mengkonsum
si obat – obatan juga dapat merusak ginjal (Scanlon, 2000).

b. Pemeriksaan Urin
Menurut Wulangi (1990), menyatakan bahwa analisa urin itu penting, karena banyak pen
yakit dan gangguan metabolisme dapat diketahui dari perubahan yang terjadi didalam urin
. Zat yang dapat dikeluarkan dalam keadaan normal yang tidak terdapat adalah glukosa, a
seton, albumin, darah dan nanah (Wulangi, 1990). Pemeriksaan urin merupakan pemeriks
aan yang dipakai untuk mengetahui adanya kelainan di dalam saluran kemih yaitu dari gin
jal dengan salurannya, kelainan yang terjadi di luar ginjal, untuk mendeteksi adanya meta
bolit obat seperti zat narkoba dan mendeteksi adanya kehamilan (Medika, 2012).

Bahan urin yang biasa di periksa di laboratorium dibedakan berdasarkan pengumpulannya


yaitu : urin sewaktu, urin pagi, urin puasa, urin postprandial (urin setelah makan) dan urin
24 jam (untuk dihitung volumenya). Tiap-tiap jenis sampel urin mempunyai kelebihan ma
sing-masing untuk pemeriksaan yang berbeda misalnya urin pagi sangat baik untuk meme
riksa sedimen (endapan) urin dan urin postprandial baik untuk pemeriksaan glukosa urin.
Jadi sebaiknya sebelum kita melakukan pemeriksaan urin sebaiknya meminta keterangan
dari petugas laboratorium tentang bahan urin yang mana yang diperlukan untuk pemeriks
aan (Djojodibroto, 2001).

Pemeriksaan urin terbagi menjadi dua jenis yaitu pemeriksaan kimiawi dan pemeriksaan s
edimen. Sebagaimana namanya dalam pemeriksaan kimia yang diperiksa adalah pH urin /
keasaman, berat jenis, nitrit, protein, glukosa, bilirubin, urobilinogen,dll. Jenis zat kimia y
ang diperiksa merupakan penanda keadaan dari organ2 tubuh yang hendak didiagnosa. Se
perti penyakit “kuning” yang disebabkan oleh bilirubin darah yang tinggi biasanya mengh
asilkan urin yang mengandung kadar bilirubin diatas normal. Begitu pula zat kimia lainny
a yang dihubungkan dengan keadaan organ tubuh yang berbeda (Djojodibroto, 2001).

Dalam pemeriksaan sedimen yang diperiksa adalah zat sisa metabolisme yang berupa kris
tal, granula termasuk juga bakteri. Dengan pemeriksaan sedimen maka keberadaan suatu b
enda normal ataupun tidak normal yang terdapat dalam urin kita akan dapat menunjukkan
keadaan organ tubuh. Dalam urin yang ditemukan jumlah eritrosit jauh diatas angka norm
al bisa menunjukkan terjadinya perdarahan di saluran kemih bagian bawah. Begitu juga d
engan ditemukannya kristal-kristal abnormal dapat diprediksi jika seseorang beresiko terk
ena batu ginjal, karena kristal-kristal dalam urin merupakan pemicu utama terjadinya end
apan kristal dalam saluran kemih terutama ginjal yang jika dibiarkan berlanjut akan memb
entuk batu ginjal (Djojodibroto, 2001).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Uji Oksidasi dalam kentang


a. Alat dan Baan
 Ekstrak Kentang
 Larutan Fenol 1 %
 Larutan Pirogalol
 Larutan Vitamin C
 Pisang
 Air Jeruk
 Aquadest
 Beker glass
 Glass ukur

b. Cara kerja

Tabung
Bahan
1 2 3 4
Ekstrak Kentang
5 5 5 5
(mL)
Lar. Vitamin C - 10 tetes - 10 tetes
Lar. Fenol 10 tetes 10 tetes - -
Lar. Pirogalol - - 10 tetes 10 tetes
Masing-masing tabung di kocok dan diamati perubahan yang terjadi.

Tabung
Bahan
1 2
Potongan Pisang 1 1
Aquadest 5 mL 5 mL
Air Jeruk 5 mL
Lihat perubahan yang terjadi
3.2 Uji Peroksida Lipid dalam Cairan Biologis
a. Alat dan Bahan :
 Hemolisat Darah
 Larutan TBA 0,67%
 Larutan TCA 10%

b. Cara kerja

Bahan Uji 1 Uji 2


Hemolisat darah (mL) 1 -
Larutan aquadest (mL) 1 1
Larutan TCA 10% (mL) 2 2
Sentrifugasi (4000 rpm) dan ambil supernatan
Larutan TBA 0,67% (mL) 3 3

Didihkan 10 menit, setelah dingin lihat besar absorbansi dengan Spektrofotometer pada λ 532 nm
3.4 Pemeriksaan Urin
a. Uji benedict
- Bahan :
Larutan Benedict dan Urin
b. Cara kerja

BAHAN TABUNG
Larutan Benedict 2,5 ml
Urin 4 tetes
Panaskan 8 menit dalam air mendidih 1000 C lalu biarkan dingin
Hasil:
Bandingkan hasil percobaan dengan acuan seri pemeriksaan kadar gula yang telah
disiapkan

Acuan kadar gula:


WARNA PENILAIAN KADAR
Biru jernih - 0
Hijau + < 0,5 %
Kuning kehijauan ++ 0,5 – 1 %
Jingga +++ 1–2%
Merah Bata ++++ >2%

Kadar = gram /dL atau %


3.5 Uji Rothera ( Zat Keton )
Bahan :
- Urin Sehat dan Urin Patologis - Natrium nitroprusid 5 % segar
- Kristal Amonium sulfat - Amonium hidroksida pekat
Cara kerja :
BAHAN TABUNG A TABUNG B
Urin sehat 5 ml -
Urin patologis - 5 ml
Kristal amonium sulfat Sampai jenuh Sampai jenuh
Natrium nitroprusid 5 % 2 – 3 tetes 2 – 3 tetes
Amonium hidroksida pekat 1 – 2 ml 1 – 2 ml
Campur Diamkan 30 menit

3.6 Uji Heller (Protein)


Bahan:
c. Urin sehat dan Patologis
d. Asam nitrat pekat
Cara Kerja :
BAHAN TABUNG A TABUNG B
Asam nitrat pekat 2 ml 2 ml
Alirkan urin melalui dinding tabung
Urin sehat 2 ml 2 ml
Urin patologis - -
Sampai jenuh Sampai jenuh
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
3.1.1 Uji antioksidan dan Oksidasi
a. Fenol  Coklat krem
b. Vitamin C + Fenol  Putih pucat
c. Pirogalol  Coklat kehitaman
d. Vitamin C + pirogalol  Coklat muda

3.1.2 Uji jeruk nipis


a. Air jeruk : pisang putih bersih
b. aquadest : pisang yang timbul bitnik bitnik hitam

3.1.3. MDA
Perhitungan
Larutan induk = 5 mmol = 5000 µM
1). C1 = 0,625 µM
M1.V1 = M2.V2
5000.V1 = 0,625.100
V1 = 0,00125 = 1,25 µL

2). C2 = 1,25 µM
M1.V1 = M2.V2
5000.V1 = 1, 25.100
V1 = 0,025 = 25 µL

3). C1 = 2,5 µM
M1.V1 = M2.V2
5000.V1 = 2,5.100
V1 = 0,05 = 50 µL

4). C4 = 5 µM
M1.V1 = M2.V2
5000.V1 = 5.100
V1 = 0,1 = 100 µL
3.1.2 Uji urin
a. Uji benedict  - Urin normal : Biru muda
- Urin patologis : merah bata
(++++) > 2%

b.Uji Rothera : - Urin normal cincin ciklat


- Urin patologis  cincin ungu
c. Uji heler : - Urin normal  kuning bening
- Urin patologis  putih keruh
3.2 Pembahasan
3.2.1 Uji Oksidasi Fenol pada Buah Pisang dan Pengaruh Penambahan
Vitamin C

Praktikum ini bertujuan untuk mengamati reaksi oksidasi dan pengaruh


antioksidan terhadap reaksi tersebut. Reaksi oksidasi dapat
menyebabkan perubahan warna dan bau pada lingkungan terjadinya
reaksi, sehingga kedua hal tersebut dapat dijadikan indikator terjadinya
reaksi. Untuk meminimalisasi pengaruh dari reaksi ini bisa dilakukan
dengan pencegahan reaksi dengan beberapa metode. Metode yang umum
dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi adalah dengan
penambahan antikoksidan pada system reaksi.
Pengamatan dilakukan terhadap pengaruh oksidasi pada perubahan fisik,
dalam hal ini perubahan warna, lingkungan reaksi yang dilakukan pada
jaringan hidup salah satunya adalah pisang. Selanjutnya dilakukan
pengamatan terhadap aktivitas antioksidan untuk menghambat terjadinya
oksidasi. Antioksidan yang digunakan berupa perasan air jeruk nipis
yang mengandung asam.
Oksidasi yang terjadi pada pisang akan menyebabkan terjadinya
perubahan warna menjadi lebih gelap atau kecoklatan. Oleh karena
perubahan yang dihasilkan berupa perubahan warna, fenomena ini sering
disebut reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan ini bisa terjadi karena
bantuan enzim (browning enzimatic) atau tanpa bantuan enzim
(browning non-enzimatic). Pisang yang mengalami reaksi pencoklatan
termasuk dalam proses enzimatik karena melibatkan enzim yang
terkandung dalam jaringannya.

Pencoklatan pada buah pisang yang telah dipotong ataupun dikupas


disebabkan oleh aktifitas enzim polifenoloksidase (PPOase), yang
dengan bantuan oksigen dan dikatalis oleh logam Cu+ yang terkandung
akan mengubah gugus monofenol menjadi O-hidroksifenol, yang
selanjutnya diubah lagi menjadi O-kuinon. Gugus O-kuinon inilah yang
membentuk warna coklat. Reaksi ini terjadi hanyas setelah buah
dikupas/dipotong karena pada saat itu jaringan terpapar langsung oleh
udara sehingga enzim PPOase didalamnya berinteraksi langsung oleh
oksigen diudara.

Pada praktikum yang dilakukan, pisang telah dipotong dan dikupas,


diletakkan pada gelas beacker yang berisi aquadest dan air perasan jeruk
nipis. Pada sampel yang diletakkan pada gelas beacker yang berisi
aquadest, sebagian besar potongan sampel terendam oleh aquadest.
Sehingga bagian yang terendam tidak terpapar langsung oleh oksigen.
Akibat dari kurangnya interaksi dengan udara, maka produksi enzim O-
hidroksifenol dari enzim PPOase sangat minim, sehingga proses oksidasi
terjadi dalam kuantitas yang kecil. Hal ini yang menyebabkan perubahan
warna yang terjadi tidak cukup signifikan. Namun bagian sampel yang
tidak terendam oleh aquadest terjadi perubahan warna dikarenakan
bagian yang tidak terendama quadest berinteraksi dengan oksigen.

Pada sampel yang diletakkan pada air perasan jeruk nipis menunjukkan
perubahan warna yang jauh lebih minimal sampai tidak ada,
dibandingkan dengan yang diletakkan pada aquadest. Hal ini terjadi
karena air perasan jeruk nipis mengandung vitamin C dan asam lain yang
dapat menghambat terjadinya oksidasi. Vitamin C (asamaskorbat) dan
asam organic lain merupakan zat pengkelat yang berguna untuk
mengikat logam Cu+ untuk mengkatalis reaksi oksidasi. Selain itu sifat
asam yang bersifat menurunkan pH juga akan menurunkan aktivitas
enzim PPOase.
3.2.2 Pembahasan MDA
Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dapat bereaksi
dengan molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat
destruktif (Goldman dan Klatz, 2003). Radikal bebas bersifat sangat
reaktif. Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, dan protein.
Beribu-ribu studi mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai
kontribusi yang besar pada terjadinya penyakit yang berhubungan
dengan proses penuaan seperti kanker, penyakit jantung dan proses
penuaan. Antioksidan melindungi sel dengan menetralkan radikal bebas
(Bagiada, 2001). Radikal bebas mungkin juga mempengaruhi
peroksidasi lipid yang menyebabkan produksi malondialdehyde (MDA)
yang mengikat protein dan menyebabkan gangguan fungsi biologik
protein tersebut. Radikal bebas tidakhanya berkaitan dengan proses
penuaan, melainkan juga dengan penyakit yang berhubungan dengan
usia lanjut, misalnya aterosklerosis, penyakit Parkinson, penyakit
Alzheimer, dan gangguan fungsi kekebalan tubuh (Pangkahila, 2007).

Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang rumit dan terjadi


secara bertingkat. Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya asam
lemak tidak jenuh sehingga secara sederhana prinsip pengukuran
peroksidasi lipid adalah untuk memeriksa hilangnya asam lemak.
Hasil akhir peroksidasi lipid (terutama cytotoxic aldehydes) seperti
malondialdehyde dan 4-hydroxynonenal dapat menyebabkan
kerusakan pada protein dan DNA (Halliwell, 2002).

Pada percobaan digunakan dua sampel darah untuk uji MDA, dan pada
standar digunakan 5 mmol yang diencerkan menjadi 0,625; 1,25;2,5;5
dan 10. Pada pengujian sampel darah disentrifugasi dan diambil bagian
bening sebanyak 1 ml ditambahkan 2 ml TCA penambahan TCA untuk
mengendapkan protein. Selanjutnya ditambahkan TBA dan dipanaskan
selama 10 menit, didinginkan dan diukur serapan pada panjang
gelombang 532 nm.
Dari percobaan didapatkan hasil:

Uji MDA Aborbansi


blanko 0
0 0
0,625 0,080
1,25 0,391
2,5 0,443
5 0,732
10 0,822
Sampel A
Sampel B

Dilihat dari kurva dapat disimpulkan bahwa pada praktikum ini hasil
yang didapatkurang baik. Nilai R yang seharusnya mendekati 1 pada
percobaan didapat nilai R 0,7921. Nilai absorbansi yang kurang baik ini
dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya terdapat kesalahan saat
pengenceran, terdapat pengotor pada kuvet, dan lain sebagainya.
Dikarenakan nilai yang dihasilkan kurang baik, menyebabkan
perhitungan MDA pun mendapatkan hasil minus. Sehingga hasil dari
perhitungan tidak dapat digunakan untuk menentukan kadar MDA yang
ada didalam cairan biologis.

3.2.3 Urin
a. Uji benedict
Uji Benedict dapat dilakukan pada urine untuk mengetahui
kandungan glukosa. Urine yang mengandung glukosa dapat menjadi
tanda adanya penyakit diabetes. Sekali urine diketahui mengandung
gula pereduksi, test lebih jauh mesti dilakukan untuk memastikan
jenis gula pereduksi apa yang terdapat dalam urine. Hanya glukosa
yang mengindikasikan penyakit diabetes.

Larutan benedict yang mengandung tembaga alkalis akan direduksi


oleh gula yang mempunyai gugus aldehida dengan membentuk
kuprooksida yang berwarna hijau, kuning atau merah. Fehling yang
terdiri dari campuran CuSO4 dan asam tartat dan basa, akan
direduksi gula pereduksi sehingga Cu akan menjadi Cu2O yang
berwarna merah bata.

Reaksi :
CuSO4 + 2 NaOH ---> Cu(OH)2 + Na2SO4 (putih kebiru – biruan)
Cu(OH)2 ----> 2 CuOH + H2O + O Pemanasan kuning (diambil oleh
gula dan produk2nya) 2 CuOH ----> Cu2O + H2O (merah bata)
Warna Penilaian Konsentrasi
 Biru jernih – 0
 Hijau/kuning hijau + 1 Kurang dari 0,5 %
 Kuning/kuning kehijauan + 2 0,5 – 1,0 %
 Jingga + 3 1,0 – 2,0 %
 Merah + 4 Lebih dari 2 %

Pada praktikum kali ini menghasilkan perubahan warna pada urin


sampel adalah biru jernih yang menandakan kadar glukosa dalam
urin 0, menunjukkan kadar glukosa dalam urin sampel adalah dalam
batas normal.

b. Uji Rothera
Uji Rothera bertujuan untuk memeriksa adanya zat keton didalam
urin. Percobaan pada praktikum ini dilakukan dengan
membandingkan antara urin sehat dan uri patologis. Kedua sampel
diberi perlakuan yang sama yaitu 5ml urin ditambahkan kristal
ammonium sulfat sampai urin jenuh hal ini bertujuan agar kompleks
stabil karena kristal ammonium sulfat berfungsi sebagai larutan
penyangga. Setelah itu ditambahkan Natrium Nitroprusid 5%
sebanyak 2-3 tetes dan ammonium hidroksida 1-2 ml lalu dicampur
dan diamkan selama 30 menit. Penambahan Na-nitroprusid dalam
suasana asam akan dipecah menjadi Na4Fe(CN)6-NaNO2 dan
Fe(OH)3 yang merupakan oksidator kuat dan akan bereaksi dengan
asam aseto asetat dan aston dalam suasana basa akan membentuk
senyawa berwarna ungu.
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan terlihat bahwa tidak
terbentuknya cincin berwarna ungu pada perbatasan kedua lapisan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa urin (-) atau tidak mengandung
senyawa keton didalam urinnya. Adanya zat keton dalam urin
dikarenakan metabolisme lemak dan asam lemak secara berlebihan,
kurangnya karbohidrat dalam tubuh sehingga simpanan lemak
digunakan sebagai sumber energy. Hasil urin (+) akan terbentuk
cincin berwarna ungu diantara kedua lapisan, hal tersebut
menunjukkan bahwa didalam urin terdapat zat keton.
c. Uji Heller
Uji heller pada urin dilakukan untuk mengetahui keberadaan protein
dalam urin. Protein dalam urin akan mengalami denaturasi dengan
penambahan asam nitrat pekat dalam bentuk cincin putih pada
perbatasan kedua cairan. Uji heller dilakukan dengan memasukkan
asam nitrat pekat kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan urin
uji/urin patologis sebanyak 2 ml. Hasil yang diperoleh baik dari urin
sehat maupun urin patologis tidak menunjukkan adanya cincin putih
pada perbatasan kedua cairan, maka dapat dikatakan kedua urin
tersebut negatif mengandung protein atau proteinuria.
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang
melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada
anak-anak lebih dari 140 mg/m2 . Dalam keadaan normal, protein
didalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional.
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa
gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti
adanya penyakit ginjal yang serius.Walaupun penyakit ginjal yang
penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus
proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau
merupakan penyakit ginjal yang tidak progresif. Adanya protein di
dalam urin sangat penting, dan memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk menentukan adanya penyebab/penyakit dasarnya.

Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas


200mg/hari, pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang
berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin
telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya hanya sedikit
diatas nilai normal. Dikatakan proteinuria massif bila terdapat protein
di urin melebihi 3500 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas
albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah
protein yang cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang
melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul didalam urin.
Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu: Filtrasi
glomerulus dan reabsorbsi protein tubulus.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh maka dapat disimpulkan, bahwa:
Dari percobaan Uji antioksidan dan Oksidasi biologi dapat disimpulkan bahwa
- Oksidasi yang terjadi pada pisang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna
menjadi lebih gelap atau kecoklatan. Pencoklatan pada buah pisang yang telah dipotong
ataupun dikupas disebabkan oleh aktifitas enzim polifenoloksidase (PPOase), yang
dengan bantuan oksigen dan dikatalis oleh logam Cu+ yang terkandung akan
mengubah gugus monofenol menjadi O-hidroksifenol, yang selanjutnya diubah lagi
menjadi O-kuinon. Reaksi ini terjadi setelah buah dikupas/dipotong karena pada saat
itu jaringan terpapar langsung oleh udara sehingga enzim PPOase didalamnya
berinteraksi langsung oleh oksigen diudara.
- Protein dalam urin akan mengalami denaturasi dengan penambahan asam nitrat pekat
dalam bentuk cincin putih pada perbatasan kedua cairan. Proteinuria adalah adanya
protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150
mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Biasanya proteinuria baru
dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200mg/hari, pada beberapa kali pemeriksaan
dalam waktu yang berbeda.

Pada uji urin dapat disimpulkan bahwa


- Pada uji benedict, urin sampel menandakan tidak adanya glukosa (dengan warna biru
jernih), sedangkan pada urin patologis menunjukkan positif adanya glukosa dengan
terbentuknya endapan merah bata
- Pada uji Rothera, dari hasil percobaan yang telah dilakukan terlihat bahwa tidak
terbentuknya cincin berwarna ungu pada perbatasan kedua lapisan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa urin (-) atau tidak mengandung senyawa keton didalam urinnya.
- Pada Uji Heller, hasil yang diperoleh baik dari urin sehat maupun urin patologis tidak
menunjukkan adanya cincin putih pada perbatasan kedua cairan, maka dapat dikatakan
kedua urin tersebut negatif mengandung protein atau proteinuria.

Daftar pustaka
Bagiada, N. A. 2001. Proses penuaan dan penanggulangannya. Denpasar: Universitas
Udayana.
Golman, R dan Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia: Printmate
Sdn. Bhd. P. 19-25
Halliwell, B. 2002. Handbook of Antioxidants. Second Edition Revised and Expanded.
Food-Derived Antioxidants. 1-33
Pangkahila, W. 2007. Anti Aging medicine: memperlambat penuaan, meningkatkan kualitas
hidup. Cetakan ke-1. Jakarta: Buku Kompas. Hal: 1-3, 8-9, 37-40, 216.
Djojodibroto, R.D. 2001. Seluk Beluk Pemeriksaan Kesehatan (Medical Check Up):
Bagaimana Menyikapi Hasilnya. Pustaka Populer Obor. Jakarta.
Ethel, S. 2003. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi Keempat. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
Medika. 2012. Pemeriksaan Urin. Tersedia di: http://www.biomedika.
co.id/services/laboratorium/31/pemeriksaan-urin.html [Akses tanggal 16 Oktober 2016].
Scanlon, Valerie C. dan Tina Sanders. 2000. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Uliyah, Musrifatul. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Salemba Medika. Jakarta.
Wulangi, Kartolo. 1990. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. ITB Press. Bandung..

Anda mungkin juga menyukai