Anda di halaman 1dari 11

Daerah istimewa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa

Pembagian administratif Indonesia

Tingkat provinsi

Provinsi
Daerah khusus • Daerah istimewa

Tingkat kabupaten/kota
Kabupaten • Kota
Kabupaten administrasi
Kota administrasi

Tingkat kecamatan
Kecamatan • Distrik

Tingkat kemukiman
Mukim (khusus Aceh)

Tingkat kelurahan/desa
Kelurahan • Desa • Nagari
Kampung (Lampung)
Kampung (Papua)
Gampong • Pekon
Dusun (Bungo)
Lembang (Toraja)

Tingkat dusun/dukuh
Dukuh (Desa) • Rukun (Jawa) • Dusun(Kelurahan)

Lihat pula
Banjar • Dusun
Lingkungan • Pedukuhan
Rukun kampung
Rukun warga
Rukun tetangga
sunting

[1]
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dalam
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat perkembangan definisi mengenai daerah
istimewa mulai dari BPUPKI(1945) sampai dengan pengaturan dan pengakuan keistimewaan Aceh
(2006) dan Yogyakarta (2012). Perkembangan definisi inilah yang menyebabkan perbedaan
penafsiran mengenai pengertian dan isi keistimewaan suatu daerah, yang pada akhirnya
menyebabkan pembentukan, penghapusan, dan pengakuan kembali suatu daerah istimewa.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Konsep dasar

o 1.1 BPUPKI dan PPKI

o 1.2 UUD 1945 asli

o 1.3 Konstitusi RIS 1949

o 1.4 UUD Sementara 1950

o 1.5 UUD 1945 Setelah Amandemen

 2 Konsep pelaksanaan

o 2.1 UU 22/1948

o 2.2 UU 1/1957

o 2.3 UU 18/1965

o 2.4 UU 5/1974

o 2.5 UU 22/1999

o 2.6 Konsep UU 32/2004

 3 Konsep Teknis
o 3.1 UU 44/1999

o 3.2 UU 11/2006

o 3.3 UU 13/2012

 4 Daerah-daerah Istimewa di Indonesia

o 4.1 Aceh (1959-sekarang)

o 4.2 Berau (1953-1959)

o 4.3 Bulongan (1953-1959)

o 4.4 Kalimantan Barat (1946-1950)

o 4.5 Kutai (1953-1959)

o 4.6 Surakarta (1945-1946)

o 4.7 Yogyakarta (1945-sekarang)

 5 Serba serbi daerah istimewa

o 5.1 Aceh

o 5.2 Berau

o 5.3 Bulongan

o 5.4 Kalimantan Barat

o 5.5 Kutai

o 5.6 Surakarta

o 5.7 Yogyakarta

 6 Catatan
Konsep dasar[sunting | sunting sumber]
Konsep dasar daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam persidangan pendiri
bangsa dalam BPUPKI dan PPKI, UUD 1945asli, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan
UUD 1945 setelah amandemen.
BPUPKI dan PPKI[sunting | sunting sumber]
Perdebatan mengenai apa itu daerah istimewa sebenarnya diawali dari voting bentuk negara
Indonesia dalam sidang BPUPKI [2]. Keadaan tersebut berlanjut dalam diskusi para bapak pendiri
bangsa mengenai bentuk negara [3]. Akhirnya dicari jalan tengah untuk kedudukan daerah yang
berstatus zelfbesturende landchappen dalam lingkungan negara Indonesia dengan memunculkan
ide daerah istimewa.
Namun dalam sidang BPUPKI ada penyamaan antara zelfbesturende
landchappen dan volksgemeinschaften. Dengan demikian tidak hanya kesultanan maupun kerajaan,
namun juga daerah mempunyai susunan asli, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang dapat ditetapkan sebagai daerah yang
bersifat istimewa [4]. Negara menghormati dan memperhatikan susunan asli daerah tersebut. Namun
belum ada bentuk jelas bagaimana daerah istimewa tersebut.
Dalam sidang PPKI konsepnya tidak jauh berbeda. Zelfbesturende landchappen ditegaskan hanya
sebagai daerah bukan sebagai negara. Kesitimewaannyapun dikaitkan dengan susunan asli dari
daerah tersebut. Demikian pula susunan asli zelfstandige gemeenschappen/Inheemsche
Rechtsgemeenschappen seperti negeri di Minangkabau dihormati susunan aslinya. Panitia kecil
yang dibentuk PPKI tidak memajukan usul apapun mengenai daerah istimewa [5]. PPKI memutuskan
kedudukan daerah istimewa (Kooti – bahasa waktu itu) untuk sementara ditetapkan tidak ada
perubahan dan penyelesaian selanjutnya diserahkan pada presiden [6]. Di luar sidang PPKI,
Presiden Indonesia menetapkan empat piagam kedudukan untuk empat penguasa Jawa [7].
UUD 1945 asli[sunting | sunting sumber]
Daerah istimewa dalam UUD 1945 asli diatur dalam bab VII pasal 18 mengenai pemerintahan
daerah [8]. Tidak banyak yang diberikan keterangan dalam pasal tersebut selain persyaratan “hak
asal-usul” dan istilah “daerah yang bersifat istimewa” [9]. Jika ditilik dari peristilahan maka daerah
istimewa pada waktu itu dekat dengan istilah daerah otonomi khusus saat ini. Hanya saja pemberian
otonomi khusus tersebut diberikan untuk daerah-daerah yang berstatus “zelfbesturende
landchappen dan volksgemeenschappen” pada zaman Hindia Belanda [10]. Sayang tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai daerah-daerah mana saja yang berstatus khusus tersebut.
Konstitusi RIS 1949[sunting | sunting sumber]
Istilah daerah istimewa hanya muncul sekali dalam konstitusi RIS. Itupun hanya menyangkut satu
daerah yang berstatus sebagai “Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri” [11]. Dalam konstitusi ini
muncul istilah Daerah Swapraja sebagai ganti istilah Zelfbesturende landchappen. Ada empat pasal
yang mengatur daerah swapraja pada konstitusi tersebut, mulai dari pasal 64-67 [12]. Dalam
konstitusi tersebut ditegaskan Negara mengakui semua swapraja yang ada. Kedudukan swapraja
sangat kuat. Pengaturan daerah swapraja diserahkan pada daerah bagian yang memiliki daerah
swapraja tersebut dengan perjanjian politik, bukan dengan Undang-undang daerah bagian.
Pengurangan maupun penghapusan wilayah atau kekuasaan daerah swapraja memerlukan kuasa
Undang-undang Federal RIS. Semua pejabat Indonesia yang bertugas di daerah swapraja diganti
oleh pejabat daerah swapraja yang bersangkutan. Segala perselisihan yang terjadi antara daerah
bagian dan daerah swapraja diputus oleh Mahkamah Agung Federal.
UUD Sementara 1950[sunting | sunting sumber]
Sama seperti Konstitusi RIS, dalam UUD Sementara hanya muncul istilah daerah swapraja. Namun
pengaturannya yang berbeda dengan Konstitusi RIS. Dalam UUD ini daerah swapraja diatur dalam
pasal 132-133 [13]. Kedudukan daerah swapraja diatur dengan Undang-undang, dengan pengertian
keinginan daerah swapraja akan dipertimbangkan oleh pemerintah [14]. Pemerintahan di daerah
swapraja harus berdasarkan otonomi, permusyawaratan, dan perwakilan rakyat dalam kerangka
negara kesatuan. Daerah swapraja dapat dihapus atas perintah Undang-undang. Perselisihan yang
terjadi antara pemerintah mengenai undang-undang yang mengatur daerah swapraja dan peraturan
pelaksanaannya diadili oleh pengadilan perdata. Semua pejabat daerah bagian RIS diganti dengan
pejabat Indonesia.
UUD 1945 Setelah Amandemen[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua UUD, pasal 18 asli diamandemen menjadi pasal 18,
18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa ditempatkan dalam pasal 18B ayat (1) [15]. Istilah yang
digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa”.
Pengaturannya didasarkan pada undang-undang, tanpa merinci syarat suatu daerah istimewa.
Selain itu dalam pasal ini dibedakan antara “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa”
dan “satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus” [16].

Konsep pelaksanaan[sunting | sunting sumber]


Konsep pelaksanaan daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam undang-undang
yang mengatur pemerintahan daerah secara umum sebagai pelaksanaan pasal (atau pasal-pasal)
mengenai pemerintahan daerah dalam konstitusi. Konsep ini disusun secara kronologis, meliputi UU
22/1948 (UUD 1945 asli), UU 1/1957 (UUD Sementara 1950), UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999
(ketiganya UUD 1945 asli), dan UU 32/2004 (UUD 1945 amandemen).
UU 22/1948[sunting | sunting sumber]
Undang-undang yang mengatur daerah istimewa pertama kali adalah UU 22/1948
mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah
daerah yang telah memiliki pemerintahan sendiri sebelum adanya Republik Indonesia
(zelfbestuur) [17]. Sedangkan bentuk keistimewaannya adalah terletak pada kepala daerahnya [18].
Kepala daerah istimewa merupakan penguasa monarki [19]. Selain itu dalam daerah istimewa yang
terdiri atas gabungan dua zelfbestuur diangkat wakil kepala daerah [20]. Selain itu daerah istimewa
memiliki tingkatan daerah istimewa setingkat provinsi, setingkat kabupaten, dan setingkat desa [17]
[21]
.
UU 1/1957[sunting | sunting sumber]
Undang-undang 1/1957 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah merupakan undang-undang
yang disusun sebagai pelaksanaan pasal 131 dan 132 UUD Sementara 1950 [22]. Dalam undang-
undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang berkedudukan sebagai daerah
swapraja dan dengan mengingat pentingnya posisi daerah tersebut dalam kepentingan nasional dan
perkembangan masyarakat [23]. Keistimewaannya tetap berada pada kepala daerahnya [24][25]. Selain
itu dapat pula diangkat wakil kepala daerah [26]. Penetapan daerah swapraja menjadi daerah
istimewa sebenarnya pemberian bentuk baru kepada swapraja tersebut sekaligus merupakan
penghapusan pemerintahan swapraja itu [27].
UU 18/1965[sunting | sunting sumber]
Berbeda dengan dua undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, Undang-undang 18/1965
mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah, merupakan titik balik bagi daerah istimewa [28]. Semua
daerah swaparaja yang masih ada dihapus [29]. Hanya Aceh dan Yogyakarta yang diakui sebagai
daerah istimewa, itupun hanya sampai waktu tertentu [30]. Daerah istimewa tidak diatur dalam bab
khusus namun hanya ditempatkan pada aturan peralihan. Pemerintah mendesain untuk
menghapuskan daerah istimewa secara pelan namun pasti [31]. Dengan demikian akhirnya semua
daerah di Indonesia sama kedudukannya dan hanya ada satu daerah khusus, Jakarta [32].
UU 5/1974[sunting | sunting sumber]
Kebijakan pemerintah Orde Baru meneruskan kebijakan dari Orde lama, bahkan lebih sistematis
untuk menghapus daerah istimewa. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebutkan secara
tegas dalam aturan peralihan Undang-undang 5/1974 [33]. Nama Aceh sebagai daerah istimewa tidak
satupun disebut dalam undang-undang tersebut. Alih-alih DKI Jakarta diberi jaminan untuk diatur
dengan undang-undang tersendiri [34].
UU 22/1999[sunting | sunting sumber]
Walaupun reformasi mulai berjalan namun kedudukan daerah istimewa semakin miris.
Penyelenggaraan pemerintahan di semua daerah diberlakukan sama, tidak
terkecualiAceh dan Yogyakarta [35]. Jaminan keistimewaan hanya diletakkan pada penjelasan
sehingga kedudukannya tidak sekuat jaminan di dalam pasal-pasal [36]. Hanya DKI Jakarta yang
diberi kekhususan sebagai Ibukota Negara [37]. Selain itu Provinsi Timor Timur juga akan diberi
otonomi khusus sebagai opsi untuk mencegah separatisme di daerah bekas koloni Portugis itu [38][39].
Di sisi lain muncul konsep baru bahwa yang dimaksud daerah istimewa adalah desa,
bukan zelfbestuur [40].
Konsep UU 32/2004[sunting | sunting sumber]
Pasca perubahan UUD 1945, daerah istimewa tidak sendiri lagi dengan adanya daerah khusus [41].
Walaupun demikian, daerah istimewa hanya diterjemahkan sebagai Daerah Istimewa Aceh dan
Daerah Istimewa Yogyakarta [42]. Sebagaimana undang-undang pemerintahan daerah semenjak
1965, undang-undang ini pun daerah istimewa hanya diatur dalam bab xiv ketentuan lain-lain pasal
225-227. Undang-undang ini mensyaratkan daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan
otonomi khusus harus diatur dengan undang-undang tersendiri [43]. Semua ketentuan dalam undang-
undang ini, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, berlaku juga bagi daerah yang
memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus [44]. Dari semua daerah istimewa dan daerah
khusus hanya Aceh, DKI Jakarta, dan Papua yang memiliki UU tersendiri [45]. Sementara itu
Yogyakarta yang tidak diatur dengan UU tersendiri, harus tunduk pada semua pengaturan undang-
undang ini [46]. Dari kenyataan ini keistimewaan Yogyakarta hanya tinggal nama [47].

Konsep Teknis[sunting | sunting sumber]


Konsep teknis daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam undang-undang yang
mengatur pemerintahan daerah istimewa secara khusus sebagai pelaksanaan pasal (atau pasal-
pasal) mengenai pemerintahan daerah dalam konstitusi dan dalam peraturan perundang-undangan
yang lain. Konsep teknis ini meliputi UU 44/1999 dan UU 11/2006 untuk Aceh, serta UU 13/2012
untuk DIY.
UU 44/1999[sunting | sunting sumber]
UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan
undang-undang pertama yang khusus mengatur Aceh. Undang-undang ini termasuk undang-undang
pendek, sebab hanya terdiri dari 13 pasal.
Dalam undang-undang ini keistimewaan [Aceh] didefinisikan sebagai kewenangan khusus untuk
menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan
kebijakan Daerah [48]. Keistimewaan [Aceh] merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang
diberikan kepada Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara
secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan [49].
Adapun penyelenggaraan keistimewaan meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama,
penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulamadalam penetapan
kebijakan Aceh [50]. Aceh diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan
yang dimiliki dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku [51].
UU 11/2006[sunting | sunting sumber]
UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan perpaduan harmonis antara UU 44/1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU 18/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Undang undang ini termasuk
undang-undang yang panjang sebab memiliki 273 pasal. Dalam UU ini, tidak ada definisi baru
mengenai keistimewaan Aceh. Namun langsung kepada urusan wajib lainnya yang menjadi
kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh [52]. Selain itu
keistimewaan Aceh juga dinikmati oleh Kabupaten dan Kota di lingkungan Aceh [53].
UU 13/2012[sunting | sunting sumber]
Wikisumber memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini:

Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2012

UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan undang-undang


pengakuan kembali keistimewaan Yogyakarta, setelah 47 tahun keistimewaan Yogyakarta mati
segan hidup tak mau. Undang undang ini termasuk undang-undang yang menengah, berisi 51 pasal
dan termasuk salah satu undang-undang yang terlama pembahasannya (2007-2012). Versi resmi
dari pemerintah meliputi versi 2007 (Depdagri-JIP UGM) dan versi 2010.
Keistimewaan Yogyakarta didefinisikan sebagai keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh
DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan Istimewa
merupakan wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Sebagaimana DKI Jakarta, kewenangan istimewa DIY terletak pada level provinsi [54]. Kewenangan
istimewa DIY meliputi: (a). tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur
dan Wakil Gubernur; (b). kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c). kebudayaan; (d). pertanahan;
dan (e). tata ruang. DIY diberikan kewenangan untuk mengatur urusan keistimewaan dengan
Perdais (Peraturan Daerah Istimewa) [55].

Daerah-daerah Istimewa di Indonesia[sunting | sunting sumber]


Daerah-daerah istimewa di Indonesia adalah daerah maupun entitas hukum yang memiliki status
istimewa di wilayah Indonesia, baik karena hak asal-usulnya maupun sejarahnya, baik yang
dibentuk maupun hanya sekedar diakui, baik oleh Negara Indonesia maupun oleh Pemerintah
Kolonial Belanda.
Aceh (1959-sekarang)[sunting | sunting sumber]
Aceh adalah daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa
dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur [56]. Aceh menerima status
istimewa pada 1959, tiga tahun setelah pembentukan kembali pada 1956 [57], dan sepuluh tahun
sejak pembentukan pertama 1949 [58]. Status istimewa diberikan kepada Aceh dengan Keputusan
Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang isi keistimewaannya meliputi
agama, peradatan, dan pendidikan. Namun pelaksanaan keistimewaan tidak berjalan dengan
semestinya dan hanya sebagai formalitas belaka [59].
Pasca penerbitan UU 44/1999 keistimewaan Aceh meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama,
adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Keistimewaan di bidang
penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya
di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama, meliputi: ibadah, ahwal
alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’
(peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam [60]. Keistimewaan di bidang
penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Aceh (misal
Majelis Adat Aceh, Imeum mukim, dan Syahbanda) [61].
Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta
menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan
madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah [62]. Keistimewaan di bidang peran ulama
meliputi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kabupaten/Kota yang memiliki tugas dan
wewenang untuk memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan terhadap
perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan [63].
Berau (1953-1959)[sunting | sunting sumber]
Daerah Istimewa Berau adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi
Kalimantan. Daerah Istimewa Berau dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953
tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang
dimilikinya. Daerah Istimewa Berau terdiri atas swaprajaSambaliung dan swapraja Gunung-Tabur.
Keistimewaan Daerah Istimewa Berau meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala
Daerah Istimewa Berau dijabat olehSultan Muhammad Amminuddin. Daerah Istimewa Berau
dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan
Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Berau di dalam
lingkungan Provinsi Kalimantan Timur.
Bulongan (1953-1959)[sunting | sunting sumber]
Daerah Istimewa Bulongan adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan
Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Bulongan dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU
Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal
usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Bulongan terdiri atas swapraja Bulongan. Keistimewaan
Daerah Istimewa Bulongan meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah
Istimewa Bulongan dijabat oleh Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin, sampai mangkat dia pada
1958. Daerah Istimewa Bulongan dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat
3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan
Kabupaten Bulongan di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah
Istimewa Bulongan, yang meliputi kabupaten-kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung,
dan Kota Tarakan, dibentuk satu provinsi, Provinsi Kalimantan Utara pada 17 November 2012,
terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur.
Kalimantan Barat (1946-1950)[sunting | sunting sumber]
Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri dalam
lingkungan Republik Indonesia Serikat yang berkedudukan sebagai daerah istimewa. Daerah
Istimewa Kalimantan Barat dibentuk oleh Pemerintah Sipil Hindia Belanda pada 28
Oktober 1946 sebagai Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa
pada 12 Mei 1947 [64]. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi Swapraja Sambas,
Swapraja Pontianak, Swapraja Mampawah, Swapraja Landak, SwaprajaKubu, Swapraja Matan,
Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang,
Neo-swapraja Meliau, Neo-swapraja Pinoh, dan Neo-swapraja Kapuas Hulu [65]. Kepala Daerah
Istimewa Kalimantan Barat adalah Sultan Swapraja Pontianak, Hamid II Algadrie [64]. Sebelum 5 April
1950 Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung
dengan Negara Bagian Republik Indonesia (RI-Yogyakarta) [66]. Daerahnya kemudian menjadi
bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan [67]. Kini wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat
menjadi Provinsi Kalimantan Barat yang telah dibentuk pada tahun 1956 [68].
Kutai (1953-1959)[sunting | sunting sumber]
Daerah Istimewa Kutai adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi
Kalimantan. Daerah Istimewa Kutai dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953
tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang
dimilikinya. Daerah Istimewa Kutai terdiri atas swapraja Kutai. Keistimewaan Daerah Istimewa Kutai
meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Kutai dijabat oleh Sultan
A.M. Parikesit. Daerah Istimewa Kutai dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat
3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya
dijadikan Kabupaten Kutai,Kota Balikpapan, dan Kota Samarinda di dalam lingkungan Provinsi
Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Kutai meliputi Kabupaten Kutai Kertanegara,
Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan
Kota Bontang di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur [69].
Surakarta (1945-1946)[sunting | sunting sumber]
Daerah Istimewa Surakarta adalah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang diakui
Negara Indonesia sebagai daerah yang memiliki sifat istimewa berdasarkan kedudukan kedua
daerah tersebut sebagai Kooti. Pengakuan ini didasarkan atas Piagam Penetapan Presiden RI
tertanggal 19 Agustus 1945. Karena perselisihan kedua kerajaan yang ada, Kepala Daerah Istimewa
dipegang oleh Komisaris Tinggi yang dijabat oleh Gubernur RP Suroso [70][71], yang kemudian
Gubernur Suryo [72][73]. Karena berbagai alasan, baik persaingan dua kerajaan, politik, keamanan,
Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946 pada 15 Juli 1946,
yang pada pokoknya berisi mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di Surakarta dan
Yogyakarta, yang satu diantaranya menjadikan Daerah Istimewa Surakarta sebagai Karesidenan
biasa dibawah Pemerintah Pusat [74]. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Surakarta, yang meliputi
Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, KabupatenSragen,
Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Wonogiri, serta Kota Surakarta, menjadi bagian
Provinsi Jawa Tengah, yang dibentuk pada 1950 [75].
Yogyakarta (1945-sekarang)[sunting | sunting sumber]
Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai
keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangkaNegara Kesatuan
Republik Indonesia [76]. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY
berdasarkan sejarah dan hak asal usul [77] menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa [78]. Kewenangan
Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah [79].
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah istimewa sejak pembentukannya secara de
jure tahun 1950 [80], maupun sejak pengakuannya secara de facto pada 1945 [81]. Dalam undang-
undang pembentukan DIY [80], DIY berkedudukan hukum sebagai daerah istimewa setingkat
provinsi. Sedang keistimewaannya terletak pada pengangkatan kepala daerah istimewa dan wakil
kepala daerah istimewa dari Sultan dan Paku Alam yang bertahta. Namun, bentuk keistimewaan DIY
tidak dicantumkan dalam undang-undang pembentukan tetapi hanya dalam undang-undang
pemerintahan daerah yang mengatur semua daerah di Indonesia secara umum [82]. Dengan realitas
ini, pada tahun 1965 kedudukan hukum DIY diturunkan menjadi daerah provinsi biasa [83], dan
akhirnya pada tahun 1999 dan 2004 keistimewaan DIY memasuki wilayah kekosongan hukum [84].
Pasca penerbitan UU 13/2012, keistimewaan DIY meliputi (a). tata cara pengisian jabatan,
kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b). kelembagaan Pemerintah
Daerah DIY; (c). kebudayaan; (d). pertanahan; dan (e). tata ruang [85]. Keistimewaan dalam bidang
tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur antara
lain syarat khusus bagi calon gubernur DIY adalah Sultan Hamengku Buwono yang bertahta, dan
wakil gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertahta. Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki
kedudukan, tugas, dan wewenang sebagaimana Gubernur dan Wakil Gubernur lainnya, ditambah
dengan penyelenggaran urusan – urusan keistimewaan [86]. Kelembagaan dalam bidang
kelembagaan Pemerintah Daerah DIY yaitu penataan dan penetapan kelembagaan, dengan
Perdais, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dengan
memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli [87].
Keistimewaan dalam bidang kebudayaan yaitu memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi
luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY, yang diatur dengan perdais [88]. Keistimewaan dalam
bidang pertanahan yaitu Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah
Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan,
kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat [89]. Keistimewaan dalam bidang tata ruang yaitu
kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam tata ruang pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah
Kasultanan dan tanah Kadipaten [90].

Serba serbi daerah istimewa[sunting | sunting sumber]


Aceh[sunting | sunting sumber]

1. Satu-satunya daerah isimewa yang diberi otonomi khusus

2. Satu-satunya daerah isimewa yang masih ada yang mendapat keistimewaan bukan karena
hak asal-usul.

3. Satu-satunya daerah isimewa yang ada di pulau Sumatera.

4. Daerah isimewa yang terakhir dibentuk (1959).


Berau[sunting | sunting sumber]

1. Daerah isimewa setingkat kabupaten yang memiliki wilayah terkecil


Bulongan[sunting | sunting sumber]
1. Satu-satunya bekas daerah istimewa setingkat kabupaten yang bekas wilayahnya dijadikan
satu provinsi tersendiri.
Kalimantan Barat[sunting | sunting sumber]

1. Satu-satunya daerah istimewa yang namanya disebut secara jelas dalam konstitusi.

2. Daerah istimewa dengan anggota swapraja terbanyak (14 swapraja).


Kutai[sunting | sunting sumber]

1. Satu-satunya daerah istimewa setingkat kabupaten yang daerahnya langsung dimekarkan


menjadi satu kabupaten dan dua kota begitu dibubarkan.
Surakarta[sunting | sunting sumber]

1. Daerah istimewa yang pertama kali dibubarkan (1946).

2. Daerah istimewa yang memiliki usia terpendek (10 bulan 3 minggu 5 hari).

3. Satu-satunya daerah isimewa yang hanya diakui secara de facto (tidak dibentuk dengan
konstitusi atau undang-undang atau peraturan yang setingkat)
Yogyakarta[sunting | sunting sumber]

1. Satu-satunya daerah isimewa yang masih ada, yang mendapat sifat istimewa sejak dibentuk
dengan undang-undang.

2. Satu-satunya daerah isimewa yang memiliki hak asal usul yang masih bertahan (sejak 1945;
pada saat UU Keistimewaan DIY disahkan pada 31 Agustus 2012, DIY berusia 67 tahun 1
minggu 5 hari).

3. Satu-satunya daerah isimewa yang dibentuk oleh negara bagian Republik Indonesia.

4. Daerah istimewa yang undang-undang khususnya diajukan paling awal namun mendapat
persetujuan paling akhir (Tahun 1946 dan 2001 diajukan oleh Yogyakarta tetapi tidak
dibahas. Tahun 2007 diajukan oleh pemerintah. Tahun 2010 diajukan kembali oleh
pemerintah. Disetujui pada 2012)

Anda mungkin juga menyukai