Kelompok 1A
Farmasi AC 2014
Urin yang normal tidak mengandung protein dan glukosa. Jika urin mengandung protein
, berarti telah terjadi kerusakan ginjal pada bagian glomerulus. Jika urin mengandung gu
la, berarti tubulus ginjal tidak menyerap kembali gula dengan sempurna. Hal ini dapat di
akibatkan oleh kerusakan tubulus ginjal. Dapat pula karena kadar gula dalam darah terla
lu tinggi atau melebihi batas normal sehingga tubulus ginjal tidak dapat menyerap kemb
ali semua gula yang ada pada filtrat glomerulus. Kadar gula yang tinggi diakibatkan oleh
proses pengubahan gula menjadi glikogen terlambat, kerena produksi hormon insulin ter
hambat. Orang yang demikian menderita penyakit kencing manis (diabetes melitus). Zat
warna makanan juga dikeluarkan melalui ginjal dan sering memberi warna pada urin. Ba
han pengawet atau pewarna membuat ginjal bekerja keras sehingga dapat merusak ginjal
. Adanya insektisida pada makanan karena pencemaran atau terlalu banyak mengkonsum
si obat – obatan juga dapat merusak ginjal (Scanlon, 2000).
b. Pemeriksaan Urin
Menurut Wulangi (1990), menyatakan bahwa analisa urin itu penting, karena banyak pen
yakit dan gangguan metabolisme dapat diketahui dari perubahan yang terjadi didalam urin
. Zat yang dapat dikeluarkan dalam keadaan normal yang tidak terdapat adalah glukosa, a
seton, albumin, darah dan nanah (Wulangi, 1990). Pemeriksaan urin merupakan pemeriks
aan yang dipakai untuk mengetahui adanya kelainan di dalam saluran kemih yaitu dari gin
jal dengan salurannya, kelainan yang terjadi di luar ginjal, untuk mendeteksi adanya meta
bolit obat seperti zat narkoba dan mendeteksi adanya kehamilan (Medika, 2012).
Pemeriksaan urin terbagi menjadi dua jenis yaitu pemeriksaan kimiawi dan pemeriksaan s
edimen. Sebagaimana namanya dalam pemeriksaan kimia yang diperiksa adalah pH urin /
keasaman, berat jenis, nitrit, protein, glukosa, bilirubin, urobilinogen,dll. Jenis zat kimia y
ang diperiksa merupakan penanda keadaan dari organ2 tubuh yang hendak didiagnosa. Se
perti penyakit “kuning” yang disebabkan oleh bilirubin darah yang tinggi biasanya mengh
asilkan urin yang mengandung kadar bilirubin diatas normal. Begitu pula zat kimia lainny
a yang dihubungkan dengan keadaan organ tubuh yang berbeda (Djojodibroto, 2001).
Dalam pemeriksaan sedimen yang diperiksa adalah zat sisa metabolisme yang berupa kris
tal, granula termasuk juga bakteri. Dengan pemeriksaan sedimen maka keberadaan suatu b
enda normal ataupun tidak normal yang terdapat dalam urin kita akan dapat menunjukkan
keadaan organ tubuh. Dalam urin yang ditemukan jumlah eritrosit jauh diatas angka norm
al bisa menunjukkan terjadinya perdarahan di saluran kemih bagian bawah. Begitu juga d
engan ditemukannya kristal-kristal abnormal dapat diprediksi jika seseorang beresiko terk
ena batu ginjal, karena kristal-kristal dalam urin merupakan pemicu utama terjadinya end
apan kristal dalam saluran kemih terutama ginjal yang jika dibiarkan berlanjut akan memb
entuk batu ginjal (Djojodibroto, 2001).
BAB III
METODOLOGI
b. Cara kerja
Tabung
Bahan
1 2 3 4
Ekstrak Kentang
5 5 5 5
(mL)
Lar. Vitamin C - 10 tetes - 10 tetes
Lar. Fenol 10 tetes 10 tetes - -
Lar. Pirogalol - - 10 tetes 10 tetes
Masing-masing tabung di kocok dan diamati perubahan yang terjadi.
Tabung
Bahan
1 2
Potongan Pisang 1 1
Aquadest 5 mL 5 mL
Air Jeruk 5 mL
Lihat perubahan yang terjadi
3.2 Uji Peroksida Lipid dalam Cairan Biologis
a. Alat dan Bahan :
Hemolisat Darah
Larutan TBA 0,67%
Larutan TCA 10%
b. Cara kerja
Didihkan 10 menit, setelah dingin lihat besar absorbansi dengan Spektrofotometer pada λ 532 nm
3.4 Pemeriksaan Urin
a. Uji benedict
- Bahan :
Larutan Benedict dan Urin
b. Cara kerja
BAHAN TABUNG
Larutan Benedict 2,5 ml
Urin 4 tetes
Panaskan 8 menit dalam air mendidih 1000 C lalu biarkan dingin
Hasil:
Bandingkan hasil percobaan dengan acuan seri pemeriksaan kadar gula yang telah
disiapkan
3.1 Hasil
3.1.1 Uji antioksidan dan Oksidasi
a. Fenol Coklat krem
b. Vitamin C + Fenol Putih pucat
c. Pirogalol Coklat kehitaman
d. Vitamin C + pirogalol Coklat muda
3.1.3. MDA
Perhitungan
Larutan induk = 5 mmol = 5000 µM
1). C1 = 0,625 µM
M1.V1 = M2.V2
5000.V1 = 0,625.100
V1 = 0,00125 = 1,25 µL
2). C2 = 1,25 µM
M1.V1 = M2.V2
5000.V1 = 1, 25.100
V1 = 0,025 = 25 µL
3). C1 = 2,5 µM
M1.V1 = M2.V2
5000.V1 = 2,5.100
V1 = 0,05 = 50 µL
4). C4 = 5 µM
M1.V1 = M2.V2
5000.V1 = 5.100
V1 = 0,1 = 100 µL
3.1.2 Uji urin
a. Uji benedict - Urin normal : Biru muda
- Urin patologis : merah bata
(++++) > 2%
Pada sampel yang diletakkan pada air perasan jeruk nipis menunjukkan
perubahan warna yang jauh lebih minimal sampai tidak ada,
dibandingkan dengan yang diletakkan pada aquadest. Hal ini terjadi
karena air perasan jeruk nipis mengandung vitamin C dan asam lain yang
dapat menghambat terjadinya oksidasi. Vitamin C (asamaskorbat) dan
asam organic lain merupakan zat pengkelat yang berguna untuk
mengikat logam Cu+ untuk mengkatalis reaksi oksidasi. Selain itu sifat
asam yang bersifat menurunkan pH juga akan menurunkan aktivitas
enzim PPOase.
3.2.2 Pembahasan MDA
Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dapat bereaksi
dengan molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat
destruktif (Goldman dan Klatz, 2003). Radikal bebas bersifat sangat
reaktif. Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, dan protein.
Beribu-ribu studi mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai
kontribusi yang besar pada terjadinya penyakit yang berhubungan
dengan proses penuaan seperti kanker, penyakit jantung dan proses
penuaan. Antioksidan melindungi sel dengan menetralkan radikal bebas
(Bagiada, 2001). Radikal bebas mungkin juga mempengaruhi
peroksidasi lipid yang menyebabkan produksi malondialdehyde (MDA)
yang mengikat protein dan menyebabkan gangguan fungsi biologik
protein tersebut. Radikal bebas tidakhanya berkaitan dengan proses
penuaan, melainkan juga dengan penyakit yang berhubungan dengan
usia lanjut, misalnya aterosklerosis, penyakit Parkinson, penyakit
Alzheimer, dan gangguan fungsi kekebalan tubuh (Pangkahila, 2007).
Pada percobaan digunakan dua sampel darah untuk uji MDA, dan pada
standar digunakan 5 mmol yang diencerkan menjadi 0,625; 1,25;2,5;5
dan 10. Pada pengujian sampel darah disentrifugasi dan diambil bagian
bening sebanyak 1 ml ditambahkan 2 ml TCA penambahan TCA untuk
mengendapkan protein. Selanjutnya ditambahkan TBA dan dipanaskan
selama 10 menit, didinginkan dan diukur serapan pada panjang
gelombang 532 nm.
Dari percobaan didapatkan hasil:
Dilihat dari kurva dapat disimpulkan bahwa pada praktikum ini hasil
yang didapatkurang baik. Nilai R yang seharusnya mendekati 1 pada
percobaan didapat nilai R 0,7921. Nilai absorbansi yang kurang baik ini
dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya terdapat kesalahan saat
pengenceran, terdapat pengotor pada kuvet, dan lain sebagainya.
Dikarenakan nilai yang dihasilkan kurang baik, menyebabkan
perhitungan MDA pun mendapatkan hasil minus. Sehingga hasil dari
perhitungan tidak dapat digunakan untuk menentukan kadar MDA yang
ada didalam cairan biologis.
3.2.3 Urin
a. Uji benedict
Uji Benedict dapat dilakukan pada urine untuk mengetahui
kandungan glukosa. Urine yang mengandung glukosa dapat menjadi
tanda adanya penyakit diabetes. Sekali urine diketahui mengandung
gula pereduksi, test lebih jauh mesti dilakukan untuk memastikan
jenis gula pereduksi apa yang terdapat dalam urine. Hanya glukosa
yang mengindikasikan penyakit diabetes.
Reaksi :
CuSO4 + 2 NaOH ---> Cu(OH)2 + Na2SO4 (putih kebiru – biruan)
Cu(OH)2 ----> 2 CuOH + H2O + O Pemanasan kuning (diambil oleh
gula dan produk2nya) 2 CuOH ----> Cu2O + H2O (merah bata)
Warna Penilaian Konsentrasi
Biru jernih – 0
Hijau/kuning hijau + 1 Kurang dari 0,5 %
Kuning/kuning kehijauan + 2 0,5 – 1,0 %
Jingga + 3 1,0 – 2,0 %
Merah + 4 Lebih dari 2 %
b. Uji Rothera
Uji Rothera bertujuan untuk memeriksa adanya zat keton didalam
urin. Percobaan pada praktikum ini dilakukan dengan
membandingkan antara urin sehat dan uri patologis. Kedua sampel
diberi perlakuan yang sama yaitu 5ml urin ditambahkan kristal
ammonium sulfat sampai urin jenuh hal ini bertujuan agar kompleks
stabil karena kristal ammonium sulfat berfungsi sebagai larutan
penyangga. Setelah itu ditambahkan Natrium Nitroprusid 5%
sebanyak 2-3 tetes dan ammonium hidroksida 1-2 ml lalu dicampur
dan diamkan selama 30 menit. Penambahan Na-nitroprusid dalam
suasana asam akan dipecah menjadi Na4Fe(CN)6-NaNO2 dan
Fe(OH)3 yang merupakan oksidator kuat dan akan bereaksi dengan
asam aseto asetat dan aston dalam suasana basa akan membentuk
senyawa berwarna ungu.
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan terlihat bahwa tidak
terbentuknya cincin berwarna ungu pada perbatasan kedua lapisan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa urin (-) atau tidak mengandung
senyawa keton didalam urinnya. Adanya zat keton dalam urin
dikarenakan metabolisme lemak dan asam lemak secara berlebihan,
kurangnya karbohidrat dalam tubuh sehingga simpanan lemak
digunakan sebagai sumber energy. Hasil urin (+) akan terbentuk
cincin berwarna ungu diantara kedua lapisan, hal tersebut
menunjukkan bahwa didalam urin terdapat zat keton.
c. Uji Heller
Uji heller pada urin dilakukan untuk mengetahui keberadaan protein
dalam urin. Protein dalam urin akan mengalami denaturasi dengan
penambahan asam nitrat pekat dalam bentuk cincin putih pada
perbatasan kedua cairan. Uji heller dilakukan dengan memasukkan
asam nitrat pekat kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan urin
uji/urin patologis sebanyak 2 ml. Hasil yang diperoleh baik dari urin
sehat maupun urin patologis tidak menunjukkan adanya cincin putih
pada perbatasan kedua cairan, maka dapat dikatakan kedua urin
tersebut negatif mengandung protein atau proteinuria.
Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang
melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada
anak-anak lebih dari 140 mg/m2 . Dalam keadaan normal, protein
didalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional.
Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa
gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti
adanya penyakit ginjal yang serius.Walaupun penyakit ginjal yang
penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus
proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau
merupakan penyakit ginjal yang tidak progresif. Adanya protein di
dalam urin sangat penting, dan memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk menentukan adanya penyebab/penyakit dasarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh maka dapat disimpulkan, bahwa:
Dari percobaan Uji antioksidan dan Oksidasi biologi dapat disimpulkan bahwa
- Oksidasi yang terjadi pada pisang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna
menjadi lebih gelap atau kecoklatan. Pencoklatan pada buah pisang yang telah dipotong
ataupun dikupas disebabkan oleh aktifitas enzim polifenoloksidase (PPOase), yang
dengan bantuan oksigen dan dikatalis oleh logam Cu+ yang terkandung akan
mengubah gugus monofenol menjadi O-hidroksifenol, yang selanjutnya diubah lagi
menjadi O-kuinon. Reaksi ini terjadi setelah buah dikupas/dipotong karena pada saat
itu jaringan terpapar langsung oleh udara sehingga enzim PPOase didalamnya
berinteraksi langsung oleh oksigen diudara.
- Protein dalam urin akan mengalami denaturasi dengan penambahan asam nitrat pekat
dalam bentuk cincin putih pada perbatasan kedua cairan. Proteinuria adalah adanya
protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150
mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Biasanya proteinuria baru
dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200mg/hari, pada beberapa kali pemeriksaan
dalam waktu yang berbeda.
Daftar pustaka
Bagiada, N. A. 2001. Proses penuaan dan penanggulangannya. Denpasar: Universitas
Udayana.
Golman, R dan Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia: Printmate
Sdn. Bhd. P. 19-25
Halliwell, B. 2002. Handbook of Antioxidants. Second Edition Revised and Expanded.
Food-Derived Antioxidants. 1-33
Pangkahila, W. 2007. Anti Aging medicine: memperlambat penuaan, meningkatkan kualitas
hidup. Cetakan ke-1. Jakarta: Buku Kompas. Hal: 1-3, 8-9, 37-40, 216.
Djojodibroto, R.D. 2001. Seluk Beluk Pemeriksaan Kesehatan (Medical Check Up):
Bagaimana Menyikapi Hasilnya. Pustaka Populer Obor. Jakarta.
Ethel, S. 2003. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi Keempat. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
Medika. 2012. Pemeriksaan Urin. Tersedia di: http://www.biomedika.
co.id/services/laboratorium/31/pemeriksaan-urin.html [Akses tanggal 16 Oktober 2016].
Scanlon, Valerie C. dan Tina Sanders. 2000. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Uliyah, Musrifatul. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Salemba Medika. Jakarta.
Wulangi, Kartolo. 1990. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. ITB Press. Bandung..