Tingkat provinsi
Provinsi
Daerah khusus • Daerah istimewa
Tingkat kabupaten/kota
Kabupaten • Kota
Kabupaten administrasi
Kota administrasi
Tingkat kecamatan
Kecamatan • Distrik
Tingkat kemukiman
Mukim (khusus Aceh)
Tingkat kelurahan/desa
Kelurahan • Desa • Nagari
Kampung (Lampung)
Kampung (Papua)
Gampong • Pekon
Dusun (Bungo)
Lembang (Toraja)
Tingkat dusun/dukuh
Dukuh (Desa) • Rukun (Jawa) • Dusun(Kelurahan)
Lihat pula
Banjar • Dusun
Lingkungan • Pedukuhan
Rukun kampung
Rukun warga
Rukun tetangga
sunting
[1]
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dalam
sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat perkembangan definisi mengenai daerah
istimewa mulai dari BPUPKI(1945) sampai dengan pengaturan dan pengakuan keistimewaan Aceh
(2006) dan Yogyakarta (2012). Perkembangan definisi inilah yang menyebabkan perbedaan
penafsiran mengenai pengertian dan isi keistimewaan suatu daerah, yang pada akhirnya
menyebabkan pembentukan, penghapusan, dan pengakuan kembali suatu daerah istimewa.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Konsep dasar
2 Konsep pelaksanaan
o 2.1 UU 22/1948
o 2.2 UU 1/1957
o 2.3 UU 18/1965
o 2.4 UU 5/1974
o 2.5 UU 22/1999
3 Konsep Teknis
o 3.1 UU 44/1999
o 3.2 UU 11/2006
o 3.3 UU 13/2012
o 5.1 Aceh
o 5.2 Berau
o 5.3 Bulongan
o 5.5 Kutai
o 5.6 Surakarta
o 5.7 Yogyakarta
6 Catatan
Konsep dasar[sunting | sunting sumber]
Konsep dasar daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam persidangan pendiri
bangsa dalam BPUPKI dan PPKI, UUD 1945asli, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan
UUD 1945 setelah amandemen.
BPUPKI dan PPKI[sunting | sunting sumber]
Perdebatan mengenai apa itu daerah istimewa sebenarnya diawali dari voting bentuk negara
Indonesia dalam sidang BPUPKI [2]. Keadaan tersebut berlanjut dalam diskusi para bapak pendiri
bangsa mengenai bentuk negara [3]. Akhirnya dicari jalan tengah untuk kedudukan daerah yang
berstatus zelfbesturende landchappen dalam lingkungan negara Indonesia dengan memunculkan
ide daerah istimewa.
Namun dalam sidang BPUPKI ada penyamaan antara zelfbesturende
landchappen dan volksgemeinschaften. Dengan demikian tidak hanya kesultanan maupun kerajaan,
namun juga daerah mempunyai susunan asli, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang dapat ditetapkan sebagai daerah yang
bersifat istimewa [4]. Negara menghormati dan memperhatikan susunan asli daerah tersebut. Namun
belum ada bentuk jelas bagaimana daerah istimewa tersebut.
Dalam sidang PPKI konsepnya tidak jauh berbeda. Zelfbesturende landchappen ditegaskan hanya
sebagai daerah bukan sebagai negara. Kesitimewaannyapun dikaitkan dengan susunan asli dari
daerah tersebut. Demikian pula susunan asli zelfstandige gemeenschappen/Inheemsche
Rechtsgemeenschappen seperti negeri di Minangkabau dihormati susunan aslinya. Panitia kecil
yang dibentuk PPKI tidak memajukan usul apapun mengenai daerah istimewa [5]. PPKI memutuskan
kedudukan daerah istimewa (Kooti – bahasa waktu itu) untuk sementara ditetapkan tidak ada
perubahan dan penyelesaian selanjutnya diserahkan pada presiden [6]. Di luar sidang PPKI,
Presiden Indonesia menetapkan empat piagam kedudukan untuk empat penguasa Jawa [7].
UUD 1945 asli[sunting | sunting sumber]
Daerah istimewa dalam UUD 1945 asli diatur dalam bab VII pasal 18 mengenai pemerintahan
daerah [8]. Tidak banyak yang diberikan keterangan dalam pasal tersebut selain persyaratan “hak
asal-usul” dan istilah “daerah yang bersifat istimewa” [9]. Jika ditilik dari peristilahan maka daerah
istimewa pada waktu itu dekat dengan istilah daerah otonomi khusus saat ini. Hanya saja pemberian
otonomi khusus tersebut diberikan untuk daerah-daerah yang berstatus “zelfbesturende
landchappen dan volksgemeenschappen” pada zaman Hindia Belanda [10]. Sayang tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai daerah-daerah mana saja yang berstatus khusus tersebut.
Konstitusi RIS 1949[sunting | sunting sumber]
Istilah daerah istimewa hanya muncul sekali dalam konstitusi RIS. Itupun hanya menyangkut satu
daerah yang berstatus sebagai “Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri” [11]. Dalam konstitusi ini
muncul istilah Daerah Swapraja sebagai ganti istilah Zelfbesturende landchappen. Ada empat pasal
yang mengatur daerah swapraja pada konstitusi tersebut, mulai dari pasal 64-67 [12]. Dalam
konstitusi tersebut ditegaskan Negara mengakui semua swapraja yang ada. Kedudukan swapraja
sangat kuat. Pengaturan daerah swapraja diserahkan pada daerah bagian yang memiliki daerah
swapraja tersebut dengan perjanjian politik, bukan dengan Undang-undang daerah bagian.
Pengurangan maupun penghapusan wilayah atau kekuasaan daerah swapraja memerlukan kuasa
Undang-undang Federal RIS. Semua pejabat Indonesia yang bertugas di daerah swapraja diganti
oleh pejabat daerah swapraja yang bersangkutan. Segala perselisihan yang terjadi antara daerah
bagian dan daerah swapraja diputus oleh Mahkamah Agung Federal.
UUD Sementara 1950[sunting | sunting sumber]
Sama seperti Konstitusi RIS, dalam UUD Sementara hanya muncul istilah daerah swapraja. Namun
pengaturannya yang berbeda dengan Konstitusi RIS. Dalam UUD ini daerah swapraja diatur dalam
pasal 132-133 [13]. Kedudukan daerah swapraja diatur dengan Undang-undang, dengan pengertian
keinginan daerah swapraja akan dipertimbangkan oleh pemerintah [14]. Pemerintahan di daerah
swapraja harus berdasarkan otonomi, permusyawaratan, dan perwakilan rakyat dalam kerangka
negara kesatuan. Daerah swapraja dapat dihapus atas perintah Undang-undang. Perselisihan yang
terjadi antara pemerintah mengenai undang-undang yang mengatur daerah swapraja dan peraturan
pelaksanaannya diadili oleh pengadilan perdata. Semua pejabat daerah bagian RIS diganti dengan
pejabat Indonesia.
UUD 1945 Setelah Amandemen[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua UUD, pasal 18 asli diamandemen menjadi pasal 18,
18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa ditempatkan dalam pasal 18B ayat (1) [15]. Istilah yang
digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa”.
Pengaturannya didasarkan pada undang-undang, tanpa merinci syarat suatu daerah istimewa.
Selain itu dalam pasal ini dibedakan antara “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa”
dan “satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus” [16].
Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2012
2. Satu-satunya daerah isimewa yang masih ada yang mendapat keistimewaan bukan karena
hak asal-usul.
1. Satu-satunya daerah istimewa yang namanya disebut secara jelas dalam konstitusi.
2. Daerah istimewa yang memiliki usia terpendek (10 bulan 3 minggu 5 hari).
3. Satu-satunya daerah isimewa yang hanya diakui secara de facto (tidak dibentuk dengan
konstitusi atau undang-undang atau peraturan yang setingkat)
Yogyakarta[sunting | sunting sumber]
1. Satu-satunya daerah isimewa yang masih ada, yang mendapat sifat istimewa sejak dibentuk
dengan undang-undang.
2. Satu-satunya daerah isimewa yang memiliki hak asal usul yang masih bertahan (sejak 1945;
pada saat UU Keistimewaan DIY disahkan pada 31 Agustus 2012, DIY berusia 67 tahun 1
minggu 5 hari).
3. Satu-satunya daerah isimewa yang dibentuk oleh negara bagian Republik Indonesia.
4. Daerah istimewa yang undang-undang khususnya diajukan paling awal namun mendapat
persetujuan paling akhir (Tahun 1946 dan 2001 diajukan oleh Yogyakarta tetapi tidak
dibahas. Tahun 2007 diajukan oleh pemerintah. Tahun 2010 diajukan kembali oleh
pemerintah. Disetujui pada 2012)